Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.
Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh.Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
Lilin terakhir sudah menyala. Aku tersenyum hangat, seperti suasana di ruangan ini. Tidak sabar rasanya melihat ekspresi wajah Mas Satya setelah melihat kejutan kecil ini. Pasti dia akan bahagia.Kue berukuran sedang berwarna cokelat aku keluarkan dari kotaknya. Di atasnya sudah tertulis indah, 'Happy Anniversary'. Ya. Ini ulang tahun pernikahanku dengan Mas Satya yang pertama.Kue manis ini aku letakkan di atas meja. Kemudian memperhatikan semuanya sekali lagi. Sempurna. Biarkan puluhan lilin ini yang menyala, dan lampu dipadamkan. Tinggal menunggu 10 menit. Mas Satya mengatakan tadi pagi akan pulang jam sembilan. Aku memilih duduk di sebuah sofa panjang yang terletak di dekat sebuah rak buku. Lalu menanti ...Waktu terus berjalan. Jarum tidak pernah berhenti berputar. Namun, Mas Satya belum kunjung datang.Aku menilik lagi ke arah jam. Sudah lebih 30 menit dari yang seharusnya. Mungkin karena terlalu lelah mengurus semua kejutan ini dari tadi, aku jadi mengantuk. Kurebahkan tubuh,
“Sayang ....” Bisikan lembut dari suara bariton yang amat kukenali memanggil kesadaran untuk kembali. Itu panggilan dari Mas Satya. Embusan napas hangat menyentuh leher tatkala seruan lembut tadi menyapa telinga. Aku memaksakan tersenyum pada sosok yang belum terlihat wujudnya karena mata ini belum terbuka. “Sholat subuh, yuk!” Tubuhku terasa berat untuk mengikuti ajakan Mas Satya. Aku memutar posisi berbaring menjadi berhadapan dengan Mas Satya, lalu menyembunyikan wajah di dada bidangnya yang telanjang. “Sayang ....” Aku terkekeh mendengar panggilan Mas Satya diiringi dengan cekikikan geli. Memang, aku sengaja menggesek dadanya dengan hidung, lalu tertawa. “Sudah main-mainnya. Sholat subuh dulu, yuk?” pinta Mas Satya yang ke sekian kalinya. “Bentar, Mas. Capek ....” Aku mengiba, dan memeluk punggungnya. Menghirup aroma khas dari Mas Satya. “Maaf ....” Ucapan memelas Mas Satya yang entah ke berapa kalinya sungguh menggelitik telinga. Aku sampai bosan mendengarnya.
Pukul 12 malam.Aku sudah sangat mengantuk. Kepala menempel di meja yang dingin. Namun, aku paksakan untuk tetap terjaga. Ini semua terjadi karena aku malas pulang, maka aku memilih untuk lembur mengambil shift malam dan besoknya bisa tidur dengan bebas.Padahal, aku sudah minum satu cangkir kopi. Kenapa efeknya cepat sekali menghilang?Aku memainkan layar ponsel dengan malas. Mode pesawat sudah diaktifkan sejak dua jam yang lalu, saat Mas Satya mulai mengirimkan puluhan pesan. Aku muak. "Mbak Dina, kalau sudah mau pulang, pulang saja. Mbak kan ndak terbiasa jaga malam. Nanti malah pingsan kayak tadi," sahut Milka dari ruang paling dalam."Nggak papa, Mil. Aku bisa kok." Memang, tengah malam begini, tidak terlalu banyak yang beli. Paling hanya 5 atau 6 orang dalam satu malam."Ya udah, Mbak. Milka ke dalam dulu, ya? Susun bunga. Mbak kalau ngantuk, istirahat saja. Kita gantian jaga nanti."Aku mengiyakan usulan Milka. Mata mulai terpejam, tidak peduli dengan tempatku tertidur ini. N
Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal."Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini."Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit."Kok balas sewot sih, Din?""Terus apa?""Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?""Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, m
"Sholat subuh, yuk?"Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku."Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam? Tidak biasanya dia begini.Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.Kinanti.Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram. Gawa
Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari ras