Beranda / Pernikahan / Bocilnya Mas Duda / Part 2 | Sebuah Keputusan

Share

Part 2 | Sebuah Keputusan

Penulis: Mami Mochi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Lebih baik mengambil cuti satu semester terlebih dahulu, dari pada kamu seperti ini. Bukannya apa, tapi kamu sudah banyak ijin di matkul saya."

Aku duduk menatap gamang pada Bu Icha, salah satu dosen pengampu mata kuliah semester tiga sekaligus Dosen PA. Bu Icha tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya yang malas ketika menatap ku.

Aku menyadari kesalahan ku yang beberapa kali ijin dan membolos ketika Bu Icha mengajar di kelas. Alasannya sama, aku harus bekerja di cafe ketika ada salah satu member lain yang libur atau ada masalah. Tuntutan kebutuhan kuliah ku membludak secara cepat seiring bertambahnya semester yang aku tempuh.

Sebenarnya, aku bisa saja mengambil cuti satu semester sembari mengumpulkan uang untuk biaya kuliah pada semester selanjutnya. Tapi, tentu saja aku akan telat lulus, dan menambah satu semester ke depan. Itu di luar rencana yang telah aku susun.

"Bagaimana Leuca?" Tanya Bu Icha tidak sabaran.

Aku masih duduk dengan raut bingung, rasanya aku ingin segera mendapat gelar sarjana dan angkat kaki dari kampus kesayangan. Tapi, tidak semudah itu. Banyak hal yang harus aku selesaikan, dan mandiri adalah pilihan yang aku ambil ketika meminta untuk berkuliah.

"Em... Sebentar ya Bu, saya akan rundingkan dengan orang tua saya."

Bu Icha mengangguk, sebelum aku bangkit dari kursi. Bu Icha menahan ku dengan kalimatnya, "Cuti satu semester adalah jalan terbaik, jangan terlalu memaksakan diri mu. Saya tau kamu salah satu dari mahasiswa dengan ekonomi yang sulit. Jadi, mengambil cuti satu semester tidak akan membuat mu rugi."

Aku terpaku sejenak, rasanya perkataan Bu Icha menyentil perasaan ku yang saat ini sensitif. Aku mengangguk saja tanpa bisa menjawab. Keluar dari ruang dosen dengan tertunduk lesu.

Melihat ada kursi kosong di depan ruang dosen, aku mendudukkan diriku disana. Memejamkan mata sambil menyender di sandaran kursi, aku tersentak kaget ketika ponsel ku berdering nyaring. Aku melihat ponsel ku yang jauh dari kata bagus itu menyala menampilkan si pemanggil di layar.

"Halo, Ibu. Assalamualaikum." Aku segera menerima panggilan dari orang tua ku.

"Halo, Lulu. Gimana kabar Lulu disana?"

"Alhamdulillah baik, Bu." Balas ku. "Ibu sama Bapak baik?"

"Alhamdulillah Nak, baik. Bapak, Ibu sama Wahyu semuanya dalam keadaan yang sehat." Kata Ibu membuat ku tersenyum lega.

"Lu,..." Kata Ibu terdengar ragu-ragu.

Aku yakin, ada suatu masalah yang akan disampaikan oleh Ibu padanya. Entah masalah apa itu, tapi aku berharap masalahnya cepat di atasi.

"Iya, Bu? Ada apa?" Balas ku beberapa saat kemudian.

"Begini Lu, Ibu mau tanya sama Lulu."

"Iya Bu, Ibu mau tanya sama anak sendiri masa harus ijin dulu. Memangnya Ibu mau tanya apa sama Lulu?" Aku penasaran, amat sangat penasaran. Tak biasanya Ibu meminta ijin untuk bertanya suatu hal padaku.

"Lulu masih punya uang tabungan?" Tanya Ibu pelan.

Aku masih ragu untuk menjawab, ku putuskan untuk diam beberapa saat. Dan suara Ibu kembali terdengar,

"Untuk biaya kuliah kamu semester depan, Ibu sama Bapak belum punya uang. Seharusnya sudah Ibu transfer ke kamu, tapi Wahyu merengek minta di belikan motor buat sekolah. Kemarin Ibu sama Bapak mu belikan Wahyu motor bekas, masih bagus."

"Maafin Bapak sama Ibu ya, Lu. Uang semester depan kamu, Ibu sama Bapak pake dulu. Nanti Bapak sama Ibu ganti, Ibu usahakan sebelum akhir semester sudah Ibu transfer ke kamu."

Aku tersenyum miris mendengar suara Ibu, rasanya aku masih menjadi manusia tidak berguna yang hanya meminta uang. Aku bahkan belum bisa memberi sesuatu kepada Ibu dan Bapak setelah aku mendapat pekerjaan. Semua gaji yang aku terima sudah habis untuk biaya hidup di kota dan kebutuhan kampus.

"Bu..." Panggil ku lembut, "Ibu sama Bapak tidak perlu pikirin Lulu. Disini, Lulu kuliah sambil kerja kok Bu. Jadi Lulu ada uang pegangan. Jangan khawatir sama Lulu."

"Harusnya Lulu fokus kuliah, tapi Lulu malah kerja karena Ibu dan Bapak yang kurang mampu biayain kuliah Lulu."

Setetes bening air mata meluncur bebas, aku tidak kuat mendengar Ibu yang menangis sedih karena ku. Aku menjauhkan sedikit ponsel milikku, ku usap air mata yang dengan lancang keluar tanpa aku minta. Aku menetralkan suara ku dengan air mineral yang selalu aku bawa di dalam tas.

Setelah merasa lebih baik, aku kembali menempelkan ponsel milikku ke telinga. Mendengar suara Ibu yang sudah menangis tersedu-sedu di seberang telepon.

"Bu, Ibu ngomong apasih?" Tanya ku pelan.

"Maafin Ibu sama Bapak Lulu..."

"Bu, kenapa harus minta maaf? Rejeki sudah ada yang mengatur Bu. Ibu sama Bapak tidak usah khawatir sama Lulu. Lulu baik-baik aja disini."

"Tapi tetap saja,--"

"Wahyu bagaimana Bu? Suka sama motornya?" Sela ku tak sopan. Aku tidak akan kuat mendengar suara Ibu yang menangis. Akan lebih baik, jika aku mengalihkan pembicaraan kami.

"Wahyu senang, bahkan Wahyu selalu mencuci motornya ketika terkena genangan lumpur. Apalagi ini musim penghujan, hampir setiap hari Wahyu cuci motornya." Kata Ibu sedikit tawa di akhir kalimat.

Aku mencoba tertawa meski tawa ku sedikit kaku, "Biasalah Bu, anak muda juga begitu. Sekolah Wahyu lancar kan Bu?"

"Alhamdulillah, lancar Lu. Kemarin, Wahyu peringkat dua umum. Ada hadiahnya Lu, pembebasan biaya SPP satu tahun."

"Alhamdulillah Bu, Lulu seneng banget dengernya." Tak ku pungkiri, aku senang mendengar prestasi Wahyu di sekolahnya.

"Lu, soal biaya kuliah kamu Ibu sama Bapak,--"

"Bu, teleponnya Lulu matiin sekarang ya, Bu. Maaf, Lulu ada kelas. Dosennya udah dateng, nanti Lulu hubungin Ibu lagi."

"Iya Lu, maafin Ibu yang telepon kamu di jam kuliah ya Nak. Ya sudah, Ibu matikan teleponnya. Assalamualaikum."

"Iya Bu, wassalamualaikum."

Aku menatap gamang ponselku yang sudah mati. Aku masih setia duduk di kursi, tidak ada kelas hari ini. Rasanya aku tidak akan sanggup mendengar suara Ibu yang terdengar sedih dan putus asa karena ku.

"Maafin Lulu, Ibu. Lulu selalu ngrepotin Ibu sama Bapak di rumah. Padahal seharusnya Lulu yang kerja dan membantu perekonomian keluarga kita. Lulu minta maaf..."

Aku terisak pelan, dadaku terasa sesak. Sangat sakit rasanya mendengar Ibu dan Bapak yang kesusahan karena biaya kuliah yang aku tempuh. Padahal biaya kebutuhanku di kost dan makan pun sudah sekuat mungkin aku tekan. Namun, semuanya selalu kurang dan membuat ku nyaris putus asa.

Melihat jam yang melingkar di tangan kiri ku, aku segera bangkit.

"Nanti malam kan jadwal ngajar les private Lily. Masih ada waktu untukku beristirahat di kost. Setidaknya untuk hari ini, aku ingin tidur tanpa banyak pikiran yang terasa mencekik."

***

"Kak Yuka, coba lihat! Matematika Lily sudah benar apa belum?" Lily menyodorkan buku tulis yang membuat ku tersentak kaget, dengan tergagap aku memeriksa pekerjaan Lily.

"Bagus kok. Sudah bagus! Lily hebat sekali!" Puji ku mengelus rambut halus Lily yang terkepang rapi.

Lily bersorak gembira, "Yey! Sekarang giliran menggambar! Lily suka sekali menggambar!"

Aku tersenyum mendengar nada antusias Lily. "Bagaimana jika menggambar gunung?"

Lily menggeleng, "Kemarin sudah menggambar gunung! Lily mau menggambar yang lain!"

"Em... Bagaimana dengan menggambar bunga?"

"Bunga?"

Aku mengangguk antusias, "Coba Lily menggambar bunga. Pasti bagus!"

"Tapi Lily belum pernah melihat gambar bunga, bagaimana bisa Lily menggambar bunga?" Tanya Lily terdengar lucu ditelinga ku.

"Baiklah, akan Kakak,--"

"Lily bisa menggambar gunung tanpa melihat gunung, pasti mudah saja menggambar bunga tanpa melihat bunga." Sela seseorang dari arah belakang ku, membuat ku membalikkan tubuh.

Lily berlari gembira melihat Papanya sudah pulang, "Papa!" Serunya.

Pak Bagas menangkap Lily dengan sigap, membawa bocah berusia enam tahun itu di gendongannya. Bibir mungilnya mencium pipi Pak Bagas, pertanda ucapan "selamat pulang ke rumah" dari Lily. Pak Bagas memang menanamkan kebiasaan mencium pipi untuk Lily. Membuat Lily merasa sangat di sayangi oleh Papanya.

"Bagaimana hari ini? Senang belajar dengn Kak Yuka?" Tanya Pak Bagas yang langsung di angguki oleh Lily. Gadis kecil itu menunjukkan buku matematikanya pada Pak Bagas. Memamerkan pada Papanya jika Lily sudah selesai mengerjakan PR.

Aku diam mematung, ini baru kali pertama aku melihat Pak Bagas setelah kejadian di cofe shop depan kampus beberapa hari lalu. Pak Bagas memang penyayang, terlihat jelas dari bagaimana perhatiannya pada Lily. Tak jarang, Pak Bagas akan meninggalkan pekerjaannya untuk bermain dengan Lily ketika bocah itu rewel.

"Lily, bisa Lily lanjutkan menggambarnya di kamar saja? Papa ingin bicara dengan Kak Yuka." Gadis kecil itu mengangguk dan turun dari gendongan Pak Bagas.

Mendengar nama ku di sebut, membuat ku spontan menoleh. Aku menatap bingung Pak Bagas, sedangkan Lily membereskan bukunya dan beranjak menuju kamar sesuai perintah Pak Bagas. Di hadapkan kembali hanya berdua dengan Pak Bagas tanpa Lily membuatku merasa canggung.

"Santai saja, Leuca." Kata Pak Bagas membuat ku mengambil napas. Bersama seorang pria dewasa membuat ku lupa caranya bernapas, aku terlalu gugup sekarang.

"Ah, iya Pak."

"Ingin menemani saya minum kopi sebentar?" Tawar Pak Bagas.

Aku menatap pria itu sejenak, kemudian mengangguk pelan. Pak Bagas tersenyum, lantas pria itu meninggalkan tas kerja serta jasnya di ruang tamu. Dan membawa buku PR milik Lily. Aku mengikuti Pak Bagas yang mengajakku di balkon samping rumah.

"Duduk dulu, saya akan buatkan kopi."Pak Bagas mempersilahkan ku untuk duduk. Lantas, pria itu kembali ke dalam rumah, meninggalkan buku PR Lily di atas meja.

Tak lama Pak Bagas kembali dengan membawa nampan seorang diri.

"Untuk mu." Ucap Pak Bagas mengambil satu cangkir, sebelum meminumnya Pak Bagas menghirup aroma kopi yang mengepul di atas cangkir. Aku mengamati apa yang Pak Bagas lakukan, terasa menarik mata meski itu adalah kegiatan sederhana.

"Terima kasih, Pak." Pak Bagas mengangguk tanpa melihat ku.

Aku menyeruput sedikit kopi di dalam cangkir, setelah menghirup aromanya yang menenangkan pikiran. Lalu ku letakkan kembali di atas nampan. Aku masih menunggu Pak Bagas membuka suara, jujur saja aku masih merasa bingung atas situasi ini.

Bukannya membuka suara, justru Pak Bagas memberikan ku buku PR milik Lily. Aku menerimanya dengan bertanya-tanya. Apakah ada PR Lily yang belum selesai?

"Kenapa ya, Pak?"

"Buka saja, teliti hasil pekerjaan Lily yang kalian kerjakan malam ini."

Sontak aku membuka buku PR Lily, yang kami kerjakan tadi. Apakah ada masalah? Dan ternyata benar, aku yang salah disini. Tanpa sengaja aku membenarkan perhitungan Lily yang salah. Seharusnya aku lebih teliti, tapi kenapa bisa aku seceroboh ini.

"Jika kamu merasa tidak sehat, kamu bisa meminta konfirmasi penggantian jadwal les privat untuk Lily. Saya tidak keberatan sama sekali." Ucap Pak Bagas bijak.

"Maafkan saya, Pak. Ini kesalahan saya, saya akan bertanggung jawab."

"Sudah seharusnya kamu bertanggung jawab atas kesalahan yang kamu lakukan. Meski tanpa sengaja."

Kalimat Pak Bagas terdengar menohok, meski pria itu berbicara dengan nada yang halus. Aku diam mematung tanpa bisa berkata apapun lagi.

"Leuca." Panggil Pak Bagas. Aku mendongak sebagai respon dari panggilan Pak Bagas untuk ku. Rasanya aku masih malu karena kesalahan ku.

"Maaf telah lancang." Aku menatap bingung pada kalimat Pak Bagas.

"Saya mendengar kamu kesulitan membayar biaya kuliah semester ini. Bu Icha, selaku dosen PA menyarankan agar kamu mengambil cuti satu semester. Tapi kamu keberatan."

Aku menatap Pak Bagas dengan pandangan syok, jadi pria itu tau?

"Saya--saya akan berusaha melunasi biaya kuliah saya semester ini kok Pak. Saya masih punya uang pegangan buat biaya kuliah, lagi pula Ibu sama Bapak kirim uang setiap bulan. Jadi bisa ngebantu pengeluaran saya di sini." Aku menjawab dengan mengalihkan pandangan, mataku terasa perih.

"Orang tua kamu sama kesulitannya dengan kamu, Leuca. Kamu memiliki satu adik yang baru masuk SMA, dan kebutuhannya pasti akan bertambah."

Kali ini aku benar-benar terkejut, "Ba--Bapak tau?"

"Maaf, saya tidak sengaja mendengar ketika kamu bertelepon dengan orang tua kamu di depan ruang dosen."

Tatapan Pak Bagas begitu dalam menatap ku, aku semakin tidak menyangka dibuatnya. Rasanya aku sudah begitu malu berada di hadapan Pak Bagas. Dengan gugup, aku bangkit dari kursi. Ku tinggalkan cangkir kopi ku yang masih tersisa banyak.

"Leuca." Panggil Pak Bagas ketika aku melewatinya.

Aku terdiam sejenak di depan pintu kaca, menunggu apa yang akan disampaikan Pak Bagas.

"Saya benar-benar menyukai kamu. Bukan sebagai mahasiswa saya, tapi sebagai perempuan yang memang pantas untuk saya perjuangkan. Apa yang saya sampaikan pada mu waktu lalu, masih berlaku."

Aku berbalik mendengar kalimat Pak Bagas, "Kenapa saya? Masih banyak perempuan lain yang pantas Bapak perjuangkan. Saya hanya gadis desa yang tidak punya apa-apa."

"Saya menyukai kamu, karena itu adalah kamu. Bukan harta atau apapun itu." Aku terpaku mendengar kalimat Pak Bagas. Nadanya bersungguh-sungguh menyatakan perasaannya padaku, tatapan matanya yang dalam membuat ku semakin tenggelam dalam kebimbangan.

"Sudah malam," Pak Bagas melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, "Saya pesankan taksi untuk mengantar mu kembali ke kost."

"Saya bisa,--"

"Jika menolak, saya akan antar kamu pulang ke kost." Aku terdiam mendengar perintah Pak Bagas.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama."

Aku berbalik melangkah masuk, samar-samar aku masih mendengar suara Pak Bagas di tenangnya malam. Suara yang membuat ku ragu, dilema dan putus asa.

"Saya masih menunggu jawaban dari kamu, Leuca."

***

Kalimat terakhir Pak Bagas cukup mengusikku, hingga dini hari aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Mataku sulit terpejam, padahal aku sangat mengantuk. Pagi nanti, aku ada matkul dan kini sudah pukul dua dini hari. Pikiran ku berkelana, jawaban apa yang harus aku berikan untuk Pak Bagas ketika pria itu pantang menyerah dengan penolakan ku?

"Bagaimana ini? Apa aku terima saja lamaran dari Pak Bagas?"

"Tapi, apa semudah itu? Bagaimana dengan yang lain? Aku bahkan tidak bisa memasak. Nanti, Pak Bagas dan Lily mau makan apa?"

"Lebih parahnya lagi, siapa yang akan membayar biaya kuliah ku. Gaji menjadi pelayan cafe dan guru les private saja masih kurang."

"Apakah aku menerimanya saja?"

"Jika ingin jujur, aku belum mencintai Pak Bagas. Perasaan kagum tentu saja ada, tapi apakah itu cukup untuk membuat ku menerima Pak Bagas?" Banyak sekali pikiran yang membuat ku tertekan hingga tak bisa tidur.

"Rasanya pusing sekali!" Aku mengacak rambut hingga berantakan. Mengambil napas dalam, aku mencoba tenang sebelum mengambil keputusan

Memantapkan hati, aku mengambil ponsel butut ku di atas laci. Aku mencari nomor Pak Bagas dan mengiriminya pesan. Aku ragu, Pak Bagas masih terjaga. Namun, aku sudah memantapkan hati, dan akan segera menyelesaikan semuanya.

Assalamualaikum Pak Bagas

Maaf mengganggu waktu istirahat Pak Bagas. Saya memutuskan untuk menerima lamaran Pak Bagas.

Aku melihat checklist satu abu, mungkin Pak Bagas sudah tidur. Tapi tak lama, checklist satu berubah menjadi checklist dua berwarna biru.

Pak Bagas membaca pesan ku!

W*'alaikummussalam

Alhamdulillah, terima kasih Leuca. Besok setelah selesai matkul, tunggu saya. Kita bicarakan hal selanjutnya dan secepat mungkin saya akan melamar kamu secara resmi.

Aku memejamkan mataku, jantungku terasa berdetak begitu cepat. Semoga, ini jalan terbaik untuk hidup ku ke depan.

***

Bab terkait

  • Bocilnya Mas Duda   Part 3 | Calon Suami

    Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota. Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah. Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan. "Kamu masih ragu?" Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

    Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu. "Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik. Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas." Bapak diam menatap ku. Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..." Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam. "Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan k

  • Bocilnya Mas Duda   Part 5 | Hari Yang Ditunggu

    Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak. "Cantiknya anak Ibu." Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu..." "Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu." "Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh. "Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar." "Ibu jangan n

  • Bocilnya Mas Duda   Part 6 | Kecerobohan Lulu

    "Lulu." Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja." Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut. "Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung. "Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

    "Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan. "Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan. Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya. "Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya." Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu." "Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?" Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan

  • Bocilnya Mas Duda   Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

    "Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

Bab terbaru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

  • Bocilnya Mas Duda   part 15| Keluarga Bahagia

    "Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas

  • Bocilnya Mas Duda   Part 14 | Sisi Manis Pak Bagas

    Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 13 | Malam Yang Panjang

    Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P

  • Bocilnya Mas Duda   Part 12 | Kebencian Mama Mertua

    Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

DMCA.com Protection Status