Beranda / Pernikahan / Bocilnya Mas Duda / Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

Share

Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

Penulis: Mami Mochi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Masih terasa sakit?"

Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang.

"Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku.

"Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas."

Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati.

"Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep."

"Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu."

"Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli.

Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu."

"Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.

Tawa ringan ku dengar dari Pak Bagas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Sudah malam, kamu pasti capek."

Aku kembali menatap Pak Bagas, "Terus Bapak?"

"Saya masih ada tugas Lulu. Setelah saya menyelesaikan koreksi jawaban dari mahasiswa saya. Saya akan menyusul tidur."

Aku terdiam sejenak, kenapa Pak Bagas santai sekali? Bukan kah ini adalah malam pertama pernikahan kami? Apakah Pak Bagas sama seperti ku? Tidak menginginkannya?

Ah, tapi bagaimana bisa. Pak Bagas saja berani melamar dan menikahi ku. Masa dia tidak meminta haknya pada ku?

"Lulu."

"Eh! Iya Pak?"

"Kamu mikirin apa? Sejak tadi saya perhatikan kamu lebih diam."

Aku menatap Pak Bagas dengan bingung. Bingung harus bagaimana caranya mengatakan hal ini pada Pak Bagas. Tapi, jika tidak di tanyakan rasanya aku semakin penasaran.

Bagaimana jika Pak Bagas menunggu ku tidur lalu melakukannya tanpa sepengetahuan ku?!

Aku melotot tidak setuju! Aku tidak mau! Pokoknya aku tidak akan tidur sebelum Pak Bagas juga tidur!

"Enggak Pak! Enggak boleh!" Ucap ku tegas.

"Enggak boleh? Apanya yang enggak boleh Lulu? Kamu kenapa sih?" Tanya Pak Bagas tak henti-hentinya.

Aku tersenyum canggung, "Hehe... Enggak Pak, maksudnya Lulu enggak akan tidur kalo Pak Bagas enggak tidur. Jadi enggak boleh ninggalin Pak Bagas tidur duluan."

"Jadi kamu mau bantuin saya koreksi?"

"Eh?" Aku tidak mengatakan akan membantu Pak Bagas, tapi tidak ada cara lain. Aku tidak ingin Pak Bagas melakukannya ketika aku tidur, aku tidak boleh lengah.

"Iya!" Jawab ku tegas.

Namun tatapan bingung yang ku dapat dari Pak Bagas. "Kalo kamu capek istirahat Lulu, bukannya bertingkah aneh."

"Enak aja! Lulu gak aneh!"

"Saya ambil hasil kuis di ruang kerja saya dulu." Setelah mengucapkannya Pak Bagas melenggang pergi. Mengabaikan kalimat ku yang menyangkal bahwa aku tidak aneh. Hanya berjaga-jaga saja.

Aku melihat ke atas meja, kado dari Wahyu sudah Pak Bagas bereskan. Pak Bagas berkata bahwa akan menyimpan kadonya. Berkali-kali aku bertanya karena dilanda penasaran. Pak Bagas menjawab dengan jawaban yang masih menjadi misteri.

"Aslinya ini tisu ajaib buat apa sih, kok rasanya kena tangan jadi kaku, aneh gitu." Kata ku melihat Pak Bagas mengompres punggung tangan ku.

"Buat saya."

Jawaban singkat dari Pak Bagas semakin membuat rasa ingin tahu ku memuncak. "Buat Bapak? Emang buat apaan?"

"Nanti kamu juga tau."

"Tapi pas kena tangan, rasanya jadi aneh loh, Pak. Emang mau dibuat apaan sih Pak?"

"Sembuhin luka kamu dulu, baru nanti saya kasih tau."

"Masih lama dong, Bapak. Saya penasaran. Tisu basah kok kena tangan bukannya wangi, ini malah kaku."

"Diem Lulu. Saya lagi fokus kompres luka kamu."

Lalu, aku melihat tangan ku sekali lagi.

"Rasanya udah agak mendingan, Pak Bagas jago juga ngobatin." Kata ku melihat luka bakar yang mulai terasa mendingan. Tidak panas apalagi kaku karena tisu ajaib dari Wahyu.

Suara telapak kaki menuruni tangga membuat ku mengalihkan pandangan. Pak Bagas datang dengan membawa beberapa map yang berisi lembar kuis dari mahasiswanya.

Meletakkan beberapa map di atas meja, Pak Bagas duduk di atas karpet. Sontak aku terkejut dengan sikap Pak Bagas. Aku berniat ikut duduk di bawah, tidak sopan rasanya aku duduk di atas sofa, sementara Pak Bagas duduk di bawah.

"Di sana saja, Lu." Suara Pak Bagas mencegahku.

"Tidak sopan, Pak." Kataku.

"Saya nyaman duduk di bawah untuk mengoreksi, kamu tidak perlu mengikuti saya. Cukup nyamankan diri kamu sendiri."

Lagi dan lagi. Sikap Pak Bagas membuat ku meleleh. Begitu menjaga ku dan menghormati ku. Setelah resmi, baru kali ini aku merasakan sikap Pak Bagas yang begitu lembut memperlakukan ku.

Saat aku masih menjadi guru les private Lily, nyaris aku tidak bertemu dengan Pak Bagas di rumah. Hanya berpapasan sesekali dan mengobrol perkembangan Lily dalam hal belajar.

"Kamu koreksi kuis untuk kelas semester lima. Untuk kelas semester tiga, biar saya yang koreksi."

"Bapak enggak percaya saya Lulu?"

"Biar adil saja. Kamu kan semester tiga, masa kamu yang mengoreksi jawaban kuis teman kamu."

"Terserah Bapak aja deh." Pasrah ku tak ingin berdebat.

Pak Bagas memulai tugasnya, aku pun mengikuti. Dengan lembar jawaban yang sudah disediakan oleh Pak Bagas, aku hanya memberi tanda pada nomor yang salah. Untuk nilai, akan di perhitungkan oleh Pak Bagas sendiri.

Menatap tulisan begitu lama, membuat mata ku lelah. Mengucek pelan, aku melepaskan pena di jemariku. Rasa kantuk semakin menjadi ketika aku memaksa membantu Pak Bagas mengoreksi jawaban mahasiswanya.

"Kalau mengantuk, tidur saja Lu."

Aku merasa di awasi, Pak Bagas selalu tau apa yang aku inginkan. Terbaca dari gerak gerik ku yang sejak tadi mengucek mata, meletakkan kepala di atas meja atau bahkan menyandar sofa.

"Gapapa Pak, saya mau bantuin Bapak." Balas ku dengan suara yang jelas-jelas terdengar mengantuk.

Tanpa ku sangka, Pak Bagas membereskan lembar kuis yang berada di depan ku. Menutup map dan menumpuknya menjadi satu. Langsung ku tegakkan punggung, menunggu apa yang akan Pak Bagas lakukan setelahnya.

"Sekarang kamu istirahat, ini sudah malam." Ucapnya.

"Tapi Pak, koreksian saya tadi belum selesai."

"Biar saya yang selesaikan besok. Jatah cuti saya masih tersisa satu hari."

"Sekarang ayo tidur." Ajakan Pak Bagas membuat ku bergeming, aku masih memikirkan soal malam pertama.

"Pak Bagas capek ga? Nanti langsung tidur kan?" Tanya ku tidak nyambung.

Bukannya menjawab pertanyaan ku, Pak Bagas justru menjajarkan tubuhnya tepat di hadapan ku. Aku memundurkan tubuh, menempel dengan sandaran sofa. Sebelah tangan Pak Bagas mengurung ku. Aku mendadak panik, ku tahan tubuh Pak Bagas agar tidak terlalu dekat dengan ku. Rasanya masih canggung berada dalam jarak sedekat ini dengan Pak Bagas.

Lalu, Pak Bagas berbisik, "Saya langsung istirahat, Lulu. Kamu tidak perlu khawatir. Saya akan meminta hak saya sebagai suami kamu, ketika kamu sudah siap tanpa paksaan apapun."

Setelahnya Pak Bagas menjauhkan tubuhnya dari ku, melenggang masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan ku yang masih mematung karena bisikan Pak Bagas.

"Kok Pak Bagas bisa tau sih?" Kedua tangan ku menyentuh dada, meredakan debaran disana yang tidak tau malu berdendang keras.

***

Bab terkait

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 12 | Kebencian Mama Mertua

    Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 13 | Malam Yang Panjang

    Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P

  • Bocilnya Mas Duda   Part 14 | Sisi Manis Pak Bagas

    Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s

  • Bocilnya Mas Duda   part 15| Keluarga Bahagia

    "Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

Bab terbaru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

  • Bocilnya Mas Duda   part 15| Keluarga Bahagia

    "Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas

  • Bocilnya Mas Duda   Part 14 | Sisi Manis Pak Bagas

    Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 13 | Malam Yang Panjang

    Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P

  • Bocilnya Mas Duda   Part 12 | Kebencian Mama Mertua

    Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

DMCA.com Protection Status