Yara harus merelakan impiannya untuk menikah dengan pangeran impiannya yang tampan. Karena terpaksa dijodohkan dengan anak dari teman orang tuanya. Tidak akan masalah baginya jika pria itu masih tampan dan muda. Terus apa jadinya kalau dia dinikahkan dengan pria yang bahkan umurnya terpaut empat belas tahun. Dan lagi wajah pria itu semakin terlihat pas-pasan karena ditumbuhi jenggot dan kumis-kumis tipis. Belum lagi sifat pria itu yang pendiam dan berwajah datar seperti tripleks, bahkan terlihat susah bicara saat berhadapan langsung dengan Yara. "Ya Tuhan, beginikah caramu menghukumku atas dosa-dosaku?" Yara "Sungguh dia mirip seperti cacing kepanasan yang tidak bisa diam." Aska
View MoreBaru beberapa meter aku pergi meninggalkan gedung pencakar langit itu, kini suara teriakan heboh dan alunan musik yang sedari tadi mengganggu telingaku tak lagi terdengar, yang aku dengar sekarang hanyalah suara desingan mobil yang sedang kunaiki.
Menurutku suasana senyap di dalam mobil ini lebih buruk daripada ke adaan pesta pernikahan yang baru saja aku tinggalkan beberapa menit yang lalu. Gila apa, aku sekarang merasa sedang berada di kuburan. Tiba-tiba saja aku jadi merinding saat tak sengaja mataku bertubrukan dengan mata tajamnya.
Aku mencoba memberikan senyum manisku padanya, berharap rasa canggung yang kualami bisa pergi. Tapi lihatlah! Dia bahkan menghiraukanku dan kembali fokus melihat ke jalan di depan. Ingin sekali kumaki laki-laki di sampingku ini yang sekarang sudah berstatus sebagai suamiku.
Hah, aku rasa aku tidak bisa menjalani masa mudaku yang indah lagi sekarang. Ya itu sudah pasti, karena semenjak aku menikah dengannya beberapa jam yang lalu aku sudah tidak punya semangat lagi untuk menjalani ke hidupanku sekarang.
Ini semua berawal dari keputusan gila orang tuaku. Seenaknya sendiri menjodohkanku dengan pria tua ini. Bolehkan aku memanggilnya pria tua? umurnya denganku berjarak empat belas tahun. Sekarang aku berumur delapan belas tahun, itu berarti dia berumur tiga puluh dua tahun. Wah, seperti nya ada yang salah dengan mata kedua orang tuaku. Bagaimana bisa mereka menikahkanku dengan om-om seperti ini.
Keluarga besar dan kerabat-kerabatku bilang, aku ini wanita yang beruntung karena bisa menikah dengan laki-laki kaya sepertinya. Hey, kenapa rupanya kalau dia kaya? Orang tuaku juga kaya, bahkan dari lahir sampai sebesar ini aku tidak pernah merasa kekurangan apapun.
Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya kenapa dengan teganya mama dan papa menikahkanku dengan om-om seperti nya. Tidak masalah kalau dia berwajah tampan dan gagah seperti cerita-cerita romantis di film ataupun di novel yang sering kubaca. Dia ini berbeda, sangat terlihat tuanya, lihatlah janggutnya yang tak terawat itu.
Ya tuhan begini kah caramu menghukumku? Dengan cara mentakdirkanku menikah dengan pria tua yang bahkan sedari tadi hanya memasang wajah dinginnya. Aku bisa gila dalam jangka waktu dekat ini.
Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil yang kunaiki berhenti di depan rumah yang tak terlalu besar ini. Tapi ini sudah termasuk besar untuk kami tinggali berdua. Berdua? Aku tak sanggup membayangkannya.
Saat kutanya kenapa rumahnya kecil, mama langsung menjawab itu hanya untuk sementara, nanti kalau kalian sudah punya anak baru akan pindah ke rumah yang lebih besar. Anak? Ternyata mama sudah memikirkannnya sejauh itu.
Pria tua itu turun dari mobil tanpa berbicara sepatah katapun padaku dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku langsung mengikuti dari belakang.
Sesampainya di dalam rumah aku melihatnya sudah terduduk santai di sofa ruang tamu, sambil memejamkan matanya.
Aku ikut duduk di sofa yang bersebrangan dengannya, menatap nya penuh dengan perasaan kesal.
"Om." Aku memberanikan diri memanggilnya.
Ah, aku semakin kesal saja sekarang, dia bahkan tidak menyahut panggilanku. Dia belum tahu kalau aku ini cewek yang cerewet dan tak bisa diam. "Oy!" Aku mulai memanggilnya kasar.
Dia membuka matanya. "Huh," dapat terdengar jelas ia menghembuskan nafas kasar. Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya saja kali ini dia melihat ke arahku.
"Kenapa om diam saja?" tanyaku santai, mengabaikan tatapan matanya yang tajam.
"Menurut mu?" dia bertanya balik, sambil melonggarkan dasi yang sedari tadi melingakar di lehernya.
"Ck." Aku berdecak pelan, bahkan untuk mengajaknya bicara sangat sulit kurasa. "Dosa apa yang kuperbuat sampai harus menikah dengan om-om tua seperti mu," sepertinya perkataanku barusan memancing emosinya, dia yang tadinya diam saja kini berjalan mendekat ke arahku. Aku sedikit gugup saat matanya menatap nyalang padaku.
"Kau mau cari ribut denganku?" tanyanya pelan sampai aku hampir tidak bisa mendengar suaranya.
"Kau yang aneh, aku kan hanya mengajakmu bicara, tapi kau bahkan menghiraukanku. Kau anggap aku ini patung," teriakku seraya berdiri dan menjauh darinya. Jaga-jaga kalau dia akan bertindak yang tidak-tidak.
Dia menatapku kembali dengan wajah datarnya. Lalu pergi begitu saja ke lantai dua.
Lantai dua? Aku teringat sesuatu, dan langsung lari mengejarnya. Mengingat sekali lagi kalau rumah ini letak kamarnya hanya ada di lantai dua. Aku tahu karena baru saja datang kemarin untuk membawa baju dan beberapa barangku ke kemari.
Aku melewatinya yang masih jalan dengan langkah pelan menaiki anak tangga, sepertinya dia sangat lelah sampai tak terlihat sedikit pun semangat dari tubuhnya. Abaikan itu, apa peduliku.
Sesampainya di lantai dua aku langsung berhenti di depan kamar yang pintunya tampak lebih besar dari kamar yang satunya lagi. Aku sudah tau, kamar yang ada di depan ku sekarang adalah kamar utama di rumah ini. Dan tentu aku akan memilih kamar yang luas dan bagus untuk ku.
Aku membalikkan badan saat menyadari dia sudah berdiri di belakangku. Dia menaikkan alisnya, seolah bertanya apa yang sedang kulakukan.
"Aku tidur di kamar utama," ujarku sedikit kaku.
"Ooo," dia mengangkat bahunya acuh.
"Apaan sikapnya itu, sombong sekali. Kalau bukan karena hanya berdua di sini aku juga tidak mau mengajaknya bicara," sindirku sedikit kuat, berharap kalau dia mendengar ocehanku.
Setelah itu aku langsung membuka pintu kamar yang akan aku tempati. "Apa-apaan ini?" pekikku lalu menutup kembali pintu kamar dengan kuat.
"Kau mau merusak pintu?" tanyanya masih dengan wajahnya yang datar seperti tripleks.
"Bukan, bukan begitu aku-" Aku tak melanjutkan ucapanku lagi, karena sepertinya akan sia-sia saja, dia pasti tidak akan mau mendengarkan celotehanku. Aku hanya akan membuang-buang tenaga saja nantinya.
Aku kembali menatap pintu kamar utama, wahai pintu aku syok melihat apa yang ada di dalam sana. Seketika perhatianku teralihkan olehnya, siapa lagi kalau bukan om tua itu. Aku diam-diam memperhatikannya yang sedang kesusahan membuka pintu kamarnya.
Beberapa waktu terlewat, tapi pintunya masih saja belum bisa di buka. Aku mendekatinya karena penasaran. "Kenapa dengan pintunya?" tanyaku sok ramah.
Dia hanya diam tapi matanya masih tertuju pada gagang pintu kamar yang akan dia tempati, seolah-olah menyuruhku untuk melihatnya sendiri.
Aku mulai menyentuh gagang pintu itu dan kenapa ini? Kenapa sulit sekali membukanya? Berbeda dengan pintu kamar utama. "Sepertinya di kunci," kataku kemudian. "Kau tak ada kuncinya?"
"Tidak," jawabnya cepat sambil memalingkan wajahnya dariku. Dasar tidak sopan, dia bahkan tidak melihatku sebagai lawan bicaranya.
"Hah, aku sangat prihatin padamu. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak suka berbagi kamar dengan laki-laki jadinya malam ini kau harus rela tidur di sofa." Aku berjalan kembali menuju kamar utama.
Tapi, dia tiba-tiba menghadang jalanku. Aku menatap bingung padanya.
"Apa?" tanyaku.
"Aku yang akan tidur di kamar utama, karena ini rumahku," ujarnya. Wah, ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar dari mulutnya.
"Tidak, pokoknya aku yang akan tidur di kamar utama," sergahku sambil mendorongnya agar menjauh dari hadapanku.
Ujung ekor mataku menangkap geraknya yang akan membuka pintu kamar. Aku segera mencegahnya.
"Kau tidak boleh masuk?" teriakku tak perduli dengan apa yang akan ia lakukan nantinya padaku. Aku harus mempertahankan kamar ini.
Dia menarik tanganku dan sontak tubuhku ikutan terbawa mendekat ke arahnya. Aku sangat terkejut karena jarak antara diriku dan dirinya sekarang sangatlah dekat, aku mendongak agar bisa melihat wajah nya lebih jelas. Dan dari jarak sedekat ini aku baru tahu kalau kulit wajahnya itu sangat bersih dan putih, hidungnya juga mancung dan mata tajamnya yang terlihat menawan itu. Eh,apa yang ku pikirkan.
"Jangan sentuh aku!" Aku menarik diri agar menjauh darinya.
"Menyingkirlah!" dia langsung membuka pintu kamar utama, dan sepertinya dia juga terkejut dengan isi kamar utama itu. Aku ikutan mengintip sekali lagi ke dalam kamar, tidak ada yang aneh. Hanya saja kamar itu di dekorasi layaknya kamar untuk malam pertama pengantin baru.
Ini pasti kerjaan mama dan ibu mertuaku, aku sungguh tak habis fikir dengan mereka. Apa gunanya sih menghias kamar sampai seperti ini? Siapa juga yang mau melekukan itu dengannya.
"Berkediplah!" ujarnya sambil melihat ku datar.
Dengan bodohnya aku mengikuti perkataannya.
"Kau saja yang tidur di sini," dia melangkah pergi ke lantai bawah, sepertinya dia akan tidur di sofa.
"Eh tunggu!" Aku menarik tangannya. Dia langsung berbalik dan menatapku tanpa berkedip. Iya aku tahu, kau pasti terpesona dengan kecantikanku.
"Bantu aku memberasakan kamar, aku tidak suka hiasan-hiasan seperti itu," pintaku.
"Huh," lagi-lagi dia mengehela nafas kasar. "Itu urusanmu," dia tak perduli dan hendak pergi lagi.
"Ku mohon om, aku tidak akan sanggup membereskannya sendiri." Aku merengek-rengek padanya. Enak saja dia ingin pergi begitu saja.
"Lepaskan tanganku!" Aku mengikuti arah matanya.
"Kalau ku lepas kau pasti akan pergi," teriakku.
"Baiklah," dia mengajakku masuk ke dalam kamar utama.
Sesampainya di dalam aku hanya duduk diam di sofa sambil memperhatikannya yang sibuk membereskan hiasan-hiasan laknat itu.
"Itu om di sebelah sana belum." Aku menunjuk sudut kamar. Dengan cepat dia berjalan ke sana dan menarik hiasan-biasa bunga yang tergantung.
"Lanjut yang sana lagi om!" aturku seperti seorang bos.
Dia menatap tajam ke arahku, membuatku langsung diam tak berkutik. Walaupun begitu mataku terus memperhatikan, yang sekarang sudah berjalan ke arah tempat tidur ukuran king itu.
Oh tidak, dia berbaring di situ. Dengan cepat aku ikutan naik ke atas tempat tidur, menjadikan lututku sebagai tupuan tubuhku. "Om kenapa tiduran di sini?" teriakku.
Dia memejamkan matanya, mengacuhkan ucapanku.
"Om!" panggilku lagi sedikit merengek.
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments