Share

BAB 19 : Amplop

Author: Es Pucil
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Karena sisa beberapa episode lagi, dan sekarang sedang masa-masa sibuknya Mas Satya, maka aku memilih bungkam mengenai hal buruk kemarin. Memilih diam, dan memperhatikan sekitar. Semuanya tampak seperti ancaman bagiku. Entah siapa salah satu dari orang-orang yang lalu-lalang di hadapan ini membenciku. 

Aku menggigiti kuku untuk mengurangi beban pikiran, tapi tidak bisa. Orang itu terlalu nekat, sudah berani menyakiti secara fisik. Tapi ... siapa di antara mereka yang patut aku jatuhi curiga?

"Med? Bengong aja!" 

Aku terlonjak kaget atas sapaan ringan tersebut, sehingga si pelaku, Ifan, tertawa tanpa beban di sampingku. 

"Segitunya ih! Pasti banyak pikiran, ya? Mikirin apa sih? Ini minum dulu, Med. Udah beberapa jam aku liatin kamu duduk di sini nggak gerak-gerak," kata Ifan kemudian menyodorkan minuman padaku. Ia ikut duduk di kursi sampingku, dan memperhatikan para artis sedang memain

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 20 : Mencari Tahu Runika

    Sembari memeluk tas, aku keluar dari ruangan mushola. Melirik sekitar penuh waspada, dan saat baru menginjak lantai luar, aku terlonjak kaget mendapati Lisa bersandar di tembok."Bu Lisa ngapain di sini?" tanyaku dengan nada meninggi.Wanita galak ini memasang tampang dingin, kemudian menjauh dari tembok sembari mengangkat kedua bahunya tidak peduli."Mau ikutan sholat, eh saya bukan muslim."Jawaban macam apa itu?Aku menatap punggung Lisa yang menjauh dari pandangan dengan curiga. Meneguk ludah sekali, dan aku menetapkan kecurigaan pada wanita itu. Ada kemungkinan dia tahu hubunganku dengan Mas Satya, dan cemburu sehingga dia meneror seperti ini, kan? Tapi, Runika? Hubungan Lisa dengan perempuan itu apa?Sial, aku pusing. Aku memijit pelipis, melanjutkan perjalanan. Kali ini, tidak mengekor Mas Satya lagi. Aku memilih keluar, bergabung dengan be

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 21 : Kecelakaan Depan Apartemen

    Posisi berbaring dengan selimut menutup tubuh hingga leher tetap aku pertahankan, karena Mas Satya masih mondar-mandir di sekitar. Lalu, setelah aku pikir ia keluar kamar, tempat tidur malah bergerak. Beberapa kecupan singkat mendarat di pipi, puncak hidung, dan keningku."I love you." Ciuman ringan Mas Satya berikan. Bukan sekali, dua kali. Beberapa kali, sampai ia terkekeh sendiri.Aku ingin membalasnya, tetapi tidak bisa. Agar terlihat sangat lelah karena pekerjaan, aku tetap diam dengan mata terpejam.Ranjang kembali bergerak. Suara derit pintu terdengar. Aku mulai membuka mata. Tetap tidak mengubah posisi untuk beberapa saat memeriksa sekitar. Sepi. Aku langsung duduk, mempertajam indra pendengaran hingga mendapati suara mobil Mas Satya yang menjauh.Pandangan aku edarkan ke sekitar. Bergeser pelan ke pinggir tempat tidur, lalu turun. Uh, bahkan sajadah masih belum kembali ke t

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 22 : Kekhawatiran Satya

    "Maaf ... maaf." Hanya itu yang bisa Satya katakan tanpa berbalik sedikitpun untuk melirik orang yang baru saja ia tabrak. Bisik-bisik sekumpulan manusia yang mengenalinya tidak menjadi penghalang, bahkan beberapa orang yang ingin meminta foto terpaksa dengan tegas Satya tolak.Hingga Satya tiba di depan ruang rawat. Bunda keluar dari balik pintu dengan wajah cemas yang kentara."Medina gimana, Bun?" tanya Satya cepat."Baik-baik aja. Kamu nggak usah terlalu khawatir." Bunda mengatakan hal tersebut dengan senyum menenangkan, tetapi wajahnya tetap tidak menghilangkan raut khawatir."Dia baik-baik aja, kok, Satya. Cuman kepalanya dijahit dikit." Amira yang berada di belakang punggung Bunda menyahut."Kamu masuk, gih. Bunda mau temani Amira pulang dulu." Kalimat tersebut diakhiri dengan Bunda menepuk pundak Satya dua kali. "Assalamualaikum."&nbs

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 23 : Amira?

    Aku kesulitan mencerna apa yang Mas Satya katakan tadi. Dengkusanku otomatis keluar, bingung harus bersikap dan membalas apa. "Kamu hamilin Runika terus nggak mau tanggungjawab gitu? Hah!" Aku memalingkan wajah, tidak percaya. Selama setahun ini, aku menikah dengan suami yang tidak bisa menjadi pemimpin seperti Mas Satya ini. "Bukan Mas yang hamilin, seriusan. Mas bisa jamin, demi Allah. Bukan Mas." "Terus siapa? Ngapain Runika minta pertanggungjawaban kamu kalau bukan kamu pelakunya?" Aish, kepalaku berdenyut sakit. Sembari memegang luka di kening, aku berusaha menenangkan diri. Namun, sulit. Serangannya datang dari dalam. Pernyataan Mas Satya langsung mengenai hati dan harapanku. "Itu yang Mas cari tahu selama ini." Mas Satya melemahkan intonasi suaranya. "Tapi nggak ada jejak. CCTV hotel nggak rekam orang yang dibawa masuk Runika. Sialnya, waktu itu, Mas lagi diskusi masalah kerjaan sama r

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 24 : Pengumuman Pernikahan

    Aku masih mencerna apa yang terjadi. Usai nama Amira keluar, ketiga orang ini segera mengalihkan pandangan ke arahku."Nggak mungkin dia, kan? Mas?" tanyaku pelan-pelan, enggan menerima kenyataan ini. Sementara Mas Satya terkejut, Allan dan Lisa malah sibuk dengan ponsel mereka."Amira ipar kamu ini, kan?" tanya Allan mengonfirmasi dengan ekspresinya yang serius, membiusku untuk mengangguk dua kali secara teratur. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Mas?" panggilku, menunggu reaksi dri Mas Satya, tetapi dia juga tampak sama bingungnya."Kalian tahu asal usul Amira ini?" Lisa angkat suara, dengan pandangan secara bergilir terarah padaku dan Mas Satya.Mas Satya mewakiliku menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sekali."Berarti masuk kemungkinan." Lisa bergumam pelan, lalu menarikan jemarinya di atas layar dengan begitu lincah. "Ada kejadian aneh lain saat atau sebelum atau sesudah kamu berinteraksi dengan Am

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 25 : Rencana yang Menakutkan

    Sebelum berangkat ke lokasi shooting, Mas Satya sempatkan singgah di rumah lama kami, karena rencananya, acara pengumuman pernikahan akan dilakukan di sini. Sungguh, membayangkan Mas Satya akan mengakuiku ... itu fantastis. Aku bahkan tidak pernah merasakan khawatir atas cemas berlebihan terhadap ancaman orang lain. "Berapa penjaga yang kamu siapkan?" tanya Mas Satya. Dia berbanding terbalik denganku yang exited untuk acara nanti. Mas Satya malah parno habis-habisan, dan terus mengonfirmasi persiapan, takut jika ada kesalahan."Ada 25 orang, Pak. Ada 5 yang nantinya bakalan jaga di depan, pastikan mereka nggak ada yang bawa senjata tajam. 16 lainnya, termasuk saya dan Lisa, akan menjadi tamu, supaya bisa mengawasi mereka lebih baik lagi. Empat terakhir, masing-masing menjadi pengawas CCTV." Allan menjelaskan dengan penuh ketelitian, sadar betul dengan kecemasan Mas Satya. "CCTV sudah dipasang di seluruh area. Nggak ada tempat yang nggak dipasangin CCTV.

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 26 : Terjebak

    Seharusnya aku bisa bersikap biasa saja. Kanan-kiri, di antara para tetamu, ada banyak penjaga Mas Satya. Aku yakin, akan melindungiku sebaik mungkin.Namun, kadang khawatir ini tidak bisa aku elak. Sama seperti penjaga Mas Satya yang tidak terbaca, aku juga tidak tahu musuh berada di bagian mana. Semoga aku tidak salah mendekati orang lain, yang mungkin bisa berakibat fatal. Entah sudah berapa menit aku berdiri di tempat. Sangat kaku, juga tegang. Aku harus menetralkan suasana hati agar tidak mencurigakan, dan Mas Satya bisa menjalankan rencananya dengan lancar. Pilihanku jatuh untuk duduk di salah satu kursi tamu. Mengangkat sebelah tangan dengan anggun, untuk memanggil seorang pelayan, meminta minuman. Pelayan itu hendak pergi, tetapi terjeda sesaat karena ada perempuan lain yang meminta dibawakan hal sama. Perempuan itu ... Kinanti. Posisi duduk aku perbaiki, gugup. Apa yang akan Kinanti lakukan? Pertanyaan itu terus berkeliaran d

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 27 : Kalah Telak

    Seorang pria asing ikut masuk ke kamar, ketika aku masih berjuang ingin melepaskan diri dari Amira. Ketika pria itu mengelapi wajahnya dengan selembar handuk, tampak lah wajah aslinya yang lepas dari segala macam make up—penyebab kenapa ia bisa lolos dari segala penjagaan. Pria itu ... pacar Amira, saudara tiri Runika, dan yang menyiram tanganku dengan air panas kemarin. Astaga, ini bagaimana sekarang?Usahaku berteriak tidak membuahkan banyak hasil selain suara-suara dengung yang berusaha aku keluarkan teredam oleh suasana pesta di luar. Pun juga, di mana puluhan penjaga Mas Satya? Kenapa lengah, sampai dua orang asing masuk ke kamar—area paling pribadi— secara bebas?Aku meronta semakin kuat ketika tanganku diambil alih oleh pria asing ini. Sementara Amira berganti, pria ini juga mengeluarkan sebuah tas dari spandek dari salah satu saku jaket kulitnya. Menggunakan itu untuk menutupi wajahku, lalu selanjutnya, aku diseret paksa untuk melangkah meninggalk

Latest chapter

  • Catatan Luka Istri Rahasia   Epilog

    Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 43 : Pernikahan Impian

    "Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 42 : Kegigihan Satya

    Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 41 : Menantu tanpa Restu

    Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 40 : Pertahanan Egois

    Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 39 : Perdebatan Batin

    Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 38 : Pertentangan

    Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 37 : Ayo, Pisah!

    "Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 36 : Sekumpulan Bukti

    Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk

DMCA.com Protection Status