Share

BAB 2 : Iparku, Mantanku

Автор: Es Pucil
last update Последнее обновление: 2024-10-29 19:42:56

Pukul 12 malam.

Aku sudah sangat mengantuk. Kepala menempel di meja yang dingin. Namun, aku paksakan untuk tetap terjaga. Ini semua terjadi karena aku malas pulang, maka aku memilih untuk lembur mengambil shift malam dan besoknya bisa tidur dengan bebas.

Padahal, aku sudah minum satu cangkir kopi. Kenapa efeknya cepat sekali menghilang?

Aku memainkan layar ponsel dengan malas. Mode pesawat sudah diaktifkan sejak dua jam yang lalu, saat Mas Satya mulai mengirimkan puluhan pesan. Aku muak. 

"Mbak Dina, kalau sudah mau pulang, pulang saja. Mbak kan ndak terbiasa jaga malam. Nanti malah pingsan kayak tadi," sahut Milka dari ruang paling dalam.

"Nggak papa, Mil. Aku bisa kok." 

Memang, tengah malam begini, tidak terlalu banyak yang beli. Paling hanya 5 atau 6 orang dalam satu malam.

"Ya udah, Mbak. Milka ke dalam dulu, ya? Susun bunga. Mbak kalau ngantuk, istirahat saja. Kita gantian jaga nanti."

Aku mengiyakan usulan Milka. Mata mulai terpejam, tidak peduli dengan tempatku tertidur ini. Namun, keinginan untuk mencapai alam mimpi gagal karena sebuah cahaya menyorot dari sepasang lampu mobil di depan toko. Aku dengan sigap bangun, memperbaiki penampilan untuk menyambut pembeli.

Salah aku memang, tidak memastikan siapa yang datang karena lampu mobil yang begitu silau. Saat pemilik mobil sudah turun, barulah aku tersentak kaget. Itu Mas Satya dan wajah amarahnya. 

Sebisanya, aku berlari masuk. Namun, kaki panjang Mas Satya dengan cepat menghampiriku, menarik, dan membenturkan diriku ke dinding. Aku meringis kesakitan. Tidak sempat protes apa pun, Mas Satya sudah mengurung tubuh kecil ini.

"Kenapa nggak pulang?" tanyanya langsung. 

Aku bahkan tidak berani menatap matanya saat ia berbicara dengan nada sedingin itu.

"Aku ... aku dapat jaga malam."

"Siapa yang suruh?"

"Lisa ...."

"Kamu jangan bohong, Dina! Aku nggak suka!"

Aku terdiam.

"Aku telpon Lisa tadi. Dia bilang, kamu yang maksa buat piket malam. Kamu ini benar-benar ...." Mas Satya melanjutkan ucapannya dengan memukul tembok dengan kuat.

"Aku ... capek. Nggak bisa pulang, jadi mau nginep di sini."

"Kamu bisa minta tolong Lisa, kan? Atau Zia. Atau telpon aku. Mana HP kamu? Mau aku banting? Nggak ada gunanya punya HP kalau nggak dipake!"

Aku kembali terdiam mendengar teriakannya. Diam ... sambil memendam semua sakit di dalam dada. Kepala juga aku tundukkan dalam-dalam, agar bisa menyembunyikan setiap buliran air mata yang terjatuh. 

Tangan kanan Mas Satya mengusap pipiku, turun sampai dagu, lalu mengangkatnya. Memaksa wajahku untuk mendongak. Bibir kami dipertemukan. Matanya yang terpejam menghipnotisku untuk melakukan hal yang sama: menikmati permainan Mas Satya.

Napasku terengah. Mas Satya melepaskan kulumannya. Dia menyatukan dahi kami, sembari saling mengatur napas. Mas Satya memberikan senyuman manis. Hal itu mendorong bibirku untuk melakukan hal yang sama.

"Ciuman itu obat mujarab buat nenangin suami yang lagi marah," kata Mas Satya yang sangat jauh dari topik tadi. Dia mengecup singkat sekali, lalu menjauhkan wajahnya.

"Kamu tau, Sayang? Aku khawatir pas sampai rumah nggak ada kamu. Padahal, aku pengen gitu ngasih surprise. Jadi gagal total deh." Deru napas berat Mas Satya menerpa wajahku. "Sejak kemarin malam, Mas udah khawatir sama kamu. Kamu pingsan pas kita bercinta. Makanya, Mas larang kamu buat kerja. Apalagi tadi siang ... kamu hampir diinjak orang-orang. Mas nggak bisa bayangin kalau terjadi sesuatu yang berbahaya sama kamu. Saat Mas pengen minta maaf, kamu malah nggak di rumah. Mas khawatir kamu marah banget, terus ngelakuin hal aneh."

Aku tersenyum mendengar penjelasan Mas Satya, lalu melingkarkan lengan di lehernya. "Aku masih waras, Mas. Aku nggak bakalan ngelakuin hal aneh." Kakiku berjinjit, untuk bisa meraih bibirnya.

Mas Satya mengusap pinggangku yang ditutupi seragam khas berwarna merah muda. Di sela-sela kegiatan kami, aku bisa merasakan bibirnya tertarik untuk tersenyum. Aku semakin mendekatkan tubuh.

Mas Satya malah menghentikan adegan manis barusan.

"Mau bercinta di sini, heh?" tanya Mas Satya dengan senyuman menggodanya.  

Aku merona di tempat. Kepala menunduk memperhatikan ubin berwarna putih. Kemudian menyadari sesuatu. Sontak mataku membulat.

Ini masih di toko bunga, dan di sini ... aku tidak sendiri.

Aku langsung memutar kepala ke arah pintu yang menghubungkan ruangan ini dan tempat Milka tadi berada. Benar saja, tubuh kaku gadis itu sudah ada di ambang pintu. Mulutnya sedikit terbuka. Dia memandangku dan Mas Satya dengan tatapan horor.

Aku dan Mas Satya lalu saling memandang menyadari aksi tadi dilihat oleh seseorang. Mas Satya melepaskan tangannya, juga aku.

Milka tampak salah tingkah. Ia menutupi kedua matanya dengan tangannya sendiri.

"Milka ndak lihat apa-apa, Mbak. Beneran." Gadis itu menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk huruf V.

Oh ... shit!

*

Kursi di depan Mas Satya aku tarik, lalu mendudukinya. Mataku melirik takut-takut pada sosok di hadapan yang sibuk mengunyah makanan.

"Mas ...." panggilku hati-hati.

"Mau bicara apa, Sayang?" Mas Satya menanggapi dengan sigap.

"Sebenarnya ... semalam aku sengaja ambil shift malam itu supaya hari ini kita bisa ke rumah Bunda. Bunda ajakin kita makan bareng. Satu keluarga. Ada Mbak Amira sama ... Mas Satria ...." Pelan-pelan, aku mengucapkan nama lelaki di akhir kalimat tersebut.

Aku memperhatikan perubahan wajah Mas Satya yang dulunya biasa saja, kini memasang ekspresi datar tak terbaca. Aku meneguk ludah, takut.

"Mas sibuk, Sayang ...." Mas Satya meraih tanganku yang ada di atas meja agar bisa dia genggam. "Lain kali aja ya?"

"Tapi ini kan permintaan Bunda, Mas. Emang Mas enggak merasa nggak enak apa kalau nolak permintaan Bunda?"

"Mau bagaimana lagi, Yang. Ini sudah jadi pekerjaan dan resiko Mas."

"Aku boleh pergi sendiri? Nggak tega kalau nggak datang."

Perubahan suasana hati Mas Satya datang lagi. Terasa jelas saat dia menggenggam erat tanganku seakan ingin menghancurkannya.

"Jangan terlalu deket sama Satria." Mas Satya melepaskan genggamannya. Tangan kananku langsung memerah.

Menanggapi kecemburuan Mas Satya, aku hanya tersenyum. Aku pindah duduk di samping Mas Satya agar bisa mengecup pipinya.

"Cemburu toh?" 

"Enggak."

Aku tertawa.

"Manis banget, sih?!" Pipi tirus Mas Satya aku tarik. Menggemaskan melihat ekspresinya saat ini. Aku memeluk lehernya dari samping. "Aku selalu cinta sama Mas ... percaya sama aku."

Mas Satya menoleh. Kami sama-sama tersenyum. Aku tetap di posisiku menanti Mas Satya yang semakin mendekat. Bibir kami bertemu. Dia mungkin terburu-buru. Memasukkan lidahnya bersama dengan makanan yang masih di mulutnya. Sontak aku menarik kepala dengan wajah masam, dan Mas Satya malah tertawa.

"Makan dulu. Mau Mas suapin pakai lidah?"

"Nggak usah. Aku bisa makan sendiri."

Aku pindah lagi ke kursi semula. Selalu saja. Berdekatan dengan lelaki satu ini membuatku sulit menahan pesonanya. Untungnya, kami sudah halal. Semuanya menjadi indah dan berpahala.

*

Rumah bercat hijau yang terdiri atas tiga lantai itu masih sama seperti saat terakhir kali aku datang ke sini. Entah kapan, aku sudah lupa karena jarang ke tempat pertemuan pertama kali aku dan Mas Satya ini.

Aku belum mengetuk pintu, tetapi sudah terbuka dan menampilkan sosok Bunda yang mengenakan gamis maroon dengan jilbab senada.

"Menantu tersayang udah sampai ...." Bunda memelukku beberapa saat. Ia memandang ke arah jalan yang baru saja ditinggalkan Mas Satya. Beliau tidak mengatakan apa pun tentang anaknya. Mungkin lelah, atau bosan menasehati Mas Satya.

Kami berdua masuk ke rumah, langsung ke ruang keluarga yang sudah ada Mas Satria dan Amira di sana. Sedang menonton televisi.

"Nggak datang lagi, si Satya?" Satria menyahut.

Sungguh, dalam daftar orang-orang yang malas aku temui, Satria menempati nomor 2 setelah Lisa. Apalagi ucapan-ucapan menyindir Satria untuk Mas Satya sering membuatku muak. 

Aku bergeming, dan duduk di sebuah sofa tunggal yang jauh dari Satria. Bahkan melihatnya benar-benar membuatku malas.

"Hari ini kita ngapain, Bun?" Amira bertanya.

"Shopping, gimana? Jarang-jarang loh bisa kayak gini. Satria sibuk banget di negara orang. Bunda jadi susah mau ketemu menantu sendiri," ujar Bunda, dengan nada dibuat sedih.

"Boleh." Aku dan Amira menjawab hampir bersamaan.

"Enggak!" Satria malah menolak dengan suara nyaris berteriak. Aku menatapnya dengan malas.

"Amira lagi hamil muda, Bun. Kalau masalah shopping, dia bisa lupa waktu. Kalau kecapean, bahaya sama anak kami," lanjutnya, dengan tatapan yang entah mengapa menurutku sangat menjijikkan untuk Amira. 

"Tapi, Mas. Aku juga harus beli susu. Susu di rumah tinggal sedikit," balas Amira.

"Okey. Aku antar, ya? Aku jagain juga."

Aku tersenyum miris di tempat. 

Ya, miris.

Karena dulu, aku pernah berada di posisi Amira. Menjadi yang paling tersayang untuk Satria. Sampai kami harus terpisah karena dia lebih memilih pekerjaannya dan meninggalkanku tepat di hari pernikahan.

"Jadi, sepakat ya. Kita pergi semua?" Bunda bertanya untuk memastikan. "Bunda mau siap-siap dulu."

*

Belanja adalah surganya wanita.

Seharusnya memang demikian adanya. Aku pun hobi berada di mall. Namun, kali ini sangat menjengkelkan dengan Satria yang terus pamer kemesraan dengan Amira. Menyebalkan.

"Oh ya, Dina. Kamu sudah menikah selama setahun, kenapa belum ada kabar kamu hamil? Atau ... Satya suruh rahasiain lagi? Emang nggak pengen punya anak? Kami saja, yang baru menikah empat bulan akan dikaruniai anak." Satria berceletuk santai di tengah-tengah acara makan.

"Satria, jangan terlalu ikut campur urusan orang lain!" tegur Bunda.

Syukurlah. Karena jika aku yang turun tangan menegur lelaki kurang ajar ini, maka aku akan menggunakan garpu untuk menutup mulut sialannya.

"Aku mau ke toilet dulu, Bunda." 

Tanpa menunggu jawaban, aku mendorong kursi menjauh, lalu bergerak meninggalkan keduanya.

Di dalam toilet, aku mencoba menghubungi Mas Satya. Jika dia tidak bisa datang untuk menemaniku, setidaknya dia bisa menjemputku sehingga bisa menghindari Satria.

Pintu toilet tiba-tiba terbuka. Aku tercengang melihat Satria yang muncul, dengan senyuman khasnya; cabul.

"Mata kamu masih kepake, kan? Nggak bisa baca? Di depan udah ada tulisan ini toilet wanita! Kakau mau ke sini, ganti kelamin dulu!" Aku menyemburkan semua amarah yang sedari tadi tertahan. 

"Medina ...." Dia memanggil lirih. Nada bicaranya sama seperti saat kami pacaran dulu, ketika dia mencoba merayuku.

"Apalagi? Mau lanjut nyinyir? Aku bisa siram kamu di sini!" 

Pergerakan Satria terjadi hanya dalam hitungan detik. Untuk sesaat aku kebingungan. Ketika sadar, aku sudah berada dalam pelukannya. 

"Aku kangen kamu, Din ...," bisiknya.

Aku mendorong keras dada Satria.

"Aku sudah menikah! Kamu jangan kurang ajar! Aku bisa lapor sama Mas Satya!" ancamku.

"Apa aku harus takut sama adik aku sendiri?" Dia menantang.

Aku menekan icon call lagi. Harap-harap cemas semoga Mas Satya mau mengangkat telponku. Namun ...

"Balikin!" pekikku kala ponsel itu sudah ada di tangan Satria.

"Beberapa menit saja, Dina. Aku cuman mau minta maaf sama kamu." 

"Minta maaf buat apa? Lagian, aku udah nggak peduli sama kamu!" Aku berusaha keluar dari toilet. "Kalau mau ambil itu HP, silakan. Mas Satya masih bisa beliin banyak buat aku."

Pintu toilet akan aku buka, tetapi tubuhku mendadak kaku saat Satria memeluk dari belakang. Tangannya malah mencengkeram pinggangku dengan erat.

"Aku masih cinta sama kamu, Din. Kamu juga, kan?"

Aku tertawa garing. "Cinta sama kamu? Nggak! Mas Satya lebih segala-galanya dari kamu! Yang pasti, Mas Satya juga nggak ninggalin aku tanpa kejelasan kayak kamu dulu!"

"Kamu nggak bisa bohong, Dina. Kamu tadi cemburu lihat aku sama Amira, kan?" 

"Sama sekali enggak. Aku cuman pengen mual liat kamu. Sumpah demi apa pun. Kebodohan terbesar aku itu pernah jatuh cinta sama perhatian palsu kamu." Aku memaksa ingin terlepas dari pelukannya. Gagal.

"Aku mau kita balik kayak dulu lagi, Dina." 

Cukup sudah! Semua ucapannya membuatku kesal. Aku memutar badan menghadap Satria, lalu melayangkan telapak tangan sekeras-kerasnya di pipi kirinya.

Terlepas sudah.

*

Комментарии (1)
goodnovel comment avatar
Sita Citra Nurani
bisa jd konflik klg thor
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Related chapter

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 3 : Bertemu untuk Merindu

    Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal."Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini."Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit."Kok balas sewot sih, Din?""Terus apa?""Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?""Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, m

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 4 : Pikiran Negatif

    "Sholat subuh, yuk?"Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku."Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam? Tidak biasanya dia begini.Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.Kinanti.Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram. Gawa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 5 : Rahasia yang Selalu Ditutupi

    Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari ras

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 6 : Zia dan Nasehatnya

    A. Kenzie R.[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?][Angkat telpon aku][Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang][Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?][Plis, lah kabarin kalau online, Din][P][P][Ping][Samlekum!][Woy]Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya.

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 7 : Coba Bertahan, Lagi

    "Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri."Assalamualaikum warahmatullah ...."Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 8 : Teman Gibah

    Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 9 : Kepanikan Mas Satya

    Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 10 : Mulai Mencari Tahu

    Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit."Aku ... mau napas," ucapku parau.Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit."Kenapa, Sayang?"Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega."Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela men

Latest chapter

  • Catatan Luka Istri Rahasia   Epilog

    Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 43 : Pernikahan Impian

    "Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 42 : Kegigihan Satya

    Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 41 : Menantu tanpa Restu

    Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 40 : Pertahanan Egois

    Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 39 : Perdebatan Batin

    Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 38 : Pertentangan

    Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 37 : Ayo, Pisah!

    "Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 36 : Sekumpulan Bukti

    Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk

DMCA.com Protection Status