Catatan Luka Istri Rahasia

Catatan Luka Istri Rahasia

Oleh:  Es Pucil  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat
45Bab
1.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

16+ | ROMANSA || SEDANG BERLANGSUNG Setelah satu tahun menjadi istri rahasia, Medina az-Zahra mulai berontak dan memaksa suaminya untuk mempublikasikan pernikahan mereka. Namun, ia malah disambut oleh fakta kelam masa lalu suaminya. _______ Menjadi istri seorang aktor ternyata tidak selamanya indah. Aku mungkin salah satu orang yang tidak beruntung, karena hanya dianggap sebagai salah satu penggemar oleh suami sendiri. Aku hanya seorang istri rahasia, bukan wanita simpanan. Semua keluarga kami tahu, kecuali orang luar. Entah apa alasan dia menyembunyikan pernikahan ini dari khalayak umum. -Medina Az-Zahra-

Lihat lebih banyak
Catatan Luka Istri Rahasia Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Ni Putu Andriani
ceritanya seru tapi ada beberapa bagian yang kgak klop deh ... ...
2023-06-16 09:35:50
0
45 Bab

Prolog

Lilin terakhir sudah menyala. Aku tersenyum hangat, seperti suasana di ruangan ini. Tidak sabar rasanya melihat ekspresi wajah Mas Satya setelah melihat kejutan kecil ini. Pasti dia akan bahagia.Kue berukuran sedang berwarna cokelat aku keluarkan dari kotaknya. Di atasnya sudah tertulis indah, 'Happy Anniversary'. Ya. Ini ulang tahun pernikahanku dengan Mas Satya yang pertama.Kue manis ini aku letakkan di atas meja. Kemudian memperhatikan semuanya sekali lagi. Sempurna. Biarkan puluhan lilin ini yang menyala, dan lampu dipadamkan. Tinggal menunggu 10 menit. Mas Satya mengatakan tadi pagi akan pulang jam sembilan. Aku memilih duduk di sebuah sofa panjang yang terletak di dekat sebuah rak buku. Lalu menanti ...Waktu terus berjalan. Jarum tidak pernah berhenti berputar. Namun, Mas Satya belum kunjung datang.Aku menilik lagi ke arah jam. Sudah lebih 30 menit dari yang seharusnya. Mungkin karena terlalu lelah mengurus semua kejutan ini dari tadi, aku jadi mengantuk. Kurebahkan tubuh,
Baca selengkapnya

BAB 1 : Fans dan Aktor

“Sayang ....” Bisikan lembut dari suara bariton yang amat kukenali memanggil kesadaran untuk kembali. Itu panggilan dari Mas Satya. Embusan napas hangat menyentuh leher tatkala seruan lembut tadi menyapa telinga. Aku memaksakan tersenyum pada sosok yang belum terlihat wujudnya karena mata ini belum terbuka. “Sholat subuh, yuk!” Tubuhku terasa berat untuk mengikuti ajakan Mas Satya. Aku memutar posisi berbaring menjadi berhadapan dengan Mas Satya, lalu menyembunyikan wajah di dada bidangnya yang telanjang. “Sayang ....” Aku terkekeh mendengar panggilan Mas Satya diiringi dengan cekikikan geli. Memang, aku sengaja menggesek dadanya dengan hidung, lalu tertawa. “Sudah main-mainnya. Sholat subuh dulu, yuk?” pinta Mas Satya yang ke sekian kalinya. “Bentar, Mas. Capek ....” Aku mengiba, dan memeluk punggungnya. Menghirup aroma khas dari Mas Satya. “Maaf ....” Ucapan memelas Mas Satya yang entah ke berapa kalinya sungguh menggelitik telinga. Aku sampai bosan mendengarnya.
Baca selengkapnya

BAB 2 : Iparku, Mantanku

Pukul 12 malam.Aku sudah sangat mengantuk. Kepala menempel di meja yang dingin. Namun, aku paksakan untuk tetap terjaga. Ini semua terjadi karena aku malas pulang, maka aku memilih untuk lembur mengambil shift malam dan besoknya bisa tidur dengan bebas.Padahal, aku sudah minum satu cangkir kopi. Kenapa efeknya cepat sekali menghilang?Aku memainkan layar ponsel dengan malas. Mode pesawat sudah diaktifkan sejak dua jam yang lalu, saat Mas Satya mulai mengirimkan puluhan pesan. Aku muak. "Mbak Dina, kalau sudah mau pulang, pulang saja. Mbak kan ndak terbiasa jaga malam. Nanti malah pingsan kayak tadi," sahut Milka dari ruang paling dalam."Nggak papa, Mil. Aku bisa kok." Memang, tengah malam begini, tidak terlalu banyak yang beli. Paling hanya 5 atau 6 orang dalam satu malam."Ya udah, Mbak. Milka ke dalam dulu, ya? Susun bunga. Mbak kalau ngantuk, istirahat saja. Kita gantian jaga nanti."Aku mengiyakan usulan Milka. Mata mulai terpejam, tidak peduli dengan tempatku tertidur ini. N
Baca selengkapnya

BAB 3 : Bertemu untuk Merindu

Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal."Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini."Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit."Kok balas sewot sih, Din?""Terus apa?""Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?""Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, m
Baca selengkapnya

BAB 4 : Pikiran Negatif

"Sholat subuh, yuk?"Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku."Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam? Tidak biasanya dia begini.Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.Kinanti.Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram. Gawa
Baca selengkapnya

BAB 5 : Rahasia yang Selalu Ditutupi

Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati. Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.  Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.  Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?  Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari ras
Baca selengkapnya

BAB 6 : Zia dan Nasehatnya

A. Kenzie R. [Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?][Angkat telpon aku][Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang][Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?][Plis, lah kabarin kalau online, Din][P][P][Ping][Samlekum!][Woy] Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.  Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya. 
Baca selengkapnya

BAB 7 : Coba Bertahan, Lagi

"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri.  "Assalamualaikum warahmatullah ...." Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.  Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.  Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.  Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar. Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny
Baca selengkapnya

BAB 8 : Teman Gibah

Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku.  "Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku.  "Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi.  "Satria?" tebak Zia. Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—" "Assalamualaikum." Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk
Baca selengkapnya

BAB 9 : Kepanikan Mas Satya

Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.  Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.  Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.  Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon. "Halo?" sapaku langsung.  Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status