"Maaf ... maaf." Hanya itu yang bisa Satya katakan tanpa berbalik sedikitpun untuk melirik orang yang baru saja ia tabrak. Bisik-bisik sekumpulan manusia yang mengenalinya tidak menjadi penghalang, bahkan beberapa orang yang ingin meminta foto terpaksa dengan tegas Satya tolak.
Hingga Satya tiba di depan ruang rawat. Bunda keluar dari balik pintu dengan wajah cemas yang kentara.
"Medina gimana, Bun?" tanya Satya cepat.
"Baik-baik aja. Kamu nggak usah terlalu khawatir." Bunda mengatakan hal tersebut dengan senyum menenangkan, tetapi wajahnya tetap tidak menghilangkan raut khawatir.
"Dia baik-baik aja, kok, Satya. Cuman kepalanya dijahit dikit." Amira yang berada di belakang punggung Bunda menyahut.
"Kamu masuk, gih. Bunda mau temani Amira pulang dulu." Kalimat tersebut diakhiri dengan Bunda menepuk pundak Satya dua kali. "Assalamualaikum."
&nbs
Aku kesulitan mencerna apa yang Mas Satya katakan tadi. Dengkusanku otomatis keluar, bingung harus bersikap dan membalas apa. "Kamu hamilin Runika terus nggak mau tanggungjawab gitu? Hah!" Aku memalingkan wajah, tidak percaya. Selama setahun ini, aku menikah dengan suami yang tidak bisa menjadi pemimpin seperti Mas Satya ini. "Bukan Mas yang hamilin, seriusan. Mas bisa jamin, demi Allah. Bukan Mas." "Terus siapa? Ngapain Runika minta pertanggungjawaban kamu kalau bukan kamu pelakunya?" Aish, kepalaku berdenyut sakit. Sembari memegang luka di kening, aku berusaha menenangkan diri. Namun, sulit. Serangannya datang dari dalam. Pernyataan Mas Satya langsung mengenai hati dan harapanku. "Itu yang Mas cari tahu selama ini." Mas Satya melemahkan intonasi suaranya. "Tapi nggak ada jejak. CCTV hotel nggak rekam orang yang dibawa masuk Runika. Sialnya, waktu itu, Mas lagi diskusi masalah kerjaan sama r
Aku masih mencerna apa yang terjadi. Usai nama Amira keluar, ketiga orang ini segera mengalihkan pandangan ke arahku."Nggak mungkin dia, kan? Mas?" tanyaku pelan-pelan, enggan menerima kenyataan ini. Sementara Mas Satya terkejut, Allan dan Lisa malah sibuk dengan ponsel mereka."Amira ipar kamu ini, kan?" tanya Allan mengonfirmasi dengan ekspresinya yang serius, membiusku untuk mengangguk dua kali secara teratur. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Mas?" panggilku, menunggu reaksi dri Mas Satya, tetapi dia juga tampak sama bingungnya."Kalian tahu asal usul Amira ini?" Lisa angkat suara, dengan pandangan secara bergilir terarah padaku dan Mas Satya.Mas Satya mewakiliku menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sekali."Berarti masuk kemungkinan." Lisa bergumam pelan, lalu menarikan jemarinya di atas layar dengan begitu lincah. "Ada kejadian aneh lain saat atau sebelum atau sesudah kamu berinteraksi dengan Am
Sebelum berangkat ke lokasi shooting, Mas Satya sempatkan singgah di rumah lama kami, karena rencananya, acara pengumuman pernikahan akan dilakukan di sini. Sungguh, membayangkan Mas Satya akan mengakuiku ... itu fantastis. Aku bahkan tidak pernah merasakan khawatir atas cemas berlebihan terhadap ancaman orang lain. "Berapa penjaga yang kamu siapkan?" tanya Mas Satya. Dia berbanding terbalik denganku yang exited untuk acara nanti. Mas Satya malah parno habis-habisan, dan terus mengonfirmasi persiapan, takut jika ada kesalahan."Ada 25 orang, Pak. Ada 5 yang nantinya bakalan jaga di depan, pastikan mereka nggak ada yang bawa senjata tajam. 16 lainnya, termasuk saya dan Lisa, akan menjadi tamu, supaya bisa mengawasi mereka lebih baik lagi. Empat terakhir, masing-masing menjadi pengawas CCTV." Allan menjelaskan dengan penuh ketelitian, sadar betul dengan kecemasan Mas Satya. "CCTV sudah dipasang di seluruh area. Nggak ada tempat yang nggak dipasangin CCTV.
Seharusnya aku bisa bersikap biasa saja. Kanan-kiri, di antara para tetamu, ada banyak penjaga Mas Satya. Aku yakin, akan melindungiku sebaik mungkin.Namun, kadang khawatir ini tidak bisa aku elak. Sama seperti penjaga Mas Satya yang tidak terbaca, aku juga tidak tahu musuh berada di bagian mana. Semoga aku tidak salah mendekati orang lain, yang mungkin bisa berakibat fatal. Entah sudah berapa menit aku berdiri di tempat. Sangat kaku, juga tegang. Aku harus menetralkan suasana hati agar tidak mencurigakan, dan Mas Satya bisa menjalankan rencananya dengan lancar. Pilihanku jatuh untuk duduk di salah satu kursi tamu. Mengangkat sebelah tangan dengan anggun, untuk memanggil seorang pelayan, meminta minuman. Pelayan itu hendak pergi, tetapi terjeda sesaat karena ada perempuan lain yang meminta dibawakan hal sama. Perempuan itu ... Kinanti. Posisi duduk aku perbaiki, gugup. Apa yang akan Kinanti lakukan? Pertanyaan itu terus berkeliaran d
Seorang pria asing ikut masuk ke kamar, ketika aku masih berjuang ingin melepaskan diri dari Amira. Ketika pria itu mengelapi wajahnya dengan selembar handuk, tampak lah wajah aslinya yang lepas dari segala macam make up—penyebab kenapa ia bisa lolos dari segala penjagaan. Pria itu ... pacar Amira, saudara tiri Runika, dan yang menyiram tanganku dengan air panas kemarin. Astaga, ini bagaimana sekarang?Usahaku berteriak tidak membuahkan banyak hasil selain suara-suara dengung yang berusaha aku keluarkan teredam oleh suasana pesta di luar. Pun juga, di mana puluhan penjaga Mas Satya? Kenapa lengah, sampai dua orang asing masuk ke kamar—area paling pribadi— secara bebas?Aku meronta semakin kuat ketika tanganku diambil alih oleh pria asing ini. Sementara Amira berganti, pria ini juga mengeluarkan sebuah tas dari spandek dari salah satu saku jaket kulitnya. Menggunakan itu untuk menutupi wajahku, lalu selanjutnya, aku diseret paksa untuk melangkah meninggalk
Seberapa berharganya cinta pertama?Aku masih kuliah semester satu ketika seorang pria yang aku kagumi setiap kali datang ke kampus, menghampiriku. Kami nyaris tidak pernah berinteraksi sebelum ini, dan menyadari bahwa arah kakinya melangkah adalah padaku, detak jantung seketika bertambah keras dari biasanya. Posisi duduk, walau bagaimanapun aku perbaiki, tetap tidak mengurangi kegelisahan dalam diri. Perhatian aku alihkan pada buku bacaan, tetap tidak bisa mencegah mataku melirik-lirik pada sosok itu. Satria Gulbahar Ilhami. Dia hanya alumni di sini. Sering menampakkan diri, karena diundang oleh pihak kampus untuk mengisi beberapa seminar. Karena, setelah kelulusannya dari kampus, dia langsung menjamah perkantoran almarhum papanya, dan bisa membuat perusahaan bidang makanan milik papanya yang nyaris bangkrut—penyebab kematiannya—menjadi sukses dan berkembang pesat di seluruh Indonesia. Parasnya menarik. Memiliki kulit eksotis khas seorang peke
Selama dua pekan aku dirawat di rumah sakit, Satria tidak pernah absen sehari pun untuk menjenguk. Sebelum berangkat bekerja, dia akan mampir sebentar. Pun ketika pulang dari kantor, dia akan singgah walau hanya beberapa menit, atau sekadar menanyakan kabar. "Kamu sudah makan?" Setiap kali muncul, pertanyaan itu yang akan Satria keluarkan. Ia akan meletakkan jas kerjanya di sandaran kursi, lalu mengambil alih mangkuk bubur dari nakas.Sangat tahu, bahwa aku tidak terlalu menyukai bubur rumah sakit. Meski tidak memberikan makanan pengganti, Satria akan duduk di kursi besi samping ranjang rumah sakit untuk menyuapiku. Satu demi satu sendok bubur habis di mangkuk, berpindah dalam perutku. Aku tersenyum, ketika Satria memberikan air minumnya. "Papa kamu tumben nggak ada. Biasanya gantiin CCTV liat kita berdua," ujar Satria. Aku terkekeh ringan. "Tadi siang pulang sebentar. Malam ini kayaknya balik lagi. Papa punya urusan dulu sama kerjaan
Tanganku melambai pada mobil Satria yang semakin menjauh. Terus tersenyum, sampai mobil hilang dari pandangan. Pundakku luruh seketika. Setiap pijakanku memasuki rumah terasa lesu. Beruntung, Papa muncul dengan membawa dua cangkir teh hangat. Setelah beliau meletakkan cangkir di atas meja, aku langsung memeluknya dengan posisi berdiri. "Mas Satya tadi kecewa banget liatnya, Pa." Aku langsung bercerita, dan menumpahkan segala keluh kesah pada pria kuat yang mendekapku ini. "Aih, seriusan, nggak tega tadi liatnya."Papa mengusap kepalaku dengan lembut. Membiarkan waktu berlalu dengan segala kegelisahanku menguap, dengan kami berpelukan begini. Setelah napasku berembus panjang sekali, barulah Papa mengajakku untuk duduk di sofa. Teh buatan Papa aku sesap beberapa kali. "Kamu mau lanjut, atau stop?" tanya Papa. "Kalau kamu lanjut, ini akan beresiko, Nak. Nggak ada yang tahu musuh Satya sebenarnya siapa. Kamu bisa saja disakiti lebih daripada kemarin. Papa sa
Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se
"Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu
Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa
Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar
Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken
Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini
Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng
"Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk
Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk