Kami kembali ke rumah saat hari sudah mulai gelap, jujur aku sudah sangat lelah karena lebih dari dua jam aku berjalan terus. Aku baru tahu ternyata om Aska itu bisa memasak, makannya dia lebih memilih masakan sendiri untuk tetangga yang bakalan datang nanti malam.
Aku sudah siap-siap sekarang, dengan pakaian rumahan yang terlihat sopan. Aku melihatnya yang sedari tadi sibuk memasak, sedikit kasian sih kalau melihat wajahnya yang tampak kelelahan itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku kan tidak pintar memasak. Maaf sekali ya om.
Aku berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa buah-buahan dan cake yang kami beli tadi saat perjalanan pulang.
Dia bernafas lega saat masakan buatannya sudah terhidang rapih di atas meja. Lalu terduduk lelah di kursi, sesekali menyeka keringat yang terus-teruss mengalir di bagian kening dan leher.
"Sebaiknya kau mandi dulu om." Aku mendekatinya sambil menaruh buah dan cake yang ku ambil tadi di atas meja. "Keringatmu bau sekali." Aku menutup hidung, membuatnya mau tak mau melihatku. Sebenarnya aku berbohong, dia tidak bau sama sekali, malah wangi parfumenya masih tercium sangat jelas di hidungku.
Dia tidak mengatakan apapun, kemudian pergi naik ke lantai dua. Sepertinya dia akan mandi.
Beberapa menit berlalu, aku hanya duduk sambil memakan buah jeruk. Lalu-
Aku mulai mengalihkan mataku dari jeruk yang ku makan, dan langsung melihat makanan-makanan yang sudah terhidang di atas meja. Kenapa aromanya sangat harum sekali? Sepertinya enak. Dari sekian banyaknya makanan yang terhidang, hidungku sepertinya lebih tertarik mencium ke arah ayam yang di lumuri sambal cabe ijo, sepertinya enak.
Boleh gak ya aku coba, lagiankan dia gak bakalan tahu kalau aku mengambilnya satu potong saja. Hehehehe, aku arahkan tanganku mengambil bagian sayap yang terletak paling atas.
Plakkk.
"Aduh!" pekikku kuat. Lalu menoleh kesal ke arahnya yang tiba-tiba datang dan langsung main pukul tanganku.
"Singkirkan tangan jorokmu itu!" bentaknya.
"Kau!" Aku melihatnya penuh perasaan tidak suka. "Tidak bisakah kau sedikit lembut pada perempuan? lihat ini tanganku sampai merah kau buat!" Aku bangkit dan balas berteriak kuat di depannya.
"Aku tidak perduli." Om Aska mengangkat kedua tangannya.
"Kau ini." Aku menginjak kuat kakinya.
"Kau!" dia balas menjitak kuat kepalaku. Kan benar, dia memang tidak punya hati, bagaimana bisa di bersikap begitu kasar pada perempuan se imut diriku.
Aku ingin membalasnya lagi, tapi ku urungkan saat bel rumah berbunyi. Aku yakin itu pasti para ibu tetangga sebelah yang heboh tadi pagi.
"Ada yang datang," kataku padanya yang tampak diam saja.
"Kau yang sambut mereka!" titahnya.
"Eh om, mereka itu kan tamu yang om undang, kok aku sih yang di suruh?" cibirku.
Dia menatapku tanpa ekspresi. "Sudah sana!" lalu mendorongku begitu kuat, hampir saja aku tersungkur tadi.
"Kau jahat sekali!" celutukku lalu dengan cepat menuju pintu utama dan langsung membukanya. Dan benar saja, wajah-wajah orang yang sedang berdiri di hadapanku ini sama dengan wajah ibu-ibu heboh tadi pagi. Ibu-ibu ini juga membawa suaminya datang, berarti kalau di hitung ada enam orang yang datang. Kenapa ramai sekali.
"Selamat malam!" sapa mereka berbarengan sambil tersenyum manis ala-ala orang bertamu.
"Malam," jawabku singkat.
Mereka terus menyengir menampakkan gigi karena belum ku persilahkan masuk.
Aku menarik kedua ujung bibirku, membuat senyum selebar mungkin. "Silahkan masuk pak, bu!" Aku sedikit membungkukkan badan. Walaupun aku tidak suka, bukan berarti aku harus berperilaku tidak sopan bukan?
Mereka langsung masuk begitu aku menyingkirkam badan dari pintu. Terdengar bisikan-bisikan heboh dari mulut mereka saat om Aska datang dari arah pintu ruang makan.
"Wah salam kenal ya pak." Om Aska bersalaman dengan bapak-bapak tu. Aku mendekatinya dan berdiri di sampingnya sambil terus memberikan senyum lebarku.
"Ini istri kamu masih muda banget ya," kata ibu yang kuperkirakan umurnya empat puluhan.
"Iya cantik lagi," Ibu yang paling muda mencolek pipiku.
"Makasih," jawabku senang, aku akan selalu senang kalau ada yang memujiku. Hehehe.
"Yaudah mari duduk dulu!" Om Aska menuntun mereka duduk di sofa. Wah dia sangat ramah sekali, ternyata dia juga hebat ya dalam berakting.
"Iya iya terimakasih," ujar mereka berbarengan.
Aku ikut duduk di samping om Aska, tapi tetap berjaga jarak tidak terlalu dekat.
"Maaf ya kalau kami ini mengganggu kalian malam-malam," kata bapak-bapak berkumis tebal. Sedikit bersyukur sih karena kumisnya om Aska tidak setebal itu.
"Tidak apa-apa tidak masalah, kami ini kan orang baru, seharusnya kami yang datang kerumah bapak-bapak dan ibu," jawab om Aska.
Om Aska tiba-tiba menyenggol kakiku dengan kaki miliknya. Aku langsung melihatnya sambil menaikkan alisku.
Dia mendekat kearahku dan berisik pelan. "Minum," katanya.
Ooo, jadi dia mneyuruhku mengambil minum untuk para tamunya ini? Oke lah tidak masalah. Aku segera bangkit dari sofa sambil terus tersenyum pada mereka, lalu berjalan cepat ke arah dapur.
Karena ini malam jadi aku akan buat teh hangat saja. Sambil menunggu air mendidih aku mengambil beberapa koleksi kue keringku yang ku masukkan ke dalam toples kaca.
Tidak butuh waktu yang lama, setelah air mendidih aku langsung membuat teh dan membawanya ke ruang tengah tepat mereka berkumpul.
Sambil terus tersenyum aku menyodorkan gelas-gelas itu di hadapan mereka. "Silahkan!"
"Tidak perlu repot-repot," kata ibu-ibu yang kelihatan lebih muda di antara lainnya, umurnya mungkin masih sekitar pertengahan tiga puluhan.
Aku kemudian duduk di samping om Aska lagi.
Beberapa menit berlalu, aku terlarut dalam pikiranku sendiri sampai tak tahu sudah sampai mana arah pembicaraan mereka.
"Yar!" Om Aska menyenggol pahaku, dan aku langsung melihatnya.
"Sepertinya dek Yara ini pemalu ya orangnya," ujar ibu yang paling muda tadi. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataannya.
"Kita belum kenalan lo dek Yara," mereka dengan mudahnya memanggilku dengan sebutan dek, tapi aku juga tidak merasa keberatan. Yasudahlah.
"Oh iya." Aku mengangguk sopan. "Yara." Aku menyalami mereka satu persatu, sedikit terlambat sih seharusnya kan acara perkenalan begini di lakukan tadi seperti yang di lakukan om Aska begitu mereka masuk ke rumah.
"Ayu," kata ibu-ibu yang paling tua.
"Indri," kata ibu-ibu yag duduk di tengah.
"Kalau saya Uci," kata ibu yang paling muda.
"Salam kenal." Aku tersenyum sopan lagi, tidak bisakah aku bersikap selayaknya diriku yang biasa? Kenapa harus seformal ini.
"Yaudah bagaimana kalau kita makan malam dulu, saya sudah siapkan." Om Aska terlihat begitu semangat.
"Gak usah lah gak usah," tolak salah satu dari bapak itu.
"Ini memang sudah saya siapkan untuk bapak dan ibu," dia tersenyum.
"Oh iya ini saya ada bawa sesuatu untuk kalian, tolong di terima ya!" Bu Uci memberikan paper bag berukuran kecil padaku. "Jangan sungkan tolong terima!" dia menarik tanganku.
"Terima kasih!" Aku mengambilnya. Kemudian bu Indri dan bu Ayu juga memberikan hal yang sama padaku, tapi dalam bentuk yang berbeda. Aku jadi ingin melihat apa isi di dalmnya ini. Mana tau ada makanan enak yang aku suka. Hehehe.
***
"Wah ini semua sangat enak!" Seru suaminya Bu Indri sambil mengunyah makanan yang tadi di masak Om Aska. Tanpa ragu dia mengambil lagi lauk yang ada di depannya dan langsung memakannya. Tampak sedikit memalukan kulihat.
"Iya ini enak sekali," suaminya Bu Uci juga ikut-ikutan, kemudian memakannya kembali dengan lahap.
Hah, aku memang harus mengakuinya sih, rasanya begitu enak. Mulutku seperti memakan masakan yang di sajikan di restoran yang sering ku datangi oleh mama dan papaku. Kalau begini ceritanya, aku akan memintanya memasak makanan seperti ini setiap hari. Pasti akan sangat menyenangkan, mungkin.
"Bolehkah aku tambah lagi?" tanya Bu Uci tanpa malu-malu, apa mereka ini memang sudah tidak punya urat malu lagi. Mereka sama anehnya.
"Ambil saja kak, tidak usah sungkan-sungkan, makanan ini memang untuk kalian!" ujar Om Aska diiringi dengan tawa kecilnya. Mungkin merasa bahagia karena masakannya di puji oleh orang.
Mereka semua makan seperti orang yang sudah tidak makan lima hari. Dalam kurun waktu yang singkat akhirnya makananpun habis tak tersisa. Mereka parah sekali, padahal aku ingin menyimpannya sedikit kalau ada sisa, kan lumyanan. Hiks.
"Haduh perutku seperti mau meledak," suaminya Bu Ayu duduk menyender di kursi sambil memegang perutnya yang memang sudah buncit, tambah buncit lagi karena dia makan sampai tambah tiga piring tadi.
"Kapan-kapan kami boleh main ke mari lagi kan?" tanya Bu Indri dengan begitu senang. Mengapa mereka bersikap sesantai itu kepada orang yang baru mereka kenal tadi pagi. Terus mau datang kemari lagi? Oh aku tau maksudnya, mereka ingin makan makanan enak lagi secara gratiskan, dasar tidak tahu diri. Lihat saja akan ku tutup pintu rumah rapat-rapat agar mereka tidak bisa masuk lagi.
"Tentu saja boleh kak," eh pria tua, mengapa kau mengiyakan permintaannya, kau ini pasti mau cari muka agar terlihat baik di depan para tetangga.
Setelah makan mereka tidak langsung pulang, padahal ini sudah jam sepuluh malam, aku sudah capek dan ingin tiduran di kamar.
Kami duduk di karpet tebal dekat samping sofa di ruang tamu tadi.
Kelompok di bagi menjadi dua, aku dan para ibu-ibu ini duduk melingkar di karpet sedangkan om Aska dan bapak-bapak itu duduk di atas sofa.
"Dek cerita dong, kok bisa kamu nikah sama Aska?" Bu Uci menyenggol-nyenggol lenganku sambi. tersenyum-senyum.
Aku harus jawab jujur gak ya, pertanyaan seperti ini saja sungguh membuatku pusing. "Aku tidak tahu bu." Aku cengar-cengir.
"Kau sepertinya masih malu-malu untuk menceritakan," kini gantian bu Ayu yang angkat suara.
"Oh iya Yar, panggil saja kami ini kakak jangan ibu, kami kan belum terlihat sangat tua." Bu Indri menepuk tanganku.
Kakak? Mereka ini bahkan umurnya hampir mirip dengan tante Ulfi, adiknya mamaku.
"Tapi kan ibu-ibu memang-"
"Syuuut!" Bu Uci memotong perkataanku. "Iya kami ini memang sudah berumur, tapi kita ini kan sama-sama sudah menikah tidak masalah kalau kami menganggapmu adik, begitu juga denganmu. Tidak perlu malu atau sungkan pada kami, ya kan kak?" Bu Uci menoleh pada Bu Indri dan Bu Ayu.
"Iya," jawab mereka bersamaan.
Oke lah aku harus mengalah, lagipula yang di katanya itu memang benar, status sekarang memang sudah resmi menjadi istri dari pria tua.
"Baik kak." Aku tersenyum manis.
"Haduh kau sungguh manis sekali, pantas saja Aska menikahimu." Bu Uci menekan-nekan pipiku. Tidak bisakah dia tidak menyentuh pipiku, tadi dia mencoleknya, sekarang menekan-nekanya entah apa yang akan ia lakukan lagi nanti.
"Kakak-kakak juga cantik." Aku melihat mereka satu persatu, emang benar aku tidak bohong. Mereka tergolong cantik untuk ukuran wanita-wanita yang sudah berkeluarga.
"Dek ceritakan dong!" kata bu Uci. Ceritakan apa? Yang jelas dong ngomongnya.
"Cerita apa kak?" tanyaku bingung.
"Itu!" yang lainnya ikut-ikutan, sepertinya mereka ini memang sudah dekat sejak lama sampai-sampai mengerti maksud perkataan dari salah satu temannya.
"Apa kak, aku gak ngerti?" Aku juga mulai penasaran dengan yang mereka maksudkan.
"Malam pertama kalian." Bu Indria berujar pelan, sedikit berbisik tapi masih dapat di dengar oleh semuanya.
"Hah?" Aku spontan berteriak, aku gak salah denger kan?
"Terima kasih atas jamuannya, kami pulang dulu. Kalau ada waktu mainlah juga ke rumah kami" Bu Indri bersamamu pada om Aska setelah itu bergantian padaku. Aku tersenyum kikuk."Iya, nanti kami sempatkan datang ke rumah kakak" Om Aska tersenyum lebar, sungguh munafik. Lihat saja kalau setelah ini kau tidak mau tersenyum padaku, akan ku tarik bibirnya itu. Lihat saja, aku tidak akan main-main dengan kata-kataku.Setelah itu mereka langsung pergi dari rumah kami, rasanya sekarang aku lega. Lagipula aku juga sudah sangat mengantuk.Aku langsung naik ke atas, tapi sebelum itu aku mengambil bingkisan yang tadi di berikan oleh ibu-ibu itu. Sepertinya isinya makanan, kareanaaku bisa mencium aroma coklat dari dalam sana."Om aku naik duluan ya sudah ngantuk" Aku langsung meningggalkannya tanpa menunggunya menjawab perkataanku.Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan diriku di atas kasur, rasanya nyaman sekali. Pokoknya malam ini aku akan tidur ny
Aku bangun lama hari ini, mungkin efek karena tadi malam aku bergadang hampir semalaman. Ternyata menggangu om Aska itu sangat menyenangkan ya, hehehe. Lain kali aku coba lagi deh mengganggunya.Dengan sedikit tergesa-gesa aku menuruni anak tangga, tujuanku sekarang adalah dapur. Aku sangat lapar sekarang, dasar pria tua kenapa dia tidak membangunkanku dari tadi sih.Aku melihat ke arah lemari makanan, bersyukur karena dia menyisakan sepiring nasi goreng di sana. Mungkin ini untukku karena tidak ada orang lainkan di rumah ini.Dengan lahap aku makan nasi goreng itu, terasa sangat enak begitu suapan pertama masuk ke dalam mulutku. Sepertinya nanti aku harus belajar masak padanya. Aku juga ingin pintar memasak, karena selama ini aku hanya bisa menggoreng telur ceplok dan masak mie instan, sangat tak pantas untuk di banggakan.Akhirnya aku siap dengan sarapanku yang sedikit terlambat ini. Setelah siap mencuci piring bekas makanku, aku mengambil b
Beberapa minggu sudah terlewat, kini hubunganku dengan om Aska semakin membaik. Dan dia juga mulai membuka diri padaku.Tidak banyak yang ku lakukan bersamanya, lggipula dia juga setiap harinya kerja di perusahaan milik papanya, yang sekarang juga sudah jadi papaku.Setiap hari sambil menunggunya pulang aku hanya bisa menonton film di laptop milikku sendiri.Aku ingat waktu itu aku datang ke rumah masih dengan perasaan kesal, merasa kalau mama dan papa itu egois, tidak memikirkan perasaanku.Walau sekarang aku juga masih kesal aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini sudah takdir dari yang kuasa, aku juga bisa apa?Sekarang aku mulai menerima pernikahan ini dengan lapang hati, tapi aku tidak tahu kalau dengan om Aska. Walaupun hubungan kami sudah membaik dia juga sepertinya tidak tertarik padaku. Itu merupakan keuntungan bagiku, karena akan merepotkan kalau sampai dia suka padaku.Kalau seandainya aku ya
Hari ini adalah hari minggu, hore aku bisa berteriak senang hari ini. Aku menyibak gorden kamarku, seketika cahaya-cahaya lembut dari matahari pagi langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Udara segar langsung kuhirup dalam-dalam begitu jendelanya ku buka. Ah, hari ini sangat cerah sekali.Setelah membereskan tempat tidur aku langsung bergegas mandi. Kalian harus tahu, aku sangat tidak suka menunda-nunda waktu mandi. Tidak butuh waktu yang lama bagiku untuk mandi. Ini masih pagi, kalau aku mandi lama-lama bisa mati karena kedinginan nanti. Wkwkwk.Siap berpakaian, hari ini aku memakai setelan training hitam dan t-shirt berwarna abu-abu, rencananya sih aku ingin mengajak om Aska joging bareng, ya walaupun udah agak siangan gak apa deh. Daripada di rumah terus aku bosen, kebetulan hari ini kan om Aska kan libur juga, iya kali dia hari minggu pergi ngantor.Ok, setelah berpakaian aku langsung turun ke bawah, perutku sudah minta jatah dari tadi. Sesampai
Dengan tergesa aku mengambil HP ku yang berbunyi, aku tahu ini. Ini pasti bunyi alarm yang sudah ku setel tadi malam. Dengan cepat ku matikan alarm itu, sangat berisik.Aku duduk sambil menyandar di kepala tempat tidur, mengumpulkan nyawaku yang masih setengah tersadar.Mataku mengarah ke seluruh sudut ruangan, tidak ada. Si pria tua itu sudah tidak ada di dalam kamar. Ah, mungkin dia sudah bangun duluan.Setelah kurasa tubuhku sudah mendingan di ajak utntuk beraktifitas akupun langsung beranjak ke kamar mandi.Hah, rasanya sangat segar mandi pagi-pagi begini. Siap dengan acara mandi pagi aku langsung mengenakan pakaian yang sudah di tentukan untuk mengikuti OSPEK di kampus.Baju kemeja putih, rok hitam panjang selutut. Hah aku bersyukur tidak di suruh pakai yang aneh-aneh seperti masa-masa MOS di SMA dulu.Aku masih berdiri di depan cermin, sedikit mengernyitkan dahi. Merasa ada yang kurang dari apaa yang ku pakai. Tapi apa? Aku
Sesampainya di rumahku, langit sudah gelap dengan sempurna. Ternyata memakan waktu yang lumayan juga ya pulang ke rumah."Makasih ya Nad." Aku sedikit berteriak sambil melambaikan tangan pada Nadia yang sudah beranjak pergi dari rumahku.Tidak ada jawaban, tentu dia sudah melaju dengan cepat. Dasar.Aku masih memperhatikan mobil Nadia smapia menghilang di tikungan jalan. Setelah puas melihat Nadia pergi, aku baru masuk ke dalam rumah.Ah, rasanya badanku sudah minta di baringkan saja. Aku ingin segera tidur di kasurku yang empuk.Begitu aku buka pintu Bik Inah langsung menghampiriku. Masih dengan senyum hangatnya, aku rasa Bik Inah ini selain suka memasak, dia juga suka menebarkan senyumnya ini. Untung dia sudah berumur, apa jadinya kalau dia masih muda. Bisa-bisa Om Aska suka pula dengannya.Hei Yara, kau kenapa terus-terus mengingatnya sih?Aku rasa otakku sudah terdoktrin dengannya."Haduh kok lama ba
Aku duduk lemas di bangku, sambil membiarkan Bik Inah menyiapkan sarapan untukku."Non yakin bakalan ikutan OSPEK hari ini?" tanya Bik inah."Yakin-yakin aja sih Bik, kan Yara udah sehat." Aku tersenyum manis padanya. Aku sudah merasa mendingan dari tadi malam. Bersyukur karena aku sakit tidak berlama-lama. Ya, walaupun masih agak sedikit pusing."Nanti kalau Non sakit di sana gimana?" Bik Inah memasang wajah cemas."Kan ada anggota PMR nya Bik." Aku mulai menyantap sarapan pagi ku. "Bibik gak usah khawatir, Yara kan kuat.""Kuat darimananya, baru begitu aja udah sakit," seru Om Aska yang tiba-tiba duduk si sampingku. Wakahnya itu, kenapa seolah-olah mengejekku?"Heboh banget sih." Aku menggeser bangku agar sedikit menjauh darinya. Aku tidak tahu, jantungku tiba-tiba saja berdetak cepat lagi hanya berdekatan dengannya."Terserahmu kalau begitu, aku tidak mau bersusah payah merawatmu lagi nanti kalau kau sakit," dia menatap
Sama seperti semalam, hari ini aku juga pulang saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Untungnya hari ini tidak terlalu melelahkan, kami hanya berkeliling sebentar melihat kampus, lalu para panitia mengajak kami melihat gedung fakultas yang akan kami gunakan untuk kuliah nantinya.Bosan? Ya jelaslah, tapi untung saja aku sudah punya teman yang di ajak bicara. Si Fanie, aku sudah ingat namanya. Hehehehe.Aku berguling-guling di lantai mencari bagian yang dingin dari lantai keramik ini. Kenapa rasanya sangat panas begini sih?Aku melirik sekilas pada AC yang terpasang di atas dinding, hidup. Bahkan angka di layar itu sudah menunjukkan pada angka 17°C.Biasanya aku sudah merasa cukup dingin.Pikiranku teralih saat pintu kamar terbuka, dan langsung terlihat sosok Om Aska memasuki kamar dengan wajah tripleksnya itu.Untuk sesaat pandangan kami sempat beradu satu sama lain, tapi dengan cepat dia langsung memutuska
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.