Capek.
Itulah yang aku rasakan sekarang, bagaimana tidak. Aku sudah sekuat tenaga mengomel, berteriak bahkan menarik kakinya agar hempas dari tempat tidur. Tapi, dia bergerak sedikitpun tidak.Dan akhirnya aku mengalah, jadinya malam ini aku akan tidur di sofa.
Aku merasakan kalau tubuhku sudah lengket karena keringat, jadinya aku memutuskan untuk mandi.
"Awas ya kalau om ngintip!" Aku menimbulkan kepalaku dari ruang ganti baju. Dia tidak menjawab, tidak masalah yang penting aku sudah mengingatkan. Aku membuka lemari baju pintu kedua di depanku. Kalau aku tidak salah ingat, kemarin aku menyusun baju-bajuku di sini.
"Aaaaaa." Aku berteriak kuat, sumpah aku syok melihat isi lemariku. Baju-baju yang aku susun di sini menghilang semua. Sebagai gantinya ada beberapa baju-baju yang tampak kekurangan bahan dan pendek yang tergantung di situ. Aku memeriksa pintu lemari lainnya, hanya ada baju Om itu, selebihny kosong. Oh my god, ini pasti kerjaan mama. Mama kau sangat hebat mmbuat anakmu menderita.
"Kenapa?" dia tiba-tiba muncul di belakangku. Aku refleks menutup pintu lemari yang sedikit terbuka.
"Mmmmm." Aku bingung harus mengatakan apa.
"Kenapa?" dia mengulangnya lagi.
Aku diam, enggan mengatakannya. Aku bisa melihat wajahnya yang berubah jadi kesal karena aku mengabaikannya. Dia mendorong kuat bahuku, membuatku tergeser beberapa langkah dari posisiku.
Aku mengalihkan pandanganku saat dia membuka lemari yang tadi sempat aku tutup. Aku merasa malu.
"Oooo." dia menutup lagi pintu lemari.
Aku masih mengalihkan pandanganku sampai dia menepuk pelan pundakku. Aku melihatnya kaku. "Apa?" tanyaku sewot.
"Pakai ini!" dia menyodorkan baju padaku. Aku menatapnya bingung, itu kan baju miliknya, kenapa dia berikan padaku.
"Pakai!"
"Tapi-"
"Kau lebih memilih baju yang di lemari?" katanya seraya meletakkan baju itu di atas kepalaku lalu pergi begitu saja.
Aku meraba dadaku, apa ini? Kenapa jantungku berdetak begitu cepat? Tidak-tidak apa yang aku pikirkan. Setelah itu aku langsung pergi mandi.
Beberapa saat kemudian aku pun keluar dengan ke adaan yang lebih segar. Baju miliknya sangat besar, wah aku seperti orang-orangan sawah saja sekarang.
Aku meliriknya sekilas, ternyata dia sudah tidur. Tidak mandi dulu? Padahal tadi kalau dia mandi aku akan mengambil alih tempat tidur. Ternyata dia lebih pintar dari yang aku kira.
Dengan langkah kasar aku berjalan menuju tempat tidur, mengambil bantal lalu menarik selimut yang sedang di pakainya. Mau bagaimana lagi, selimutnya juga cuman satu.
Dia terbangun saat aku menarik paksa selimut yang di pakai nya. Menatapku dengan datarnya, dia tidak punya ekspresi lain apa selain wajah datar nya itu.
"Om, kau kan sudah tidur di tempat tidur, jadi kau tidak boleh serakah," sambil memeletkan lidah akupun berjalan cepat menuju sofa, takut kalau dia akan marah. Ternyata tidak, dia bahkan sudah tidur lagi sekarang. Dasar, selain wajah tripleks nya itu, dia juga seperti beruang kutub yang sedang berhibernasi.
Aku mulai merebahkan diriku di sofa. Ma, kau sungguh tega padaku.
"Selamat tidur," ujarku pelan pada diriku sendiri, itu sudah menjadi ritualku sebelum tidur.
***
Aku tersentak dan langsung membuka lebar mataku, saat aku merasakan tubuhku sudah berguling ke lantai.
"Aduh." Aku mengelus pelan kepalaku yang sedikit terasa sakit, hais bisa-bisanya aku jatuh dari sofa. Dasar nasibku sial sekali.
Dengan malas aku kembali naik ke atas sofa, melanjutkan tidurku yang sempat terganggu tadi. Beberapa kali aku mengganti posisi, mencari yang ternyaman untuk tidur, tapi tetap saja tidak bisa.
Aku terduduk saat menyadari sesuatu, mataku mengarah ke tempat tidur. Dimana sekarang dia sedang tidur dengan nyenyaknya.
Seketika ide gila muncul di pikiranku, dengan langkah pelan sambil menenteng bantal dan selimut aku berjalan pelan menuju tempat tidur. Ini harus aku lakukan, kalau tidak sampai besok pagipun aku tidak akan bisa tidur dengan nyaman.
Dengan gerakan yang sangat pelan aku menaiki tempat tidur, mencoba agar tidak membuat sedikitpun suara. Mengambil tempat paling ujung, lalu merebahkan tubuhku di sana.
Hah, rasanya nyaman sekali, sangat beda dengan sofa keras itu. Aku melirik wajahnya yang sedang tertidur, tepat sekali wajahnya sedang mengarah padaku. Melihatnya tidur begini, ia tak tampak tua, malah terkesan imut. Heh, apa yang kau pikirkan Yar? Tidak-tidak.
Dengan cepat aku kembali memejamkan mataku, berusaha melanjutkan tidurku tadi yang sempat terjeda sebentar.
***
Aku tersadar saat merasakan ada pergerakan di sampingku. Perlahan aku membuka mata.
"Sudah bangun?" sebuah suara mengejutkanku. Aku sedikit mendongakkan wajahku dan langsung berteriak saat menyadari kalau jarak di antara kami sangatlah dekat. Atau lebih tepatnya sudah tidak berjarak lagi.
"Apa yang kau lakukan padaku om?" Aku masih teriak.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu," ujarnya pelan.
Aku baru tersadar kalau tangan dan kakiku sedang memeluknya seperti guling. "Hehehe." Aku langsung menjauh darinya. "Maafkan aku!" karena terlanjur malu aku langsung pergi ke luar kamar.
Ingin sekali aku menangis, jelas-jelas aku yang memeluknya, tapi aku malah menuduhnya yang tidak-tidak. Pasti sekarang dia berfikir kalau aku ini orang yang aneh. Makannya bersikap seperti itu padanya.
Dengan langkah gontai aku turun ke lantai satu, duduk malas di meja makan. Sudah jam berapa sekarang? Aku tidak tahu. Tapi di luar masih gelap.
Karena merasa lapar aku beranjak menuju kulkas, dan mengambil beberapa snak ringan yang memang sudah aku sediakan dari kemarin.
Sekarang aku sudah duduk santai lagi di meja makan. Sambil mengunyah pikiran berkelana entah kemana-mana.
Dulu aku sangat ingin punya pacar yang ganteng, baik dang membuatku merasa nyaman saat bersama dengannya, tidak kaya juga tidak masalah. Tapi, Tuhan tidak mengabulkan ke inginanku dan sekarang aku malah harus terpaksa menikah denga orang yang baru aku kenal selama seminggu.
Pertama kali berjumpa dengannya saat acara makan malam dengan keluarga tante Dela, sahabatnya mama yang umurnya lebih tua tiga belas tahun dengan mama. Berarti kalau aku tidak salah mengira umur tante Dela, sekarang itu lima puluh tiga tahun. Tapi wajahnya masih sangat awet muda, mungkin seperti itulah gambaran kalau orang punya banyak uang. Tidak akan pernah terlihat tua.
Aku kenal tante Dela dan Om David, karena mereka dulu sering main ke rumah kami. Tapi aku tidak tahu kalau mereka itu punya anak laki-laki yang umurnya sangat jauh dariku. Setauku mereka cuma punya anak cewek yang umurnya lebih muda setahun dariku.
Awalnya aku tidak curiga karena mama dan papa hanya mengatakan kalau akan mengajakku makan malam di rumah tante Dela. Jujur aku senang, karena anak tante Dela, Ayana namanya itu sangat baik padaku. Bahkan kami sudah menganggap kalau kami ini adalah saudara.
Tapi itu hanya tipu daya mama dan papa, karena sesampainya di sana barulah terbongkar maksud dari di adakannya makan malam itu. Makan malam terburuk yang akan aku ingat seumur hidupku.
Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara mendekat ke arahku. Aku sudah tau itu dia, tapi aku hanya mengabaikannya, lebih tepatnya aku masih malu atas kejadian di kamar tadi.
Aku memperhatikannya yang sekarang sudah sibuk dengan alat memasak. Dia mau memasak? Atau dia sedang mencari perhatianku.
Yara, kenapa kau begitu percaya diri, dari wajahnya saja terlihat jelas bahwa dia tidak menyukaimu.
Aku tidak memperhatikannya lagi, karena sudah kembali sibuk dengan cemilan.
Beberapa menit kemudian, dia siap dengan acara masak-memasaknya. Aku yakin, pasti masakannya itu sangat tidak enak.
Dia duduk di sebrangku, dengan sepiring mie instan yanh sudah di sulap seperi makanan-makanan mahal di restoran dengan segelas air putih. Dasar, pagi-pagi dia sudah makan makanan seperti itu, sakit perut baru tahu rasa. Hehehe apa peduliku.
Aku tak bisa berhenti meliriknya dari tadi, dia bahkan tidak menegur atau sekedar menawariku makan.
"Kenapa kau melirik ku terus?" tanyanya dingin.
Mampus, aku ketahuan.
"Siapa yang melirikmu, kau geer sekali," sergahku sewot.
"Beneran?" dia tersenyum sinis. Jangan tersenyum seperti itu, kau semakin terlihat menyeramkan tahu.
"Ya tentu saja, aku tidak suka padamu, jadi untuk apa aku melirik om-om tua sepertimu," jawabku angkuh. "Lagi pula aku tidak tertarik dengan orang sepertimu, kalau saja bukan karena mama yang memaksaku aku tidak akan mau menikah denganmu," akhirnya aku mengeluarkan unek-unekku juga.
Braakk.
Dia memukul meja dengan kuat.
Matanya menatap nyalang padaku, sepertinya aku sudah memancing kemarahanya. Jujur, kakiku sekarang sedang gemetar melihatnya seperti itu.
"Sudah selesai?" teriaknya begitu kuat.
Glek, untuk menelan ludah saja rasanya sangat susah. Aku tak berani menatapnya.
"Lihat aku!" dia berjalan cepat, dan sekarang sudah berdiri di sampingku.
"Heh," dia menarik daguku, membuatku mau tak mau melihatnya.
"Sudah puas menghina?" dia mencengkram kuat sekali daguku.
"Jawab!" bentaknya.
"A, aku," mataku terasa sangat panas, tak terasa air mataku sudah jatuh saja. Aku sungguh merasa takut.
Dengan kesal dia melepas cengkramannya dan itu adalah kesempatan baik untukku agar segera pergi dari sana.
Sedikit berlari aku kembali ke kamar utama dan langsung menguncinya.
Aku duduk sambil menekuk kaki di pinggiran tempat tidur, menjadikan lututku sebagai sandaran daguku. Huh, masih pagi-pagi begini dia sudah marah-marah seperti itu, lagipula aku tidak salahkan kalau mengatainya om-om tua. Aku menangis tadi itu hanya akting agar dia tidak bersikap kasar seperti itu lagi. Dasar tua.Baru tinggal sebentar dengannya aku sudah tau kalau dia itu memiliki tempramen yang buruk. Dan lagi yang membuatku sangat kesal dengannya ialah wajah datarnya dan sikap anehnya itu.Tok tok tok.Aku melihat ke arah pintu yang di ketuk. Mau apa dia? Apa dia akan memarahiku lagi? Apa tidak puas tadi dia melihatku ketakutan?Tok tok tokKetukan itu tidak berhenti, malah terdengar semakin brutal. Aku berjalan gontai menuju pintu. Menyiapkan diri untuk hal buruk yang akan terjadi.Cklek. Dengan sangat pelan aku membuka pintu, menatapnya takut-takut.Dia langsung nyelonong masuk begitu pintu kubuka. Mataku mengikutinya yang k
Aku mengikutinya sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar, sedangkan dia membawa keranjang sampah tadi.Sesampainya di depan rumah, dia langsung meletakkan keranjang sampah itu di pinggiran pagar rumah, agar nanti petugas pengangkut sampah bisa langsung mengambilnya."Nah!" Aku memberikan beberapa tangkai mawar yang kupegang tadi padanya."Buang sendiri!" katanya singkat."Tanganku bisa kotor nanti om, aku kan sudah mandi." Aku membuat wajah seimut-imut mungkin di hadapanya."Wah lihat itu! Bukankah mereka tetangga yang baru pindah kemarin?""Mereka pengantin baru ya?""Aish, aku jadi baper sendiri melihat wanita itu memberikan mawar pada suaminya.""Aku jadi teringat saat pertama kali menikah dulu dengan suamiku.""Manis sekali mereka."Apa itu? Kenapa mereka berbisik-bisik seperti itu? Tunggu-tunggu! Aku tidak salah dengarkan tadi 'Aku memberi mawar pada suamiku' Aku baru sadar kalau tingkahku sek
Aku duduk sambil menyantap makanan yang di bawa Nadia tadi, sesekali memikirkan perkataan om itu."Belum saatnya kau tahu," kalimat itu terus-terusan berputar di otak kecilku. Belum saatnya aku tahu? Emangnya apaan sih? Jangan-jangan tebakanku itu benar, kalau dia itu menikahiku karena memang tak ada yang mau padanya. Jadinya saat mendengar perjodohan ini ia langsung menerimanya. Dasar, pria tua, harusnya kan dia mencari wanita yang seumuran dengannya. Bukannya denganku.Apa yang harus aku lakukan sekarang, beberapa minggu lagi aku akan menjadi mahasiswa di salah satu kampus di kota ini. Ada kemungkinan juga teman-teman satu SMA ku juga masuk di sana. Setahu aku sih teman-teman seletingku belum ada yang menikah, baru aku saja.Ya sudahlah sudah terjadi, yang harus aku lakukan sekarang adalah menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada yang tahu tentang statusku.Sedikit merasa bosan aku menghidupkan HP dan membuka grup chatku di salah satu aplika
Kami kembali ke rumah saat hari sudah mulai gelap, jujur aku sudah sangat lelah karena lebih dari dua jam aku berjalan terus. Aku baru tahu ternyata om Aska itu bisa memasak, makannya dia lebih memilih masakan sendiri untuk tetangga yang bakalan datang nanti malam.Aku sudah siap-siap sekarang, dengan pakaian rumahan yang terlihat sopan. Aku melihatnya yang sedari tadi sibuk memasak, sedikit kasian sih kalau melihat wajahnya yang tampak kelelahan itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku kan tidak pintar memasak. Maaf sekali ya om.Aku berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa buah-buahan dan cake yang kami beli tadi saat perjalanan pulang.Dia bernafas lega saat masakan buatannya sudah terhidang rapih di atas meja. Lalu terduduk lelah di kursi, sesekali menyeka keringat yang terus-teruss mengalir di bagian kening dan leher."Sebaiknya kau mandi dulu om." Aku mendekatinya sambil menaruh buah dan cake yang ku ambil tadi di atas meja. "Keringatmu bau sekali.
"Terima kasih atas jamuannya, kami pulang dulu. Kalau ada waktu mainlah juga ke rumah kami" Bu Indri bersamamu pada om Aska setelah itu bergantian padaku. Aku tersenyum kikuk."Iya, nanti kami sempatkan datang ke rumah kakak" Om Aska tersenyum lebar, sungguh munafik. Lihat saja kalau setelah ini kau tidak mau tersenyum padaku, akan ku tarik bibirnya itu. Lihat saja, aku tidak akan main-main dengan kata-kataku.Setelah itu mereka langsung pergi dari rumah kami, rasanya sekarang aku lega. Lagipula aku juga sudah sangat mengantuk.Aku langsung naik ke atas, tapi sebelum itu aku mengambil bingkisan yang tadi di berikan oleh ibu-ibu itu. Sepertinya isinya makanan, kareanaaku bisa mencium aroma coklat dari dalam sana."Om aku naik duluan ya sudah ngantuk" Aku langsung meningggalkannya tanpa menunggunya menjawab perkataanku.Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan diriku di atas kasur, rasanya nyaman sekali. Pokoknya malam ini aku akan tidur ny
Aku bangun lama hari ini, mungkin efek karena tadi malam aku bergadang hampir semalaman. Ternyata menggangu om Aska itu sangat menyenangkan ya, hehehe. Lain kali aku coba lagi deh mengganggunya.Dengan sedikit tergesa-gesa aku menuruni anak tangga, tujuanku sekarang adalah dapur. Aku sangat lapar sekarang, dasar pria tua kenapa dia tidak membangunkanku dari tadi sih.Aku melihat ke arah lemari makanan, bersyukur karena dia menyisakan sepiring nasi goreng di sana. Mungkin ini untukku karena tidak ada orang lainkan di rumah ini.Dengan lahap aku makan nasi goreng itu, terasa sangat enak begitu suapan pertama masuk ke dalam mulutku. Sepertinya nanti aku harus belajar masak padanya. Aku juga ingin pintar memasak, karena selama ini aku hanya bisa menggoreng telur ceplok dan masak mie instan, sangat tak pantas untuk di banggakan.Akhirnya aku siap dengan sarapanku yang sedikit terlambat ini. Setelah siap mencuci piring bekas makanku, aku mengambil b
Beberapa minggu sudah terlewat, kini hubunganku dengan om Aska semakin membaik. Dan dia juga mulai membuka diri padaku.Tidak banyak yang ku lakukan bersamanya, lggipula dia juga setiap harinya kerja di perusahaan milik papanya, yang sekarang juga sudah jadi papaku.Setiap hari sambil menunggunya pulang aku hanya bisa menonton film di laptop milikku sendiri.Aku ingat waktu itu aku datang ke rumah masih dengan perasaan kesal, merasa kalau mama dan papa itu egois, tidak memikirkan perasaanku.Walau sekarang aku juga masih kesal aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin ini sudah takdir dari yang kuasa, aku juga bisa apa?Sekarang aku mulai menerima pernikahan ini dengan lapang hati, tapi aku tidak tahu kalau dengan om Aska. Walaupun hubungan kami sudah membaik dia juga sepertinya tidak tertarik padaku. Itu merupakan keuntungan bagiku, karena akan merepotkan kalau sampai dia suka padaku.Kalau seandainya aku ya
Hari ini adalah hari minggu, hore aku bisa berteriak senang hari ini. Aku menyibak gorden kamarku, seketika cahaya-cahaya lembut dari matahari pagi langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Udara segar langsung kuhirup dalam-dalam begitu jendelanya ku buka. Ah, hari ini sangat cerah sekali.Setelah membereskan tempat tidur aku langsung bergegas mandi. Kalian harus tahu, aku sangat tidak suka menunda-nunda waktu mandi. Tidak butuh waktu yang lama bagiku untuk mandi. Ini masih pagi, kalau aku mandi lama-lama bisa mati karena kedinginan nanti. Wkwkwk.Siap berpakaian, hari ini aku memakai setelan training hitam dan t-shirt berwarna abu-abu, rencananya sih aku ingin mengajak om Aska joging bareng, ya walaupun udah agak siangan gak apa deh. Daripada di rumah terus aku bosen, kebetulan hari ini kan om Aska kan libur juga, iya kali dia hari minggu pergi ngantor.Ok, setelah berpakaian aku langsung turun ke bawah, perutku sudah minta jatah dari tadi. Sesampai
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.