Dengan tergesa aku mengambil HP ku yang berbunyi, aku tahu ini. Ini pasti bunyi alarm yang sudah ku setel tadi malam. Dengan cepat ku matikan alarm itu, sangat berisik.
Aku duduk sambil menyandar di kepala tempat tidur, mengumpulkan nyawaku yang masih setengah tersadar.
Mataku mengarah ke seluruh sudut ruangan, tidak ada. Si pria tua itu sudah tidak ada di dalam kamar. Ah, mungkin dia sudah bangun duluan.
Setelah kurasa tubuhku sudah mendingan di ajak utntuk beraktifitas akupun langsung beranjak ke kamar mandi.
Hah, rasanya sangat segar mandi pagi-pagi begini. Siap dengan acara mandi pagi aku langsung mengenakan pakaian yang sudah di tentukan untuk mengikuti OSPEK di kampus.
Baju kemeja putih, rok hitam panjang selutut. Hah aku bersyukur tidak di suruh pakai yang aneh-aneh seperti masa-masa MOS di SMA dulu.
Aku masih berdiri di depan cermin, sedikit mengernyitkan dahi. Merasa ada yang kurang dari apaa yang ku pakai. Tapi apa? Aku
Sesampainya di rumahku, langit sudah gelap dengan sempurna. Ternyata memakan waktu yang lumayan juga ya pulang ke rumah."Makasih ya Nad." Aku sedikit berteriak sambil melambaikan tangan pada Nadia yang sudah beranjak pergi dari rumahku.Tidak ada jawaban, tentu dia sudah melaju dengan cepat. Dasar.Aku masih memperhatikan mobil Nadia smapia menghilang di tikungan jalan. Setelah puas melihat Nadia pergi, aku baru masuk ke dalam rumah.Ah, rasanya badanku sudah minta di baringkan saja. Aku ingin segera tidur di kasurku yang empuk.Begitu aku buka pintu Bik Inah langsung menghampiriku. Masih dengan senyum hangatnya, aku rasa Bik Inah ini selain suka memasak, dia juga suka menebarkan senyumnya ini. Untung dia sudah berumur, apa jadinya kalau dia masih muda. Bisa-bisa Om Aska suka pula dengannya.Hei Yara, kau kenapa terus-terus mengingatnya sih?Aku rasa otakku sudah terdoktrin dengannya."Haduh kok lama ba
Aku duduk lemas di bangku, sambil membiarkan Bik Inah menyiapkan sarapan untukku."Non yakin bakalan ikutan OSPEK hari ini?" tanya Bik inah."Yakin-yakin aja sih Bik, kan Yara udah sehat." Aku tersenyum manis padanya. Aku sudah merasa mendingan dari tadi malam. Bersyukur karena aku sakit tidak berlama-lama. Ya, walaupun masih agak sedikit pusing."Nanti kalau Non sakit di sana gimana?" Bik Inah memasang wajah cemas."Kan ada anggota PMR nya Bik." Aku mulai menyantap sarapan pagi ku. "Bibik gak usah khawatir, Yara kan kuat.""Kuat darimananya, baru begitu aja udah sakit," seru Om Aska yang tiba-tiba duduk si sampingku. Wakahnya itu, kenapa seolah-olah mengejekku?"Heboh banget sih." Aku menggeser bangku agar sedikit menjauh darinya. Aku tidak tahu, jantungku tiba-tiba saja berdetak cepat lagi hanya berdekatan dengannya."Terserahmu kalau begitu, aku tidak mau bersusah payah merawatmu lagi nanti kalau kau sakit," dia menatap
Sama seperti semalam, hari ini aku juga pulang saat matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Untungnya hari ini tidak terlalu melelahkan, kami hanya berkeliling sebentar melihat kampus, lalu para panitia mengajak kami melihat gedung fakultas yang akan kami gunakan untuk kuliah nantinya.Bosan? Ya jelaslah, tapi untung saja aku sudah punya teman yang di ajak bicara. Si Fanie, aku sudah ingat namanya. Hehehehe.Aku berguling-guling di lantai mencari bagian yang dingin dari lantai keramik ini. Kenapa rasanya sangat panas begini sih?Aku melirik sekilas pada AC yang terpasang di atas dinding, hidup. Bahkan angka di layar itu sudah menunjukkan pada angka 17°C.Biasanya aku sudah merasa cukup dingin.Pikiranku teralih saat pintu kamar terbuka, dan langsung terlihat sosok Om Aska memasuki kamar dengan wajah tripleksnya itu.Untuk sesaat pandangan kami sempat beradu satu sama lain, tapi dengan cepat dia langsung memutuska
"Om mampir bentar ya nanti di depan!" kataku saat Om Aska mulai menghidupkan mesin mobil."Depan mana?" tanyanya datar."Depan situ om!""Ngomong tuh yang jelas dong! Gak usah setengah-setengah kayak gitu, tunjuk gitu biar lebih jelas," dia ini kenapa senang sekali sih mengomeliku?Kali ini aku benar, dia sudah mirip sekali dengan ibu-ibu cerewet."Minimarket depan situ om!" Aku menunjuk ke arah minimarket yang letaknya di ujung jalan sana. "Ada yang mau aku beli, lagi butuh bangettt." Aku cengar-cengir di depan wajahnya."Ya ya ya," timpalnya dengan nada seperti mengejekku. Kalau ku pukul dia, dosa gak ya? Aku kesal sekali, baru saja tadi dia bersikap manis padaku. Ternyata sikap manisnya itu tidak tahan lama-lama ya. Dan lagi lumayan langka ternyata. Huh.Kami sampai di minimarket yang ku tunjuk tadi padanya, begitu sampai aku langsung turun tanpa mengatakan apapun.Beberapa langkah lagi aku akan sampai di pintu masuk,
"Ini beli di mana non? Kok enak gini ya rasanya," tanya Bik Inah yang duduk di seberangku, dia tampak begitu menikmati sate yang ku beli bersama Om Aska tadi.Karena moodku yang berubah jadi buruk, aku langsung menawari Bik Inah makan sate miliknya Om Aska. Karena di saat-saat seperti ini aku tidak akan sanggup makan dua bungkus sekaligus."Hehehe, bibi suka ya?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan dari Bik Inah."Iya non." Bik Inah tertawa pelan."Yaudah, kalau nanti Yara keluar lagi. Nanti Yara belikan, khusus buat Bik Inah," tawarku yang langsung mendapat jempol dua oleh Bik Inah."Eh tuan Aska mana non?" tanya Bik Inah kemudian."Bukannya tadi non keluar barengan sama ya?" lanjutnya lagi."Emmm itu." Aku bingung mau jawab apa."Itu Om Aska tiba-tiba mules, jadi langsung naik ke atas," jawabku yang tentunya seratus persen hoax alias bohong."Ooooo gitu, mau bibi beliin obat?" tawar Bik Inah yang menganggap serius
Apa ini? Kenapa aku merasakan jantungku terus-terusan berdetak seperti ini?Sekarang aku seperti tersadar, apa yang sedang terjadi padaku.Ini bukan pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini. Dulu semasa SMA, jantungku juga sering berdetak tidak karuan saat aku berdekatan dengan orang yang ku sukai.Tapi, untuk sekarang.Tidak mungkin kan kalau aku menyukainya? Ini tidak mungkin.Ini tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku. Karena aku menganggap memang pernikahan kami i i tidak akan mungkin bertahan lama, dan lagi dia juga tidak menyukaiku.Tapi sekarang. Aku meraba dada kiriku dan merasakan detak jantungku dari luar sini, benar. Semakin memikirkannya, jantungku semakin berdetak kencang seperti lajunya kereta api. Aw, mungkin aku agak lebay ya mengatakan itu. Tapi, itulah yang ku rasakan.Ya Tuhan, apa lagi ini? Kau tidak benar-benar akan membuatku suka padanya kan?Awas saja kalau itu s
Hari sudah tampak gelap, lampu-lampu yang di pasang untuk menerangi jalan juga sudah mulai hidup.Aku menengadah melihat ke atas, langit malam ini terlihat lebih gelap di banding hari kemarin. Awan-awan hitam mulai berkumpul di sana, menandakan sebentar lagi akan turun hujan.Ini sudah terlalu malam dibanding dua hari kemarin, dan kami baru saja selesai OSPEK di hari terkahir kami. Sedikit berlega hati karena besok tidak perlu bangun terlalu pagi dan di kejar-kejar oleh teriakan para senior di kampus.Aku dari sekian banyak mahasiswa baru masih di sini, di kampus maksudnya.Pandanganku lurus ke depan, melihat sekumpulan MABA yang sudah bersih-siap pulang dengan kendaraan yang mereka bawa ke kampus tadi pagi.Dan sebagian lainnya sudah mulai berjalan keluar gerbang dengan berjalan kaki. Mungkin mereka akan naik angkutan umum nantinya. Di malam hari seperti ini naik angkutan umum? Ku rasa adalah ide yang buruk.Kemudian
"Kamu kok diem aja sih Yar?" tegur Dion saat kami sudah berada di jalan raya. Sepertinya dia merasa sedikit bosan kalau aku terus-terusan diam tidak ngomong apapun tadi.Bukannya aku gak mau ngomong, tapi emang gak tau juga mau ngomong apa. Kami kan udah lama juga gak jumpa, jadi aku ngerasa kayak jadi canggung gitu lagi. Salah gak ya keputusan aku ikut pulang sama dia. Tapi kalau di pikir-pikir lagi, ah udahlah! Udah terlanjur juga. Udah mau sampai lagi ni.Aku menoleh padanya, sambil tersenyum tipis. "Hehehehe gak tau juga mau ngomongin apa," jawabku jujur sambil tercengir menampakkan gigiku."Ck." Aku mendengar nya berdecak pelan. "Kayaknya dulu kamu itu orangnya paling gak bisa diem deh, bahkan suka ngomong-ngomong hal yang gak penting lagi." Dion tertawa keras seolah-olah mengejekku."Eh kamu ya!" Aku memukul kuat lengannya."Ha ini ni," dia melirik sekilas padaku, masih tertawa. "Ini kebiasaan kamu yang gak bisa hilang, suka bange
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.