Seorang pria asing ikut masuk ke kamar, ketika aku masih berjuang ingin melepaskan diri dari Amira. Ketika pria itu mengelapi wajahnya dengan selembar handuk, tampak lah wajah aslinya yang lepas dari segala macam make up—penyebab kenapa ia bisa lolos dari segala penjagaan. Pria itu ... pacar Amira, saudara tiri Runika, dan yang menyiram tanganku dengan air panas kemarin.
Astaga, ini bagaimana sekarang?Usahaku berteriak tidak membuahkan banyak hasil selain suara-suara dengung yang berusaha aku keluarkan teredam oleh suasana pesta di luar. Pun juga, di mana puluhan penjaga Mas Satya? Kenapa lengah, sampai dua orang asing masuk ke kamar—area paling pribadi— secara bebas?Aku meronta semakin kuat ketika tanganku diambil alih oleh pria asing ini. Sementara Amira berganti, pria ini juga mengeluarkan sebuah tas dari spandek dari salah satu saku jaket kulitnya. Menggunakan itu untuk menutupi wajahku, lalu selanjutnya, aku diseret paksa untuk melangkah meninggalkSeberapa berharganya cinta pertama?Aku masih kuliah semester satu ketika seorang pria yang aku kagumi setiap kali datang ke kampus, menghampiriku. Kami nyaris tidak pernah berinteraksi sebelum ini, dan menyadari bahwa arah kakinya melangkah adalah padaku, detak jantung seketika bertambah keras dari biasanya. Posisi duduk, walau bagaimanapun aku perbaiki, tetap tidak mengurangi kegelisahan dalam diri. Perhatian aku alihkan pada buku bacaan, tetap tidak bisa mencegah mataku melirik-lirik pada sosok itu. Satria Gulbahar Ilhami. Dia hanya alumni di sini. Sering menampakkan diri, karena diundang oleh pihak kampus untuk mengisi beberapa seminar. Karena, setelah kelulusannya dari kampus, dia langsung menjamah perkantoran almarhum papanya, dan bisa membuat perusahaan bidang makanan milik papanya yang nyaris bangkrut—penyebab kematiannya—menjadi sukses dan berkembang pesat di seluruh Indonesia. Parasnya menarik. Memiliki kulit eksotis khas seorang peke
Selama dua pekan aku dirawat di rumah sakit, Satria tidak pernah absen sehari pun untuk menjenguk. Sebelum berangkat bekerja, dia akan mampir sebentar. Pun ketika pulang dari kantor, dia akan singgah walau hanya beberapa menit, atau sekadar menanyakan kabar. "Kamu sudah makan?" Setiap kali muncul, pertanyaan itu yang akan Satria keluarkan. Ia akan meletakkan jas kerjanya di sandaran kursi, lalu mengambil alih mangkuk bubur dari nakas.Sangat tahu, bahwa aku tidak terlalu menyukai bubur rumah sakit. Meski tidak memberikan makanan pengganti, Satria akan duduk di kursi besi samping ranjang rumah sakit untuk menyuapiku. Satu demi satu sendok bubur habis di mangkuk, berpindah dalam perutku. Aku tersenyum, ketika Satria memberikan air minumnya. "Papa kamu tumben nggak ada. Biasanya gantiin CCTV liat kita berdua," ujar Satria. Aku terkekeh ringan. "Tadi siang pulang sebentar. Malam ini kayaknya balik lagi. Papa punya urusan dulu sama kerjaan
Tanganku melambai pada mobil Satria yang semakin menjauh. Terus tersenyum, sampai mobil hilang dari pandangan. Pundakku luruh seketika. Setiap pijakanku memasuki rumah terasa lesu. Beruntung, Papa muncul dengan membawa dua cangkir teh hangat. Setelah beliau meletakkan cangkir di atas meja, aku langsung memeluknya dengan posisi berdiri. "Mas Satya tadi kecewa banget liatnya, Pa." Aku langsung bercerita, dan menumpahkan segala keluh kesah pada pria kuat yang mendekapku ini. "Aih, seriusan, nggak tega tadi liatnya."Papa mengusap kepalaku dengan lembut. Membiarkan waktu berlalu dengan segala kegelisahanku menguap, dengan kami berpelukan begini. Setelah napasku berembus panjang sekali, barulah Papa mengajakku untuk duduk di sofa. Teh buatan Papa aku sesap beberapa kali. "Kamu mau lanjut, atau stop?" tanya Papa. "Kalau kamu lanjut, ini akan beresiko, Nak. Nggak ada yang tahu musuh Satya sebenarnya siapa. Kamu bisa saja disakiti lebih daripada kemarin. Papa sa
