Seluruh tubuh sulit aku kendalikan. Seringkali kepala miring tanpa bisa aku cegah, meski sekuat tenaga tetap memastikan mata terbuka lebar. Aku meraba-raba sekitar, mencari setidaknya satu alat pelindung jika Satria melakukan sesuatu yang buruk. Namun, yang terjadi malah bekas makanku jatuh dan pecah di samping kursi tempatku duduk. Lalu, sebuah tepukan di bahu membuatku menoleh cepat.
"Medina, kamu kenapa?"Shit! Aku menekan gigi-gigi, dan mengepalkan tangan kuat agar tidak segera meledak. Fokus utama sekarang adalah, tetap sadar. Harus sadar. Tidak boleh tumbang, atau Satria akan bebas melakukan sesuatu semaunya."Aku nggak papa." Kepalaku menunduk dalam saat beratnya seolah menjadi berton-ton. Pandanganku kian kabur, dan deru napas berubah cepat. Tolong ... aku harus tetap sadar."Sini, aku bantu bawa ke kamar kamu," ajak Satria, yang aku tanggapi dengan bingung.Aku harus melakukan apa sekarang.Tanpa meminta izin lebih laPintu kamar diketuk dua kali, disusul suara Allan yang menanyakan keadaanku pada Lisa. Perempuan di depanku ini langsung membantu memakaikan jilbab dengan baik, lalu mengizinkan Allan untuk masuk. Aku masih membeku di tempat atas pemikiran barusan. Bahwa ... Lisa bisa saja menjadi salah satu musuh kami selama ini. "Kamu baik-baik aja, Medina?" tanya Allan, yang aku berikan dengan beberapa anggukan sebagai jawaban. Pandanganku beralih pada Lisa yang sama sekali tidak terpengaruh. Ekspresinya berubah serius seperti biasanya. Aku nyaris tidak pernah mengalihkan pandangan jika seandainya Allan tidak menegur. "Kamu punya informasi terbaru, Dina?" tanya Allan, yang hanya bisa aku jawab dengan gelengan. "Tapi ... Satria punya kebiasaan aneh, Allan." Aku membawa arah pandanganku ke sudut ruangan, sehingga Lisa dan Allan juga melakukan hal yang sama. "Dia masa naruh CCTV di ruang pribadi? Bahkan, di kamar mandi ruang tamu. Itu terlalu mesum,
Antara Lisa atau Zia, jelas aku lebih mempercayai sahabatku sendiri. Maka, semua rahasia pernikahanku dengan Mas Satya, aku ceritakan pada Zia dari awal, hingga saat ini."Ribet juga ternyata, ya? Kalau diangkat jadi film, seru kayaknya, Din!" ucap Zia menanggapi, disusul kekehan ringannya. Seolah apa yang aku jelaskan hanya dongeng semata. "Kamu nggak percaya aku?""Percaya, Din. Percaya. Cuman ... kerasa drama aja. Kalah Drakor mah!""Kayaknya aku nyesel cerita ke kamu, Zi.""Eits! Jangan marah dong, Din! Aku cuman bercanda!" kata Zia dengan nada penyesalan kentara dari suaranya. Aku menghela napas panjang. Dari posisi berbaring telentang di atas tempat tidur, aku ubah menjadi duduk di kursi rias. Menatap wajah sendiri yang tampak lebih kusam dari biasanya. "Jadi, kamu bisa bantu aku? Ada Allan, kok. Jadi aman!" ucapku meyakinkan. "Hm ... oke, deh! Kayaknya seru gabung." Zia lagi-lagi menganggap ini sepert
Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk
"Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk
Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar