Suara klakson terus berbunyi panjang, membuat gerakan lamban saat menuang air panas menjadi 2 kali lebih cepat. Dua botol termos aku tutup cepat, lalu bawa lari, sambil kocok supaya kopinya bercampur merata.
Hampir lupa mengunci rumah. Aku yang menginjak tangga teras terakhir terpaksa berputar 180 derajat untuk kembali mengunci pintu, lalu masuk ke mobil Mas Satya.
Napas aku embuskan kasar, kemudian menyerahkan sebotol termos pada Mas Satya.
"Sekarang, aku udah biasa kerja sama Mas. Udah bisa atur solusi buat tiap masalah." Dengan bangganya aku mengeluarkan kalimat barusan. "Ini kopi, biar nggak ngantuk. Aku juga satu."
"Pintar!" puji Mas Satya kemudian mengusap kepalaku beberapa kali. Mobil bergerak, meninggalkan pekarangan rumah dengan laju yang terbilang cepat.
Sambil Mas Satya fokus dengan jalanan, aku membuka iPad, mengecek lagi jadwal Mas Satya. Tidak terlalu padat hari ini
Pagi tadi terlalu buru-buru karena aku ketiduran lagi setelah subuh, alhasil lupa membuat kopi. Ingin memesan, tapi sekarang sedang jam sibuk-sibuknya, apalagi Mas Satya. Jadwal untuk 3 minggu ke depan harus diatur ulang karena adanya penambahan kegiatan amal untuk besok. Sekarang, aku bahkan tidak bisa memesan via online, karena sejak jam 8 tadi, menelepon beberapa pihak penyelenggara kegiatan Mas Satya. Aku harus memutar otak untuk menjelaskan alasan perpindahan jadwal yang beberapa disayangkan pihak stasiun televisi karena waktu mepet. Beberapa lagi sangat mudah dinegosiasi, karena belum promosi.Sebelum melanjutkan masalah ini lagi, aku memijit pelipis kuat. Kurang tidur, tanpa kopi, dan tidak banyak bergerak. Aku merasa tidak bertenaga meski sudah sarapan tadi. Tidak bisa melakukan apa-apa selain menyelesaikan tugas ini secepat mungkin, lalu berisitirahat sebentar sambil meminum kopi."Permisi."Ak
Tubuhku serasa berton-ton beratnya ketika memaksa bangun dari tempat tidur. Selama mengumpulkan sisa-sisa nyawa, aku melirik sekitar. Uh, sebelah sepatu masih terpasang di kaki, sebelahnya lagi entah di mana.Mataku yang masih 5 watt ini melirik ke meja nakas, ke jam digital.Tunggu. Ini aku tidak salah lihat, kan?JAM 8 PAGI?Aku langsung turun dari tempat tidur, keluar dari kamar dan memeriksa sekitar. Sepi. Mobil Mas Satya bahkan tidak ada di luar. Aku mendesis kesal, dan menendang pintu sembarangan. Langkah seketika lesu ketika memasuki kamar mandi. Sholat subuh, dan mandi. Bagaimana pun, aku harus berangkat hari ini untuk menyelidiki Livy.Setelah mengenakan kulot hitam, long dress cokelat, dan pasmina hitam, serta sneakers senada, aku bersiap berangkat. Memakai tas dan ... Ipad rusak, harus aku urus sesegera mungkin besok. Kemarin terlalu fokus pada luka sampai
Karena sisa beberapa episode lagi, dan sekarang sedang masa-masa sibuknya Mas Satya, maka aku memilih bungkam mengenai hal buruk kemarin. Memilih diam, dan memperhatikan sekitar. Semuanya tampak seperti ancaman bagiku. Entah siapa salah satu dari orang-orang yang lalu-lalang di hadapan ini membenciku.Aku menggigiti kuku untuk mengurangi beban pikiran, tapi tidak bisa. Orang itu terlalu nekat, sudah berani menyakiti secara fisik. Tapi ... siapa di antara mereka yang patut aku jatuhi curiga?"Med? Bengong aja!"Aku terlonjak kaget atas sapaan ringan tersebut, sehingga si pelaku, Ifan, tertawa tanpa beban di sampingku."Segitunya ih! Pasti banyak pikiran, ya? Mikirin apa sih? Ini minum dulu, Med. Udah beberapa jam aku liatin kamu duduk di sini nggak gerak-gerak," kata Ifan kemudian menyodorkan minuman padaku. Ia ikut duduk di kursi sampingku, dan memperhatikan para artis sedang memain
Sembari memeluk tas, aku keluar dari ruangan mushola. Melirik sekitar penuh waspada, dan saat baru menginjak lantai luar, aku terlonjak kaget mendapati Lisa bersandar di tembok."Bu Lisa ngapain di sini?" tanyaku dengan nada meninggi.Wanita galak ini memasang tampang dingin, kemudian menjauh dari tembok sembari mengangkat kedua bahunya tidak peduli."Mau ikutan sholat, eh saya bukan muslim."Jawaban macam apa itu?Aku menatap punggung Lisa yang menjauh dari pandangan dengan curiga. Meneguk ludah sekali, dan aku menetapkan kecurigaan pada wanita itu. Ada kemungkinan dia tahu hubunganku dengan Mas Satya, dan cemburu sehingga dia meneror seperti ini, kan? Tapi, Runika? Hubungan Lisa dengan perempuan itu apa?Sial, aku pusing. Aku memijit pelipis, melanjutkan perjalanan. Kali ini, tidak mengekor Mas Satya lagi. Aku memilih keluar, bergabung dengan be
Posisi berbaring dengan selimut menutup tubuh hingga leher tetap aku pertahankan, karena Mas Satya masih mondar-mandir di sekitar. Lalu, setelah aku pikir ia keluar kamar, tempat tidur malah bergerak. Beberapa kecupan singkat mendarat di pipi, puncak hidung, dan keningku."I love you." Ciuman ringan Mas Satya berikan. Bukan sekali, dua kali. Beberapa kali, sampai ia terkekeh sendiri.Aku ingin membalasnya, tetapi tidak bisa. Agar terlihat sangat lelah karena pekerjaan, aku tetap diam dengan mata terpejam.Ranjang kembali bergerak. Suara derit pintu terdengar. Aku mulai membuka mata. Tetap tidak mengubah posisi untuk beberapa saat memeriksa sekitar. Sepi. Aku langsung duduk, mempertajam indra pendengaran hingga mendapati suara mobil Mas Satya yang menjauh.Pandangan aku edarkan ke sekitar. Bergeser pelan ke pinggir tempat tidur, lalu turun. Uh, bahkan sajadah masih belum kembali ke t
"Maaf ... maaf." Hanya itu yang bisa Satya katakan tanpa berbalik sedikitpun untuk melirik orang yang baru saja ia tabrak. Bisik-bisik sekumpulan manusia yang mengenalinya tidak menjadi penghalang, bahkan beberapa orang yang ingin meminta foto terpaksa dengan tegas Satya tolak.Hingga Satya tiba di depan ruang rawat. Bunda keluar dari balik pintu dengan wajah cemas yang kentara."Medina gimana, Bun?" tanya Satya cepat."Baik-baik aja. Kamu nggak usah terlalu khawatir." Bunda mengatakan hal tersebut dengan senyum menenangkan, tetapi wajahnya tetap tidak menghilangkan raut khawatir."Dia baik-baik aja, kok, Satya. Cuman kepalanya dijahit dikit." Amira yang berada di belakang punggung Bunda menyahut."Kamu masuk, gih. Bunda mau temani Amira pulang dulu." Kalimat tersebut diakhiri dengan Bunda menepuk pundak Satya dua kali. "Assalamualaikum."&nbs
Aku kesulitan mencerna apa yang Mas Satya katakan tadi. Dengkusanku otomatis keluar, bingung harus bersikap dan membalas apa. "Kamu hamilin Runika terus nggak mau tanggungjawab gitu? Hah!" Aku memalingkan wajah, tidak percaya. Selama setahun ini, aku menikah dengan suami yang tidak bisa menjadi pemimpin seperti Mas Satya ini. "Bukan Mas yang hamilin, seriusan. Mas bisa jamin, demi Allah. Bukan Mas." "Terus siapa? Ngapain Runika minta pertanggungjawaban kamu kalau bukan kamu pelakunya?" Aish, kepalaku berdenyut sakit. Sembari memegang luka di kening, aku berusaha menenangkan diri. Namun, sulit. Serangannya datang dari dalam. Pernyataan Mas Satya langsung mengenai hati dan harapanku. "Itu yang Mas cari tahu selama ini." Mas Satya melemahkan intonasi suaranya. "Tapi nggak ada jejak. CCTV hotel nggak rekam orang yang dibawa masuk Runika. Sialnya, waktu itu, Mas lagi diskusi masalah kerjaan sama r
Aku masih mencerna apa yang terjadi. Usai nama Amira keluar, ketiga orang ini segera mengalihkan pandangan ke arahku."Nggak mungkin dia, kan? Mas?" tanyaku pelan-pelan, enggan menerima kenyataan ini. Sementara Mas Satya terkejut, Allan dan Lisa malah sibuk dengan ponsel mereka."Amira ipar kamu ini, kan?" tanya Allan mengonfirmasi dengan ekspresinya yang serius, membiusku untuk mengangguk dua kali secara teratur. Dia kembali sibuk dengan ponselnya."Mas?" panggilku, menunggu reaksi dri Mas Satya, tetapi dia juga tampak sama bingungnya."Kalian tahu asal usul Amira ini?" Lisa angkat suara, dengan pandangan secara bergilir terarah padaku dan Mas Satya.Mas Satya mewakiliku menjawab dengan mengangkat kedua bahunya sekali."Berarti masuk kemungkinan." Lisa bergumam pelan, lalu menarikan jemarinya di atas layar dengan begitu lincah. "Ada kejadian aneh lain saat atau sebelum atau sesudah kamu berinteraksi dengan Am