Seperti kemarin, Satria datang lagi ke rumah. Seperti biasa, Papa akan bersikap kasar dan menolaknya, tetapi Satria selalu membawa Papa dalam pembicaraan rahasia ketika aku sibuk mengurus taman kesayangan Papa. Lalu, Satria akan menghampiriku dengan wajah semringahnya. "Ayo, keluar, Dina!" ajaknya dengan gampang. Aku tersenyum, disusul dua anggukan aku berikan. Gunting taman aku letakkan di tempatnya, lalu segera masuk ke kamar untuk bersiap. Sejujurnya, sedikit khawatir setelah obrolan dengan Allan kemarin.Satria tidak bisa ditebak. Aku tidak bisa menduga apa saja yang ia rencanakan selanjutnya, bersama orang-orang yang entah siapa saja. Sambil bersiap ini, aku mengirimkan pesan singkat pada Allan untuk memberitahukan kepergianku bersama Satria.Hanya hitungan detik, langsung ada balasan dari Allan. Memintaku untuk meneleponnya, dan mengurangi volume agar dia bisa memastikan keadaan. Lisa nantinya juga akan mengikuti ke mana kami per
Disebabkan jarak rumah Satria sudah dekat, jadi kami memutuskan untuk berlari-lari cepat meninggalkan mobil di pinggir jalan yang menuju keluar perumahan. Satria menjadikan jaket kulitnya sebagai payung untuk kami berdua, meski tidak terlalu berguna karena hanya bisa melindungi kepala. Setibanya di teras rumah Satria, kami sudah basah kuyup. Satria segera membuka pintunya sementara aku hanya menyimak sembari mengusap kedua lengan guna mengusir dingin. Dari sini, aku juga menyimak jumlah kunci dalam genggaman Satria. Sekitar 6 kunci berbeda, yang bersatu dengan kunci mobil. Seandainya tidak penting—kecuali kunci rumah, seharusnya Satria tidak harus membawa kunci sebanyak itu, kan? Aku harus waspada dan mencari segala hal yang mencurigakan di rumah ini, karena Satria membelinya sejak ia memimpin perusahaan papanya. Entah motif apa, tidak ada yang tahu jelas. Jika niatnya hanya istirahat, rasanya aku kurang puas atas jawaban itu. Karena yang aku tahu, Satria tetap k
Seluruh tubuh sulit aku kendalikan. Seringkali kepala miring tanpa bisa aku cegah, meski sekuat tenaga tetap memastikan mata terbuka lebar. Aku meraba-raba sekitar, mencari setidaknya satu alat pelindung jika Satria melakukan sesuatu yang buruk. Namun, yang terjadi malah bekas makanku jatuh dan pecah di samping kursi tempatku duduk. Lalu, sebuah tepukan di bahu membuatku menoleh cepat. "Medina, kamu kenapa?"Shit! Aku menekan gigi-gigi, dan mengepalkan tangan kuat agar tidak segera meledak. Fokus utama sekarang adalah, tetap sadar. Harus sadar. Tidak boleh tumbang, atau Satria akan bebas melakukan sesuatu semaunya. "Aku nggak papa." Kepalaku menunduk dalam saat beratnya seolah menjadi berton-ton. Pandanganku kian kabur, dan deru napas berubah cepat. Tolong ... aku harus tetap sadar."Sini, aku bantu bawa ke kamar kamu," ajak Satria, yang aku tanggapi dengan bingung.Aku harus melakukan apa sekarang. Tanpa meminta izin lebih la
Pintu kamar diketuk dua kali, disusul suara Allan yang menanyakan keadaanku pada Lisa. Perempuan di depanku ini langsung membantu memakaikan jilbab dengan baik, lalu mengizinkan Allan untuk masuk. Aku masih membeku di tempat atas pemikiran barusan. Bahwa ... Lisa bisa saja menjadi salah satu musuh kami selama ini. "Kamu baik-baik aja, Medina?" tanya Allan, yang aku berikan dengan beberapa anggukan sebagai jawaban. Pandanganku beralih pada Lisa yang sama sekali tidak terpengaruh. Ekspresinya berubah serius seperti biasanya. Aku nyaris tidak pernah mengalihkan pandangan jika seandainya Allan tidak menegur. "Kamu punya informasi terbaru, Dina?" tanya Allan, yang hanya bisa aku jawab dengan gelengan. "Tapi ... Satria punya kebiasaan aneh, Allan." Aku membawa arah pandanganku ke sudut ruangan, sehingga Lisa dan Allan juga melakukan hal yang sama. "Dia masa naruh CCTV di ruang pribadi? Bahkan, di kamar mandi ruang tamu. Itu terlalu mesum,
Antara Lisa atau Zia, jelas aku lebih mempercayai sahabatku sendiri. Maka, semua rahasia pernikahanku dengan Mas Satya, aku ceritakan pada Zia dari awal, hingga saat ini."Ribet juga ternyata, ya? Kalau diangkat jadi film, seru kayaknya, Din!" ucap Zia menanggapi, disusul kekehan ringannya. Seolah apa yang aku jelaskan hanya dongeng semata. "Kamu nggak percaya aku?""Percaya, Din. Percaya. Cuman ... kerasa drama aja. Kalah Drakor mah!""Kayaknya aku nyesel cerita ke kamu, Zi.""Eits! Jangan marah dong, Din! Aku cuman bercanda!" kata Zia dengan nada penyesalan kentara dari suaranya. Aku menghela napas panjang. Dari posisi berbaring telentang di atas tempat tidur, aku ubah menjadi duduk di kursi rias. Menatap wajah sendiri yang tampak lebih kusam dari biasanya. "Jadi, kamu bisa bantu aku? Ada Allan, kok. Jadi aman!" ucapku meyakinkan. "Hm ... oke, deh! Kayaknya seru gabung." Zia lagi-lagi menganggap ini sepert