Beranda / Pernikahan / Catatan Luka Istri Rahasia / BAB 15 : Dinner Memalukan

Share

BAB 15 : Dinner Memalukan

Penulis: Es Pucil
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Seluruh tubuh sulit aku gerakkan. Bahkan kelopak mata terlalu berat untuk terbuka, tetapi demi menghindari gangguan yang terus terasa di wajah, aku memilih mengubah posisi menjadi tengkurap. Lalu menarik selimut agar rasa mengganggu itu pergi. 

"Hey, kamu tidur atau pingsan?" Samar-samar suara Mas Satya terdengar. "Ayo bangun, Sayang. Kamu udah telat subuhan, loh."

Ya Allah, hari ini saja, aku telat sholat subuh ya. Demi apa pun, aku benar-benar tidak bisa bangun. 

"Sayang ...." Mas Satya membalik tubuhku secara paksa, lalu menepuk-nepuk wajahku dengan tangannya yang dingin. "Kan, Mas udah bilang, kamu bakalan capek kalau kerja sama Mas. Kamu stop kerjanya, ya?"

"Nggak ...." Aku mengeluarkan suara beratku, benar-benar malas untuk melakukan sesuatu. "Nggak capek. Lima menit lagi. Masih ngantuk."

"Mas udah mau berangkat, Sayang. Mas juga nggak bisa kasih kamu cuti secara

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 16 : Terjebak di Lautan Manusia

    Suara klakson terus berbunyi panjang, membuat gerakan lamban saat menuang air panas menjadi 2 kali lebih cepat. Dua botol termos aku tutup cepat, lalu bawa lari, sambil kocok supaya kopinya bercampur merata.Hampir lupa mengunci rumah. Aku yang menginjak tangga teras terakhir terpaksa berputar 180 derajat untuk kembali mengunci pintu, lalu masuk ke mobil Mas Satya.Napas aku embuskan kasar, kemudian menyerahkan sebotol termos pada Mas Satya."Sekarang, aku udah biasa kerja sama Mas. Udah bisa atur solusi buat tiap masalah." Dengan bangganya aku mengeluarkan kalimat barusan. "Ini kopi, biar nggak ngantuk. Aku juga satu.""Pintar!" puji Mas Satya kemudian mengusap kepalaku beberapa kali. Mobil bergerak, meninggalkan pekarangan rumah dengan laju yang terbilang cepat.Sambil Mas Satya fokus dengan jalanan, aku membuka iPad, mengecek lagi jadwal Mas Satya. Tidak terlalu padat hari ini

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 17 : Kecelakaan yang Mencurigakan

    Pagi tadi terlalu buru-buru karena aku ketiduran lagi setelah subuh, alhasil lupa membuat kopi. Ingin memesan, tapi sekarang sedang jam sibuk-sibuknya, apalagi Mas Satya. Jadwal untuk 3 minggu ke depan harus diatur ulang karena adanya penambahan kegiatan amal untuk besok. Sekarang, aku bahkan tidak bisa memesan via online, karena sejak jam 8 tadi, menelepon beberapa pihak penyelenggara kegiatan Mas Satya. Aku harus memutar otak untuk menjelaskan alasan perpindahan jadwal yang beberapa disayangkan pihak stasiun televisi karena waktu mepet. Beberapa lagi sangat mudah dinegosiasi, karena belum promosi.Sebelum melanjutkan masalah ini lagi, aku memijit pelipis kuat. Kurang tidur, tanpa kopi, dan tidak banyak bergerak. Aku merasa tidak bertenaga meski sudah sarapan tadi. Tidak bisa melakukan apa-apa selain menyelesaikan tugas ini secepat mungkin, lalu berisitirahat sebentar sambil meminum kopi."Permisi."Ak

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 18 : Akting dan Kebohongan

    Tubuhku serasa berton-ton beratnya ketika memaksa bangun dari tempat tidur. Selama mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku melirik sekitar. Uh, sebelah sepatu masih terpasang di kaki, sebelahnya lagi entah di mana.Mataku yang masih 5 watt ini melirik ke meja nakas, ke jam digital.Tunggu. Ini aku tidak salah lihat, kan?JAM 8 PAGI?Aku langsung turun dari tempat tidur, keluar dari kamar dan memeriksa sekitar. Sepi. Mobil Mas Satya bahkan tidak ada di luar. Aku mendesis kesal, dan menendang pintu sembarangan. Langkah seketika lesu ketika memasuki kamar mandi. Sholat subuh, dan mandi. Bagaimana pun, aku harus berangkat hari ini untuk menyelidiki Livy.Setelah mengenakan kulot hitam, long dress cokelat, dan pasmina hitam, serta sneakers senada, aku bersiap berangkat. Memakai tas dan ... Ipad rusak, harus aku urus sesegera mungkin besok. Kemarin terlalu fokus pada luka sampai

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 19 : Amplop

    Karena sisa beberapa episode lagi, dan sekarang sedang masa-masa sibuknya Mas Satya, maka aku memilih bungkam mengenai hal buruk kemarin. Memilih diam, dan memperhatikan sekitar. Semuanya tampak seperti ancaman bagiku. Entah siapa salah satu dari orang-orang yang lalu-lalang di hadapan ini membenciku.Aku menggigiti kuku untuk mengurangi beban pikiran, tapi tidak bisa. Orang itu terlalu nekat, sudah berani menyakiti secara fisik. Tapi ... siapa di antara mereka yang patut aku jatuhi curiga?"Med? Bengong aja!"Aku terlonjak kaget atas sapaan ringan tersebut, sehingga si pelaku, Ifan, tertawa tanpa beban di sampingku."Segitunya ih! Pasti banyak pikiran, ya? Mikirin apa sih? Ini minum dulu, Med. Udah beberapa jam aku liatin kamu duduk di sini nggak gerak-gerak," kata Ifan kemudian menyodorkan minuman padaku. Ia ikut duduk di kursi sampingku, dan memperhatikan para artis sedang memain

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 20 : Mencari Tahu Runika

    Sembari memeluk tas, aku keluar dari ruangan mushola. Melirik sekitar penuh waspada, dan saat baru menginjak lantai luar, aku terlonjak kaget mendapati Lisa bersandar di tembok."Bu Lisa ngapain di sini?" tanyaku dengan nada meninggi.Wanita galak ini memasang tampang dingin, kemudian menjauh dari tembok sembari mengangkat kedua bahunya tidak peduli."Mau ikutan sholat, eh saya bukan muslim."Jawaban macam apa itu?Aku menatap punggung Lisa yang menjauh dari pandangan dengan curiga. Meneguk ludah sekali, dan aku menetapkan kecurigaan pada wanita itu. Ada kemungkinan dia tahu hubunganku dengan Mas Satya, dan cemburu sehingga dia meneror seperti ini, kan? Tapi, Runika? Hubungan Lisa dengan perempuan itu apa?Sial, aku pusing. Aku memijit pelipis, melanjutkan perjalanan. Kali ini, tidak mengekor Mas Satya lagi. Aku memilih keluar, bergabung dengan be

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 21 : Kecelakaan Depan Apartemen

    Posisi berbaring dengan selimut menutup tubuh hingga leher tetap aku pertahankan, karena Mas Satya masih mondar-mandir di sekitar. Lalu, setelah aku pikir ia keluar kamar, tempat tidur malah bergerak. Beberapa kecupan singkat mendarat di pipi, puncak hidung, dan keningku."I love you." Ciuman ringan Mas Satya berikan. Bukan sekali, dua kali. Beberapa kali, sampai ia terkekeh sendiri.Aku ingin membalasnya, tetapi tidak bisa. Agar terlihat sangat lelah karena pekerjaan, aku tetap diam dengan mata terpejam.Ranjang kembali bergerak. Suara derit pintu terdengar. Aku mulai membuka mata. Tetap tidak mengubah posisi untuk beberapa saat memeriksa sekitar. Sepi. Aku langsung duduk, mempertajam indra pendengaran hingga mendapati suara mobil Mas Satya yang menjauh.Pandangan aku edarkan ke sekitar. Bergeser pelan ke pinggir tempat tidur, lalu turun. Uh, bahkan sajadah masih belum kembali ke t

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 22 : Kekhawatiran Satya

    "Maaf ... maaf." Hanya itu yang bisa Satya katakan tanpa berbalik sedikitpun untuk melirik orang yang baru saja ia tabrak. Bisik-bisik sekumpulan manusia yang mengenalinya tidak menjadi penghalang, bahkan beberapa orang yang ingin meminta foto terpaksa dengan tegas Satya tolak.Hingga Satya tiba di depan ruang rawat. Bunda keluar dari balik pintu dengan wajah cemas yang kentara."Medina gimana, Bun?" tanya Satya cepat."Baik-baik aja. Kamu nggak usah terlalu khawatir." Bunda mengatakan hal tersebut dengan senyum menenangkan, tetapi wajahnya tetap tidak menghilangkan raut khawatir."Dia baik-baik aja, kok, Satya. Cuman kepalanya dijahit dikit." Amira yang berada di belakang punggung Bunda menyahut."Kamu masuk, gih. Bunda mau temani Amira pulang dulu." Kalimat tersebut diakhiri dengan Bunda menepuk pundak Satya dua kali. "Assalamualaikum."&nbs

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 23 : Amira?

    Aku kesulitan mencerna apa yang Mas Satya katakan tadi. Dengkusanku otomatis keluar, bingung harus bersikap dan membalas apa. "Kamu hamilin Runika terus nggak mau tanggungjawab gitu? Hah!" Aku memalingkan wajah, tidak percaya. Selama setahun ini, aku menikah dengan suami yang tidak bisa menjadi pemimpin seperti Mas Satya ini. "Bukan Mas yang hamilin, seriusan. Mas bisa jamin, demi Allah. Bukan Mas." "Terus siapa? Ngapain Runika minta pertanggungjawaban kamu kalau bukan kamu pelakunya?" Aish, kepalaku berdenyut sakit. Sembari memegang luka di kening, aku berusaha menenangkan diri. Namun, sulit. Serangannya datang dari dalam. Pernyataan Mas Satya langsung mengenai hati dan harapanku. "Itu yang Mas cari tahu selama ini." Mas Satya melemahkan intonasi suaranya. "Tapi nggak ada jejak. CCTV hotel nggak rekam orang yang dibawa masuk Runika. Sialnya, waktu itu, Mas lagi diskusi masalah kerjaan sama r

Bab terbaru

  • Catatan Luka Istri Rahasia   Epilog

    Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 43 : Pernikahan Impian

    "Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 42 : Kegigihan Satya

    Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 41 : Menantu tanpa Restu

    Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 40 : Pertahanan Egois

    Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 39 : Perdebatan Batin

    Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 38 : Pertentangan

    Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 37 : Ayo, Pisah!

    "Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 36 : Sekumpulan Bukti

    Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk

DMCA.com Protection Status