Bocilnya Mas Duda

Bocilnya Mas Duda

By:  Mami Mochi   Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
17Chapters
1.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Lulu, seorang gadis awal dua puluhan yang tengah kebingungan membayar biaya kuliah. Kedua orang tuanya yang juga dalam kesulitan membuat Lulu mengambil pilihan terbesar untuk masa depannya. Pak Bagas, seorang Duda satu anak yang sejak awal tertarik dengan Lulu memberi pilihan pada gadis yang disukainya. Ikatan pernikahan yang Pak Bagas tawarkan pada Lulu untuk membantu gadis itu, sekaligus karena perasaan ingin memiliki gadis pujaannya begitu menggebu tak mampu di tahan lagi. Lulu pikir semuanya akan berjalan baik karena ia menikah dengan pria yang mencintainya. Namun tidak begitu, kesulitan demi kesulitan harus ia hadapi demi keberlangsungan pernikahannya dengan Pak Bagas. Hidupnya baru saja dimulai sejak cincin emas tersemat di jari manisnya. *** Desain Cover oleh Ramagendhis

View More

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
17 Chapters

Part 1 | Lamaran atau Tawaran?

Gerimis mengguyur jalanan kota Surabaya sore ini. Sinar oranye yang seharusnya menghias langit, justru tergantikan awan gelap membawa rintik hujan. Tak cukup deras memang, namun mampu melukai wajah ketika mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm. Aku duduk di balik kaca, dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di hadapan ku. Coffee shop depan kampus menjadi pilihan saat ini untuk menikmati sore dengan santai. Tanpa deadline tugas, maupun pekerjaan lain yang akan mengganggu waktu. Selain seorang mahasiswa, aku bekerja sebagai pelayan cafe di salah satu cafe setiap akhir pekan dan menjadi guru les privat. Sedikit banyak, orang tua ku di desa membantu meringankan biaya kuliah, namun aku juga memikirkan nasib orang tua ku jika harus memberikan uang bulanan yang begitu banyak untuk kebutuhan ku di kota. Seketika aku teringat pembicaraan antara aku dengan orang tua dari anak yang menjadi anak didik ku. Pembicaraan yang membuat ku harus berpikir dua kali, apakah ini
Read more

Part 2 | Sebuah Keputusan

"Lebih baik mengambil cuti satu semester terlebih dahulu, dari pada kamu seperti ini. Bukannya apa, tapi kamu sudah banyak ijin di matkul saya." Aku duduk menatap gamang pada Bu Icha, salah satu dosen pengampu mata kuliah semester tiga sekaligus Dosen PA. Bu Icha tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya yang malas ketika menatap ku. Aku menyadari kesalahan ku yang beberapa kali ijin dan membolos ketika Bu Icha mengajar di kelas. Alasannya sama, aku harus bekerja di cafe ketika ada salah satu member lain yang libur atau ada masalah. Tuntutan kebutuhan kuliah ku membludak secara cepat seiring bertambahnya semester yang aku tempuh. Sebenarnya, aku bisa saja mengambil cuti satu semester sembari mengumpulkan uang untuk biaya kuliah pada semester selanjutnya. Tapi, tentu saja aku akan telat lulus, dan menambah satu semester ke depan. Itu di luar rencana yang telah aku susun. "Bagaimana Leuca?" Tanya Bu Icha tidak sabaran. Aku masih duduk dengan raut bingung, rasanya aku ingin segera m
Read more

Part 3 | Calon Suami

Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota. Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah. Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan. "Kamu masih ragu?" Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali s
Read more

Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu. "Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik. Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas." Bapak diam menatap ku. Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..." Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam. "Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan k
Read more

Part 5 | Hari Yang Ditunggu

Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak. "Cantiknya anak Ibu." Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu..." "Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu." "Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh. "Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar." "Ibu jangan n
Read more

Part 6 | Kecerobohan Lulu

"Lulu." Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja." Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut. "Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung. "Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa
Read more

Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

"Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan. "Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan. Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya. "Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya." Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu." "Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?" Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan
Read more

Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

"Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den
Read more

Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."
Read more

Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

"Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang
Read more
DMCA.com Protection Status