Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi.
Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah.Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya."Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan."Saya ke bawah saja, Mas.""Oh, baiklah kalau begitu, Mbak."Aku menutup telepon kemudian segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Aku juga segera memakai dress yang kubawa untuk berganti. Setelah itu aku bergegas menuju ke restoran tempat dimana mas Irwan dan selingkuhannya saat ini pasti sedang menyantap sarapan mereka.Benar saja, dari kejauhan aku melihat mereka tapi aku tentu tidak bisa berada di tempat yang sama, aku bisa ketahuan. Lalu aku melihat sebuah tempat di pojokan dan terhalang sekat partisi yang mungkin bisa menjadi tempatku untuk memata-matai mereka berdua.Setelah makananku terhidang, aku menyantapnya dengan perlahan. Aku segera membidik kamera dan beberapa foto keduanya yang tampak bahagia itu telah aku dapatkan. Aku tidak akan pulang sebelum mendapatkan foto lain yang lebih menarik dan lebih intim, bagaimana pun caranya aku harus bisa mendapatkannya.Mereka cukup lama berada di restoran ini karena tak langsung naik lagi ke kamar. Aku juga masih setia mengintai, meski aku tak dapat mendengar perbincangan keduanya saat ini, tapi aku cukup puas mendapatkan beberapa foto mereka yang tampak mesra itu.Hampir satu jam lebih berada di restoran, aku segera kembali ke kamarku sendiri. Aku tidak mau pengintaianku ketahuan jika terlalu lama berada di tempat yang sama dengan mereka sekarang.Hingga siang hari dengan aku yang hanya bisa menghibur diri melihat tayangan televisi, aku segera mendekat ke pintu, saat itu aku melihat mas Irwan tengah di luar dan tampak menunggu seseorang. Kemudian seorang pelayan datang mendekat kepadanya. Entah apa yang dibicarakan mereka tapi aku punya ide untuk memanfaatkan pelayan itu. Setelah memastikan mas Irwan masuk lagi ke dalam kamarnya, aku segera keluar dan segera mengejar pelayan yang hampir masuk ke dalam lift."Mas, boleh saya bicara sebentar."Pelayan yang tampak buru-buru itu menatapku dengan bingung tapi kemudian dia mengangguk."Kenapa, Mbak?""Kalau boleh tahu, tamu yang tadi manggil mas ke kamar nya kenapa ya?""Oh, itu, Mbak, gelas minumannya pecah dekat kolam renang. Tuan tadi sama istrinya kan sedang berenang terus gak sengaja gelasnya tergelincir waktu istrinya pegang. Jadi ini saya mau beresin gelas pecah itu."Istrinya? Ingin sekali aku menampar wajah mas Irwan karena sudah membuat pelayan ini mengira perempuan itu sebagai istrinya. Namun, sekarang aku harus bisa mendapatkan bukti video atau foto mereka di kolam renang. Aku bisa meminta pelayan ini untuk bekerja sama, tentu saja aku harus mengeluarkan uang lagi."Saya bisa minta tolong, Mas? Saya akan kasih uang ini untuk Mas."Aku mengeluarkan beberapa lembar uang merah di depan pelayan itu."Minta tolong apa ya, Mbak?""Mas tolong foto atau video kan lelaki dan perempuan itu ya. Ini buat Mas.""Waduh, itu privasi, Mbak. Kalau ketahuan saya bisa dipecat.""Tolong, Mas, saya yakin Mas bisa mendapatkan foto atau video mereka nanti waktu membereskan pecahan gelas. Saya tambah deh, Mas."Baru saja aku hendak menarik selembar uang lagi, pelayan itu kembali bersuara."Maaf, Mbak, memangnya Mbak ini siapanya mereka?""Saya istri lelaki itu, Mas. Saya butuh bukti perselingkuhan mereka." Akhirnya aku berkata dengan jujur. Lelaki itu tampak menggaruk kepalanya yang aku yakin sebenarnya tak gatal itu lalu kembali menatapku dengan iba."Sebenarnya saya nggak berani, Mbak, tapi saya juga kasihan sama Mbaknya. Ya sudah, nanti saya coba ya, Mbak, tapi Mbak jangan berharap banyak.""Makasih banyak, Mas."Lelaki itu mengangguk tapi dia sama sekali tidak mau menerima uang yang aku berikan meski aku sempat memaksanya. Akhirnya aku kembali ke kamarku dengan tetap memantau lewat lubang kecil di tengah pintu. Beberapa saat kemudian, aku melihat pelayan tadi kembali dengan membawa alat kebersihan. Dia sudah masuk ke dalam. Aku harap-harap cemas, aku sangat berharap dia berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.Aku kembali mengintai lalu melihat pelayan tadi keluar dari kamar mas Irwan yang segera menutupnya. Suamiku itu tampak hanya mengenakan handuk di pinggangnya."Mas!" Aku segera mendekatinya setelah dia berada di dekat lift lagi dan sengaja belum menekan tombol. Dia memang sedang menungguku."Ini, Mbak," katanya sambil menyodorkan ponselnya.Ada beberapa foto dan video saat mas Irwan masuk kembali ke dalam air lalu memeluk perempuan itu. Terlihat pula perempuan itu sedang berciuman mesra dengan mas Irwan. Hatiku rasanya seperti disayat-sayat belati saat ini tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan pelayan ini."Saya kirimkan ke Mbak ya."Aku hanya mengangguk kemudian memberikan nomor ponselku agar dia lebih mudah mengirimkannya lewat chat."Makasih ya, Mas," ujarku lirih.Pelayan itu hanya bisa mengangguk kecil kemudian masuk ke dalam lift dan meninggalkan aku yang masih terpaku melihat apa yang tersaji dalam rekaman video ini.Aku hendak kembali ke kamarku sendiri tapi baru saja aku berbalik, seseorang yang baru keluar dari lift menabrakku tanpa sengaja.Ponselku terpental dan aku tak bisa menahan keseimbangan tubuhku sendiri sehingga aku terhuyung hampir terjatuh. Seseorang yang tadi menabrakku tampak berjalan ke menuju ponselku yang terbanting dan dia cukup lama terdiam melihat video yang masih berlangsung dan belum sempat aku tutup."Hei, kembalikan ponselku!" ujarku kesal kepada lelaki dengan kemeja ketat berwarna hitam yang tengah membelakangiku ini.Lalu saat dia berbalik dan menyodorkan kembali ponselku, aku hanya bisa terdiam. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku bisa mengingat dengan jelas wajah tampan nan rupawan di depanku saat ini, seseorang yang pernah mengukir luka di hatiku saat masa sekolah dulu. Seseorang yang membuatku tidak pernah setuju dengan apa yang dikatakan orang-orang bahwa masa indah adalah masa ketika di SMA."Baskara... " ujarku tanpa sadar dengan dia yang hanya tersenyum kecil dan terlihat mengejek ke arahku. Sama seperti dulu, senyum yang aku benci!"Kamu memang gak pernah beruntung." Setelah mengatakan itu, lelaki bernama Baskara itu benar-benar melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang masih sama yaitu benci. Setelah bertemu secara tak sengaja barusan, ingatanku tentang peristiwa masa silam ketika aku masih berseragam abu-abu kembali terlintas begitu saja. Wajah Baskara yang tampan dan menyebalkan juga sikapnya yang semena-mena terhadapku dahulu kembali terbayang. Aku membawa diriku pergi, secepatnya kembali ke dalam kamar hotel. Aku duduk termangu di sisi ranjang. Aku merasakan dua kesakitan sekaligus saat ini, rekaman video perselingkuhan suamiku juga pertemuan tak sengaja aku dengan Baskara barusan. Mataku memanas, terkenang satu kata Baskara beberapa saat yang tadi. 'Kamu memang tidak pernah beruntung.'Ingin sekali aku membalas perkataannya tadi, tapi aku seperti membeku dan hanya bisa membalasnya dengan tatapan benci. Harusnya lelaki itu sadar bahwa dia adalah salah satu sumber kesialan di dalam hidup
"Tega kamu, Mas!" Setelah sekian detik aku menahan gejolak amarah akhirnya meledak juga rasa sakit yang selama ini aku tahan. "Dan kamu! Kamu juga gak punya perasaan. Sebagai perempuan, harusnya kamu bisa menjaga harga diri kamu! Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus suamiku?!"Kemarahanku meluap-luap tanpa bisa ku cegah lagi. Aku mendekat ke arah Erika bersiap untuk menampar wajahnya tetapi mas Irwan segera menghalangiku hingga tamparanku mendarat sempurna di pipinya. "Inggit, tenang! Aku yakin ini bisa diselesaikan secara baik-baik!" bentak mas Irwan menangkap tanganku yang kembali hendak melayang."Baik-baik katamu?! Kamu pikir aku mau dimadu hah?!" Aku berseru di depan wajahnya."Mbak nggak punya pilihan selain membiarkan mas Irwan menikahiku! Aku sudah hamil, Mbak! Lihat, perutku sudah semakin membesar!" Erika berkata dengan nada keras. "Kamu mau menikahinya, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan dengan penuh penekanan. "Ya, semakin lama perut Erika akan semakin membesar. Ada a
"Totalnya lima ratus lima puluh dua ribu, Mbak." Aku mengangguk, mengeluarkan uang dari dalam dompet dari dalam tasku. Aku sedang berada di dalam supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga yang sudah mulai habis. Sudah tiga hari semenjak mas Irwan membawa selingkuhannya ke rumah kami, dia tak pulang ke rumah lagi. Aku juga tak lagi mengharapkan kepulangannya. Aku takut dia akan menyentuhku sebab aku tak lagi rela tubuhku dijamah olehnya. Meski aku tahu bahwa dia masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sungguh tak lagi menganggapnya demikian.Katakanlah aku bodoh karena masih bertahan. Namun, kulakukan semua ini demi Rafa. Aku tak mau kehilangan puteraku. Sampai hari ini, Rafa juga tak tahu apa yang telah terjadi pada hubungan kedua orangtuanya dan aku rasa, Rafa belum cukup umur untuk mengerti akan hal itu. "Mas, aku sekalian beli alat-alat mandi ya, di rumah soalnya udah pada habis." Aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak lagi asing di telingaku. Suara perempuan yang suda
Dan mereka pun menikah, ya, mereka menikah. Aku tak hadir di pernikahan mas Irwan dan Erika. Aku hanya berdiam diri di rumah saja, aku menghabiskan waktu menonton televisi yang sesekali diselingi airmata. Tak ada isak yang keluar dari mulutku, hanya airmata yang senantiasa mengalir menandakan aku tengah terluka. Meski aku mencoba untuk menerima ini semua, tapi tetap saja rasa sakit menyerangku tanpa ampun. "Ma." Gegas ku hapus airmata. Rafa tidak boleh melihatku dalam keadaan menangis seperti ini. Aku segera menoleh dan memberikan senyum terbaikku kepadanya. "Ma, papa udah berapa hari ini kok enggak pulang?" tanya puteraku kebingungan. Aku menarik nafas panjang, sulit sekali menjelaskan kepada Rafa tentang semua ini tetapi aku juga tak bisa jika membiarkan Rafa terus dibohongi. Namun, setiap kali ingin mengatakan kepada Rafa hal yang sebenarnya, pasti aku langsung terdiam, tak sanggup. Rafa masih cukup kecil untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah menikah lagi dan malah dia
Setelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
"Nggak pulang lagi, Mas?" tanyaku di telepon setelah berhasil membuat panggilan ke dua puluh dua kali yang baru diangkat suamiku."Masih banyak kerjaan, Sayang. Kamu tidur aja duluan ya. Ntar subuh aku pasti pulang." Jawaban yang sama yang aku dengar dari mas Irwan hampir seminggu belakangan ini. Kerjaan numpuklah, masih menemani atasan lah, menemani klienlah. Pulang selalu sudah subuh. Tiap pulang, langsung tidur, tak sempat mau ngobrol dengan istri lagi. Belum lagi, kadang tercium aroma alkohol dari mulutnya, padahal sudah berkali-kali aku katakan, aku tak suka dia minum-minum. Cuma aku ini bisa apa? Aku cuma seorang istri yang harus nurut kata suami. Pernah sekali aku bertengkar dengannya perkara hal yang sama, wah, mas Irwan langsung ngambek tak pulang berhari-hari. Katanya aku yang tak punya hati, suami capek kerja malah dimaki-maki. Padahal aku tidak memakinya, aku hanya mengeluarkan pendapatku sebagai seorang istri.Suamiku seorang yang bekerja di sebuah perusahaan properti d
Amarahku memuncak sampai ke ubun-ubun. Tadi mbok Yem dengan susah payah menenangkan aku di belakang. Tangisku pecah di pelukan perempuan tua itu. Meski aku tidak bisa menuduh mas Irwan secara langsung, tapi bagaimana mungkin sperma orang lain bisa ada di sekitar pakaian jika itu bukan miliknya sendiri? "Aku sakit hati, Mbok. Apa yang musti aku lakukan? Oh, apa aku labrak saja ya mas Irwan sekarang?" tanyaku putus asa. "Jangan, Nya. Tenang dulu. Ini kan belum tentu benar kalau punya tuan." "Mbok ini, ya bagaimana lendir orang lain bisa menempel di baju dan celananya kalau bukan miliknya sendiri? Masa ini punya coby?"Aku kembali terisak, tak mungkin kan itu lendir milik kucingku yang memang sedang birahi? "Nya, coba diselidiki dulu betul-betul. Mbok bukannya mau mengajari Nyonya, tapi kalau Nyonya gegabah, nanti malah gak akan dapat bukti apa-apa."Aku menghentikan isak perlahan, mengatur nafas yang tadi sesak karena tangis. Namun, betul juga apa yang dikatakan oleh mbok Yem. Aku h
"Papa nggak jemput kita, Ma?"Pertanyaan itu meluncur dari mulut Rafa ketika kami sudah keluar dari gerbang sekolah dan kini tengah berada di pinggir trotoar, menunggu taksi yang akan lewat. "Iya, Nak. Kita naik taksi saja ya." "Yaaaaa, padahal Rafa kan mau pergi ke kedai eskrim, Ma." "Ya udah, kita berdua aja ya dulu."Rafa tersenyum lalu mengangguk. Ada kedai eskrim langgananku dan Rafa, dekat dengan mall yang kerap kami kunjungi jika akhir pekan. Tak apalah menyenangkan puteraku meski harus naik taksi dua kali kelak. Kami tiba di kedai eskrim yang ternyata hari ini cukup ramai. Aku segera mengantri dengan Rafa yang sedang menunggu di meja yang telah kami pilih. Mataku menatap ke sekeliling, di seberang kedai ini terlihat orang-orang keluar masuk mall.Aku membawa dua cup eskrim yang akan aku nikmati bersama Rafa. Terlihat puteraku itu tersenyum senang saat aku menyerahkan satu cup eskrim kesukaannya. "Enak?" tanyaku kepadanya yang begitu lahap. "Enak, Ma. Sebenarnya lebih ena
Setelah kemarin acara pernikahan mas Irwan dan Erika digelar, aku begitu terkejut ketika hari ini mendapati keduanya datang ke rumah. Padahal aku dan mas Irwan sudah sempat menyepakati bahwa Erika tidak akan tinggal di rumah ini karena aku masih menjaga perasaan Rafa. Namun, sekarang kenapa Erika ikut pulang bersama mas Irwan, bahkan membawa koper dan beberapa barangnya?"Kenapa dia ikut ke sini, Mas? Kita udah sepakat ya, dia nggak tinggal di sini sama kita. Kamu bisa bebas pergi dengannya dan tinggal dengannya, asal gak di sini," ujarku yang langsung melayangkan protes kepada mas Irwan. "Kenapa kamu yang mengatur? Ini kan rumah suamiku juga, jadi aku juga berhak untuk tinggal di sini dong! Enak aja kamu mau tinggal di sini sendirian sama anakmu aja! Aku juga lagi mengandung anaknya Mas Irwan, jadi aku juga berhak!" Aku memandang sengit Erika. Sudah dipastikan bahwa kehidupan rumah tangga ini akan kacau setelah kehadirannya di sini. Aku tidak akan pernah mau berbaikan dengan peremp
Dan mereka pun menikah, ya, mereka menikah. Aku tak hadir di pernikahan mas Irwan dan Erika. Aku hanya berdiam diri di rumah saja, aku menghabiskan waktu menonton televisi yang sesekali diselingi airmata. Tak ada isak yang keluar dari mulutku, hanya airmata yang senantiasa mengalir menandakan aku tengah terluka. Meski aku mencoba untuk menerima ini semua, tapi tetap saja rasa sakit menyerangku tanpa ampun. "Ma." Gegas ku hapus airmata. Rafa tidak boleh melihatku dalam keadaan menangis seperti ini. Aku segera menoleh dan memberikan senyum terbaikku kepadanya. "Ma, papa udah berapa hari ini kok enggak pulang?" tanya puteraku kebingungan. Aku menarik nafas panjang, sulit sekali menjelaskan kepada Rafa tentang semua ini tetapi aku juga tak bisa jika membiarkan Rafa terus dibohongi. Namun, setiap kali ingin mengatakan kepada Rafa hal yang sebenarnya, pasti aku langsung terdiam, tak sanggup. Rafa masih cukup kecil untuk menerima kenyataan bahwa ayahnya telah menikah lagi dan malah dia
"Totalnya lima ratus lima puluh dua ribu, Mbak." Aku mengangguk, mengeluarkan uang dari dalam dompet dari dalam tasku. Aku sedang berada di dalam supermarket, membeli kebutuhan rumah tangga yang sudah mulai habis. Sudah tiga hari semenjak mas Irwan membawa selingkuhannya ke rumah kami, dia tak pulang ke rumah lagi. Aku juga tak lagi mengharapkan kepulangannya. Aku takut dia akan menyentuhku sebab aku tak lagi rela tubuhku dijamah olehnya. Meski aku tahu bahwa dia masih berstatus sebagai suamiku, tapi aku sungguh tak lagi menganggapnya demikian.Katakanlah aku bodoh karena masih bertahan. Namun, kulakukan semua ini demi Rafa. Aku tak mau kehilangan puteraku. Sampai hari ini, Rafa juga tak tahu apa yang telah terjadi pada hubungan kedua orangtuanya dan aku rasa, Rafa belum cukup umur untuk mengerti akan hal itu. "Mas, aku sekalian beli alat-alat mandi ya, di rumah soalnya udah pada habis." Aku mendengar suara yang akhir-akhir ini tak lagi asing di telingaku. Suara perempuan yang suda
"Tega kamu, Mas!" Setelah sekian detik aku menahan gejolak amarah akhirnya meledak juga rasa sakit yang selama ini aku tahan. "Dan kamu! Kamu juga gak punya perasaan. Sebagai perempuan, harusnya kamu bisa menjaga harga diri kamu! Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus suamiku?!"Kemarahanku meluap-luap tanpa bisa ku cegah lagi. Aku mendekat ke arah Erika bersiap untuk menampar wajahnya tetapi mas Irwan segera menghalangiku hingga tamparanku mendarat sempurna di pipinya. "Inggit, tenang! Aku yakin ini bisa diselesaikan secara baik-baik!" bentak mas Irwan menangkap tanganku yang kembali hendak melayang."Baik-baik katamu?! Kamu pikir aku mau dimadu hah?!" Aku berseru di depan wajahnya."Mbak nggak punya pilihan selain membiarkan mas Irwan menikahiku! Aku sudah hamil, Mbak! Lihat, perutku sudah semakin membesar!" Erika berkata dengan nada keras. "Kamu mau menikahinya, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan dengan penuh penekanan. "Ya, semakin lama perut Erika akan semakin membesar. Ada a
"Kamu memang gak pernah beruntung." Setelah mengatakan itu, lelaki bernama Baskara itu benar-benar melangkah pergi. Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang masih sama yaitu benci. Setelah bertemu secara tak sengaja barusan, ingatanku tentang peristiwa masa silam ketika aku masih berseragam abu-abu kembali terlintas begitu saja. Wajah Baskara yang tampan dan menyebalkan juga sikapnya yang semena-mena terhadapku dahulu kembali terbayang. Aku membawa diriku pergi, secepatnya kembali ke dalam kamar hotel. Aku duduk termangu di sisi ranjang. Aku merasakan dua kesakitan sekaligus saat ini, rekaman video perselingkuhan suamiku juga pertemuan tak sengaja aku dengan Baskara barusan. Mataku memanas, terkenang satu kata Baskara beberapa saat yang tadi. 'Kamu memang tidak pernah beruntung.'Ingin sekali aku membalas perkataannya tadi, tapi aku seperti membeku dan hanya bisa membalasnya dengan tatapan benci. Harusnya lelaki itu sadar bahwa dia adalah salah satu sumber kesialan di dalam hidup
Entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat lewat lubang yang ada di pintu untuk memastikan apakah mas Irwan dan gundiknya sempat keluar kamar atau tidak. Namun, hingga pukul setengah satu malam, aku tidak mendapatkan pergerakan apapun. Aku bisa menebak sekarang pasti keduanya sedang sibuk bergelut di atas ranjang kamar hotel. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidur karena aku yakin mereka benar-benar akan keluar besok pagi. Pukul setengah tujuh, aku terbangun dari tidurku. Aku segera menuju ke pintu dan pas saat aku mengintip, kulihat mas Irwan dan gundiknya baru saja membuka pintu kamar mereka. Barulah sekarang aku melihat dengan cukup jelas wajah perempuan itu. Aku melihat mereka sudah berpakaian cukup rapi, pasti akan sarapan di bawah. Aku kemudian mendapatkan telepon dan segera mengangkatnya."Mbak Inggit, sarapannya mau diantarkan atau mau langsung ke resto bawah?" tanya pelayan. "Saya ke bawah saja, Mas." "Oh, baiklah kalau begitu, Mbak." Aku menutup telepon kemudian sege
Waktu beranjak pukul setengah delapan malam setelah aku selesai membacakan dongeng untuk Rafa yang telah memejamkan matanya. Mas Irwan masih berada di rumah, dia belum pergi. Aku menutup pintu kamar Rafa dengan hati-hati, takut nanti puteraku itu terbangun lagi. Gegas ku langkahkan kaki menuju ke kamarku dan mas Irwan yang memang berseberangan dengan kamar Rafa. Saat aku membuka pintu, kulihat tak ada mas Irwan di sana. Tapi pintu yang menuju ke balkon tampak terbuka sedikit. Pasti dia ada di sana. Aku bergerak ke sana, baru saja hendak menguak daun pintu lebih lebar, aku mendengar mas Irwan tengah asyik berteleponan dengan seseorang. Urung aku mendekatinya, aku lebih tertarik untuk menguping pembicaraannya dengan lawan bicaranya di telepon saat ini. "Sabar sebentar, Sayang."Terus aku mendengarkan dengan seksama. "Aku udah pesan hotel buat kita tiga hari ini. Aku tahu kamu udah mulai risih sama tetangga-tetangga kamu karna aku sering ke sana, jadi aku udah sewa kamar hotel lengkap
Aku masih tergugu menangis sembari ditemani mbok Yem. Mataku pasti nampak bengkak sekarang. Setelah menyaksikan kenyataan di rumah sakit tentang mas Irwan dan gundiknya tadi, rasanya duniaku benar-benar sudah hancur. Bukan lagi diambang kehancuran, tapi memang sudah hancur lebur. Setiap butiran airmata juga sesak di hati yang kurasa sekarang adalah penggambaran kekecewaanku yang semakin dalam. Aku tak bisa lagi sekarang hanya sekedar diam dan menunggu. Selama ini, aku hanya melihat di film-film yang menceritakan tentang perselingkuhan dan ketika aku merasakannya sekarang, aku jadi tahu bahwa begitu sakit dan terlukanya para istri yang telah dikhianati suami mereka. "Nyonya harus sabar, harus tenang. Mbok tahu ini sulit, tapi Nyonya tidak boleh terus-terusan bersedih seperti ini." Kalimat penenang yang sedari tadi keluar dari mulut mbok Yem nyatanya tak mampu meredam tangisku. Namun, usapan lembutnya di punggungku seakan memberi ketenangan tersendiri. Aku ini jauh dari keluargaku yan
"Ngapain kok lama banget di toilet, Mas?" tanyaku kepada mas Irwan setelah dia kembali lagi ke meja kami. Nampak layar ponselnya menyala, nampaknya dia baru saja selesai berkomunikasi dengan perempuan itu sebelum benar-benar kembali ke meja ini. Aku juga sempat melihat perempuan itu makan dengan perlahan sembari melihat-lihat ponselnya. Sesekali bahkan perempuan itu tampak tertawa kecil, entah apa yang mereka bicarakan tadi lewat ponsel masing-masing. "Sakit perut, Sayang. Biasalah, aku kan gak bisa makanan yang pedas," kilahnya. Aku mengangkat bahu, berlagak seolah aku percaya dengan alasannya barusan. Aku berusaha untuk tetap tenang dan kembali makan dengan teratur. Sejauh ini, aktingku cukup bagus, meski aku sudah benar-benar gemetaran di dalam hati. "Kita balik aja langsung habis ini, Mas. Kasihan Rafa kalau tidurnya kemaleman." "Iya, Sayang. "Kami kembali sibuk dengan makanan masing-masing. Bisa aku rasakan jika dua manusia ini masih saling melirik. Aku berusaha untuk mengab