Inggit harus menelan pil pahit setelah suaminya (Irwan) ketahuan selingkuh lalu menikah dengan perempuan lain yang sudah terlanjur hamil. Di saat masa-masa sulit karena dipoligami, dia juga harus menghadapi sikap semena-mena Erika, istri kedua suaminya. Inggit mencoba untuk bertahan demi puteranya, Rafa. Namun, karena tak kuat, Inggit memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Bandung. Bandung mempertemukan kembali Inggit dengan Baskara, lelaki yang dulu selalu membully nya ketika di sekolah. Namun, siapa sangka, ternyata Baskara menyimpan sebuah perasaan sejak dahulu kepada Inggit. Bagaimana akhirnya Inggit memaknai kehidupannya setelah hadirnya Baskara, apakah dia akan tetap mempertahankan rumah tangganya bersama Irwan dengan alasan anak, atau mencoba membuka hati kepada Baskara yang dulu dibenci mati-matian olehnya?
View MoreSetelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
Dan mereka pun menikah, ya, mereka menikah. Aku tak hadir di pernikahan mas Irwan dan Erika. Aku hanya berdiam diri di rumah saja, aku menghabiskan waktu menonton televisi yang sesekali diselingi airmata. Tak ada isak yang keluar dari mulutku, hanya airmata yang senantiasa mengalir menandakan aku tengah terluka. Meski aku mencoba untuk menerima ini semua, tapi tetap saja rasa sakit menyerangku tanpa ampun. "Ma." Gegas ku hapus airmata. Rafa tidak boleh melihatku dalam keadaan menangis seperti ini. Aku segera menoleh dan memberikan senyum terbaikku kepadanya. "Ma, papa udah berapa hari ini kok enggak pulang?" tanya puteraku kebingungan. Aku menarik nafas panjang, sulit sekali menjelaskan kepada Rafa tentang semua ini tetapi aku juga tak bisa jika membiarkan Rafa terus dibohongi. Namun, setiap kali ingin mengatakan kepada Rafa hal yang sebenarnya, pasti aku langsung terdiam, tak sanggup. Rafa masih cukup kecil untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah menikah lagi dan malah dia
"Totalnya lima ratus lima puluh dua ribu, Mbak." Aku mengangguk, mengeluarkan uang dari dalam dompet dari dalam tasku. Aku sedang berada di dalam supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga yang sudah mulai habis. Sudah tiga hari semenjak mas Irwan membawa selingkuhannya ke rumah kami, dia tak pulang ke rumah lagi. Aku juga tak lagi mengharapkan kepulangannya. Aku takut dia akan menyentuhku sebab aku tak lagi rela tubuhku dijamah olehnya. Meski aku tahu bahwa dia masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sungguh tak lagi menganggapnya demikian.Katakanlah aku bodoh karena masih bertahan. Namun, kulakukan semua ini demi Rafa. Aku tak mau kehilangan puteraku. Sampai hari ini, Rafa juga tak tahu apa yang telah terjadi pada hubungan kedua orangtuanya dan aku rasa, Rafa belum cukup umur untuk mengerti akan hal itu. "Mas, aku sekalian beli alat-alat mandi ya, di rumah soalnya udah pada habis." Aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak lagi asing di telingaku. Suara perempuan yang suda
"Tega kamu, Mas!" Setelah sekian detik aku menahan gejolak amarah akhirnya meledak juga rasa sakit yang selama ini aku tahan. "Dan kamu! Kamu juga gak punya perasaan. Sebagai perempuan, harusnya kamu bisa menjaga harga diri kamu! Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus suamiku?!"Kemarahanku meluap-luap tanpa bisa ku cegah lagi. Aku mendekat ke arah Erika bersiap untuk menampar wajahnya tetapi mas Irwan segera menghalangiku hingga tamparanku mendarat sempurna di pipinya. "Inggit, tenang! Aku yakin ini bisa diselesaikan secara baik-baik!" bentak mas Irwan menangkap tanganku yang kembali hendak melayang."Baik-baik katamu?! Kamu pikir aku mau dimadu hah?!" Aku berseru di depan wajahnya."Mbak nggak punya pilihan selain membiarkan mas Irwan menikahiku! Aku sudah hamil, Mbak! Lihat, perutku sudah semakin membesar!" Erika berkata dengan nada keras. "Kamu mau menikahinya, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan dengan penuh penekanan. "Ya, semakin lama perut Erika akan semakin membesar. Ada a
"Kamu memang gak pernah beruntung." Setelah mengatakan itu, lelaki bernama Baskara itu benar-benar melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang masih sama yaitu benci. Setelah bertemu secara tak sengaja barusan, ingatanku tentang peristiwa masa silam ketika aku masih berseragam abu-abu kembali terlintas begitu saja. Wajah Baskara yang tampan dan menyebalkan juga sikapnya yang semena-mena terhadapku dahulu kembali terbayang. Aku membawa diriku pergi, secepatnya kembali ke dalam kamar hotel. Aku duduk termangu di sisi ranjang. Aku merasakan dua kesakitan sekaligus saat ini, rekaman video perselingkuhan suamiku juga pertemuan tak sengaja aku dengan Baskara barusan. Mataku memanas, terkenang satu kata Baskara beberapa saat yang tadi. 'Kamu memang tidak pernah beruntung.'Ingin sekali aku membalas perkataannya tadi, tapi aku seperti membeku dan hanya bisa membalasnya dengan tatapan benci. Harusnya lelaki itu sadar bahwa dia adalah salah satu sumber kesialan di dalam hidup
Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi. Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah. Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya."Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan. "Saya ke bawah saja, Mas." "Oh, baiklah kalau begitu, Mbak." Aku menutup telepon kemudian sege
Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa. Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini. "Sabar sebentar, Sayang."Terus aku mendengarkan dengan seksama. "Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap
Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka. "Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini." Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yan
"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing. "Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya. Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati. "Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman." "Iya, Sayang. "Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengab
"Nggak pulang lagi, Mas?" tanyaku di telepon setelah berhasil membuat panggilan ke dua puluh dua kali yang baru diangkat suamiku."Masih banyak kerjaan, Sayang. Kamu tidur aja duluan ya. Ntar subuh aku pasti pulang." Jawaban yang sama yang aku dengar dari mas Irwan hampir seminggu belakangan ini. Kerjaan numpuklah, masih menemani atasan lah, menemani klienlah. Pulang selalu sudah subuh. Tiap pulang, langsung tidur, tak sempat mau ngobrol dengan istri lagi. Belum lagi, kadang tercium aroma alkohol dari mulutnya, padahal sudah berkali-kali aku katakan, aku tak suka dia minum-minum. Cuma aku ini bisa apa? Aku cuma seorang istri yang harus nurut kata suami. Pernah sekali aku bertengkar dengannya perkara hal yang sama, wah, mas Irwan langsung ngambek tak pulang berhari-hari. Katanya aku yang tak punya hati, suami capek kerja malah dimaki-maki. Padahal aku tidak memakinya, aku hanya mengeluarkan pendapatku sebagai seorang istri.Suamiku seorang yang bekerja di sebuah perusahaan properti d...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments