"Sholat subuh, yuk?"
Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku.
"Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi?
Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya.
Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam?
Tidak biasanya dia begini.
Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal.
Kinanti.
Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram.
Gawai aku angkat kembali. Memilih opsi kontak, dan menelpon nomor paling atas dalam riwayat telepon: Mas Satya. Setelah menekan tombol call, hape aku tempelkan di telinga.
Setiap nada sambung yang terdengar membuat jantungku berdetak kasar. Apalagi sampai ke lima kalinya, Mas Satya sama sekali tidak menjawab. Aku lelah.
[Mas, lagi di mana?]
Pesan itu aku kirim melalui aplikasi perpesanan online berwarna hijau tua.
Layar berubah gelap. Aku meletakkannya samping kamar. Telapak tangan bergerak, mengusap tempat Mas Satya tidur.
Kenapa sulit sekali menjalani hidup bersama orang yang aku cintai? Seolah-olah, aku tidak pantas untuk merasakan bahagia dalam urusan asmara. Mungkin benar kata Zia, kalau aku sial dalam hal ini.
Sebelumnya, Satria yang meninggalkanku tepat hari pernikahan demi mengejar mimpinya sebagai pengusaha sukses.
Lalu, Mas Satya yang dulunya menjadi sosok pahlawan menyelamatkan pernikahanku, tetapi kini juga sering menghilang. Bahkan, dia menyembunyikan status kami ini.
Dasar cengeng! Hanya meratapi nasib, tetapi air mata malah bergulir menyusuri pipi. Aku segera mengusapnya kasar.
Dering ponsel terdengar nyaring, membuatku tersentak.
Nama 'My Hubby' membuatku bersemangat untuk menggeser icon hijau, lalu menempelkan layar dingin di telinga. Bibirku menyunggingkan senyum, bahkan sebelum Mas Satya berbicara.
"Halo, Dek?"
"Mas? Mas di mana sekarang? Kenapa belum pulang?" Tanpa sadar aku memekik.
"Lagi kerja-"
"Sat, aku mau bicara sama sepupu kamu dong. Boleh ya?"
Mataku membulat mendengar suara Kinanti dari telepon. Sekali lagi, aku melirik jam. Pukul setengah lima pagi. Serius mereka kerja sepagi ini?
"Bentar, Kinanti!" Kini Mas Satya yang bicara. "Mas nanti datang ke rumah Nenek kok. Nggak bakalan lupa." Dia lalu terkekeh ringan.
Sementara aku kecewa lagi mengetahui Mas Satya berbohong demi menyembunyikan status kami.
Sepupu?
Aku ingin tertawa sakit karena itu.
"Iya, Mas. Assalamu alaikum ...." Sambungan aku tutup sepihak.
Sulit sekali menjelaskan perasaan buruk yang mulai menguasai diriku. Kecewa karena Mas Satya tidak pernah pulang; kesal Mas Satya bersama wanita lain; dan marah karena Mas Satya berbohong lagi.
Semua perasaan buruk itu sudah menumpuk tinggi, sampai aku bingung harus mengeluarkannya bagaimana. Ingin marah, tapi siapa yang peduli? Mau berteriak, ah itu jelas tidak akan membantu.
Lalu, aku hanya bisa terdiam dengan satu-satunya opsi di sini: menangis tanpa suara.
*
Teh hangat satu gelas, dengan cepat aku habiskan. Lalu memukul perut ringan. 'Jangan sakit lagi. Aku mau kerja!' Begitu pinta tanpa suaraku pada perut yang masih saja sedikit nyeri. Tambahan panas matahari yang menyengat, tubuhku terasa gerah dengan beberapa bulir keringat di wajah.
Penyiksaan yang sempurna.
"Dina!"
Aku menoleh pada Lisa yang sibuk memeriksa isi tasnya.
"Inget! Kamu nanti jangan pulang terlambat! Jangan terlalu capek! Dan jangan bikin repot orang! Saya mau pergi, nanti Zia yang gantiin saya." Begitu deretan perintahnya, yang aku yakini salinan dari Mas Satya.
"Iya, Bu."
Wanita itu kemudian berlalu. Kemudian menghentikan taksi dan benar-benar hilang dari pandangan.
"Assalamualaikum!"
Aku terlalu fokus pada Lisa, sampai salam tersebut membuatku terkejut.
"Wa-alaikumussalam." Aku tersenyum kikuk pada Milka yang tersenyum lebar.
Masalah insiden kemarin, dia tidak berpikir aneh-aneh kan? Atau ... dia tidak cerita pada orang lain, kan? Aku lupa dengan fakta bahwa ada orang lain yang memergoki hubunganku dengan Mas Satya.
Sebelum masuk toko, Milka menoleh kanan-kiri.
"Demi apa, Mbak ternyata udah nikah sama Mas Satya!" Milka memekik tertahan. Dia menjaga suaranya, membuatku bingung.
Apa dia tahu rahasia-
"Kemarin kan, aku mau laporan sama Bu Lisa masalah anu itu ... astagfirullah, ya Allah-" Milka menengadah dengan ekspresi bersalah, tetapi sembari tersenyum, "mataku udah terkontaminasi. Tapi nggak papa. Eh, pas aku cerita, Bu Lisa langsung larang aku cerita ke orang lain. Kenapa sih? Kenapa harus disembunyiin? Kan keren banget gitu, Satya si aktor terkenal menikahi Medina Az-Zahra. Wuiiih ... Kalau aku ya, Mbak, udah aku umumin ke seluruh pelosok negeri. Supaya semua orang tau, Mas Satya udah ada yang punya, dan yang lain nggak boleh deketin."
"Ish kamu!" Aku menunduk. Pikiranku sama dengan Milka, dan mungkin semua wanita: ingin memiliki suami mereka seutuhnya. Tapi di sini, aku ada yang menahan.
"Mbak kenapa nggak publikasikan hubungan Mbak?" tanya Milka lagi.
Mungkin karena sudah terbiasa menutupi hubungan, aku jadi lancar mencari alasan bohong. "Aku nggak suka jadi perhatian."
Milka membulatkan mulutnya seraya mengangguk-angguk.
"Eh, Milka ada di sini? Mau beli apa?" Zia datang tanpa aba-aba. Dia tersenyum hangat selayaknya penjual pada pembeli, tetapi terkesan mengejek.
"Ada deh." Milka tersenyum bangga. "Mbak, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum!"
Milka langsung keluar sebelum kami membalas.
"Wa alaikumussalam."
"Itu dia kenapa, Din? Kek gesrek-gesrek gitu otaknya." Zia meletakkan beberapa buket bunga di depanku.
"Nggak tau."
"Ini mau diantar, Din. Kamu bisa antarnya? Kalau nggak bisa, aku sendiri yang bakal antar."
"Nggak papa. Bisa kok."
Nyeriku sudah berkurang.
*
Tempat tidur yang bergerak mengganggu kesadaranku. Sedikit membuka mata untuk melihat sekitar, dan menemukan Mas Satya sudah berbaring di sampingku. Memeluk erat.
Tidur ingin aku lanjutkan. Tapi, dicegah oleh sebuah pertanyaan yang membuatku merasa tidak nyaman, namun terlalu malas mengucapkannya.
Mengubah posisi, mencari yang nyaman agar bisa tertidur lelap. Tapi (lagi) suara gemuruh ringan ikut mengganggu. Sampai, aku lelah menghindar.
"Mas udah makan?" Pertanyaan sederhana ini terus mengganggu, tetapi aku malas mengutarakannya karena masih jengkel dengan Mas Satya.
Mata Mas Satya spontan terbuka. Lalu menggeleng samar. "Nggak. Masih kenyang."
Aku mengangguk pelan, lalu membelakanginya. Tetap terjaga dengan mata menatap kosong ke depan.
Huh, katanya masih kenyang. Tapi gemuruh di perutnya sampai terdengar keras. Aku mendengkus.
Aku langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Ikat rambut di atas nakas aku pakai, lalu mencepol rambut secara asal.
