Aku mengikutinya sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar, sedangkan dia membawa keranjang sampah tadi.
Sesampainya di depan rumah, dia langsung meletakkan keranjang sampah itu di pinggiran pagar rumah, agar nanti petugas pengangkut sampah bisa langsung mengambilnya.
"Nah!" Aku memberikan beberapa tangkai mawar yang kupegang tadi padanya.
"Buang sendiri!" katanya singkat.
"Tanganku bisa kotor nanti om, aku kan sudah mandi." Aku membuat wajah seimut-imut mungkin di hadapanya.
"Wah lihat itu! Bukankah mereka tetangga yang baru pindah kemarin?"
"Mereka pengantin baru ya?"
"Aish, aku jadi baper sendiri melihat wanita itu memberikan mawar pada suaminya."
"Aku jadi teringat saat pertama kali menikah dulu dengan suamiku."
"Manis sekali mereka."
Apa itu? Kenapa mereka berbisik-bisik seperti itu? Tunggu-tunggu! Aku tidak salah dengarkan tadi 'Aku memberi mawar pada suamiku' Aku baru sadar kalau tingkahku sekarang ialah seperti seorang cewek yang sedang menyatakan perasaannya pada cowok yang di sukainya.
Dengan perasan malu, karena jadi bahan tontonan tetangga aku langsung membuang bunga mawar itu dan segera masuk ke rumah.
Masih bisa ku dengar ibu-ibu itu menertawaiku. Dasar, ibu-ibu tukang gosip.
Aku mengintip mereka dari balik jendela, kenapa om itu tidak masuk juga sih? Mau membuatku semakin malu ya.
Dia tersenyum pada ibu-ibu itu, lalu membungkuk sopan, dia ngapain sih? Denganku saja dia tidak pernah tersenyum ataupun bersikap sopan seperti itu. Dia mau cari muka ya dengan ibu-ibu tetangga sebelah, membuatku kesana saja.
Mmm, awas saja dia!
"Kau sangat tidak sopan pada ibu-ibu tadi," dia baru saja masuk, tapi sudah mengomeliku. Tidak sopan darimananya? Aku kan tidak berbuat hal-hal yang aneh tadi.
"Kemarilah!" Dia menarik tanganku dan membawaku duduk di sofa. Bolehkah aku menjerit sekarang, dia menggenggam tanganku apa dia sedang kerasukan? Tangannya ini kenapa begitu halus?
"Ada apa?" tanyaku sewot.
Dia melepaskan genggaman tangannya dariku, lalu menatapku datar. "Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu tadi," ujarnya pelan, masih dengan wajah datar nya itu. Kemana senyum yang ia berikan tadi kepada ibu-ibu itu?
Aku diam, bersikap apa rupanya? Aku masih tidak mengerti maksud darinya.
"Hey jawab aku!" Perintahnya. .
"Kenapa kau jadi banyak bicara om?" Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga.
"Kau keberatan?" dia malah bertanya balik.
"Mmm." Aku malas menanggapinya lagi, memilih menghidupkan TV.
Dia juga sama, kembali diam tanpa mengatakan apapun padaku. Sesekali aku meliriknya hanya ingin memastikan kalau dia memperhatikanku juga atau tidak. Huh pantas saja dia diam, dia tidur? Padahal inikan masih pagi, dasar tukang tidur.
Mungkin aku sudah gila sekarang, aku diam-diam mendekati nya, mengikis jarak di antara kami. Dia tidak menyeramkan sama sekali saat tidur seperti ini, malah terkesan imut dan manis.
Yara, kenapa kau jadi suka memuji om-om tua ini? Kau kan tidak suka padanya. Aku seperti mendengar suara hatiku yang lain.
Kalau di pikir-pikir memang benar, kenapa juga aku jadi begitu memperhatikannya, aku kan sangat tidak suka padanya. Seandainya dia juga menolak perjodohan pasti masa mudaku tidak akan berakhir seperti ini. Aku ingat itu, malam itu bahkan dia tersenyum ramah pada mama dan papa. Saat ditanya apakah dia setuju dengan perjodohan dia malah mengangguk setuju. Bodoh sekali dia, kami kan sama-sama saling tidak punya rasa, kenapa juga dia harus menerima perjodohan ini.
Oh aku tau, pasti karena dia jomlo dan tidak punya pacar, pantas dia sangat senang saat tahu akan di nikahkan denganku. Aku ini masih muda dan cantik, iya pasti itu alasannya. Nanti saat ada waktu yang tepat aku akan menanyakan ini padanya.
"Apa yang kau lakukan?" sejak kapan dia bangun? Mataku langsung menangkap netranya yang baru saja terbuka, dari jarak sedekat ini aku baru tahu kalau dia mempunya netra berwarna coklat gelap. Kupikir semalam matanya tajamnya itu berwarna hitam, ternyata aku keliru. Tapi perasaan apa ini? Aku merasa seperti pernah melihat mata ini jauh dulu sebelum perjodohan seminggu yang lalu. Tapi aku tidak terlalu ingat.
"Wah diam-diam sepertinya kau menyukaiku ya?" dia berbisik pelan di telingaku. Aku ingin kabur saja sekarang, tapi entah kenapa tubuhku serasa kaku dan tidak bisa bergerak sekarang. Ya ampun dia sampai-sampai berfikir kalau aku ini menyukainya, bagaimana ini.
"Yara!" ini pertama kalinya dia memanggil namaku. "Kau tidak apa-apa kan?" dia tampak khawatir sekarang, mengguncang-guncang tubuhku membuat adegan agar tampak lebih dramatis.
"Tidak- tidak, aku tidak apa-apa." Aku langsung menjauh darinya.
"Dasar kau ini, kupikir kau kenapa tadi," dia mengacak pelan rambutku sambil tersenyum tipis. Dia kerasukan apa? Kenapa bersikap manis seperti ini., membuatku grogi saja.
"Kenapa kau perduli." Aku berusaha keras agar tidak terlihat gugup di depannya.
"Hah ya sudahlah" dia pergi meninggalkanku.
***
Ting tong
Aku langsung berlari cepat saat mendengar suara bel rumah berbunyi, hais aku sudah menunggunya dari tadi.
Aku tersenyum ramah pada orang yang sedang berdiri di depanku. Dia balas tersenyum manis lalu memelukku.
"Aaa, aku kangen banget sama kamu Nad." Aku berteriak heboh lalu menyuruhnya masuk ke rumah.
"Aku tau itu." Nadia terkikik pelan. "Eh kamu kok baru ngasih tau sih kalau kamu pindah rumah? Kan aku bisa bantu-bantu kalau tahu," dia duduk di sofa, menatapku meminta penjelasan.
Aku kasih tau Nadia gak ya? Kalau sebenernya aku itu udah nikah. Pasti nanti dia jadi heboh terus nyebar-nyebarin ini ke teman yang lain.
"Kok diem sih Yar?" tanyanya.
"Eh kamu tunggu sini dulu ya, aku mau ambilin buat kamu." Aku langsung mengalihkan perhatiannya. "Kamu mau minum apa?" lanjutkan lagi.
"Minuman soda aja."
"Ok, tunggu sebentar!" Aku langsung berlari menuju dapur.
Pikiranku kalut sekarang, bagaimana nanti aku akan menjelaskannya pda Nadia. Jujur aku memang merahasiakan pernikahanku pada teman-temanku. Aku malu, jadi meminta mama agar pernikahan kami di adakan secara tertutup saja.
Bagaimanapun juga sekarang om itu kan sudah jadi suami sahku. Tapi aku masih belum terima kalau sekarang statusku sudah jadi istri orang. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan di hidupku ini, dan sekarang aku harus mengabdi dan menghabiskan siapa umurku pada om itu. Dan bagaimana nanti reaksi teman-temanku saat mereka tahu, pasti aku tidaka akn berani menampakkan diri lagi pada mereka kalau mereka suatu hari nanti tau tentang hal ini.
Aku mengambil dua gelas dan sebotol minuman soda berukuran besar, lalu meletakannya di atas nampan.
Aku terkejut bukan main begitu sampai di ruang tamu. Kenapa om itu ikutan duduk di sana dan berbincang hangat pada Nadia. Apa sih maunya? Dia mau memamerkan kalau dia itu suamiku?
"Eh Yara." Nadia menyadari kedatanganku. Aku meletakkan nampan di atas meja lalu meiangkan minuman ke glas dan meberikannya pada Nadia.
Dan sekarang aku ikut duduk dengan mereka. Dan hanya bisa melihat mereka yang sepertinya terlibat percakapan yang begitu mengasyikkan. Kenapa dengan orang lain dia bisa bersikap begitu ramah dan mengasyikkan, sedang denganku dia begitu datar dan terkesan cuek.
"Kenapa kau tidak pernah bercerita tentang om Aska mu ini Yar?" ujar Nadia. Ternyata Nadia sudah berkenalan ya dengan om itu. Oh iya maaf baru mengatakannya sekarang, nama panjang om itu Aransca Devanka Zamir, cukup panjang bukan? Untunglah nama panggilannya hanya terdiri dari empat huruf yaitu "Aska" panggilan yang aneh menurutku. Kenapa dari sekian banyaknya kata di namanya dia lebih memilih di panggil Aska. Dasar.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Nadia.
Beberapa menit kemudian.
"Kamu kok diam aja Yar?" Nadia menoleh padaku. "Gak biasanya kamu diem gini, biasakan sukanya nyerocos mulu." Nadia tertawa pelan.
"Lagi gak enak badan," jelas aku berbohong sekarang, badanku sedang tidak apa-apa, tapi aku tiba-tiba tidak mood lagi sekarang. Apalagi om Aska selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di lemparkan oleh Nadia dengan begitu antusias.
"Tadi kayaknya masih sehat-sehat aja." Nadia menatapku curiga. Aku meliriknya sekilas pada om Aska, dia tampak tak perduli denganku.
"Entahlah," dengan kesal aku naik ke lantai atas. Aku jadi bad mood sendiri sekarang. Aku masih bisa mendnegar Nadia memanggil-manggil namaku, tapi tak ku hiraukan.
Aku berdiri di balkon kamar yang letaknya berhadapan langsung dengan jalan. Tidak berapa lama setelah itu aku melihat mobil Nadia pergi menjauh dari rumah, kenapa dia cepat sekali pulangnya dan lagi dia bahkan tidak berpamitan dulu padaku kalau akan pergi. Tau begini aku tidak mau menyuruhnya datang kemari, bukannya membuat ku jadi senang malah membuat pikiranku jadi memburuk saja.
Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki mendekatiku. Dan kudapati om Aska sekarang sudah ikutan berdiri di dekat balkon kamar.
"Nadia udah pulang ya?" tanyaku sekedar basa-basi. Dia hanya bergumam pelan menanggapi ucapanku.
"Ooo." Aku ber-oh pelan lalu melihat ke arah jalan lagi, dari atas sini aku bisa melihat dengan jelas orang-orang yang berlalu lalang.
"Tadi temen kamu bawain kamu makanan, aku taruh di kulkas," dia menjelaskan tanpa kuminta, aku sih sudah tau kalau Nadia bawain makanan, kan aku yang minta padanya tadi sebelum dia kemari.
"Makasih," jawabku tanpa melihatnya.
Sekarang kami saling diam.
Aku teringat sesuatu sekarang, suatu hal yang sangat ingin aku tahu dan tanyakan padanya. Bolehkah aku bertanya sekarang?
Aku meliriknya. "Om!" panggilku pelan hampir berbisik.
Dia menoleh padaku, baru kali ini dia langsung melihatku begitu ku panggil. "Ya?" jawabnya datar. Cih, kenapa denganku kau begitu terlihat cuek.
"Aku boleh tanya sesuatu gak?" lanjutku.
"Mmmm," gumamnya pelan, tampak seperti sangat tak bersemangat menanggapi perkataanku.
"Kenapa om mau nerima perjodohan ini?" tanyaku antusias.
Bukannya menjawab dia malah mengalihkan pandangannya dariku, seperti enggan untuk membahasnya.
"Om juga di paksa ya sama mama Dela?" Aku menebak-nebak, mana tau benar. Kalau ia kan kami bisa melakukan aksi protes, ya walaupun sudah sedikit terlambat tapi tidak masalah. Kami juga tidak saling suka, mungkin kami bisa bercerai.
"Kau ingin tahu?" tanyanya sambil melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain di teras rumah sebrang sana.
Aku duduk sambil menyantap makanan yang di bawa Nadia tadi, sesekali memikirkan perkataan om itu."Belum saatnya kau tahu," kalimat itu terus-terusan berputar di otak kecilku. Belum saatnya aku tahu? Emangnya apaan sih? Jangan-jangan tebakanku itu benar, kalau dia itu menikahiku karena memang tak ada yang mau padanya. Jadinya saat mendengar perjodohan ini ia langsung menerimanya. Dasar, pria tua, harusnya kan dia mencari wanita yang seumuran dengannya. Bukannya denganku.Apa yang harus aku lakukan sekarang, beberapa minggu lagi aku akan menjadi mahasiswa di salah satu kampus di kota ini. Ada kemungkinan juga teman-teman satu SMA ku juga masuk di sana. Setahu aku sih teman-teman seletingku belum ada yang menikah, baru aku saja.Ya sudahlah sudah terjadi, yang harus aku lakukan sekarang adalah menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada yang tahu tentang statusku.Sedikit merasa bosan aku menghidupkan HP dan membuka grup chatku di salah satu aplika
Kami kembali ke rumah saat hari sudah mulai gelap, jujur aku sudah sangat lelah karena lebih dari dua jam aku berjalan terus. Aku baru tahu ternyata om Aska itu bisa memasak, makannya dia lebih memilih masakan sendiri untuk tetangga yang bakalan datang nanti malam.Aku sudah siap-siap sekarang, dengan pakaian rumahan yang terlihat sopan. Aku melihatnya yang sedari tadi sibuk memasak, sedikit kasian sih kalau melihat wajahnya yang tampak kelelahan itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku kan tidak pintar memasak. Maaf sekali ya om.Aku berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa buah-buahan dan cake yang kami beli tadi saat perjalanan pulang.Dia bernafas lega saat masakan buatannya sudah terhidang rapih di atas meja. Lalu terduduk lelah di kursi, sesekali menyeka keringat yang terus-teruss mengalir di bagian kening dan leher."Sebaiknya kau mandi dulu om." Aku mendekatinya sambil menaruh buah dan cake yang ku ambil tadi di atas meja. "Keringatmu bau sekali.
"Terima kasih atas jamuannya, kami pulang dulu. Kalau ada waktu mainlah juga ke rumah kami" Bu Indri bersamamu pada om Aska setelah itu bergantian padaku. Aku tersenyum kikuk."Iya, nanti kami sempatkan datang ke rumah kakak" Om Aska tersenyum lebar, sungguh munafik. Lihat saja kalau setelah ini kau tidak mau tersenyum padaku, akan ku tarik bibirnya itu. Lihat saja, aku tidak akan main-main dengan kata-kataku.Setelah itu mereka langsung pergi dari rumah kami, rasanya sekarang aku lega. Lagipula aku juga sudah sangat mengantuk.Aku langsung naik ke atas, tapi sebelum itu aku mengambil bingkisan yang tadi di berikan oleh ibu-ibu itu. Sepertinya isinya makanan, kareanaaku bisa mencium aroma coklat dari dalam sana."Om aku naik duluan ya sudah ngantuk" Aku langsung meningggalkannya tanpa menunggunya menjawab perkataanku.Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan diriku di atas kasur, rasanya nyaman sekali. Pokoknya malam ini aku akan tidur ny
Aku bangun lama hari ini, mungkin efek karena tadi malam aku bergadang hampir semalaman. Ternyata menggangu om Aska itu sangat menyenangkan ya, hehehe. Lain kali aku coba lagi deh mengganggunya.Dengan sedikit tergesa-gesa aku menuruni anak tangga, tujuanku sekarang adalah dapur. Aku sangat lapar sekarang, dasar pria tua kenapa dia tidak membangunkanku dari tadi sih.Aku melihat ke arah lemari makanan, bersyukur karena dia menyisakan sepiring nasi goreng di sana. Mungkin ini untukku karena tidak ada orang lainkan di rumah ini.Dengan lahap aku makan nasi goreng itu, terasa sangat enak begitu suapan pertama masuk ke dalam mulutku. Sepertinya nanti aku harus belajar masak padanya. Aku juga ingin pintar memasak, karena selama ini aku hanya bisa menggoreng telur ceplok dan masak mie instan, sangat tak pantas untuk di banggakan.Akhirnya aku siap dengan sarapanku yang sedikit terlambat ini. Setelah siap mencuci piring bekas makanku, aku mengambil b
Beberapa minggu sudah terlewat, kini hubunganku dengan om Aska semakin membaik. Dan dia juga mulai membuka diri padaku.Tidak banyak yang ku lakukan bersamanya, lggipula dia juga setiap harinya kerja di perusahaan milik papanya, yang sekarang juga sudah jadi papaku.Setiap hari sambil menunggunya pulang aku hanya bisa menonton film di laptop milikku sendiri.Aku ingat waktu itu aku datang ke rumah masih dengan perasaan kesal, merasa kalau mama dan papa itu egois, tidak memikirkan perasaanku.Walau sekarang aku juga masih kesal aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini sudah takdir dari yang kuasa, aku juga bisa apa?Sekarang aku mulai menerima pernikahan ini dengan lapang hati, tapi aku tidak tahu kalau dengan om Aska. Walaupun hubungan kami sudah membaik dia juga sepertinya tidak tertarik padaku. Itu merupakan keuntungan bagiku, karena akan merepotkan kalau sampai dia suka padaku.Kalau seandainya aku ya
Hari ini adalah hari minggu, hore aku bisa berteriak senang hari ini. Aku menyibak gorden kamarku, seketika cahaya-cahaya lembut dari matahari pagi langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Udara segar langsung kuhirup dalam-dalam begitu jendelanya ku buka. Ah, hari ini sangat cerah sekali.Setelah membereskan tempat tidur aku langsung bergegas mandi. Kalian harus tahu, aku sangat tidak suka menunda-nunda waktu mandi. Tidak butuh waktu yang lama bagiku untuk mandi. Ini masih pagi, kalau aku mandi lama-lama bisa mati karena kedinginan nanti. Wkwkwk.Siap berpakaian, hari ini aku memakai setelan training hitam dan t-shirt berwarna abu-abu, rencananya sih aku ingin mengajak om Aska joging bareng, ya walaupun udah agak siangan gak apa deh. Daripada di rumah terus aku bosen, kebetulan hari ini kan om Aska kan libur juga, iya kali dia hari minggu pergi ngantor.Ok, setelah berpakaian aku langsung turun ke bawah, perutku sudah minta jatah dari tadi. Sesampai
Dengan tergesa aku mengambil HP ku yang berbunyi, aku tahu ini. Ini pasti bunyi alarm yang sudah ku setel tadi malam. Dengan cepat ku matikan alarm itu, sangat berisik.Aku duduk sambil menyandar di kepala tempat tidur, mengumpulkan nyawaku yang masih setengah tersadar.Mataku mengarah ke seluruh sudut ruangan, tidak ada. Si pria tua itu sudah tidak ada di dalam kamar. Ah, mungkin dia sudah bangun duluan.Setelah kurasa tubuhku sudah mendingan di ajak utntuk beraktifitas akupun langsung beranjak ke kamar mandi.Hah, rasanya sangat segar mandi pagi-pagi begini. Siap dengan acara mandi pagi aku langsung mengenakan pakaian yang sudah di tentukan untuk mengikuti OSPEK di kampus.Baju kemeja putih, rok hitam panjang selutut. Hah aku bersyukur tidak di suruh pakai yang aneh-aneh seperti masa-masa MOS di SMA dulu.Aku masih berdiri di depan cermin, sedikit mengernyitkan dahi. Merasa ada yang kurang dari apaa yang ku pakai. Tapi apa? Aku
Sesampainya di rumahku, langit sudah gelap dengan sempurna. Ternyata memakan waktu yang lumayan juga ya pulang ke rumah."Makasih ya Nad." Aku sedikit berteriak sambil melambaikan tangan pada Nadia yang sudah beranjak pergi dari rumahku.Tidak ada jawaban, tentu dia sudah melaju dengan cepat. Dasar.Aku masih memperhatikan mobil Nadia smapia menghilang di tikungan jalan. Setelah puas melihat Nadia pergi, aku baru masuk ke dalam rumah.Ah, rasanya badanku sudah minta di baringkan saja. Aku ingin segera tidur di kasurku yang empuk.Begitu aku buka pintu Bik Inah langsung menghampiriku. Masih dengan senyum hangatnya, aku rasa Bik Inah ini selain suka memasak, dia juga suka menebarkan senyumnya ini. Untung dia sudah berumur, apa jadinya kalau dia masih muda. Bisa-bisa Om Aska suka pula dengannya.Hei Yara, kau kenapa terus-terus mengingatnya sih?Aku rasa otakku sudah terdoktrin dengannya."Haduh kok lama ba
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.