"Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa
Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari
Gerimis mengguyur jalanan kota Surabaya sore ini. Sinar oranye yang seharusnya menghias langit, justru tergantikan awan gelap membawa rintik hujan. Tak cukup deras memang, namun mampu melukai wajah ketika mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm. Aku duduk di balik kaca, dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di hadapan ku. Coffee shop depan kampus menjadi pilihan saat ini untuk menikmati sore dengan santai. Tanpa deadline tugas, maupun pekerjaan lain yang akan mengganggu waktu. Selain seorang mahasiswa, aku bekerja sebagai pelayan cafe di salah satu cafe setiap akhir pekan dan menjadi guru les privat. Sedikit banyak, orang tua ku di desa membantu meringankan biaya kuliah, namun aku juga memikirkan nasib orang tua ku jika harus memberikan uang bulanan yang begitu banyak untuk kebutuhan ku di kota. Seketika aku teringat pembicaraan antara aku dengan orang tua dari anak yang menjadi anak didik ku. Pembicaraan yang membuat ku harus berpikir dua kali, apakah ini
"Lebih baik mengambil cuti satu semester terlebih dahulu, dari pada kamu seperti ini. Bukannya apa, tapi kamu sudah banyak ijin di matkul saya." Aku duduk menatap gamang pada Bu Icha, salah satu dosen pengampu mata kuliah semester tiga sekaligus Dosen PA. Bu Icha tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya yang malas ketika menatap ku. Aku menyadari kesalahan ku yang beberapa kali ijin dan membolos ketika Bu Icha mengajar di kelas. Alasannya sama, aku harus bekerja di cafe ketika ada salah satu member lain yang libur atau ada masalah. Tuntutan kebutuhan kuliah ku membludak secara cepat seiring bertambahnya semester yang aku tempuh. Sebenarnya, aku bisa saja mengambil cuti satu semester sembari mengumpulkan uang untuk biaya kuliah pada semester selanjutnya. Tapi, tentu saja aku akan telat lulus, dan menambah satu semester ke depan. Itu di luar rencana yang telah aku susun. "Bagaimana Leuca?" Tanya Bu Icha tidak sabaran. Aku masih duduk dengan raut bingung, rasanya aku ingin segera m
Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota. Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah. Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan. "Kamu masih ragu?" Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali s
Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu. "Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik. Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas." Bapak diam menatap ku. Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..." Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam. "Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan k
Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak. "Cantiknya anak Ibu." Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu..." "Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu." "Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh. "Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar." "Ibu jangan n
"Lulu." Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja." Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut. "Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung. "Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa