Beranda / Pernikahan / Bocilnya Mas Duda / Part 1 | Lamaran atau Tawaran?

Share

Bocilnya Mas Duda
Bocilnya Mas Duda
Penulis: Mami Mochi

Part 1 | Lamaran atau Tawaran?

Penulis: Mami Mochi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gerimis mengguyur jalanan kota Surabaya sore ini. Sinar oranye yang seharusnya menghias langit, justru tergantikan awan gelap membawa rintik hujan. Tak cukup deras memang, namun mampu melukai wajah ketika mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm.

Aku duduk di balik kaca, dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap di hadapan ku. Coffee shop depan kampus menjadi pilihan saat ini untuk menikmati sore dengan santai. Tanpa deadline tugas, maupun pekerjaan lain yang akan mengganggu waktu.

Selain seorang mahasiswa, aku bekerja sebagai pelayan cafe di salah satu cafe setiap akhir pekan dan menjadi guru les privat. Sedikit banyak, orang tua ku di desa membantu meringankan biaya kuliah, namun aku juga memikirkan nasib orang tua ku jika harus memberikan uang bulanan yang begitu banyak untuk kebutuhan ku di kota.

Seketika aku teringat pembicaraan antara aku dengan orang tua dari anak yang menjadi anak didik ku. Pembicaraan yang membuat ku harus berpikir dua kali, apakah ini keputusan yang terbaik atau justru keputusan memberatkan untuk diriku ke depan.

"Mau pulang?" Tanya seorang pria dewasa yang baru saja datang. Kemejanya di gulung hingga siku, jasnya tersampir di lengan kirinya. Raut lelah jelas tercipta di wajahnya yang tampan.

"Iya Pak, mau pulang. Sudah malam juga." Jawab ku tersenyum ramah.

Pria itu mengangguk, "Ayo, saya antar. Ada yang ingin saya bicarakan dengan kamu."

Mengangguk ragu, aku menyetujui saja. Karena aku pikir, pembicaraan ini menyangkut putrinya. Aku mengikuti pria dewasa yang membawa ku menaiki kendaraan besi beroda empat. Menyusuri jalanan yang padat dan penuh polusi, aku memejamkan mata sejenak. Rasanya lelah sekali, apalagi besok lusa sudah mulai ujian.

"Kita mampir makan dulu, saya belum makan." Suara berat dari pria di balik kemudi membuat ku membuka mata.

"Iya, Pak." Tak ada kata lain untuk menolak, selain menyetujui. Memangnya apa yang bisa aku lakukan ketika si empu mobil memerintahkan sesuatu selain menurutinya?

"Resto Jepang dekat sini, tidak masalah kan?" Seketika mata ku membulat, ingin menolak tapi rasanya sungkan.

"Warung pinggir jalan aja Pak, biar lebih hemat," ucap ku sambil cengengesan.

Pria dewasa itu menggeleng, "Tenang saja, saya yang akan traktir kamu."

"Eh, serius ini Pak?"

"Saya serius, Leuca."

Melaleuca-gadis berhijab hitam lengkap gamis berwarna senada dengan aksen polkadot putih itu tersenyum sumringah.

"Boleh deh, Pak. Kalo Bapak yang bayar, hehe..."

Mendapat persetujuan dari ku yang memang suka makanan gratis apalagi traktiran, pria itu membelokkan mobil pada restoran khas makanan Jepang yang berada tak jauh dari posisinya sekarang.

Mengikuti pria dewasa yang berjalan memasuki restoran khas Jepang, kalimat pertanyaan terlontar untukku.

"Baru pertama kali kesini?"

Buru-buru aku mengalihkan pandangan, "Hehehe... Iya Pak, ternyata sama persis seperti film anime yang sering saya tonton. Suasananya juga sama banget!"

Tawa renyah dari pria itu menjadi respon atas jawaban ku. Memangnya kenapa? aku baru pertama kali datang ke sini. Menurut ku wajar jika aku terpesona.

"Kamu mau pesan apa?" Pria itu mengambil duduk di hadapan ku seraya menyerahkan buku menu.

Aku menerima buku menu dan membaca menu makanan yang ada. Namanya sangat aneh, dan sedikit sulit aku lafalkan. Memilih menutup buku menu, aku menatap pria dewasa yang masih membaca buku menu seakan tidak terganggu dengan kebingungan ku.

"Pak," panggil ku pada pria yang kini menatap ku penuh penasaran.

"Hm?"

"Makanan saya, samain sama punya Pak Bagas aja. Saya gak ngerti makanannya,"

Pria dewasa yang ku panggil Pak Bagas itu mendongak, "Mau saya rekomendasikan?"

"Boleh Pak,"

Kemudian Pak Bagas memesan makanan untuk kami berdua. Sembari menunggu makanan datang, aku yang tadinya tidak terlalu kepo kini dilanda penasaran. Untuk apa Pak Bagas mengajaknya bicara dengan makan malam bersama.

"Pak Bagas, tadi katanya mau ngomong. Bapak mau ngomong soal apa ya, Pak?" Tanya ku tak mampu membendung rasa penasaran.

Perhatian Pak Bagas teralihkan dari ponsel kepada ku, "Selesai makan, kita bicara."

Singkat dan jelas. Ciri khas dari Pak Bagas. Terkadang aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang ingin disampaikan oleh Pak Bagas. Butuh pemahaman khusus untuk mengerti kalimat pria itu.

Melihat Pak Bagas yang bermain ponsel sembari menunggu makanan datang, aku pun melakukan hal yang sama. Aku melihat dekorasi ruangan yang sangat bagus, bersiap memotret, dan akan mengunggahnya di i***a story milik ku.

Tak lama menunggu, makanan yang telah kami pesan datang. Pak Bagas mempersilahkan ku mencicipi makanan yang telah ia pesankan untuk ku, sesuai atas rekomendasi Pak Bagas tentunya.

"Bagaimana?" Tanya Pak Bagas.

Aku mengangguk sumringah, "Enak Pak. Saya suka makanan yang bikin kenyang, hehe..."

"Habiskan."

Aku makan dengan lahap, menghabiskan semua makanan tanpa sisa sedikit pun. Berbeda dengan Pak Bagas, pria itu makan dengan elegan dan sopan. Sangat rapi dan idaman semua wanita. Termasuk diriku tentunya.

"Sudah selesai?" Pak Bagas bertanya ketika melihat ku meminum minuman sebagai penutup.

"Sudah, Pak. Leuca udah selese makan. Bapak mau ngomong apa?"

Pak Bagas menegakkan posisi duduknya, menatap ku dengan intens. Aku merasa tak enak, salah tingkah sendiri. Karena tatapan Pak Bagas yang begitu dalam, fokus kepada ku.

"Ini ada kaitannya dengan kuliah kamu," kata Pak Bagas.

Aku mengerutkan kening, "Kuliah Leuca? Ada apa ya, Pak?"

"Menikah dengan saya, dan saya akan membantu biaya kuliah kamu."

Jantungku terasa akan jatuh mendengar ucapan Pak Bagas. Aku tidak menyangka, Pak Bagas akan mengatakan hal demikian padaku.

Menikah?

Sebelum ini, aku sama sekali tidak berpikir untuk menikah. Maksudnya, dalam waktu dekat ini. Sungguh aku belum terpikir untuk menikah dan tiba-tiba, dengan Pak Bagas yang melamarnya.

Tunggu, bisakah aku mengatakan melamar ketika kalimat Pak Bagas terdengar seperti memerintah?

"Kakak Yuka!"

Suara teriakan yang nyaring menyadarkan ku dari lamunan beberapa hari lalu. Aku tersentak kaget ketika melihat seorang anak berusia enam tahun memeluk kaki ku yang berada di bawah meja dengan erat.

"Lily?"

Aku berdiri dari kursi, ikut berjongkok. Menyamakan tinggi dengan gadis kecil bernama Lily. "Lily kesini sama siapa?"

Lily menunjuk ke arah belakang, dimana sesosok pria dewasa yang baru ku pikirkan, berjalan penuh elegan menghampiri ku dan Lily.

"Sama Papa!" Kata Lily dengan gembira.

"Pak Bagas?"

Senyum tipis muncul di bibirnya, mengelus rambut putrinya penuh sayang. Pak Bagas melarikan tatapannya ke arah ku. "Sendirian?"

"Eh, iya Pak. Sendiri."

"Gabung sama saya dan Lily saja."

"Eh, enggak usah Pak. Saya disini saja,"

"Kak Yuka ikut ke sana yuk! Temenin Lily mewarnai! Tadi Lily beli buku mewarnai loh sama Papa!"

Aku tak bisa menolak ketika Lily yang mengajak, padahal kan aku berusaha mati-matian menghindari Pak Bagas setelah insiden makan malam mengenai lamaran pria itu.

Tiba-tiba Pak Bagas mendekatkan wajahnya ke arah ku, aku berusaha menjauh, bermaksud menjaga jarak. Namun, bisikan pria itu semakin membuat ku kian tak berkutik.

"Saya tau kamu menghindari saya, Leuca."

Aku menegang ditempat, Pak Bagas tau jika aku menghindari pria itu? Rasanya aku sudah tertangkap basah. Tak bisa lagi menghindar.

Semenjak malam dimana Pak Bagas melamar ku, sebisa mungkin aku menghindari Pak Bagas. Sama seperti saat di kelas, ketika Pak Bagas meminta ku untuk membawa buku ke ruangan Pak Bagas, aku justru meminta seseorang untuk mengantar atau bahkan menggantikan posisi ku. Dan juga, ketika aku selesai mengajar les private pada Lily-anak Pak Bagas. Aku langsung pulang secepat mungkin agar tak berpapasan dengan Pak Bagas.

"Sayang, ajak Kak Yuka ke meja kita ya? Papa mau pesankan Kak Yuka makan dulu, pasti Kak Yuka lapar." Pak Bagas mengelus rambut Lily sebelum pergi.

"Iya Papa!" Lantas Lily menarik tangan ku untuk mengikuti bocah itu, "Ayo Kakak! Gabung sama Lily sama Papa!"

Mau tak mau, aku mengalah. Rasanya kehidupan ku di kota selalu di kelilingi oleh Pak Bagas dan Lily.

"Iya Lily, Kakak ambil tas Kakak dulu ya, sebentar." Aku mengambil Sling Bag dan ponsel yang aku letakkan di atas meja. Sekaligus membawa cangkir kopi yang masih utuh ke meja Pak Bagas.

"Yuk!"

Gandeng ku pada tangan mungil Lily. Bocah kecil itu tampak sangat bahagia, seperti menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Dari seberang, lebih tepatnya di meja kasir. Pak Bagas tersenyum melihat pemandangan Lily yang tampak senang dan bahagia. Tatapan mata kami tak sengaja bertemu, secepat kilat aku mengalihkan pandangan. Malu sekali!

***

"Sudah dua jam, dan Lily tertidur."

Perhatian ku teralih oleh suara berat milik Pak Bagas, aku memang merasakan Lily sudah tidur dengan menyender pada dadaku. Tampak nyaman dengan buku mewarnai di pelukan Lily.

"Eh, iya Pak. Leuca gak sadar," Aku membenarkan posisi Lily yang terasa mengganjal agar gadis kecil itu tampak nyaman.

"Saya seperti melihat masa depan, tepat di hadapan mata saya."

Mendengar ucapan Pak Bagas, aku menjadi salah tingkah, rasanya terasa aneh ketika aku digombali oleh dosen ku sendiri. Memilih mengacuhkan, aku berpura-pura tidak mendengar perkataan Pak Bagas barusan.

"Tampaknya Lily sudah nyaman sama kamu,"

Aku masih diam, tangan ku sibuk menekan tombol keyboard secara acak. Pikiran ku sudah tidak fokus lagi.

"Apa yang membuat kamu menghindari saya? Kamu tidak menyukai saya?" Tanya Pak Bagas.

"Tapi setau saya, kamu belum memiliki pacar."

"Teman dekat pria? Saya rasa, selama ini saya belum menjumpai kamu jalan bersama pria lain."

"Apakah kamu memiliki pria yang selama ini tidak saya ketahui?"

"Namun, saya yakin kamu belum memiliki pacar atau pria yang dekat dengan mu."

"Apa yang membuat mu ragu dengan saya, Leuca?"

Pertanyaan dari pernyataan Pak Bagas lama-lama memancing ku untuk fokus pada pria itu. Kini, Pak Bagas sudah sepenuhnya menatap intens pada ku. Mau tak mau, aku harus menjelaskan. Aku tak mungkin terus menghindar.

Aku mengambil napas dalam sebelum berbicara, "Sebelumnya, Leuca minta maaf sama Bapak,"

"Leuca ingin fokus sama kuliah, Pak. Masih ada impian yang harus Leuca capai. Ada beban orang tua Leuca yang mereka titipkan pada Leuca yang harus Leuca wujudkan. Leuca mau menjalani semuanya, menikmati proses itu."

"Jadi, saya minta maaf sama Bapak. Saya memutuskan untuk meno,--"

"Leuca," sela Pak Bagas menghentikan ucapan ku.

"Saya tidak menghalangi mimpi yang ingin kamu wujudkan," kata Pak Bagas.

Aku terdiam mendengarnya, lidah ku terasa kelu tak mampu mengatakan apapun. Mendengar dari nada Pak Bagas saja, aku yakin jika pria itu tersinggung.

"Saya menyukai kamu, sejak saya pertama kali melihat mu." Aku tak bisa berkata apapun lagi.

"Apalagi kamu sudah dekat dengan putri saya, Lily. Saya rasa dari pada menumpuk dosa dengan menyukai kamu secara diam-diam, mengapa saya tidak mengutarakan niat saya untuk melamar kamu."

"Umur saya bukan lah remaja yang harus bermain-main dengan pacaran, Leuca. Saya serius ingin menikahi kamu. Jika kamu mengijinkan, saya akan datang ke rumah orang tua kamu di desa, dan meminta kamu secara resmi disana."

Aku tak percaya dengan apa yang ia dengar, "Maksud, maksud Pak Bagas apa?"

"Saya akan meminta ijin untuk menikahi kamu, pada orang tua kamu. Jika kamu mengijinkan saya untuk datang menemui mereka."

"Pak, ini terlalu cepat buat Leuca. Lagian perasaan Bapak juga masih dalam taraf suka bukan cinta sama Leuca."

Tampak raut kecewa menghias wajah Pak Bagas, dan kalimat ku adalah penyebabnya.

"Saya mengerti jika kamu masih meragukan perasaan saya, yang tidak saya mengerti, kamu juga meragukan keseriusan saya."

"Tidak masalah Leuca, saya akan mencoba mengerti. Wajar jika kamu masih berpikir ulang. Ini menyangkut masa depan kamu, bukan hal main-main. Apalagi status saya adalah duda dengan satu anak kecil. Tentunya kamu pasti menginginkan pria yang setara dengan kamu, pria yang belum menikah."

"Pak, bukan seperti itu,--"

"Tidak apa, Leuca. Jangan merasa bersalah atas perasaan saya sama kamu."

Pak Bagas berdiri, dengan sigap pria itu mengambil Lily dari pangkuan ku. Rasanya tidak rela melepas Lily pergi bersama Pak Bagas. Sebelum pergi, Pak Bagas menatap ku sejenak.

"Tetap lah seperti biasa, jangan karena keberadaan saya membuat kamu tersiksa. Saya akan mencoba menjauhi kamu jika kamu kurang nyaman. Tapi saya mohon, tetap ajari Lily hingga putri saya pintar."

"Saya permisi, Leuca."

Aku menatap kepergian Pak Bagas dengan perasaan berkecamuk. Aku merasa sakit dan sesak entah karena apa, hati ku terlalu tau apa yang dirasakan Pak Bagas karena penolakan ku.

"Kenapa perasaan aku jadi gini sih!" Aku mengusap mata dengan kasar, terasa perih dan basah.

***

Bab terkait

  • Bocilnya Mas Duda   Part 2 | Sebuah Keputusan

    "Lebih baik mengambil cuti satu semester terlebih dahulu, dari pada kamu seperti ini. Bukannya apa, tapi kamu sudah banyak ijin di matkul saya." Aku duduk menatap gamang pada Bu Icha, salah satu dosen pengampu mata kuliah semester tiga sekaligus Dosen PA. Bu Icha tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya yang malas ketika menatap ku. Aku menyadari kesalahan ku yang beberapa kali ijin dan membolos ketika Bu Icha mengajar di kelas. Alasannya sama, aku harus bekerja di cafe ketika ada salah satu member lain yang libur atau ada masalah. Tuntutan kebutuhan kuliah ku membludak secara cepat seiring bertambahnya semester yang aku tempuh. Sebenarnya, aku bisa saja mengambil cuti satu semester sembari mengumpulkan uang untuk biaya kuliah pada semester selanjutnya. Tapi, tentu saja aku akan telat lulus, dan menambah satu semester ke depan. Itu di luar rencana yang telah aku susun. "Bagaimana Leuca?" Tanya Bu Icha tidak sabaran. Aku masih duduk dengan raut bingung, rasanya aku ingin segera m

  • Bocilnya Mas Duda   Part 3 | Calon Suami

    Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota. Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah. Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan. "Kamu masih ragu?" Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

    Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu. "Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik. Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas." Bapak diam menatap ku. Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..." Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam. "Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan k

  • Bocilnya Mas Duda   Part 5 | Hari Yang Ditunggu

    Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak. "Cantiknya anak Ibu." Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu..." "Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu." "Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh. "Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar." "Ibu jangan n

  • Bocilnya Mas Duda   Part 6 | Kecerobohan Lulu

    "Lulu." Aku tersentak saat tangan Pak Bagas menepuk pundakku pelan. Melihat respon dariku yang terkejut, Pak Bagas mendudukkan diri di sampingku. Aku terlalu banyak melamun di hari pernikahan ku. Bahkan, hingga tiba di rumah Pak Bagas aku masih saja memikirkan banyak hal."Ada apa? Kangen sama Bapak Ibu?"Sontak aku menggeleng, "Eng--enggak kok Pak. Lulu cuma bingung aja." Pak Bagas menatapku intens, aku mengalihkan pandangan. Gugup melanda saat Pak Bagas berada dalam jarak sedekat ini. Aku belum pernah berada sedekat ini dengan Pak Bagas, apalagi dalam status sah sebagai suami dan istri."Bingung kenapa?" Tanya Pak Bagas lembut. "Ketika Pak Bagas datang ke rumah Lulu, bukannya Bapak marah sama Pak Bagas? Bapak juga marah sama Lulu karena bawa Pak Bagas pulang." Ucap ku dengan nada bingung. "Tapi, tiba-tiba aja ada Pak Bagas di rumah dan Wahyu bilang, kalo Pak Bagas itu calon suami Lulu. Apalagi setelah kejadian sebelumnya, Pak Bagas gak ada kabar sama sekali. Lulu sampek ngerasa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 7 | Perkara Permen Rasa dan Tisu Ajaib

    "Masih panas?" Aku mengangguk saja. Rasa panas dan perih melingkupi punggung tangan ku. Bisa-bisanya aku terkejut hingga membuat kopi yang aku seduh untuk Pak Bagas tumpah berantakan. "Maaf ya, Pak. Kopinya tumpah karena Lulu." Aku berkata dengan nada pelan. Pak Bagas yang tadinya meniupi punggung tangan ku yang terluka, kini menatap ku. Tatapan matanya yang lembut selalu membuat ku terpaku. Bahkan tak akan pernah ku sangka, tatapan itu akan selalu aku lihat setiap harinya. "Jangan memikirkan soal itu. Yang paling penting, adalah keselamatan kamu, Lulu. Saya sudah berjanji dengan Bapak dan Ibu untuk menjaga kamu, tapi kamu malah terluka bersama saya." Sontak aku menggeleng, "Bukan karena Pak Bagas. Tapi karena kecerobohan Lulu." "Saya lihat kamu banyak melamun setelah akad, apa yang kamu pikirkan?" Aku diam, memang benar apa yang Pak Bagas katakan. Aku banyak melamun, memikirkan banyak hal hingga membuat ku tidak fokus sendiri. Tapi, aku tidak mau Pak Bagas ikut kepikiran dengan

  • Bocilnya Mas Duda   Part 8 | Bingung Gimana Bilangnya Sama Pak Bagas

    "Masih terasa sakit?" Aku mendongak, menatap Pak Bagas yang serius mengoleskan salep di punggung tangan ku. Tangannya begitu lembut menyentuh luka bakar ku yang masih terasa panas. Seakan tak kunjung menghilang. "Masih terasa seperti kebakar. Panas." Jawab ku. "Sudah saya beri Aloe Vera untuk mengurangi rasa terbakar, dan salep luka bakar agar tidak berbekas." Aku mengangkat punggung tangan ku, menelisik hasil pekerjaan Pak Bagas. Sangat rapi dan terampil. Berpengalaman dalam hal mengobati."Tapi kayaknya akan ada bekasnya deh Pak, meski pake salep." "Tidak apa-apa. Saya tetap menyukai kamu.""Ga nyambung, Pak Bagas." Kata ku terkekeh geli. Pak Bagas tersenyum singkat, "Biar kamu ingat saja, jika saya akan tetap menyayangi kamu. Apapun kondisi kamu.""Makin ga nyambung ih, Pak Bagas!" Elakku memalingkan wajah. Sungguh rasanya aku malu, atau bahkan tersipu. Tak hanya luka bakar ku yang terasa panas, tapi sekarang pipi ku merasa panas mendengar kalimat Pak Bagas.Tawa ringan ku den

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

Bab terbaru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

  • Bocilnya Mas Duda   part 15| Keluarga Bahagia

    "Kelas hari ini selesai, kita bertemu Minggu depan." Aku menutup buku catatan, begitu sang Dosen keluar ruangan. Satu persatu dari kami mulai meninggalkan kelas. Hari ini kelas selesai sore hari, membuatku tak bisa menjemput Lily seperti biasanya. Namun, aku sudah meminta Pak Iman untuk menjemputnya. Ku lirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekilas, aku melihat ruang prodi. Sepi. Aku menerka-nerka jika Pak Bagas sudah pulang. Melangkah dengan bahu lunglai, aku menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tiba di gerbang, aku berniat memesan ojek online dari pada meminta Pak Iman menjemput. Baru saja mengeluarkan ponsel, seseorang berdiri di hadapan ku. Membuatku mau tak mau mendongak. "Pak Bagas?!" Aku terkejut melihat Pak Bagas di depanku."Mau ngopi dulu?" "Lulu kira Pak Bagas sudah pulang." Pak Bagas tertawa renyah, "Mana mungkin saya meninggalkan istri saya sendirian." "Jadi, Pak Bagas nungguin Lulu?" "Sekalian menilai lembar tugas

  • Bocilnya Mas Duda   Part 14 | Sisi Manis Pak Bagas

    Bangun pagi dengan sapaan hangat dari suami tercinta memang idaman para wanita. Rasanya sungguh luar biasa, tatapan penuh kasih menjadi pemandanganku saat membuka mata. Tangan besarnya membelai pipiku, menyingkirkan helaian rambut yang mengganggu. "Selamat pagi, sholat subuh dulu." Ajak Pak Bagas yang langsung ku angguki. "Mandi bersama?" Pak Bagas mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Sontak pipiku bersemu merah, "Lulu bisa mandi sendiri kok Pak." "Mandi bersama sebagai pasangan suami istri itu mendapat pahala besar loh, Lu. Memangnya kamu tidak mau?" Aku terdiam mendengar kalimat Pak Bagas, sedetik kemudian menggeleng. "Mandi sendiri aja Pak, biar cepet!" "Padahal saya pengen banget mandi bareng sama kamu." "Pak Bagas!" Aku berseru membuat tawa lepas keluar dari bibirnya. Dengan selimut yang masih ku pegang erat, aku memalingkan wajah dari tubuh Pak Bagas yang setengah telanjang. Membiarkan pria tersebut mandi terlebih dahulu, aku masih harus menyiapkan diri. Bayangan s

  • Bocilnya Mas Duda   Part 13 | Malam Yang Panjang

    Malam tiba begitu cepat, tak terasa aku berdiam diri di dapur berjam-jam. Dapur masih berantakan, segera ku bangkit untuk membereskannya. Ku lirik jam diatas kulkas, sebentar lagi Pak Bagas pulang dari kampus. Ku percepat gerakan ku mencuci semua peralatan dapur. "Bentuknya saja membuat ku tidak nafsu, bagaimana Pak Bagas begitu lahap memakannya?" Aku bertanya lirih, seraya melihat piring berisi tumis kangkung yang sudah lembek. "Aku buang saja." Tanpa ragu, ku masukkan semua masakan ku ke tempat sampah. Segera mencuci dan merapikan dapur supaya rapi. Aku tak enak hati mengacaukan dapur Pak Bagas yang semula bersih dan tertata cantik. Menghela napas di sela mencuci piring, tak kurasakan begitu berat menjadi seorang istri. Meski rumah Pak Bagas dan Mama terpisah, namun aku tidak akan sanggup menghadapi Mama Pak Bagas tanpa suamiku. Jika ku ingat, rasanya pernikahan ku dengan Pak Bagas juga tidak masuk akal. Semuanya terlalu cepat, mendadak, tanpa persiapan apapun. Harus ku akui, P

  • Bocilnya Mas Duda   Part 12 | Kebencian Mama Mertua

    Satu bulan berlalu begitu cepat. Aku mulai terbiasa tinggal di rumah ini sebagai istri Pak Bagas. Karena pernikahan sederhana yang diadakan setelah UAS, saat ini aku masih menikmati waktu libur semester sekaligus mengasah kemampuan untuk mencoba resep masakan. Meski Pak Bagas tidak menuntut, sebagai istri tentu saja aku melayani suamiku dengan masakan buatanku. Tak jarang, beberapa kali aku mencoba masak selalu gagal. Tapi, Pak Bagas tak protes sama sekali dengan rasa masakanku. Padahal, ketika aku mencoba masakanku sendiri, rasanya sangat aneh dan tidak jelas. Bahkan aku sendiri tidak doyan, berbeda dengan Pak Bagas yang memakannya hingga habis tanpa menyisakan sedikit pun. "Kakak Yuka!!" Sedikit tersentak mendengar suara Lily menggema di penjuru rumah. Melihat jam dinding yang terpasang di dapur, aku mendongak. "Astagfirullah, harusnya aku jemput Lily!" Sibuk mencoba resep masakan, aku melupakan untuk menjemput Lily. Aku menoleh, Lily sudah berlari ke arahku dengan seragam yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 11 | Kedatangan Tamu yang Tidak Tepat

    Genggaman di atas telapak tanganku mengalihkan perhatian. Aku mendongak, ku lihat Pak Bagas menatap penuh khawatir. Sejak tanpa sengaja aku mendengar obrolan Mama dan Pak Bagas, kepalaku terus memikirkannya. Aku paham dengan jelas, bahwa Mama Pak Bagas tidak merestui pernikahan ini. Bahkan, tidak menerima kehadiran ku sebagai menantu di keluarga Graha."Lulu..." Panggil Pak Bagas lembut seraya mengusap kepalaku yang tertutup hijab. Ku ukir senyum semanis mungkin, "Pak Bagas butuh sesuatu?"Terdengar helaan napas dari bibirnya, raut wajahnya yang tegas membuat tatapan Pak Bagas tak setajam biasanya. Guratan kelelahan tercipta disana. Di usia yang sudah berkepala tiga, Pak Bagas masih terlihat muda dari garis wajahnya."Seharusnya saya yang bertanya." Kata Pak Bagas. Aku terdiam. "Ada apa?" Kali ini suara Pak Bagas terdengar serius, membuat tubuhku terpaku. Aku menautkan kedua jemariku. Menyembunyikan gestur gelisah yang terbaca jelas oleh Pak Bagas. Sepasang mata tajamnya tak dapa

  • Bocilnya Mas Duda   Part 10 | Perdebatan Mama dan Pak Bagas

    "Mama?" Senyum manis di sudut bibirnya yang berkerut nampak menawan. Usianya yang tak lagi muda, tak menghalangi kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Rambutnya tersanggul rapi dengan pakaian bergaya modis membuat aura arogan tercipta. "Mama anter Lily kesini. Hari ini Lily sekolah kan?" Aku mengerjap pelan, lalu mengangguk. Ku lihat Lily masih nampak mengantuk dalam gendongan wanita paruh baya yang ku panggil Mama. Bahkan gadis kecil itu masih memakai piyama, pertanda Lily baru bangun tidur. "Loh, Mama?" Suara Pak Bagas menyusul. Mama membalas dengan senyuman. Melihat Lily yang masih mengantuk, dengan sigap Pak Bagas membawa Lily ke dalam gendongannya. Mengelus rambut Lily penuh sayang. Tak lupa kecupan manis mendarat di kening Lily. "Anak Papa masih ngantuk ya?" Bukannya menjawab, justru Lily menyandarkan kepalanya di bahu Pak Bagas. "Sejak subuh, Lily merengek minta pulang. Kangen sama Papa, katanya." Jelas Mama singkat. "Anak Papa kangen ya?" Goda Pak Bagas pada Lily yang

  • Bocilnya Mas Duda   Part 9 | Terbuka dan Saling Mengerti

    Sesuai apa yang Pak Bagas katakan, semalam kami langsung tertidur. Tak ada malam pertama, tak ada pembicaraan sebelum tidur. Karena, begitu aku masuk kamar, aku langsung menutup mata dan menutupi seluruh tubuh ku dengan selimut. Dan tak sadar jika aku tidur dengan sendirinya.Baru kali pertama aku memasuki kamar Pak Bagas yang sangat besar hanya untuk dua orang. Tak banyak aksesoris disana, hanya bufet di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Dan sebuah lemari besar dilengkapi dengan cermin kaca. Bahkan baju-baju Pak Bagas tidak sampai memenuhi lemari. Satu kamar mandi dalam, di lengkapi dengan shower dan bath up. Sama seperti kamar tidur, tidak banyak peralatan mandi milik Pak Bagas yang berada di sana. Bahkan kamar mandinya sangat bersih dan wangi. Pak Bagas memang suka kebersihan. "Lulu." Panggilan dari Pak Bagas membuat ku menoleh. Pak Bagas datang dengan kaos santai dan celana training panjang. Alas kaki sudah terlepas, di gantikan sandal rumahan. Keringat bercucuran di pelipis."

DMCA.com Protection Status