Sekuat bagaimanapun aku mencoba tidak peduli, tetap saja gagal. Bahkan, meski dalam keadaan kesal pada Mas Satya, aku tetap tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Saat akan ke dapur, mataku menangkap bayangan benda pipih berwarna hitam di samping bantal Mas Satya. Ponselnya. Jemariku saling meremas, bimbang. Tapi di sisi lain aku penasaran dengan isi benda itu. Bahkan, Mas Satya bisa dengan leluasa mengecek ponselku, jadi, apa salahnya jika aku mengecek sedikit?
Kalau Mas Satya tipe setia, seharusnya tidak ada hal aneh di dalam benda itu. Tapi jika sebaliknya ... aku akan semakin sakit hati. Aku harus memastikannya.
Mengendap-endap, aku menghampiri sisi Mas Satya. Terlalu mudah, aku menarik benda persegi tersebut. Lalu berlari kecil keluar kamar.
Benda pipih itu aku letakkan di atas meja. Sekarang, memanaskan nasi adalah yang utama. Lalu membuat telur dadar.
Sambil memasak, aku mengecek ponsel Mas Satya. Tapi sialnya, gawai Mas Satya ini dilengkapi dengan Kata Sandi.
Tiga kali kesempatan. Aku hanya boleh mencoba dua kali. Jika gagal, ya harus menyerah.
Apa sandinya? Nama lengkap Mas Satya mustahil. Tanggal lahirnya apalagi.
Namaku? Bisa saja kan? Karena tidak ada yang tahu bahwa aku adalah istrinya.
Mencoba 'Medina Az-Zahra'. Gagal. Aku menggigit bibir bawah bingung. Sisa satu kesempatan lagi. Tanggal lahirku, atau tanggal pernikahan kami?
Salah satu dari dua itu seharusnya adalah kata sandi ponsel ini. Coba dua kali saja? Tapi jika gagal untuk ketiga kalinya, ponsel ini bisa diblokir, dan itu akan membuat Mas Satya curiga.
Aku secara ragu menekan setiap angka tanggal, bulan, dan tahun pernikahan kami. Lalu tanda centang setelahnya.
Gagal lagi.
Jadi, seharusnya adalah tanggal lahirku.
Aku ingin mencoba lagi dengan penuh kehati-hatian. Namun, sebelum semua angka aku masukkan, ponsel bergetar dengan suara nyaring. Aku nyaris melempar benda ini saking terkejutnya.
Kinant!
Begitu nama yang tertulis di layar. Aku semakin geram. Apa yang ingin dibicarakan wanita itu jam segini? Dengan telepon tengah malam begini, aku semakin yakin, ada sesuatu dalam ponsel ini.
"Dina, itu bau apa?"
Aku terkejut lagi, dan kali ini benar-benar kehilangan keseimbangan sehingga ponsel Mas Satya jatuh. Belum sempat mengambilnya, perhatianku diambil alih oleh bau yang tidak enak-bau hangus.
Telur dadar!
Aku langsung lari masuk ke dalam dapur dan mematikan kedua kompor. Nasi tidak masalah, tapi telurnya ... benar-benar hitam. Shit!
Lalu teringat lagi, ponsel Mas Satya tadi tergeletak di lantai. Kembali lagi ke ruang makan, benda itu sudah ada di tangan Mas Satya. Aku membatu di tempat saat dia menatapku tajam-benar-benar marah.
"Sejak kapan kamu mulai kepo sama hal pribadi aku, Dina?" Pertanyaan dengan nada dingin itu benar-benar menakutkan.
Aku harus meneguk ludah dua kali sebelum menjawab dengan tantangan. "Mas punya rahasia dari aku."
"Semua orang punya rahasia, Dina. Dan ini urusan pribadi aku. Kamu nggak perlu ikut campur."
"Kenapa? Mas Satya aja bebas tuh, mau apain hape aku. Bahkan, Mas blokir semua teman pria di sosial media aku, aku nggak masalah. Kenapa Mas sampe segininya, padahal aku bahkan nggak bisa buka sandinya." Sejak kemarin, Mas Satya benar-benar membuat tumpukan kesalku semakin menggunung, dan aku pikir sekarang waktunya mengeluarkan semua. "Mas punya rahasia besar, kan, di sana? Apa? Mas punya chat romantis sama Kinanti? Mas sering telponan sama Kinanti sampai tengah malam? Ah atau, Mas punya rencana keluar sama Kinanti tengah malam? Rahasia apa, Mas? Kenapa aku nggak boleh tahu?"
"Ini bukan hal penting. Bukan seperti yang kamu pikirkan." Nada suaranya mulai bersahabat. Aku bisa bernapas lega, karena suaranya tadi, aku benar-benar ketakutan dibuatnya.
"Bukan hal penting? Tapi kenapa dia sampai telpon tengah malem begini? Urusan kerjaan? Kenapa bukan produser, atau siapapun itu yang telpon kamu? Kenapa harus Kinanti?"
"Sayang, jangan berpikiran buruk-"
"Gimana aku nggak berpikiran buruk, kalau kamunya aja nggak mau bicara jujur." Aku tanpa sadar menaikkan intonasi suara. Lalu setelah itu, menormalkan ekspresi. Aku harus tenang. "Udah satu tahun kita nikah, Mas. Aku mulai capek main rahasia-rahasiaan kayak gini. Aku udah nggak tau, sampai kapan bisa sabar lagi."
Setelah aku mengeluarkan semua unek-unek tadi, aku langsung menuju kamar. Membanting tubuh di atas tempat tidur. Lalu menutup mata.
*
Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari ras
A. Kenzie R.[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?][Angkat telpon aku][Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang][Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?][Plis, lah kabarin kalau online, Din][P][P][Ping][Samlekum!][Woy]Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya.
"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri."Assalamualaikum warahmatullah ...."Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny
Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk
Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany
Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit."Aku ... mau napas," ucapku parau.Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit."Kenapa, Sayang?"Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega."Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela men
Turun dari mobil, Satya langsung membanting pintu mobilnya dengan tatap dingin mengarah ke jendela lantai dua yang terbuka. Di sana, Satria tersenyum mengejek dengan salah satu tangan memegang ponsel, sama seperti yang Satya lakukan."Turun sekarang, buka pintunya!" titah Satya, tanpa intonasi."As you wish, Brother." Satria menutup jendela beserta gordennya.Sambungan telepon masih terus berlanjut, tetapi tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Sampai pintu utama sudah terbuka. Satya mematikan sambungan secara sepihak, lalu masuk ke dalam."Kenapa kayak kebalik, ya, Sat?" Satria bergumam saat menutup pintunya kembali. "Harusnya gue yang marah karna lo udah ambil calon istri gue. Kenapa malah lo yang dingin kayak gini? Takut bini lo gue ambil lagi.""Shut up!" Satya menoleh sedikit pada kakaknya untuk memberi peringatan. "Dina di mana?"
Dari sebelumnya memegang tangan, Mas Satya berubah merangkul pundakku memperkenalkan rumah sederhana yang akan menjadi tempat tinggal kami ke depannya. Hanya satu lantai, dengan luas pas untuk kami berdua."Ini nggak semewah dulu. Soalnya, kita bakalan lebih sering keluar nanti, jadi kalau rumahnya kecil, mudah dibersihinnya. Kalau kebesaran kayak dulu, kamu nanti kerepotan urus dua pekerjaan sekaligus. Kamu suka, Sayang?" Mas Satya menjelaskan.Kami duduk di sofa. Masih dalam rangkulannya, aku mengangguk pelan."Suka. Pas buat kita berdua," jawabku."Syukur deh. Aku takutnya kamu nggak nyaman sama rumah sempit.""Sempit apanya?" Aku langsung membantah. "Ini pas banget buat kita berdua. Nanti kalau udah ada anak banyak, baru deh dipikirin buat besarin rumah." Aku menengadah sedikit melirik Mas Satya, berharap kode ingin memiliki anak bisa dia dengarkan.&nb
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini
Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng
"Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk
Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk