Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.
Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.
Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.
Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?
Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari rasa malu saat Satria pergi di hari pernikahan. Apalagi, aku juga sudah sangat mencintainya.
Mengenai pilihan kedua, sejujurnya aku sedikit takut jika yang dikhawatirkan Mas Satya benar-benar terjadi. Bagaimana jika memang benar ada sejumlah fans yang akan menyakitiku jika tahu bahwa Mas Satya sudah menikah?
Wajah kubilas lagi dengan air dingin. Lalu mandi untuk menenangkan pikiran. Setelah itu, keluar untuk bersiap berangkat kerja.
*
Sebelum keluar kamar, sekali lagi aku melirik wajah di cermin. Siap.
Saat menuruni anakan tangga, perutku bergemuruh. Sangat lapar. Sementara sekarang aku terlalu malas membuat sarapan, meski waktu masih terlalu pagi. Mungkin, cari makan saja di jalan nanti.
Melewati ruang tamu, kakiku secara refleks berhenti ketika melihat kain warna hitam di salah satu sofa panjang. Mendekat dengan ragu, aku mendapati Mas Satya tidur pulas di atasnya.
Tidak perlu peduli, pikirku. Toh selama ini dia juga tidak acuh padaku. Dengan mantap, aku menegaskan langkah keluar rumah.
Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja. Kakiku sulit bergerak di depan pintu utama karena terlalu kasihan pada Mas Satya.
Dari semalam, dia lapar. Maag-nya bisa kambuh. Apa dia tidak pegal saat bangun nanti, karena tidur di tempat sempit begitu? Tapi, dia sendiri yang memilih tidur di sofa. Aku tidak pernah melarangnya ke kamar.
Aish! Suara-suara itu mengacaukan fokus. Seharusnya, aku tetap ke garasi mengambil motor, tetapi kaki berkhianat dan malah berbelok ke dapur.
Tas aku letakkan secara asal. Long cardigan warna hitam aku lepaskan sehingga menyisakan kaus khas karyawan toko. Pertama, memasak nasi. Karena yang semalam tidak bisa aku sodorkan pada Mas Satya lagi. Sambil menunggu nasi matang, aku membuat sayur kuah bening, dan juga ayam kecap manis.
"Kamu udah mau berangkat kerja?"
Suara bariton itu membekukan pergerakan tanganku. Setelah menenangkan diri, aku tersenyum tipis beberapa detik tanpa berbalik.
"He'em."
Sayur sudah masak. Aku pindahkan ke mangkok, lalu membawanya ke meja makan. Itu harus melalui Mas Satya, jadi aku terus menatap pada mangkuk agar tidak melirik sedikitpun padanya.
Beruntung, aku bisa melaluinya tanpa halangan. Namun, saat akan mengambil piring, dia mencekal lenganku. Aku terus menghindari kontak mata dengannya.
"Masih marah sama kejadian semalam?"
Aku bungkam, sembari mencoba melepaskan tangan dari cengkeramannya. Berhasil, tetapi saat akan pergi, dia memegang kedua pipiku dengan kuat. Tidak merasa bersalah sama sekali, Mas Satya malah menaik-turunkan pipiku seenaknya. Kemudian mengecup puncak hidungku sekilas.
"Semalam itu, Kinanti cuman mau ngabarin masalah meet up sama fans tanggal 3 nanti—"
"Harus tengah malem?" tanyaku sinis, memotong penjelasannya barusan. Dia malah tertawa ringan, menikmati bentuk bibirku yang mengerucut bergerak karena pipiku ditahan.
"Kinanti itu ... kamu jangan cemburu ya? Dia itu orangnya pelupa, makanya dia ngasih taunya pas dia inget, nggak peduli waktu. Kalau ketunda, dia bakalan lupa lagi. Jadi, gitu deh orangnya."
"Kamu kayak hapal banget sifatnya Kinanti?"
"Kan ... Mas bilang jangan cemburu, Sayang. Mas cuman jelasin sifatnya itu, supaya kamu paham. Setelah kontrak sinetron ini selesai, kami kemungkinan nggak bakalan kontak-kontakan lagi. Kamu tenang aja, hati Mas, cuman buat kamu."
Aku mendengkus. "Terus kenapa harus dikasih kata sandi gitu hape kamu? Pasti ada rahasianya kan? Kamu marah banget pas aku ngeceknya."
"Semalam, Mas kan setengah sadar, jadi mikirnya yang ngecek itu Kinanti soalnya dia orangnya kepo juga. Mas kasih kata sandi ya juga supaya dia nggak ngecek-ngecek hape Mas. Kan di dalem ada foto-foto kita."
Alasannya keluar dengan begitu logis dan tegas. Aku mencari-cari kebohongan di ekspresinya, tapi tidak menemukan apapun. Entah karena memang yang dia katakan adalah jujur, atau karena sudah terlatih berbohong.
"Apa kata sandinya?" tanyaku menantang.
"Medina18998."
"Mana hape kamu?" Aku menjulurkan tangan.
Mas Satya melepaskan tangannya dari wajahku, kemudian merogoh saku celananya dan mememberikan ponsel padaku.
Sandi yang dia sebutkan tadi, aku coba sambil sesekali menatap sinis pada Mas Satya.
Benar.
"Kamu percaya sama Mas kan?"
Beberapa aplikasi aku buka: W******p, galeri, dan telepon. Dua aplikasi awal tidak ada masalah. Pesannya didominasi oleh rekan kerjanya. Kinanti bahkan berada paling bawah pesannya—berarti mereka jarang chatting-an. Di galeri, aku tidak menemukan foto apa pun selain foto pernikahan kami berdua, foto aku tertidur, dan saat-saat kebersamaan kami. Bahkan, mengenai pekerjaannya pun, tidak ada. Namun, di telepon. Aku harus menelan ludah. Panggilannya didominasi oleh Kinanti.
Aku memberikan ponsel tersebut secara kesal pada Mas Satya.
"Sayang, Kinanti telpon cuman buat ngasih kabar aja. Sama kayak Mas bilang tadi, dia orangnya pelupa. Kadang, dia udah nelpon, eh malah lupa dia mau ngomong apa. Ya matiin. Lima menit kemudian, nelpon lagi buat bilang masalah kerjaan. Nggak lebih."
"Kenapa harus Kinanti yang bilang langsung ke kamu? Kenapa bukan orang lain?"
"Sayang ... kamu kenapa nggak percayaan sih?" Mas Satya menarik hidungku sampai memerah, lalu mengecupnya lagi. "Kalau aku bilang, nanti kamu cemburu lagi?"
"Bilang aja," jawabku tegas.
"Buat bangun chemistry. Kan di sinetron ini, kita jadi sepasang kekasih—kan ... kamu cemburu lagi." Mas Satya memelukku erat. "Kamu percaya sama Mas. Semua yang Mas lakuin, itu demi kebaikan kamu. Mas nggak mau, hal buruk terjadi sama kamu kalau orang-orang tahu kamu istri aku."
"Terus? Selamanya gitu aku bakalan disembunyiin gini kayak simpanan kamu?" Aku secara paksa mendorong tubuh Mas Satya hingga melepaskan pelukannya. "Percaya sama kamu, aku nggak tau lagi, Mas. Aku selalu pengen percaya, tapi ... semua yang kamu lakukan malah mengundang curiga aku. Aku nggak bakalan kayak gini seandainya dari awal kamu cerita semuanya."
"Sayang ...."
"Aku selalu terbuka sama kamu, Mas. Tapi kami ... aku yakin, kamu masih punya banyak rahasia yang belum kamu ceritain ke aku. Termasuk yang tadi. Nggak tau kenapa, rasanya, aku masih ragu sama pengakuan kamu tadi."
Aku hendak mengecek masakan, tapi, Mas Satya menahan tanganku lagi.
"Mau keluar? Kita jalan-jalan?" tawarnya.
"Kamu nggak kerja?" Tanpa berbalik, aku bertanya.
"Nanti, Mas bisa bilang ke manager Mas, kalau Mas lagi sakit. Pasti dibolehin."
Aku menoleh sedikit pada Mas Satya yang tersenyum. "Kamu kayaknya ahli banget ya, bohongin orang? Nggak usah keluar kalau cuman modal bohong doang. Mas mungkin sekarang belum terlalu peduli, tapi percaya sama aku, Mas, bakalan ada masanya nanti Mas menyesal bohongin orang dan orang lain bakalan capek Mas bohongin mulu."
*
Helm aku buka. Sebelum turun dari motor, bentuk jilbab segitiga yang aku pakai sekarang, diperbaiki dulu. Setelah siap, barulah aku turun dari motor menuju toko.
"Assalamu—"
"HAPPY BIRTHDAY!"
Sorakan koor itu membuatku mengambil satu langkah ke belakang, kaget. Zia tertawa terbahak-bahak, sementara pria di sampingnya hanya tersenyum tipis. Aku semakin terkejut melihat keberadaan kakak iparku di sini: Satria.
"Biasa aja kali mukanya, Din. Astaga, gitu amat ekspresi kangen kamu ke mantan pacar!"
Mulut blak-blakan Zia aku tutup dengan telapak tangan. Ia kemudian menurunkan tanganku sambil cengengesan.
Aku hendak melewati keduanya, tapi Zia menghalangi jalan dengan tubuhnya.
"Tiup lilin dulu—"
Aku langsung meniupnya secara kasar.
Aku melangkah lagi ingin pergi.
"Eh, kenapa sih, buru-buru? Makan kuenya dulu dong. Ini Satria udah bela-belain ninggalin kerjaan demi ngasih kamu surprise kayak gini," jelas Zia.
Aku menatap sinis pada Satria yang hanya cengengesan.
"Kalian ngobrol aja, selesaikan masalah kalau ada. Mana tau bisa balikan, ye kan? Aku mau ajak Bu Lisa makan kue. Mana tau kita jadi gendut ye kan?" Zia berceloteh secara asal sebelum berlalu dari hadapanku.
"Jadi ... beneran nggak ada yang tahu masalah pernikahan kami sama Satya?" tanya Satria dengan nada berbisik.
Aku diam. Hanya fokus pada tatanan bunga dalam toko. Beberapa sudah layu, seharusnya diganti pagi ini. Melewati pria menyebalkan ini, aku mengumpulkan beberapa tangkai bunga yang sudah layu untuk diganti airnya dan tanamannya.
"Satya emang gitu. Dari dulu bego banget masalah perempuan. Kamu mungkin belum tahu, tapi Satya suka mencampakkan mantan-mantan pacarnya dulu, dari zaman SMA."
Terus, bedanya sama kamu apa? Aku membalas dalam hati.
"Kamu benci aku karena aku lebih mentingin pekerjaan. Tapi, lihat Satya. Dia juga nggak ada bedanya sama aku. Malah, lebih buruk dia. Demi karirnya sebagai artis, dia nggak akui kamu. Aku yakin sih, itu cuman sebagian alasan dia nyembunyiin kamu. Dengan status dia lajang, nggak tau berapa cewek yang dia gaet di lokasi kerjanya, kan?"
Aku berbalik cepat. Semua tangkai aku lemparkan ke wajahnya.
"DIAM!" Hanya itu yang bisa terucap. Ingin membalas, tapi memang yang dia katakan adalah fakta.
"Medina?" Zia tiba-tiba muncul.
Aku tidak menjawab dan langsung pergi dari toko ini, membawa motor.
Awalnya, berniat ke rumah untuk menenangkan diri. Tapi, aku pikir sudah cukup menenangkan diri dan bersabarnya.
Butuh tindakan tegas sekarang untuk memperjelas statusku di mata Mas Satya sekarang.
*
A. Kenzie R.[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?][Angkat telpon aku][Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang][Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?][Plis, lah kabarin kalau online, Din][P][P][Ping][Samlekum!][Woy]Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto.Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya.
"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri."Assalamualaikum warahmatullah ...."Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny
Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk
Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany
Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit."Aku ... mau napas," ucapku parau.Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit."Kenapa, Sayang?"Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega."Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela men
Turun dari mobil, Satya langsung membanting pintu mobilnya dengan tatap dingin mengarah ke jendela lantai dua yang terbuka. Di sana, Satria tersenyum mengejek dengan salah satu tangan memegang ponsel, sama seperti yang Satya lakukan."Turun sekarang, buka pintunya!" titah Satya, tanpa intonasi."As you wish, Brother." Satria menutup jendela beserta gordennya.Sambungan telepon masih terus berlanjut, tetapi tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Sampai pintu utama sudah terbuka. Satya mematikan sambungan secara sepihak, lalu masuk ke dalam."Kenapa kayak kebalik, ya, Sat?" Satria bergumam saat menutup pintunya kembali. "Harusnya gue yang marah karna lo udah ambil calon istri gue. Kenapa malah lo yang dingin kayak gini? Takut bini lo gue ambil lagi.""Shut up!" Satya menoleh sedikit pada kakaknya untuk memberi peringatan. "Dina di mana?"
Dari sebelumnya memegang tangan, Mas Satya berubah merangkul pundakku memperkenalkan rumah sederhana yang akan menjadi tempat tinggal kami ke depannya. Hanya satu lantai, dengan luas pas untuk kami berdua."Ini nggak semewah dulu. Soalnya, kita bakalan lebih sering keluar nanti, jadi kalau rumahnya kecil, mudah dibersihinnya. Kalau kebesaran kayak dulu, kamu nanti kerepotan urus dua pekerjaan sekaligus. Kamu suka, Sayang?" Mas Satya menjelaskan.Kami duduk di sofa. Masih dalam rangkulannya, aku mengangguk pelan."Suka. Pas buat kita berdua," jawabku."Syukur deh. Aku takutnya kamu nggak nyaman sama rumah sempit.""Sempit apanya?" Aku langsung membantah. "Ini pas banget buat kita berdua. Nanti kalau udah ada anak banyak, baru deh dipikirin buat besarin rumah." Aku menengadah sedikit melirik Mas Satya, berharap kode ingin memiliki anak bisa dia dengarkan.&nb
Aku selesai memakaisneakersdua kali lebih cepat dari Mas Satya. Dia masih tampak cemberut usai kejadian subuh tadi. Aku yang sedang luang, mencoba untuk mengganggu."Mas, gimana kalau beneran jadi? Temen aku, baru sekali coba, langsung hamil."Mas Satya menatapku tajam. "Kamu nggak boleh hamil. Jangan sampai!""Mas sendiri yang kelepasan."Dia kurang fokus semalam, sampai keinginannya keluar di luar, jadi batal. Cuman gara-gara sederhana begitu, dia sampai gelisah hingga sekarang. Saking tidak maunya dia punya anak. Aku menipiskan bibir melihat caranya mengikat sepatu dengan gerakan gontai. Lalu ketika ada ikatan sepatunya yang bermasalah, dia menggeram dan menyugar rambut secara kasar.Aku berlutut di depan sepatu kanannya yang tersimpul mati. Menariknya dengan teliti sampai terbuka. Kemudian memperbaiki ikatannya."Kenapa
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini
Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng
"Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk
Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk