Share

Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

"Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan.

"Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan.

Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya.

"Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya."

Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu."

"Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?"

Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan kondisi ku sekarang.

"Engga kok Pak, Lulu gapapa."

"Apa karena saya yang meminta kamu ikut dengan saya? Padahal kita baru selesai melaksanakan akad di rumah kamu. Seharusnya saya memberikan kamu waktu untuk Bapak dan Ibu di rumah." Papar Pak Bagas.

"Pak Bagas ngomong apa sih? Lulu itu istri Pak Bagas, jadi sudah tugas Lulu ikut kemana pun Pak Bagas pergi."

"Jadi kamu kepikiran apa?"

"Kelihatan banget ya, Pak?" Aku bertanya dengan cengengesan.

Tak ku sangka tangan Pak Bagas terangkat, mengelus pipi kiri ku pelan. "Ekspresi kamu tidak bisa membohongi saya, Lulu."

Aku terpaku sejenak, tatapan Pak Bagas seakan melumpuhkan ku. Membuat seluruh tulang dan sendi ku melemas hingga aku tak berdaya di bawah tatapan matanya. Aku hanya takut, tatapan Pak Bagas menjadi tantangan terbesar ketika aku berbohong nanti.

Eh, apakah aku berniat berbohong pada suami ku? Tidak! Tidak! Maksud ku bukan begitu, aku hanya mengatakan jika aku akan cepat mengaku dengan tatapan Pak Bagas yang... Entahlah, sungguh aku tidak berkutik sekarang! Apalagi pemikiran soal malam pertama sebagai suami istri, bagaimana aku mengatakan jika aku belum siap? Aku takut.

"Lulu, ada apa? Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Pak Bagas lagi.

Aku tersentak, "Eh, engga ada kok Pak."

Sebelah alis Pak Bagas terangkat, tatapannya semakin menyelidik. "Anggap saja, saya percaya."

"Memang Pak Bagas tidak percaya?" Tanya ku penasaran. Karena aku tidak mau mengaku.

"Saya lebih percaya dengan ekspresi kamu dari pada ucapan kamu." Balas Pak Bagas. Aku mencibir dalam hati.

"Tunggu disini, saya ambilkan kotak P3K di kamar." Aku mengangguk saja, membiarkan Pak Bagas pergi ke kamar.

Begitu Pak Bagas bangkit, pandangan mata ku tertuju pada satu kotak berwarna merah dengan pita berwarna senada di atas meja. Perasaan, kotak ini belum ada saat aku duduk di sofa bersama Pak Bagas tadi.

"Pak Bagas!" Panggil ku cepat, sebelum Pak Bagas pergi ke kamar.

"Ya?"

Aku menunjuk ke meja, tepatnya pada sebuah kotak yang singgah disana. "Itu, kotak apa?"

"Ah, iya. Saya lupa. Itu hadiah dari Wahyu untuk kita, katanya kado pernikahan." Jawaban Pak Bagas membuat ku bertanya-tanya.

"Memangnya tau apa Wahyu soal kado pernikahan?"

"Biarkan saja, lagi pula saya menghargai pemberian Wahyu untuk kita." Balasan Pak Bagas membuat ku semakin curiga.

"Isinya apaan sih, Pak?"

"Saya juga tidak tau, belum saya buka."

"Lulu buka ya?" Aku menawarkan diri. Perasaanku di liputi rasa penasaran dengan pemberian Wahyu.

"Buka saja."

Mendapat ijin dari Pak Bagas, aku mengambil kotak kado itu dengan cepat. Seakan rasa panas di punggung tangan ku sirna. Aku memiliki kekuatan untuk mengeksekusi kado dari Wahyu. Pak Bagas melanjutkan langkahnya menuju kamar, mengambil kotak P3K untukku.

Aku membuka kotak kado yang membuat ku amat sangat penasaran, "Wahyu ngasih kado apa sih, gede banget."

"Jangan-jangan selimut bulu lagi." Aku tertawa dengan asumsi ku sendiri. Hanya itu yang aku pikirkan saat ini, lagi pula kotak kado ini sesuai ukuran dengan bed cover. Mungkin saja kan, selimut tebal?

Aku berharap selimut karakter lucu yang akan Wahyu berikan sebagai hadiah pernikahan. Namun ternyata tidak. Di dalam kotak kado, terdapat beberapa barang yang ku rasa sangat random.

"Ini apasih? Ga jelas banget deh si Wahyu!"

Aku mengobrak abrik isi kado. Bukan satu macam, tapi banyak. Hanya saja, kadonya tidak jelas. "Ini apaan lagi?!"

"Apaan sih, si Wahyu! Ngasih kado tuh yang sesuai gitu loh, ini apaan ngasih kado isinya permen semua! Di kira Mbaknya ini anak kecil! Pake tisu seabrek di borong lagi. Buang-buang duit aja deh!"

"Lulu kira cuma shampo doang yang sachet, ternyata tisu juga ada. Ini gimana konsepnya sih!" Aku tertawa melihat kado dari Wahyu, random sekali.

"Segala tisu basah, tisu kering di borong. Di kira Pak Bagas ga sanggup beli?" Aku masih tidak percaya dengan kado random dari Wahyu.

"Aw!"

Terlalu semangat membuka kado dari Wahyu, tak sengaja membuat luka bakar ku tersenggol kertas cacah sebagai isian kado. Rasa terbakar semakin terasa, aku meniupi punggung tangan, berharap sedikit mereda. Namun nihil, rasa panas masih menjalar perih.

Teringat dengan kado yang Wahyu berikan, aku mengambil sesuatu dari sana. Membuka pelan dan mengambil isinya. Terasa basah dan dingin. Namun ada yang aneh, aroma menyengat menusuk hidung begitu aku mengambil isinya. Tidak seperti yang biasa aku beli, pemberian dari Wahyu memang sedikit berbeda.

Tapi tidak masalah, yang penting luka bakarnya tidak terasa panas lagi.

"Lulu, kamu ngapain?"

Suara Pak Bagas menyapa, membuat ku mendongak. Pria itu telah kembali dengan kotak persegi putih di tangannya. Menatap ku yang sedang meniupi punggung tangan. Rasa panas membuat ku tak tahan.

"Kompres tangan Pak. Ga sengaja kesenggol sama isian kado, jadi rasanya panas lagi." Jawab ku ringan. Berbeda dengan tatapan Pak Bagas yang terkejut dengan apa yang aku lakukan.

"Kamu pake ini?"

Aku mengangguk saja, "Lulu males kalo ke dapur, ada tisu basah. Ya udah, Lulu pake itu aja. Toh sama kan? Cuma bau nya aja yang beda."

"Astagfirullah Lulu!"

Pak Bagas langsung membuang tisu basah yang menempel di tangan ku ke sembarang arah. Lalu memeriksa kotak kado yang sudah terbuka di atas meja. Mengobrak abrik isinya, membuat ku menatap Pak Bagas tidak mengerti.

"Bapak kenapa sih?" Aku bingung melihat reaksi Pak Bagas.

"Kamu pake ini?" Todong Pak Bagas mengacungkan tisu sachet yang sudah ku ambil isinya, tertinggal bungkus kosong saja.

"Iya." Aku mengangguk meski bingung.

"Ya Allah, Lulu! Kok kamu pake sih!"

"Kok Pak Bagas marah? Kan tadi Bapak yang bilang kalo saya boleh buka kadonya!"

"Tapi saya tidak tau kalau isinya seperti ini!"

"Seperti ini gimana sih Pak? Isinya aja gak jelas! Masa kado pernikahan isinya permen rasa-rasa sama tisu! Masih mending kalo selimut!"

"Kamu tidak tau, ini apa?" Pak Bagas menunjukkan beberapa isi dari kotak kado padaku.

"Permen rasa strawberry sama tisu." Ucap ku enteng.

"Ini,--"

"Pak!" Aku memotong kalimatnya. Pak Bagas menatap ku penasaran.

"Kok rasanya tangan Lulu aneh ya, kaku gitu." Aku merasa panik dengan tangan ku yang tiba-tiba saja terasa berbeda.

"Pak! Jangan-jangan tangan Lulu kenapa-kenapa lagi! Pak Bagas ini gimana tangan Lulu!" Aku panik sendiri dengan kondisi tangan ku yang sudah kaku, rasanya tidak nyaman sekali. Merengek pada Pak Bagas yang menatap ku entah seperti apa.

"Lain kali, kalo tidak tau jangan asal pake. Tanya dulu."

"Bapak kok marah sih? Kan Bapak yang ijinin saya buka kado."

"Jangan pake tisu begituan lagi. Itu bukan buat kamu!"

"Katanya kado pernikahan buat Lulu sama Pak Bagas, masa saya ga boleh pake."

"Ini tisu ajaib, bukan buat kamu Lulu."

"Terus karena namanya tisu ajaib, cuma buat Bapak aja gitu? Lulu gak boleh? Katanya kado pernikahan?" Tanya ku masih tidak mengerti.

"Diam Lulu, jangan bertanya lagi."

"Kok Bapak marah sama Lulu sih!"

"Saya kompres air hangat untuk tangan kamu."

"Ya tambah panas dong Bapak!" Kata ku kesal.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status