"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing.
"Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya.Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati."Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman.""Iya, Sayang. "Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengabaikan semua itu setidaknya untuk sementara waktu sampai aku benar-benar mendapatkan bukti kuat tentang perselingkuhan mereka.Seperti permintaanku tadi, kami segera pulang setelah selesai dengan dinner yang pura-pura menyenangkan ini. Saat kami keluar dari restoran, perempuan yang masih aku belum tahu namanya itu ikut keluar pula. Dia tampak mendekat ke sebuah mobil berwarna putih yang sialnya parkir pun bersebelahan dengan mobil mas Irwan.Kalau saja aku sedang tak berlagak bodoh seperti ini, pasti sudah ku labrak dia sedari tadi."Iya, Dokter, besok saya pasti check up. Kebetulan juga vitamin kehamilan saya sudah habis. Makasih ya udah diingetin."Aku tersentak, perempuan itu hamil? Hatiku semakin tak karuan. Aku melirik sekilas perutnya, tak terlalu nampak karena dia memakai dress yang tidak ketat dan sedikit mengembang. Namun, benarkah perempuan itu hamil? Hamil anak suamiku?"Saya dateng bareng dia besok, Dokter."Aku menajamkan pendengaranku. Perempuan itu belum masuk ke dalam mobilnya sama denganku sementara mas Irwan sudah masuk ke dalam mobil. Nampaknya, mas Irwan tak mendengar pembicaraan perempuan itu di telepon. Aku bergegas masuk agar mas Irwan tak curiga bahwa aku sedang menguping tadinya."Mas, besok kamu ada kerjaan?" tanyaku kepada mas Irwan, aku ingin memastikan bahwa dia benar-benar akan menemani perempuan itu atau tidak."Entahlah, belum tahu.""Loh, kok belum tahu sih, Mas? Tadi kamu bilang kan besok kamu ambil cuti, kamu bilang juga pekerjaanmu bisa dikerjain di rumah.""Iya, Sayang, tapi aku kan gak tahu entah besok ada panggilan kerjaan mendadak dan aku harus masuk."Semakin kuat dugaanku bahwa besok mas Irwan akan menemui perempuan sialan itu. Ya Tuhan, apakah benar dugaanku selama ini dan apakah benar perempuan itu sekarang sedang hamil anak suamiku?Ingin rasanya aku berteriak dengan kencang saat ini. Hatiku seperti di palu berkali-kali mendapati kenyataan pahit ini. Namun, aku harus tetap tenang. Aku tidak boleh gegabah."Memangnya kamu mau kemana besok?" tanya mas Irwan memecah keheningan yang sempat tercipta."Rencananya mau ajak Rafa jalan-jalan sepulang dia sekolah.""Besok aku janji, kalau aku benar-benar gak ada kegiatan mendesak, kita akan ajak Rafa jalan-jalan."Aku meliriknya sekilas, kemudian hanya mengangguk kecil. Lalu kami masing-masing larut dalam keheningan. Aku dengan pikiranku, mas Irwan dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang sekarang ada dipikirannya.***Rafa baru saja selesai mas Irwan antar ke sekolah tapi suamiku itu tidak langsung kembali ke rumah. Aku masih berpikir positif, mungkin saja dia terjebak macet di jalan, tapi setelah hampir dua jam menunggu, dia tak kunjung pulang. Aku semakin yakin bahwa mas Irwan memang sedang menemui gundiknya itu.Aku sempat mendengar dimana perempuan itu akan melakukan check up pagi ini. Aku harus ke rumah sakit itu sekarang. Aku segera meraih tasku, keluar dengan terburu-buru hingga hampir saja menabrak mbok Yem yang baru selesai menyiram tanaman di depan."Maaf, Mbok, saya buru-buru."Belum sempat mbok bertanya ini dan itu, aku sudah melangkah cepat menuju keluar dimana taksi telah menungguku. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit itu, keringat dingin terasa di kedua telapak tanganku. Aku gugup, juga tak siap untuk menerima semua kenyataan. Namun, aku juga tidak mau terus-terusan dibohongi dan dibodohi seperti ini.Jalanan ternyata tak lagi terlalu macet sehingga aku sampai dengan cukup cepat ke rumah sakit. Aku segera menyusuri lorong, sempat bertanya kepada perawat di mana ruangan dokter kandungan.Setelah mendapatkan informasi keberadaannya, aku bergegas ke sana. Aku melihat dari kejauhan, suamiku dan perempuan semalam sedang duduk di kursi panjang. Mas Irwan tampak begitu mesra membelai perut perempuan itu yang baru kulihat memang sudah sedikit membuncit.Hatiku seketika luluh lantak, bergemuruh hebat, bagai diserang badai dahsyat. Sekuat tenaga kutahan tangisku yang bisa saja pecah dan akan menarik perhatian banyak orang. Aku berdiri mematung di belakang pilar rumah sakit yang cukup besar sehingga keberadaanku tak akan diketahui oleh mereka.Aku bahkan dengan nekat dan bodohnya tetap menunggu sampai mereka selesai melakukan pemeriksaan. Mereka sudah masuk dan beberapa saat kemudian, keduanya keluar dengan saling tersenyum satu sama lain."Usia anak kita sekarang udah dua bulan di dalam perutku, Mas."Sayup-sayup aku mendengar perbincangan mereka yang berjalan semakin mendekat ke arahku. Aku segera menggeser posisi agar ketika melewatiku kelak mereka tidak tahu."Kamu harus banyak istirahat ya. Aku gak mau kamu kecapean.""Tapi kamu harus janji untuk segera menikahi aku, Mas! Aku nggak mau kita selalu sembunyi dari keluarga juga istri kamu itu!""Ya sabar, Erika. Aku nggak bisa langsung bilang sama Inggit.""Terus mau sampai kapan, Mas? Lama-lama perutku ini akan membesar! Kedua orangtuaku juga belum aku beritahu tentang kehamilanku!""Erika pelankan suaramu, nanti semua orang dengar. Aku janji, dalam minggu-minggu ini akan segera mengatakannya kepada Inggit."Perempuan yang ternyata bernama Erika tampak kesal kemudian mereka benar-benar berlalu. Aku mematikan rekaman suara mereka yang baru saja aku rekam dengan ponselku. Hatiku benar-benar hancur sekarang. Ternyata benar dugaanku selama ini, mas Irwan memang sudah berselingkuh dengan perempuan lain bahkan yang lebih gilanya lagi, perempuan itu sudah hamil anaknya."Tega kamu, Mas!" desisku sambil terus menatap mereka yang sudah menghilang dari balik koridor rumah sakit. Aku segera pulang setelah memastikan mobil mas Irwan sudah keluar dari pelataran rumah sakit. Mas Irwan sempat menghubungiku bahwa dia akan menjemput Rafa nanti."Nyonya, darimana saja? Si Mbok khawatir."Mbok Yem menyambutku yang baru saja masuk dengan langkah gontai ke dalam rumah."Semuanya benar, Mbok, suami saya memang sudah berselingkuh dan perempuan itu sekarang sedang hamil."Aki berkata lirih, mbok Yem hanya bisa menatapku dengan sedih.Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka. "Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini." Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yan
Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa. Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini. "Sabar sebentar, Sayang."Terus aku mendengarkan dengan seksama. "Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap
Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi. Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah. Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya."Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan. "Saya ke bawah saja, Mas." "Oh, baiklah kalau begitu, Mbak." Aku menutup telepon kemudian sege
"Kamu memang gak pernah beruntung." Setelah mengatakan itu, lelaki bernama Baskara itu benar-benar melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang masih sama yaitu benci. Setelah bertemu secara tak sengaja barusan, ingatanku tentang peristiwa masa silam ketika aku masih berseragam abu-abu kembali terlintas begitu saja. Wajah Baskara yang tampan dan menyebalkan juga sikapnya yang semena-mena terhadapku dahulu kembali terbayang. Aku membawa diriku pergi, secepatnya kembali ke dalam kamar hotel. Aku duduk termangu di sisi ranjang. Aku merasakan dua kesakitan sekaligus saat ini, rekaman video perselingkuhan suamiku juga pertemuan tak sengaja aku dengan Baskara barusan. Mataku memanas, terkenang satu kata Baskara beberapa saat yang tadi. 'Kamu memang tidak pernah beruntung.'Ingin sekali aku membalas perkataannya tadi, tapi aku seperti membeku dan hanya bisa membalasnya dengan tatapan benci. Harusnya lelaki itu sadar bahwa dia adalah salah satu sumber kesialan di dalam hidup
"Tega kamu, Mas!" Setelah sekian detik aku menahan gejolak amarah akhirnya meledak juga rasa sakit yang selama ini aku tahan. "Dan kamu! Kamu juga gak punya perasaan. Sebagai perempuan, harusnya kamu bisa menjaga harga diri kamu! Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus suamiku?!"Kemarahanku meluap-luap tanpa bisa ku cegah lagi. Aku mendekat ke arah Erika bersiap untuk menampar wajahnya tetapi mas Irwan segera menghalangiku hingga tamparanku mendarat sempurna di pipinya. "Inggit, tenang! Aku yakin ini bisa diselesaikan secara baik-baik!" bentak mas Irwan menangkap tanganku yang kembali hendak melayang."Baik-baik katamu?! Kamu pikir aku mau dimadu hah?!" Aku berseru di depan wajahnya."Mbak nggak punya pilihan selain membiarkan mas Irwan menikahiku! Aku sudah hamil, Mbak! Lihat, perutku sudah semakin membesar!" Erika berkata dengan nada keras. "Kamu mau menikahinya, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan dengan penuh penekanan. "Ya, semakin lama perut Erika akan semakin membesar. Ada a
"Totalnya lima ratus lima puluh dua ribu, Mbak." Aku mengangguk, mengeluarkan uang dari dalam dompet dari dalam tasku. Aku sedang berada di dalam supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga yang sudah mulai habis. Sudah tiga hari semenjak mas Irwan membawa selingkuhannya ke rumah kami, dia tak pulang ke rumah lagi. Aku juga tak lagi mengharapkan kepulangannya. Aku takut dia akan menyentuhku sebab aku tak lagi rela tubuhku dijamah olehnya. Meski aku tahu bahwa dia masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sungguh tak lagi menganggapnya demikian.Katakanlah aku bodoh karena masih bertahan. Namun, kulakukan semua ini demi Rafa. Aku tak mau kehilangan puteraku. Sampai hari ini, Rafa juga tak tahu apa yang telah terjadi pada hubungan kedua orangtuanya dan aku rasa, Rafa belum cukup umur untuk mengerti akan hal itu. "Mas, aku sekalian beli alat-alat mandi ya, di rumah soalnya udah pada habis." Aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak lagi asing di telingaku. Suara perempuan yang suda
Dan mereka pun menikah, ya, mereka menikah. Aku tak hadir di pernikahan mas Irwan dan Erika. Aku hanya berdiam diri di rumah saja, aku menghabiskan waktu menonton televisi yang sesekali diselingi airmata. Tak ada isak yang keluar dari mulutku, hanya airmata yang senantiasa mengalir menandakan aku tengah terluka. Meski aku mencoba untuk menerima ini semua, tapi tetap saja rasa sakit menyerangku tanpa ampun. "Ma." Gegas ku hapus airmata. Rafa tidak boleh melihatku dalam keadaan menangis seperti ini. Aku segera menoleh dan memberikan senyum terbaikku kepadanya. "Ma, papa udah berapa hari ini kok enggak pulang?" tanya puteraku kebingungan. Aku menarik nafas panjang, sulit sekali menjelaskan kepada Rafa tentang semua ini tetapi aku juga tak bisa jika membiarkan Rafa terus dibohongi. Namun, setiap kali ingin mengatakan kepada Rafa hal yang sebenarnya, pasti aku langsung terdiam, tak sanggup. Rafa masih cukup kecil untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah menikah lagi dan malah dia
Setelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
Setelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
Dan mereka pun menikah, ya, mereka menikah. Aku tak hadir di pernikahan mas Irwan dan Erika. Aku hanya berdiam diri di rumah saja, aku menghabiskan waktu menonton televisi yang sesekali diselingi airmata. Tak ada isak yang keluar dari mulutku, hanya airmata yang senantiasa mengalir menandakan aku tengah terluka. Meski aku mencoba untuk menerima ini semua, tapi tetap saja rasa sakit menyerangku tanpa ampun. "Ma." Gegas ku hapus airmata. Rafa tidak boleh melihatku dalam keadaan menangis seperti ini. Aku segera menoleh dan memberikan senyum terbaikku kepadanya. "Ma, papa udah berapa hari ini kok enggak pulang?" tanya puteraku kebingungan. Aku menarik nafas panjang, sulit sekali menjelaskan kepada Rafa tentang semua ini tetapi aku juga tak bisa jika membiarkan Rafa terus dibohongi. Namun, setiap kali ingin mengatakan kepada Rafa hal yang sebenarnya, pasti aku langsung terdiam, tak sanggup. Rafa masih cukup kecil untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah menikah lagi dan malah dia
"Totalnya lima ratus lima puluh dua ribu, Mbak." Aku mengangguk, mengeluarkan uang dari dalam dompet dari dalam tasku. Aku sedang berada di dalam supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga yang sudah mulai habis. Sudah tiga hari semenjak mas Irwan membawa selingkuhannya ke rumah kami, dia tak pulang ke rumah lagi. Aku juga tak lagi mengharapkan kepulangannya. Aku takut dia akan menyentuhku sebab aku tak lagi rela tubuhku dijamah olehnya. Meski aku tahu bahwa dia masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sungguh tak lagi menganggapnya demikian.Katakanlah aku bodoh karena masih bertahan. Namun, kulakukan semua ini demi Rafa. Aku tak mau kehilangan puteraku. Sampai hari ini, Rafa juga tak tahu apa yang telah terjadi pada hubungan kedua orangtuanya dan aku rasa, Rafa belum cukup umur untuk mengerti akan hal itu. "Mas, aku sekalian beli alat-alat mandi ya, di rumah soalnya udah pada habis." Aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak lagi asing di telingaku. Suara perempuan yang suda
"Tega kamu, Mas!" Setelah sekian detik aku menahan gejolak amarah akhirnya meledak juga rasa sakit yang selama ini aku tahan. "Dan kamu! Kamu juga gak punya perasaan. Sebagai perempuan, harusnya kamu bisa menjaga harga diri kamu! Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus suamiku?!"Kemarahanku meluap-luap tanpa bisa ku cegah lagi. Aku mendekat ke arah Erika bersiap untuk menampar wajahnya tetapi mas Irwan segera menghalangiku hingga tamparanku mendarat sempurna di pipinya. "Inggit, tenang! Aku yakin ini bisa diselesaikan secara baik-baik!" bentak mas Irwan menangkap tanganku yang kembali hendak melayang."Baik-baik katamu?! Kamu pikir aku mau dimadu hah?!" Aku berseru di depan wajahnya."Mbak nggak punya pilihan selain membiarkan mas Irwan menikahiku! Aku sudah hamil, Mbak! Lihat, perutku sudah semakin membesar!" Erika berkata dengan nada keras. "Kamu mau menikahinya, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan dengan penuh penekanan. "Ya, semakin lama perut Erika akan semakin membesar. Ada a
"Kamu memang gak pernah beruntung." Setelah mengatakan itu, lelaki bernama Baskara itu benar-benar melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang masih sama yaitu benci. Setelah bertemu secara tak sengaja barusan, ingatanku tentang peristiwa masa silam ketika aku masih berseragam abu-abu kembali terlintas begitu saja. Wajah Baskara yang tampan dan menyebalkan juga sikapnya yang semena-mena terhadapku dahulu kembali terbayang. Aku membawa diriku pergi, secepatnya kembali ke dalam kamar hotel. Aku duduk termangu di sisi ranjang. Aku merasakan dua kesakitan sekaligus saat ini, rekaman video perselingkuhan suamiku juga pertemuan tak sengaja aku dengan Baskara barusan. Mataku memanas, terkenang satu kata Baskara beberapa saat yang tadi. 'Kamu memang tidak pernah beruntung.'Ingin sekali aku membalas perkataannya tadi, tapi aku seperti membeku dan hanya bisa membalasnya dengan tatapan benci. Harusnya lelaki itu sadar bahwa dia adalah salah satu sumber kesialan di dalam hidup
Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi. Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah. Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya."Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan. "Saya ke bawah saja, Mas." "Oh, baiklah kalau begitu, Mbak." Aku menutup telepon kemudian sege
Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa. Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini. "Sabar sebentar, Sayang."Terus aku mendengarkan dengan seksama. "Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap
Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka. "Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini." Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yan
"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing. "Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya. Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati. "Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman." "Iya, Sayang. "Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengab