"Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri.
"Assalamualaikum warahmatullah ...."
Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.
Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.
Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.
Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.
Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny
Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk
Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany
Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit."Aku ... mau napas," ucapku parau.Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit."Kenapa, Sayang?"Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega."Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela men
Turun dari mobil, Satya langsung membanting pintu mobilnya dengan tatap dingin mengarah ke jendela lantai dua yang terbuka. Di sana, Satria tersenyum mengejek dengan salah satu tangan memegang ponsel, sama seperti yang Satya lakukan."Turun sekarang, buka pintunya!" titah Satya, tanpa intonasi."As you wish, Brother." Satria menutup jendela beserta gordennya.Sambungan telepon masih terus berlanjut, tetapi tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Sampai pintu utama sudah terbuka. Satya mematikan sambungan secara sepihak, lalu masuk ke dalam."Kenapa kayak kebalik, ya, Sat?" Satria bergumam saat menutup pintunya kembali. "Harusnya gue yang marah karna lo udah ambil calon istri gue. Kenapa malah lo yang dingin kayak gini? Takut bini lo gue ambil lagi.""Shut up!" Satya menoleh sedikit pada kakaknya untuk memberi peringatan. "Dina di mana?"
Dari sebelumnya memegang tangan, Mas Satya berubah merangkul pundakku memperkenalkan rumah sederhana yang akan menjadi tempat tinggal kami ke depannya. Hanya satu lantai, dengan luas pas untuk kami berdua."Ini nggak semewah dulu. Soalnya, kita bakalan lebih sering keluar nanti, jadi kalau rumahnya kecil, mudah dibersihinnya. Kalau kebesaran kayak dulu, kamu nanti kerepotan urus dua pekerjaan sekaligus. Kamu suka, Sayang?" Mas Satya menjelaskan.Kami duduk di sofa. Masih dalam rangkulannya, aku mengangguk pelan."Suka. Pas buat kita berdua," jawabku."Syukur deh. Aku takutnya kamu nggak nyaman sama rumah sempit.""Sempit apanya?" Aku langsung membantah. "Ini pas banget buat kita berdua. Nanti kalau udah ada anak banyak, baru deh dipikirin buat besarin rumah." Aku menengadah sedikit melirik Mas Satya, berharap kode ingin memiliki anak bisa dia dengarkan.&nb
Aku selesai memakaisneakersdua kali lebih cepat dari Mas Satya. Dia masih tampak cemberut usai kejadian subuh tadi. Aku yang sedang luang, mencoba untuk mengganggu."Mas, gimana kalau beneran jadi? Temen aku, baru sekali coba, langsung hamil."Mas Satya menatapku tajam. "Kamu nggak boleh hamil. Jangan sampai!""Mas sendiri yang kelepasan."Dia kurang fokus semalam, sampai keinginannya keluar di luar, jadi batal. Cuman gara-gara sederhana begitu, dia sampai gelisah hingga sekarang. Saking tidak maunya dia punya anak. Aku menipiskan bibir melihat caranya mengikat sepatu dengan gerakan gontai. Lalu ketika ada ikatan sepatunya yang bermasalah, dia menggeram dan menyugar rambut secara kasar.Aku berlutut di depan sepatu kanannya yang tersimpul mati. Menariknya dengan teliti sampai terbuka. Kemudian memperbaiki ikatannya."Kenapa
Kami ke rumah bunda untuk hari ini. Karena Mas Satya harus memilih rumah yang benar-benar cocok untuk kami tempati ke depannya. Bunda tidak banyak tanya, hanya langsung menyambut dengan senang hati. Mas Satya sama sekali tidak mampir sebentar pun, langsung menancap gas, pergi. Dia harus bekerja hari ini, sementara aku dibiarkan istirahat selama beberapa hari."Bunda nggak tau rahasianya Mas Satya gitu?" tanyaku penasaran ketika Bunda sudah membawakan secangkir teh hangat. Beliau duduk di sofa seberangan denganku, menyalakan televisi agar suasana menjadi santai."Dia nggak cerita apa-apa sama kamu?" Bunda balik tanya.Aku menggelengkan kepala sekali, ragu."Berarti nggak ada rahasia," ucap Bunda kemudian. "Satya lebih terbuka kok daripada Satria. Bahkan, dia jatuh pun, dia bakalan cerita ke Bunda, sekarang udah nikah, jadi dia bakalan ceritanya ke kamu."Apa semua yang Mas S
Seluruh tubuh sulit aku gerakkan. Bahkan kelopak mata terlalu berat untuk terbuka, tetapi demi menghindari gangguan yang terus terasa di wajah, aku memilih mengubah posisi menjadi tengkurap. Lalu menarik selimut agar rasa mengganggu itu pergi."Hey, kamu tidur atau pingsan?" Samar-samar suara Mas Satya terdengar. "Ayo bangun, Sayang. Kamu udah telat subuhan, loh."Ya Allah, hari ini saja, aku telat sholat subuh ya. Demi apa pun, aku benar-benar tidak bisa bangun."Sayang ...." Mas Satya membalik tubuhku secara paksa, lalu menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya yang dingin. "Kan, Mas udah bilang, kamu bakalan capek kalau kerja sama Mas. Kamu stop kerjanya, ya?""Nggak ...." Aku mengeluarkan suara beratku, benar-benar malas untuk melakukan sesuatu. "Nggak capek. Lima menit lagi. Masih ngantuk.""Mas udah mau berangkat, Sayang. Mas juga nggak bisa kasih kamu cuti secara