Brak .... !
Suara pintu dapur mengagetkanku.
Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.
Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.
Masih silau.
Siapa, ya?
*
Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang.
"Pakde Jangin!" teriakku kaget.
Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.
Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.
Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa.
"Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriaknya.
Entah ada maksud apa dia mencari suamiku. Seingatku dia kerabat Emak yang paling sayang dengan Mas Joni. Dengan menjual nama besarnya, dia berjalan-jalan dengan suamiku itu sepanjang hari keliling kecamatan.
Naik mobil tentunya.
Mereka singgah di semua spot tongkrongan dan beberapa teman Pakde. Memperkenalkan dengan bangga bahwa Mas Joni adalah suami dari keponakan yang paling di sayang.
"Dengan begitu, kalian akan aman di daerah ini. Tidak akan ada yang berani macem-macem!" katanya mengemukakan alasan sesi muter-muter ini.
"Suti! Kok diam saja?!"
Terhenyak aku dengan teriakannya, langsung aku hampiri dan salim tangan.
"Mas Joni, Pakde?"
"Iya! Mau tak remet-remet, dia!"
"Suti pulang sendiri. Mas Joni tidak bisa mengantar," kataku masih heran.
Kenapa dia datang tiba-tiba dan marah dengan suamiku? Wajahnya kelihatan merah, rahangnya menggeletuk dan tangannya mengepal keras.
"Kang Jangin!" teriak emak yang masuk dengan tergopoh.
Mengambil air minum dan langsung menghampirinya. Emak tahu, kondisi seperti ini Pakde membutuhkan minum air putih.
"Duduk dulu, Kang Jangin. Ada apa? Kok kelihatan jalan terburu-buru, sampai tak panggil tidak dengar. Apa ada yang mendesak atau penting?" kata Emak lembut.
"Penting sekali! Ini berhubungan dengan martabat keluarga. Masak kamu sudah janda ditinggal kawin suamimu, sekarang anakmu juga seperti itu! Menjadi janda!" teriaknya kesal.
"Janda? Siapa yang janda, Pakde?!" teriakku penasaran.
Sebentar, maksud Pakde apa, ya? Emak janda, anaknya emak berarti aku, dong!
"Saya?" ucapku kaget sambil menunjuk dadaku sendiri.
"La iya. Semua orang sak desa membicarakan kamu! Yang dipulangkan suamimu dengan tidak hormat! Sudah dicerai, diusir dari rumah tidak dikasih harta gono-gini. Itu kan, makanya kamu pulang sendiri! Joni ini, kurang ajar!" teriaknya dengan nafas memburu.
"Ti ... Ti, nasibmu kok melas temen to, Nduk. Sudah di tinggal kawin bapakmu, sekarang dibuang sama suamimu," ucapnya lirih.
Aku lihat matanya berkaca-kaca. Pakdeku ini, dibalik sikapnya yang kasar, hatinya sangat lembut terutama kepada keponakannya ini.
Wah, kabar tentangku yang tidak bener ini semakin bergulir dengan hipotesa yng ngawur, tetapi seolah-olah menjadi suatu kebenaran. Aku harus secepatnya meluruskan kesalahpahaman ini. Hanya gara-gara pulang kampung tanpa suami, sudah disimpulkan di cerai.
Mereka tidak tahu apa, aku sama suamiku lagi mesra-mesranya.
Sabar, sabar.
"Pakde, terima kasih sudah memberi perhatian kepada saya. Sebenarnya, ... " ucapku terpotong dengan teriakan Emak yang berdiri disebelahku.
"Bener itu, Ti! Astaghfirullah hal adzim. Berarti omongan orang di pasar itu bener. Kamu dicerai sama Joni? Gara-gara kamu belum kasih dia anak," teriak Emak, dia terdiam untuk ambil nafas.
Dan segera bicara bicara lagi, tanpa memberi kesempatan kepadaku. Rasa laparku yang menguar tadi sudah hilang lenyap. Terganti rasa yang tidak tahu namanya apa.
"Makanya kamu itu, dikasih tahu orang tua untuk cepeten hamil, tidak mau. Sok-sokan bisnis. Setelah dia sukses, kamu ditinggal!"
Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah.
"Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"
Tubuh Emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.
Emak pingsan.
"Emak .... !"
********
Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah."Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.Emak pingsan."Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini. Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung."Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... ""Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan. Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon. Ti
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su
Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka
Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak
"Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam
Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re
"Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.
Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" uca
Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" uca
"Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.
Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re
"Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam
Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak
Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su
Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah."Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.Emak pingsan."Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini. Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung."Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... ""Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan. Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon. Ti
Brak .... !Suara pintu dapur mengagetkanku.Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.Masih silau.Siapa, ya?*Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang."Pakde Jangin!" teriakku kaget.Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa."Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriak