Home / Pernikahan / Bocilnya Mas Duda / Part 3 | Calon Suami

Share

Part 3 | Calon Suami

Author: Mami Mochi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota.

Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah.

Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan.

"Kamu masih ragu?"

Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali saat beliau mengajar di kelas.

"Leuca, takut Pak. Leuca bingung gimana ngomong sama Bapak Ibu. Leuca,--"

Tanpa aku duga, Pak Bagas menggenggam tangan ku. Menatapku dengan tatapan mata elangnya yang hangat. Aku terpana sesaat, tatapan matanya begitu mudah menghipnotis ku hingga aku tak bisa berpaling.

"Saya tidak meminta kamu untuk bicara pada orang tua kamu. Cukup berada di samping saya dan beri saya dukungan untuk meminta kamu secara resmi pada orang tua kamu."

Jantungku berdetak kencang mendengar kalimat Pak Bagas yang bersungguh-sungguh. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan ku sekarang. Rasanya, seperti campur aduk. Hingga tanganku terasa dingin dalam genggamannya.

"Tapi, Pak saya,--"

"Saya percaya pada kamu, Lulu."

Lulu...

Aku termenung mendengar panggilan Pak Bagas. Dengan senyuman yang terpatri di bibirnya, Pak Bagas membuat jantungku tidak sehat. Bahkan aku sendiri takut, Pak Bagas mendengar detakan jantung ku yang kencang.

"Bapak, panggil saya Lulu?"

"Maaf jika saya lancang,"

Lagi-lagi, suara lembut Pak Bagas membuat jantungku tak karuan. Dengan tanganku yang masih berada dalam genggaman pria itu, aku yakin sekali. Pak Bagas merasakan tangan ku yang dingin. Pertanda aku gugup berada dekat dengannya.

"--Saya hanya ingin menghapus jarak diantara kita. Mengenal mu lebih dekat lagi." Sambung Pak Bagas.

"Saya, saya tidak tau harus bagaimana sama Bapak." Aku berkata dengan kebingungan. Aku sendiri tidak tau dengan apa yang aku bicarakan, pikiranku sama sekali tak bisa diajak kerja sama kali ini. Entah kemana logika ku pergi, yang ada hanya perasaan gugup dan takut.

"Cukup percaya pada saya, Lulu. Kamu hanya perlu menunggu sebentar, dan saya akan membawa mu ke dalam pelukan saya."

Jika ini adalah mimpi, sungguh aku tidak ingin terbangun begitu cepat. Aku masih ingin menikmati perasaan mendebarkan dan larut dalam suasana manis bersama Pak Bagas.

***

"Saya harap, apa yang saya pikirkan ini tidak benar."

Samar-samar, aku mendengar ucapan Bapak dengan Pak Bagas yang kini berada di ruang tamu. Nada bicara Bapak tak lagi ramah seperti awal kami datang. Sudah tidak ada senda gurau yang Bapak lontarkan, hal itu membuat ku gugup.

Aku menoleh saat merasakan sentuhan di pundakku. Ibu menatap ku penuh tanda tanya, rasa penasaran Ibu sejak aku datang belum ku jawab sama sekali. Aku terlalu gugup, dan juga takut hingga lidah ku kelu hanya untuk menjawab pertanyaan Ibu.

"Sebenarnya siapa pria yang datang bersama mu, Lu?"

Pertanyaan Ibu pada ku terdengar sederhana, namun aku bingung harus menjelaskan dari mana. Aku tau betul bagaimana Ibu dan Bapak mengharapkan agar anak-anaknya sukses dalam pendidikan, dan juga karir.

Lantas, saat aku yang dulu begitu tegas memilih untuk berkuliah, kini pulang bersama lelaki yang datang untuk meminta ku pada kedua orang tua ku. Penjelasan apa yang harus aku katakan pada Ibu?

"Lulu..."

Sekali lagi, Ibu memanggil ku. Aku tersentak kaget, ternyata aku melamun. Hati ku yang awalnya tenang karena Pak Bagas, kini gemetar goyah tanpa pondasi. Aku takut, sungguh aku takut akan banyak hal.

"Ya, Bu?"

"Di panggil Bapak."

Aku terpaku sejenak, ku lirik Bapak yang kini diam menatap Pak Bagas. Sementara Pak Bagas menunduk di atas kursi usang milik kami. Tak ada rasa malu, ketika Pak Bagas melihat keadaan rumah orang tua ku yang sederhana serta jamuan seadanya.

Ibu menarik lengan ku pelan, mengisyaratkan agar aku segera menemui Bapak dan Pak Bagas di ruang tamu. Di temani Ibu, aku melangkah pelan mendekati Bapak, duduk di kursi panjang bersama Ibu.

"Bapak ingin mendengar dari kamu sendiri, Nak. Siapa pria yang kamu bawa ke rumah?"

Pertanyaan Bapak membuat ku tak berani mengangkat pandangan, ku tautkan kedua tanganku gugup. Bahkan untuk sekedar mengambil napas saja rasanya sulit. Ibu menguatkan ku, tangan lembutnya penuh perhatian menggenggam seakan memberi kekuatan.

"Jawab Leuca." Suara Bapak tegas.

Bahkan Bapak memanggil dengan nama Leuca, bukan Lulu. Aku semakin takut, hingga tak terasa air mataku jatuh.

"Kenapa Lulu menangis? Jawab saja, pertanyaan Bapak sesuai isi hati Lulu." Bisik Ibu di sebelahku.

"Pak Bagas, Dosen Lulu di kampus, Pak." Jawab ku lirih.

"Dosen? Jadi kamu kuliah atau menjalin hubungan dengan Dosen mu sendiri Lu?"

Aku menatap kaget perkataan Bapak, "Bapak, bukan begitu, Lulu sama sekali tidak menjalin hubungan dengan Pak Bagas."

Kini, Bapak memberikan tatapan tajam pada ku, "Susah payah Bapak dan Ibu menguliahkan kamu, agar masa depan kamu cerah dan membanggakan Bapak dan Ibu. Tapi ini? Kamu malah menjalin hubungan dengan Dosen kamu sendiri. Ini bukan lah sikap Lulu yang Bapak kenal. Kamu ingat Lu? Dulu kamu yang kekeh meminta kuliah, dan setelah Bapak Ibu usahakan agar kamu bisa kuliah, kamu pulang dengan membawa seorang lelaki."

Dapat ku lihat tatapan kecewa Bapak padaku. Bening air mata terus saja menetes tanpa henti. Betapa sakitnya melihat Bapak yang menatap ku dengan tatapan dingin.

"Bapak, bukan begitu. Lulu,--"

"Maaf menyela." Kini Pak Bagas bersuara, memotong kalimat ku.

"Profesi saya memang sebagai Dosen, tapi itu hanya berlaku di kampus. Disini, saya hanya seorang pria yang menyukai Leuca. Perlu saya tegaskan, Leuca tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Bahkan, Leuca sangat menjaga jarak dengan semua pria di kampusnya termasuk saya." Ucap Pak Bagas membuat ku menatap Pak Bagas.

Aku tidak menduga, Pak Bagas begitu memperhatikan ku. Benar, aku memang menjaga jarak dengan semua teman pria di kelas. Karena Bapak dan Ibu yang meminta agar aku fokus kuliah, mencapai cita-cita dan membanggakan Bapak Ibu di desa.

"Meski begitu, saya tetap menyukai Leuca. Bagaimana bisa saya bertahan dengan perasaan suka saya pada putri Bapak dan Ibu?"

"Saya tidak ingin menambah dosa dengan menyukai wanita terlalu lama. Dan tidak ada salahnya, saya mengutarakan niat saya pada Bapak dan Ibu. Bahwa saya, ingin menjadikan Leuca sebagai istri saya, sekaligus ibu sambung bagi putri saya."

"Jadi status kamu adalah duda?" Bapak bertanya dengan nada datar.

"Cerai mati atau cerai hidup?" Cecar Bapak.

"Cerai hidup." Jawab Pak Bagas lugas.

"Dengan pengalaman gagal dalam mempertahankan pernikahan sebelumnya, bagaimana bisa kamu berani melamar anak saya?!"

"Bapak..."

"Bapak, sudah Pak..."

Aku mencoba menenangkan Bapak, namun gagal. Bahkan Bapak meminta ku untuk masuk ke kamar. Bujukan Ibu pun sama sekali tidak meredakan amarah Bapak. Justru Bapak memberikan tatapan tajam pada Pak Bagas.

"Bawa Lulu masuk, Bu."

"Bu, Lulu masih pengen disini." Aku memohon pada Ibu. Menolak ajakan Ibu masuk ke dalam kamarku sesuai perintah Bapak.

"Bu, biarkan Lulu disini sebentar saja."

"Lu, nurut sama ucapan Bapak." Ibu kembali membujukku.

Aku menatap Pak Bagas, pria itu menganggukkan kepala dengan senyuman di bibirnya. Aku menggeleng, tidak ingin meninggalkan Pak Bagas yang bersitegang dengan Bapak.

"Saya baik-baik saja, Lu." Kata Pak Bagas berusaha menenangkan ku.

"Kita masuk dulu, Lu. Nanti kita bicara sama Bapak, ya."

Akhirnya aku memilih mengalah, pasrah ketika Ibu membawa ku masuk ke dalam kamar. Ku lihat Pak Bagas sebelum benar-benar tak bisa melihat sosoknya lagi. Karena aku yakin, hubungan kami tidak akan berhasil. Bapak tidak akan merestui Pak Bagas begitu mudah, apalagi dengan catatan kegagalan rumah tangga Pak Bagas sebelumnya.

***

Sudah satu Minggu berlalu, namun aku sama sekali tidak melihat Pak Bagas di lingkungan kampus. Aku sudah mencari Pak Bagas di ruangannya, namun nihil. Kata petugas jaga di ruang dosen, ada sesuatu mendesak hingga Pak Bagas meminta cuti untuk waktu yang belum di tentukan. Pantas saja, mata kuliah Pak Bagas kosong dan hanya meninggalkan setumpuk tugas bagi mahasiswanya.

"Kata ketua kelas, Pak Bagas sulit di hubungi. Apa semua ini ada hubungannya dengan kejadian di rumah?"

"Sebenarnya apa yang dikatakan Bapak pada Pak Bagas? Apa Bapak tidak menyukai Pak Bagas karena status dudanya?"

Hati ku selalu bertanya, apa Pak Bagas marah? Tentu saja. Pria mana yang tidak marah dengan sambutan yang tak ramah bahkan Bapak sempat menyinggung status duda Pak Bagas.

Semalaman aku berpikir mengenai tawaran Pak Bagas.

"Apa sebaiknya aku membatalkan lamaran Pak Bagas? Lagi pula, aku bisa bekerja siang malam untuk kebutuhan ku sendiri."

Mengangguk di iringi keraguan, aku berusaha menguatkan hati.

"Nanti, setelah aku mendapat kabar dari Pak Bagas. Aku akan segera menemuinya untuk membicarakan hal ini, sekaligus meminta maaf."

Lamunan ku buyar saat denting ponsel mengagetkanku, segera aku membuka ponsel lama ku yang setia menemani.

"Wahyu?" Aku mengerutkan kening heran. Tak biasanya Wahyu mengirimi ku pesan.

Baru saja aku akan membuka pesan dari Wahyu, ponsel ku berdering. Kini, Wahyu menelepon ku. Penuh rasa penasaran, aku mengangkat panggilan dari Wahyu.

"Halo, assalamualaikum Wahyu. Ada apa?"

"Halo Mbak, w*'alaikummussalam! Mbak! Mbak Lulu mau nikah?"

"Hah?"

"Calon Mbak Lulu ada di rumah sama Bapak Ibuk, Mbak!"

"Apa?"

"Mbak! Cepetan pulang!"

Mendengar nada panik Wahyu, aku pun ikut panik. Dengan segera aku mematikan panggilan kami yang masih menyambung. Bergegas aku segera mencari kendaraan umum agar aku tiba di rumah. Aku sudah tidak fokus lagi untuk mengikuti mata kuliah selanjutnya, yang aku pikirkan saat ini hanyalah sosok "calon suami" yang di katakan Wahyu.

***

Related chapters

  • Bocilnya Mas Duda   Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

    Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu. "Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik. Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas." Bapak diam menatap ku. Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..." Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam. "Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan k

  • Bocilnya Mas Duda   Part 5 | Hari Yang Ditunggu

    Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak. "Cantiknya anak Ibu." Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu..." "Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu." "Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh. "Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar." "Ibu jangan n

  • Bocilnya Mas Duda   Part 6 | Kecerobohan Lulu

    "Lulu." Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja." Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut. "Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung. "Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

    "Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan. "Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan. Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya. "Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya." Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu." "Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?" Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan

  • Bocilnya Mas Duda   Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

    "Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

Latest chapter

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

  • Bocilnya Mas Duda   part 15| Keluarga Bahagia

    "Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas

  • Bocilnya Mas Duda   Part 14 | Sisi Manis Pak Bagas

    Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 13 | Malam Yang Panjang

    Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P

  • Bocilnya Mas Duda   Part 12 | Kebencian Mama Mertua

    Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

DMCA.com Protection Status