"Lulu."
Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja."Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut."Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung."Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa bersalah sama Pak Bagas, takut perkataan Bapak menyakiti hati Pak Bagas.""Di kampus juga, Pak Bagas tidak ada. Padahal kan biasanya Pak Bagas jarang sekali absen, selalu masuk ngajar." Tambah ku dengan nada menggebu-gebu ingin tau.Namun, respon Pak Bagas di luar dugaan ku. Pak Bagas justru tertawa, seakan apa yang aku ucapkan terdengar lucu. Memangnya begitu?"Bapak kenapa ketawa sih?""Karena kamu lucu.""Serius dong Pak!" Aku mulai kesal karena jawaban Pak Bagas yang terkesan bermain-main dengan ku. Padahal aku benar-benar ingin tau, ada apa sebenarnya?"Iya, iya... Lulu ingin tau soal apa?" Kini, Pak Bagas berkata dengan nada serius. Sisa-sisa tawa hilang tanpa bekas."Ya, semuanya. Semua yang tidak Lulu ketahui." Balasku.Pak Bagas membenarkan posisi agar berhadapan dengan ku. Wajahnya terlihat serius, namun berbeda dengan raut serius yang selama ini aku lihat di kelas. Raut serius yang benar-benar baru pertama kali aku lihat."Saya hanya memperjuangkan kemampuan saya di hadapan Bapak."Aku masih tidak mengerti, "Maksudnya Pak?""Bahwa saya, mampu membahagiakan kamu. Melindungi kamu. Mencintai kamu dengan setulus hati saya."Di luar ekspektasi ku, aku tidak menyangka Pak Bagas akan berkata demikian. Aku terpaku menatap Pak Bagas. Rasanya tidak mungkin, namun kenyataannya Pak Bagas sudah menjadi suamiku sekarang."Tapi gimana bisa?""Gimana bisa, Bapak merestui pernikahan kita. Padahal sebelumnya, Bapak tidak menyambut baik kehadiran Pak Bagas. Bapak juga bersikeras agar Lulu tetap menyelesaikan kuliah dulu."Pak Bagas tersenyum, "Itu yang di namakan perjuangan Lu. Tidak mudah perjuangan saya untuk membuktikan jika saya benar-benar mencintai kamu. Apalagi Bapak sedikit kaku."Aku mengangguk membenarkan pernyataan Pak Bagas. "Itu kenapa Lulu lebih takut sama Bapak dari pada Ibu.""Terlihat dari bagaimana kamu menjadi pendiam di hadapan Bapak.""Tapi, sebenarnya Bapak itu orang yang baik. Cuma, Lulu masih belum paham sama sikap Bapak aja.""Jangan di pikirkan. Sekarang kamu istirahat, sudah malam."Aku mengernyit mendengar kalimat penutup Pak Bagas. Istirahat? Tidur maksudnya?"Kenapa menatap saya seperti itu?"Aku mengerjapkan mata pelan, lantas menggeleng. "Bapak ngantuk?"Pak Bagas menggeleng, "Saya ada pekerjaan. Tugas dari mahasiswa belum saya koreksi selama saya absen beberapa hari lalu. Jika saya menunda, maka tidak akan selesai dengan cepat."Tanpa ku sangka, Pak Bagas bangkit dari sofa. Aku mengikuti Pak Bagas. Mengabaikan perintahnya yang meminta ku untuk tidur."Ada apa?" Pak Bagas bertanya begitu melihat ku mengikutinya."Mau kopi?" Tawar ku. Rasanya aku juga belum mengantuk, jadi tidak ada salahnya aku menemani Pak Bagas."Boleh. Antar ke kamar ya."Dengan semangat aku berjalan ke dapur. Membuatkan secangkir kopi untuk suamiku sebagai tugas pertama seorang istri. Sesuai dugaan ku, Pak Bagas rajin sekali. Disiplin waktu.Aku menatap sekeliling, tidak asing dengan rumah yang aku pijaki sekarang. Masih sama, hanya bedanya adalah status ku yang dulu sebagai guru les private kini menjadi istri dari Pak Bagas sekaligus ibu sambung untuk Lily.Ah, benar Lily.Gadis kecil yang kini menjadi anak tiri ku itu sedang berada di rumah orang tua Pak Bagas. Kata orang tua Pak Bagas, mereka akan menjaga Lily beberapa hari dan membiarkan aku juga Pak Bagas menikmati waktu berdua sebagai pengantin baru. Bahkan mereka mengatakan agar Pak Bagas mengajakku bulan madu meski hanya dua hari."Tunggu!""Bulan madu?"Aku masih berpikir, otakku terasa lemot sekarang."Maksudnya? Malam pertama sebagai suami dan istri?"Aku membulatkan mata terkejut, "Bagaimana bisa aku melupakannya!"Aku diserang panik seketika. "Aku tidak siap. Bagaimana jika Pak Bagas memintanya? Bagaimana caranya aku menolak?""Bagaimana ini, bagaimana?"Aku merasa jantung ku berdebar sekarang. Aku takut Pak Bagas meminta haknya malam ini. Apalagi di rumah ini sepi, hanya ada aku dan Pak Bagas."Aku tidak siap melakukannya! Bagaimana caranya bilang sama Pak Bagas?"Kedua tangan ku terasa dingin, tubuh ku bergetar takut. Rasanya aku ingin menangis sekarang. Aku takut menemui Pak Bagas. Aku tidak siap melakukan kewajiban ku sebagai istri untuk Pak Bagas. Bagaimana ini?Suara melengking dari dalam teko terdengar nyaring, aku terkejut mendengarnya. Jantung ku berdegup kencang, bukan jatuh cinta tapi saking terkejutnya."Ngagetin aja sih!"Aku langsung mengambil lap, ku gunakan mengangkat teko panas untuk ku tuangkan ke dalam cangkir yang berisi bubuk kopi. Ku aduk perlahan hingga tercampur rata."Duh, gimana bilangnya sama Pak Bagas?""Bilang apa?""Astagfirullah!"Untuk kesekian kalinya aku terkejut hingga air kopi yang masih panas terkena tangan ku. Aku mengipaskan tangan, terasa panas melanda hingga aku merintih."Aw!""Ya Allah, Lulu!"Pak Bagas dengan sigap mengambil tangan ku, membawanya ke wastafel dan mengalirkan air dingin di atas tangan ku. Tepat di atas luka bakar yang kini sudah memerah."Kamu mikirin apa sih, kok bisa sampai begini?""Aduh, panas Pak!" Aku merintih kesakitan. Rasa panas tak mampu ku tahan. Mengabaikan pertanyaan Pak Bagas karena aku fokus pada rasa panas di tangan ku."Jangan di tarik, biarkan di bawah air mengalir agar luka bakarnya tidak memburuk.""Tapi panas, Pak!""Tahan Lu."Aku masih meringis, rasa panas semakin menjadi ketika tangan ku berada tepat di bawah pancuran air. Karena tidak tahan dengan rasa panasnya aku selalu menarik tanganku menjauh, namun kalah kuat dengan tenaga Pak Bagas. Pak Bagas begitu erat menggenggam tanganku agar berada di sana."Pak Bagas, sudah!" Aku masih mencoba menarik pergelangan tangan ku dari genggaman Pak Bagas, namun tidak berhasil."Pak Bagas! Rasanya semakin panas!"Pak Bagas tidak memedulikan rontaan ku, karena menghadapi ku membutuhkan tenaga ekstra. Pak Bagas melingkarkan tangannya melingkupi tubuhku. Aku yang semula berada di samping Pak Bagas, kini berada di depan Pak Bagas. Menempel erat pada dadanya. Dapat ku dengar deru napasnya yang memburu."Jika tidak di obati dengan benar, luka bakarnya akan membekas." Ucap Pak Bagas tegas tak ingin dibantah membuat ku terdiam mematung.***"Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan. "Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan. Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya. "Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya." Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu." "Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?" Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan
"Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den
Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."
"Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang
Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa
Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang
Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P
Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s