Aku masih mencerna apa yang terjadi. Usai nama Amira keluar, ketiga orang ini segera mengalihkan pandangan ke arahku.
"Nggak mungkin dia, kan? Mas?" tanyaku pelan-pelan, enggan menerima kenyataan ini.Sementara Mas Satya terkejut, Allan dan Lisa malah sibuk dengan ponsel mereka."Amira ipar kamu ini, kan?" tanya Allan mengonfirmasi dengan ekspresinya yang serius, membiusku untuk mengangguk dua kali secara teratur. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Mas?" panggilku, menunggu reaksi dri Mas Satya, tetapi dia juga tampak sama bingungnya."Kalian tahu asal usul Amira ini?" Lisa angkat suara, dengan pandangan secara bergilir terarah padaku dan Mas Satya.Mas Satya mewakiliku menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sekali."Berarti masuk kemungkinan." Lisa bergumam pelan, lalu menarikan jemarinya di atas layar dengan begitu lincah."Ada kejadian aneh lain saat atau sebelum atau sesudah kamu berinteraksi dengan AmSebelum berangkat ke lokasi shooting, Mas Satya sempatkan singgah di rumah lama kami, karena rencananya, acara pengumuman pernikahan akan dilakukan di sini. Sungguh, membayangkan Mas Satya akan mengakuiku ... itu fantastis. Aku bahkan tidak pernah merasakan khawatir atas cemas berlebihan terhadap ancaman orang lain. "Berapa penjaga yang kamu siapkan?" tanya Mas Satya. Dia berbanding terbalik denganku yang exited untuk acara nanti. Mas Satya malah parno habis-habisan, dan terus mengonfirmasi persiapan, takut jika ada kesalahan."Ada 25 orang, Pak. Ada 5 yang nantinya bakalan jaga di depan, pastikan mereka nggak ada yang bawa senjata tajam. 16 lainnya, termasuk saya dan Lisa, akan menjadi tamu, supaya bisa mengawasi mereka lebih baik lagi. Empat terakhir, masing-masing menjadi pengawas CCTV." Allan menjelaskan dengan penuh ketelitian, sadar betul dengan kecemasan Mas Satya. "CCTV sudah dipasang di seluruh area. Nggak ada tempat yang nggak dipasangin CCTV.
Seharusnya aku bisa bersikap biasa saja. Kanan-kiri, di antara para tetamu, ada banyak penjaga Mas Satya. Aku yakin, akan melindungiku sebaik mungkin.Namun, kadang khawatir ini tidak bisa aku elak. Sama seperti penjaga Mas Satya yang tidak terbaca, aku juga tidak tahu musuh berada di bagian mana. Semoga aku tidak salah mendekati orang lain, yang mungkin bisa berakibat fatal. Entah sudah berapa menit aku berdiri di tempat. Sangat kaku, juga tegang. Aku harus menetralkan suasana hati agar tidak mencurigakan, dan Mas Satya bisa menjalankan rencananya dengan lancar. Pilihanku jatuh untuk duduk di salah satu kursi tamu. Mengangkat sebelah tangan dengan anggun, untuk memanggil seorang pelayan, meminta minuman. Pelayan itu hendak pergi, tetapi terjeda sesaat karena ada perempuan lain yang meminta dibawakan hal sama. Perempuan itu ... Kinanti. Posisi duduk aku perbaiki, gugup. Apa yang akan Kinanti lakukan? Pertanyaan itu terus berkeliaran d
Seorang pria asing ikut masuk ke kamar, ketika aku masih berjuang ingin melepaskan diri dari Amira. Ketika pria itu mengelapi wajahnya dengan selembar handuk, tampak lah wajah aslinya yang lepas dari segala macam make up—penyebab kenapa ia bisa lolos dari segala penjagaan. Pria itu ... pacar Amira, saudara tiri Runika, dan yang menyiram tanganku dengan air panas kemarin. Astaga, ini bagaimana sekarang?Usahaku berteriak tidak membuahkan banyak hasil selain suara-suara dengung yang berusaha aku keluarkan teredam oleh suasana pesta di luar. Pun juga, di mana puluhan penjaga Mas Satya? Kenapa lengah, sampai dua orang asing masuk ke kamar—area paling pribadi— secara bebas?Aku meronta semakin kuat ketika tanganku diambil alih oleh pria asing ini. Sementara Amira berganti, pria ini juga mengeluarkan sebuah tas dari spandek dari salah satu saku jaket kulitnya. Menggunakan itu untuk menutupi wajahku, lalu selanjutnya, aku diseret paksa untuk melangkah meninggalk
Seberapa berharganya cinta pertama?Aku masih kuliah semester satu ketika seorang pria yang aku kagumi setiap kali datang ke kampus, menghampiriku. Kami nyaris tidak pernah berinteraksi sebelum ini, dan menyadari bahwa arah kakinya melangkah adalah padaku, detak jantung seketika bertambah keras dari biasanya. Posisi duduk, walau bagaimanapun aku perbaiki, tetap tidak mengurangi kegelisahan dalam diri. Perhatian aku alihkan pada buku bacaan, tetap tidak bisa mencegah mataku melirik-lirik pada sosok itu. Satria Gulbahar Ilhami. Dia hanya alumni di sini. Sering menampakkan diri, karena diundang oleh pihak kampus untuk mengisi beberapa seminar. Karena, setelah kelulusannya dari kampus, dia langsung menjamah perkantoran almarhum papanya, dan bisa membuat perusahaan bidang makanan milik papanya yang nyaris bangkrut—penyebab kematiannya—menjadi sukses dan berkembang pesat di seluruh Indonesia. Parasnya menarik. Memiliki kulit eksotis khas seorang peke
Selama dua pekan aku dirawat di rumah sakit, Satria tidak pernah absen sehari pun untuk menjenguk. Sebelum berangkat bekerja, dia akan mampir sebentar. Pun ketika pulang dari kantor, dia akan singgah walau hanya beberapa menit, atau sekadar menanyakan kabar. "Kamu sudah makan?" Setiap kali muncul, pertanyaan itu yang akan Satria keluarkan. Ia akan meletakkan jas kerjanya di sandaran kursi, lalu mengambil alih mangkuk bubur dari nakas.Sangat tahu, bahwa aku tidak terlalu menyukai bubur rumah sakit. Meski tidak memberikan makanan pengganti, Satria akan duduk di kursi besi samping ranjang rumah sakit untuk menyuapiku. Satu demi satu sendok bubur habis di mangkuk, berpindah dalam perutku. Aku tersenyum, ketika Satria memberikan air minumnya. "Papa kamu tumben nggak ada. Biasanya gantiin CCTV liat kita berdua," ujar Satria. Aku terkekeh ringan. "Tadi siang pulang sebentar. Malam ini kayaknya balik lagi. Papa punya urusan dulu sama kerjaan
Tanganku melambai pada mobil Satria yang semakin menjauh. Terus tersenyum, sampai mobil hilang dari pandangan. Pundakku luruh seketika. Setiap pijakanku memasuki rumah terasa lesu. Beruntung, Papa muncul dengan membawa dua cangkir teh hangat. Setelah beliau meletakkan cangkir di atas meja, aku langsung memeluknya dengan posisi berdiri. "Mas Satya tadi kecewa banget liatnya, Pa." Aku langsung bercerita, dan menumpahkan segala keluh kesah pada pria kuat yang mendekapku ini. "Aih, seriusan, nggak tega tadi liatnya."Papa mengusap kepalaku dengan lembut. Membiarkan waktu berlalu dengan segala kegelisahanku menguap, dengan kami berpelukan begini. Setelah napasku berembus panjang sekali, barulah Papa mengajakku untuk duduk di sofa. Teh buatan Papa aku sesap beberapa kali. "Kamu mau lanjut, atau stop?" tanya Papa. "Kalau kamu lanjut, ini akan beresiko, Nak. Nggak ada yang tahu musuh Satya sebenarnya siapa. Kamu bisa saja disakiti lebih daripada kemarin. Papa sa
Seperti kemarin, Satria datang lagi ke rumah. Seperti biasa, Papa akan bersikap kasar dan menolaknya, tetapi Satria selalu membawa Papa dalam pembicaraan rahasia ketika aku sibuk mengurus taman kesayangan Papa. Lalu, Satria akan menghampiriku dengan wajah semringahnya. "Ayo, keluar, Dina!" ajaknya dengan gampang. Aku tersenyum, disusul dua anggukan aku berikan. Gunting taman aku letakkan di tempatnya, lalu segera masuk ke kamar untuk bersiap. Sejujurnya, sedikit khawatir setelah obrolan dengan Allan kemarin.Satria tidak bisa ditebak. Aku tidak bisa menduga apa saja yang ia rencanakan selanjutnya, bersama orang-orang yang entah siapa saja. Sambil bersiap ini, aku mengirimkan pesan singkat pada Allan untuk memberitahukan kepergianku bersama Satria.Hanya hitungan detik, langsung ada balasan dari Allan. Memintaku untuk meneleponnya, dan mengurangi volume agar dia bisa memastikan keadaan. Lisa nantinya juga akan mengikuti ke mana kami per
Disebabkan jarak rumah Satria sudah dekat, jadi kami memutuskan untuk berlari-lari cepat meninggalkan mobil di pinggir jalan yang menuju keluar perumahan. Satria menjadikan jaket kulitnya sebagai payung untuk kami berdua, meski tidak terlalu berguna karena hanya bisa melindungi kepala. Setibanya di teras rumah Satria, kami sudah basah kuyup. Satria segera membuka pintunya sementara aku hanya menyimak sembari mengusap kedua lengan guna mengusir dingin. Dari sini, aku juga menyimak jumlah kunci dalam genggaman Satria. Sekitar 6 kunci berbeda, yang bersatu dengan kunci mobil. Seandainya tidak penting—kecuali kunci rumah, seharusnya Satria tidak harus membawa kunci sebanyak itu, kan? Aku harus waspada dan mencari segala hal yang mencurigakan di rumah ini, karena Satria membelinya sejak ia memimpin perusahaan papanya. Entah motif apa, tidak ada yang tahu jelas. Jika niatnya hanya istirahat, rasanya aku kurang puas atas jawaban itu. Karena yang aku tahu, Satria tetap k