“Sayang ....” Bisikan lembut dari suara bariton yang amat kukenali memanggil kesadaran untuk kembali. Itu panggilan dari Mas Satya.
Embusan napas hangat menyentuh leher tatkala seruan lembut tadi menyapa telinga. Aku memaksakan tersenyum pada sosok yang belum terlihat wujudnya karena mata ini belum terbuka.“Sholat subuh, yuk!”Tubuhku terasa berat untuk mengikuti ajakan Mas Satya. Aku memutar posisi berbaring menjadi berhadapan dengan Mas Satya, lalu menyembunyikan wajah di dada bidangnya yang telanjang.“Sayang ....”Aku terkekeh mendengar panggilan Mas Satya diiringi dengan cekikikan geli. Memang, aku sengaja menggesek dadanya dengan hidung, lalu tertawa.“Sudah main-mainnya. Sholat subuh dulu, yuk?” pinta Mas Satya yang ke sekian kalinya.“Bentar, Mas. Capek ....” Aku mengiba, dan memeluk punggungnya. Menghirup aroma khas dari Mas Satya.“Maaf ....”Ucapan memelas Mas Satya yang entah ke berapa kalinya sungguh menggelitik telinga. Aku sampai bosan mendengarnya.“Aku capek dengerin ucapan ‘maaf', Mas. Enek dengernya tau, nggak?” Aku mengangkat wajah dan membuka mata, menemukan senyuman manis Mas Satya yang selalu menjadi candu. Aku mengecupnya ringan.“Kamu kan capek gara-gara Mas juga. Mas sudah bikin kamu nunggu, eh malah bikin kamu capek juga di ranjang.” Mas Satya membalas perlakuanku tadi dengan hal lebih. Jika aku hanya mengecup, dia malah melumat. Lembut, menghanyutkan. “Setelah sholat subuh nanti. Kalau kamu mau tidur, silakan. Kalau perlu, nggak usah kerja dulu. Cuti sekali-kali nggak papa, Sayang.”Aku menggeleng. Lalu menelusupkan wajah di dada Mas Satya lagi.“Nggak. Aku suka kerja.”Karena dengan bekerja, aku bisa lupa dengan semua sakit di dalam hati.“Okey. Tapi jangan dipaksakan. Kesehatan kamu jauh lebih penting!”Mas Satya memegang wajahku, menengadahkannya. Mengecup lagi. Sekali ... dua kali ... berkali-kali ... sampai aku kegelian. Apalagi saat bibirnya sudah menyentuh pipi, turun ke dagu, sampai ke leher.“Udah, Mas. Udah ....” Aku terkikik geli, sembari mencoba menahan kepalanya.“Yaudah bangun, sholat!” pintanya, dengan nada tegas.Dengan malas, aku bangun, mengambil posisi duduk. Selimut juga aku tarik hingga dada agar tidak terlalu mengekspos bagian tubuh.“Mandi duluan, atau bareng, Sayang?”Mas Satya ikut bangun, lalu mencium puncak kepalaku.“Duluan aja, Mas. Kan Mas mau ke masjid.”“Istri Mas ini perhatian banget ....” Mas Satya menarik hidung minimalis milikku, sampai aku meringis sakit. Dia tertawa, lalu mengecup bekas tarikannya.Mas Satya bergerak cepat. Mengambil celana pendeknya, dan berjalan ke kamar mandi sambil bersenandung ringan. Sepertinya sangat bahagia, berbanding terbalik dengan apa yang kurasa.Gelisah.Jujur, rasa takut kehilangan sering menghantui. Apalagi setelah salat subuh nantinya, Mas Satya akan langsung ke tempatnya bekerja. Pulang, entah jam berapa.Mas Satya selalu mengatakan, bahwa ini demi kebaikanku. Ada banyak fans Mas Satya, tetapi tidak bisa dijamin bahwa semuanya baik. Jika hubungan kami disebarkan, keadaanku katanya akan berada dalam bahaya.Sampai sekarang, aku mencoba bertahan. Entah sampai kapan. Tapi aku tetap selalu berharap, nantinya, Mas Satya akan menjadi milikku. Seutuhnya.*Teh dalam cangkir masih mengepulkan asap, tetapi aku langsung menyesapnya. Hanya beberapa kali hisapan, aku meletakkannya lagi di atas meja. Saat-saat istirahat seperti ini, rasanya bak di surga.Aku bekerja di sebuah toko bunga, sederhana, tetapi terkenal. Sebenarnya ini milik Mas Satya, yang diwakilkan pada seorang iblis wanita bernama Lisa. Di tempat ini, aku memiliki teman. Zia namanya.Sebenarnya, kami sudah dari SMA bersahabat, dan dipertemukan lagi di tempat ini.Sementara aku sibuk membaca majalah di tangan, Zia berceletuk tidak jelas sambil menonton televisi.“Ya Allah ... Ma syaa Allah ... Mas Satya gantengnya kebangetan. Hatiku ... ya Allah, meleleh. Duh, senyumnya ... manis banget sih! Astaga!”Itu sebagian dari ocehan Zia. Aku hanya menggeleng beberapa kali menanggapinya.“Jangan terlalu kagum sama orang. Nanti susah move on-nya,” sahutku, tak acuh.“Terlambat, Dina ... udah terlambat. Aku udah suka sama Mas Satya yang manis ... ugh! Rasanya pengen langsung bawa ke KUA,” ucapnya.Cemburu? Tentu aku merasakan itu. Namun, mau bagaimana lagi? Aktor dan dikagumi oleh semua perempuan adalah dua hal yang tidak dipisahkan dari diri Mas Satya.“Yaudah, cepetan move on. Nanti kalau dia udah nikah, kamu patah hati lagi.”Bukan tanpa alasan aku mengatakan itu. Zia sahabat baikku, dan aku tidak ingin dia kecewa nantinya setelah tahu pujaan hatinya ternyata sudah menikah dengan orang lain. Aku sendiri.“Nanti lah. Kalau Mas Satya udah sebar undangan.”“Kalau Mas Satya sebar undangan baru mau move on, nanti kamu sakit hati, loh!”“Males sekarang, Din. Lagian, aku nggak punya alasan buat move on.”“Alasan kamu move on adalah, dia belum tentu jodoh kamu.”“Kamu kok kayak gini, Din? Bukannya dulu kamu optimis banget, ya?”“Udahlah, Zi. Dengerin aja apa kata aku, supaya kamu nggak nyesel nanti.”“Ya ... iya!” Zia memutar bola matanya malas.“MEDINA AZ ZAHRA!”Aku dan Zia sama-sama tersentak mendengar bentakan dari suara cempreng milik si Iblisa. Ah, aku malas melihat dirinya.“Ada apa, Bu?”Hanya karena statusnya sebagai bos, maka aku berusaha bersikap sopan. Meski dalam hati sudah mendumel atas kelakuan iblisnya.“Kamu masih punya lubang telinga, tidak? Saya dari tadi panggil kamu. Kenapa tidak menyahut?” bentaknya, memuakkan.Seandainya bisa, aku pun ingin menutup gendang telinga mendengar suaranya itu.“Maaf, Bu,” ucapku setelah menghela napas.“Antar bunga ini! Kamu yang mengurus pesanan bunga Salsabila Mutia. Dia tadi telpon saya, dia sedang ada di lokasi shooting Mas Satya. Kamu antar ke sana. Lalu balik ke sini!”Aku mengiyakan dengan malas perintahnya. Menerima bunga itu, dan segera menjalankan tugas dengan menggunakan motor matic merah kesukaanku.Terkadang, aku merasa paling beruntung di dunia.Tidak bisa dibayangkan berapa banyak fans Mas Satya. Bahkan, hampir di seluruh penjuru negeri, pasti mengenal Mas Satya. Dan dia hanya memilihku sebagai seorang istri. Padahal, bisa saja Mas Satya membuat sebuah acara, misalnya, untuk memilih wanita tercantik, terpintar, dan terbaik untuk menjadi istrinya.Memang, aku beruntung.Sambil senyam-senyum, aku melalui jalan raya yang terik juga sedikit macet. Sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang terdapat ratusan manusia. Kebanyakan mungkin wanita. Mereka pasti fans Mas Satya.Aku menyelipkan tubuh kecil ini di antara lautan manusia. Sesekali berjinjit untuk mencari pemilik bunga yang aku bawa ini.Sampai di garis perbatasan, belum juga aku temukan. Sepertinya ini tugas berat, apalagi dengan banyaknya orang di sini. Aku berdecak pelan.Matahari tepat di atas kepala, membuatku begitu kepanasan. Ditambah lagi dengan keadaan sesak seperti ini. Kepalaku mulai pusing, tetapi aku memaksa berputar balik.Namun, dorongan dari belakang begitu kuat. Tubuhku tersungkur melewati garis pembatas. Aku meringis. Perih di kedua telapak tangan. Beberapa petugas segera menarikku dengan kasar.“Cepat keluar!” bentak penjaga berbadan besar dengan kulit hitam.“Ma –maaf ....” Aku belum menyelesaikan dengan baik ucapanku, saat dia langsung mendorong hingga aku menabrak kerumunan orang-orang. Kepalaku semakin pusing dibuatnya.Pandangan tiba-tiba menggelap. Tubuh ini terasa berat untuk dikendalikan. Untuk kedua kalinya aku ambruk. Lalu ...Gelap.*“Sayang ...?”Aku membuka mata mendengar suara yang sangat kukenal. Mas Satya. Aku menoleh ke arahnya. Sesekali, aku memejamkan mata saat pandangan kembali menggelap.“Kan aku sudah bilang tadi, Dina. Jangan berangkat bekerja! Kamu kenapa ngotot banget, sih? Jaga kesehatan kamu! Itu penting! Apa yang harus aku katakan sama papa kamu kalau kamu kenapa-napa?!”Jantungku terasa dihentak kuat mendengar bentakannya barusan. Aku segera memalimgkan wajah ke arah lain, agar tetesan cairan bening yang memaksa keluar tidak terlihat oleh Mas Satya.“Sayang ....” Mas Satya memanggil, dengan nada lebih pelan dari sebelumnya.Aku merasakan sentuhan di punggung tangan, kemudian terangkat dalam genggaman Mas Satya.“Kamu tau, Mas khawatir banget saat lihat kamu hampir diinjak-injak orang. Mas sampai harus ninggalin acara tadi karena khawatir sama kamu. Kamu tau sendiri kan, itu acara langsung. Bagaimana kalau orang lain curiga hubungan kita nanti?”Aku menghela napas kesal, lalu menghentakkan tangan Mas Satya setelah mendengar penjelasannya.“Ya udah. Balik lagi aja sana! Aku nggak papa kok!”“Dina, jangan marah begitu.”“Aku nggak marah, Mas.”“Kenapa bicara kamu kayak gitu? Harusnya aku yang kesal di sini! Acara aku jadi berantakan demi nolong kamu! Dan kamu kayak gini gara-gara keras kepala kamu!” Mas Satya balas membentak.Aku memaksa untuk bangun.“Makanya! Balik lagi aja sana! Aku nggak papa! Aku nggak butuh kamu di sini! Pergi!”“DINA! JANGAN BENTAK AKU!”Nyaliku seketika menciut, melihat bagaimana Mas Satya berteriak sampai urat-urat lehernya menegang.“Satya, ada apa?” Muncul suara baru dari arah pintu.“Biasa, Kin. Fans. Minta peluk. Aku kan nggak nerima yang kayak begitu. Selfie boleh, peluk jangan.” Mas Satya membalas lembut ucapan Kinanti.Aku mendecih dalam hati.“Oh gitu. Aku kira ada apa.” Kinanti terdiam untuk sesaat. “Balik yuk, Sat. Orang-orang lagi nungguin kita. Kamu juga dipuji-puji tadi. Udah kayak hero, nolongin fans-nya yang pingsan.”Mas Satya melirik padaku sekilas, yang kubalas dengan mengalihkan pandangan. Keduanya berlalu.Kemudian, aku menangis.Aku ternyata tidak terlalu beruntung.*Pukul 12 malam.Aku sudah sangat mengantuk. Kepala menempel di meja yang dingin. Namun, aku paksakan untuk tetap terjaga. Ini semua terjadi karena aku malas pulang, maka aku memilih untuk lembur mengambil shift malam dan besoknya bisa tidur dengan bebas.Padahal, aku sudah minum satu cangkir kopi. Kenapa efeknya cepat sekali menghilang?Aku memainkan layar ponsel dengan malas. Mode pesawat sudah diaktifkan sejak dua jam yang lalu, saat Mas Satya mulai mengirimkan puluhan pesan. Aku muak. "Mbak Dina, kalau sudah mau pulang, pulang saja. Mbak kan ndak terbiasa jaga malam. Nanti malah pingsan kayak tadi," sahut Milka dari ruang paling dalam."Nggak papa, Mil. Aku bisa kok." Memang, tengah malam begini, tidak terlalu banyak yang beli. Paling hanya 5 atau 6 orang dalam satu malam."Ya udah, Mbak. Milka ke dalam dulu, ya? Susun bunga. Mbak kalau ngantuk, istirahat saja. Kita gantian jaga nanti."Aku mengiyakan usulan Milka. Mata mulai terpejam, tidak peduli dengan tempatku tertidur ini. N
Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal."Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini."Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit."Kok balas sewot sih, Din?""Terus apa?""Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?""Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, m
"Sholat subuh, yuk?"Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku."Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam? Tidak biasanya dia begini.Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.Kinanti.Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram. Gawa
Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari ras
A. Kenzie R.[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?][Angkat telpon aku][Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang][Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?][Plis, lah kabarin kalau online, Din][P][P][Ping][Samlekum!][Woy]Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya.
"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri."Assalamualaikum warahmatullah ...."Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny
Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk
Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini
Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng
"Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk
Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk