"Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan.
"Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan.Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya."Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya."Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu.""Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?"Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan kondisi ku sekarang."Engga kok Pak, Lulu gapapa.""Apa karena saya yang meminta kamu ikut dengan saya? Padahal kita baru selesai melaksanakan akad di rumah kamu. Seharusnya saya memberikan kamu waktu untuk Bapak dan Ibu di rumah." Papar Pak Bagas."Pak Bagas ngomong apa sih? Lulu itu istri Pak Bagas, jadi sudah tugas Lulu ikut kemana pun Pak Bagas pergi.""Jadi kamu kepikiran apa?""Kelihatan banget ya, Pak?" Aku bertanya dengan cengengesan.Tak ku sangka tangan Pak Bagas terangkat, mengelus pipi kiri ku pelan. "Ekspresi kamu tidak bisa membohongi saya, Lulu."Aku terpaku sejenak, tatapan Pak Bagas seakan melumpuhkan ku. Membuat seluruh tulang dan sendi ku melemas hingga aku tak berdaya di bawah tatapan matanya. Aku hanya takut, tatapan Pak Bagas menjadi tantangan terbesar ketika aku berbohong nanti.Eh, apakah aku berniat berbohong pada suami ku? Tidak! Tidak! Maksud ku bukan begitu, aku hanya mengatakan jika aku akan cepat mengaku dengan tatapan Pak Bagas yang... Entahlah, sungguh aku tidak berkutik sekarang! Apalagi pemikiran soal malam pertama sebagai suami istri, bagaimana aku mengatakan jika aku belum siap? Aku takut."Lulu, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Pak Bagas lagi.Aku tersentak, "Eh, engga ada kok Pak."Sebelah alis Pak Bagas terangkat, tatapannya semakin menyelidik. "Anggap saja, saya percaya.""Memang Pak Bagas tidak percaya?" Tanya ku penasaran. Karena aku tidak mau mengaku."Saya lebih percaya dengan ekspresi kamu dari pada ucapan kamu." Balas Pak Bagas. Aku mencibir dalam hati."Tunggu disini, saya ambilkan kotak P3K di kamar." Aku mengangguk saja, membiarkan Pak Bagas pergi ke kamar.Begitu Pak Bagas bangkit, pandangan mata ku tertuju pada satu kotak berwarna merah dengan pita berwarna senada di atas meja. Perasaan, kotak ini belum ada saat aku duduk di sofa bersama Pak Bagas tadi."Pak Bagas!" Panggil ku cepat, sebelum Pak Bagas pergi ke kamar."Ya?"Aku menunjuk ke meja, tepatnya pada sebuah kotak yang singgah disana. "Itu, kotak apa?""Ah, iya. Saya lupa. Itu hadiah dari Wahyu untuk kita, katanya kado pernikahan." Jawaban Pak Bagas membuat ku bertanya-tanya."Memangnya tau apa Wahyu soal kado pernikahan?""Biarkan saja, lagi pula saya menghargai pemberian Wahyu untuk kita." Balasan Pak Bagas membuat ku semakin curiga."Isinya apaan sih, Pak?""Saya juga tidak tau, belum saya buka.""Lulu buka ya?" Aku menawarkan diri. Perasaanku di liputi rasa penasaran dengan pemberian Wahyu."Buka saja."Mendapat ijin dari Pak Bagas, aku mengambil kotak kado itu dengan cepat. Seakan rasa panas di punggung tangan ku sirna. Aku memiliki kekuatan untuk mengeksekusi kado dari Wahyu. Pak Bagas melanjutkan langkahnya menuju kamar, mengambil kotak P3K untukku.Aku membuka kotak kado yang membuat ku amat sangat penasaran, "Wahyu ngasih kado apa sih, gede banget.""Jangan-jangan selimut bulu lagi." Aku tertawa dengan asumsi ku sendiri. Hanya itu yang aku pikirkan saat ini, lagi pula kotak kado ini sesuai ukuran dengan bed cover. Mungkin saja kan, selimut tebal?Aku berharap selimut karakter lucu yang akan Wahyu berikan sebagai hadiah pernikahan. Namun ternyata tidak. Di dalam kotak kado, terdapat beberapa barang yang ku rasa sangat random."Ini apasih? Ga jelas banget deh si Wahyu!"Aku mengobrak abrik isi kado. Bukan satu macam, tapi banyak. Hanya saja, kadonya tidak jelas. "Ini apaan lagi?!""Apaan sih, si Wahyu! Ngasih kado tuh yang sesuai gitu loh, ini apaan ngasih kado isinya permen semua! Di kira Mbaknya ini anak kecil! Pake tisu seabrek di borong lagi. Buang-buang duit aja deh!""Lulu kira cuma shampo doang yang sachet, ternyata tisu juga ada. Ini gimana konsepnya sih!" Aku tertawa melihat kado dari Wahyu, random sekali."Segala tisu basah, tisu kering di borong. Di kira Pak Bagas ga sanggup beli?" Aku masih tidak percaya dengan kado random dari Wahyu."Aw!"Terlalu semangat membuka kado dari Wahyu, tak sengaja membuat luka bakar ku tersenggol kertas cacah sebagai isian kado. Rasa terbakar semakin terasa, aku meniupi punggung tangan, berharap sedikit mereda. Namun nihil, rasa panas masih menjalar perih.Teringat dengan kado yang Wahyu berikan, aku mengambil sesuatu dari sana. Membuka pelan dan mengambil isinya. Terasa basah dan dingin. Namun ada yang aneh, aroma menyengat menusuk hidung begitu aku mengambil isinya. Tidak seperti yang biasa aku beli, pemberian dari Wahyu memang sedikit berbeda.Tapi tidak masalah, yang penting luka bakarnya tidak terasa panas lagi."Lulu, kamu ngapain?"Suara Pak Bagas menyapa, membuat ku mendongak. Pria itu telah kembali dengan kotak persegi putih di tangannya. Menatap ku yang sedang meniupi punggung tangan. Rasa panas membuat ku tak tahan."Kompres tangan Pak. Ga sengaja kesenggol sama isian kado, jadi rasanya panas lagi." Jawab ku ringan. Berbeda dengan tatapan Pak Bagas yang terkejut dengan apa yang aku lakukan."Kamu pake ini?"Aku mengangguk saja, "Lulu males kalo ke dapur, ada tisu basah. Ya udah, Lulu pake itu aja. Toh sama kan? Cuma bau nya aja yang beda.""Astagfirullah Lulu!"Pak Bagas langsung membuang tisu basah yang menempel di tangan ku ke sembarang arah. Lalu memeriksa kotak kado yang sudah terbuka di atas meja. Mengobrak abrik isinya, membuat ku menatap Pak Bagas tidak mengerti."Bapak kenapa sih?" Aku bingung melihat reaksi Pak Bagas."Kamu pake ini?" Todong Pak Bagas mengacungkan tisu sachet yang sudah ku ambil isinya, tertinggal bungkus kosong saja."Iya." Aku mengangguk meski bingung."Ya Allah, Lulu! Kok kamu pake sih!""Kok Pak Bagas marah? Kan tadi Bapak yang bilang kalo saya boleh buka kadonya!""Tapi saya tidak tau kalau isinya seperti ini!""Seperti ini gimana sih Pak? Isinya aja gak jelas! Masa kado pernikahan isinya permen rasa-rasa sama tisu! Masih mending kalo selimut!""Kamu tidak tau, ini apa?" Pak Bagas menunjukkan beberapa isi dari kotak kado padaku."Permen rasa strawberry sama tisu." Ucap ku enteng."Ini,--""Pak!" Aku memotong kalimatnya. Pak Bagas menatap ku penasaran."Kok rasanya tangan Lulu aneh ya, kaku gitu." Aku merasa panik dengan tangan ku yang tiba-tiba saja terasa berbeda."Pak! Jangan-jangan tangan Lulu kenapa-kenapa lagi! Pak Bagas ini gimana tangan Lulu!" Aku panik sendiri dengan kondisi tangan ku yang sudah kaku, rasanya tidak nyaman sekali. Merengek pada Pak Bagas yang menatap ku entah seperti apa."Lain kali, kalo tidak tau jangan asal pake. Tanya dulu.""Bapak kok marah sih? Kan Bapak yang ijinin saya buka kado.""Jangan pake tisu begituan lagi. Itu bukan buat kamu!""Katanya kado pernikahan buat Lulu sama Pak Bagas, masa saya ga boleh pake.""Ini tisu ajaib, bukan buat kamu Lulu.""Terus karena namanya tisu ajaib, cuma buat Bapak aja gitu? Lulu gak boleh? Katanya kado pernikahan?" Tanya ku masih tidak mengerti."Diam Lulu, jangan bertanya lagi.""Kok Bapak marah sama Lulu sih!""Saya kompres air hangat untuk tangan kamu.""Ya tambah panas dong Bapak!" Kata ku kesal.***"Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den
Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."
"Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang
Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa
Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang
Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P
Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s
"Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas