Indahnya bahtera rumah tangga hanya sesaat dirasakan Byan dan Andi suaminya. Semua tidak terlepas dari turut campurnya ibu Andi dalam setiap urusan rumah tangga mereka. Wanita paruh baya tersebur menjadi duri dalam daging di kehidupan anak dan menantunya. Dia hanyalah wanita tua yang gila harta dan hanya menilai segala sesuatu dengan uang. Padahal diawal perkenalannya, wanita itu menjadi sosok mertua idaman setiap menantu. Begitu baik dan perhatiannya sehingga siapapun yang melihat akan iri pada byan yang begitu disanyang kala itu. Tapi semua berubah tatkala Byan di ketahui hamil anak pertama. Terlihat ketidak sukaan sang mertua. Terlebih dia selalu berusaha mencelakai Byan ditengah kehamilannya. Saat kandungannya Memasuki usia 4 bulan, wanita tersebut datang dengan emosi tidak terkendali seperti orang kesetanan. Dia memaksa Andi melunasi hutang-hutangnnya dibank yang entah dari kapan iya mempunyai hutang tersebut. Tentu hal itu menyulut emosi Andi yang tidak tau apa-apa. Karena tanpa sepengetahuan Mas andi sang ibu telah memjamin rumah yang kami tinggali selama ini. Bahkan sumpah serapah tanpa henti dia lontsrkan terhadap anak menantunya, bahkan calon cucunya tersebut. Karema dia berdalih kesengsaraan yg dia miliki karena kehadiran byan dan calon anaknya. Sehingga Andi tidak lagi memberi full gajinya untuk sang ibu. Hanya karena gaji anaknya kini telah dibagi untuk keperluan rumah dan istrinya, dengan tega wanita itu berusaha mencelakai menantu dan calon cucunya. Dan benar saja, dikehamilan memasuki usia 7 bulan janin tidak berkembang dengan baik sehingga menyebabkan masalah saat proses persalinan. Dan setelah lahirpun anak tersebut memiliki keterlambatan perkembangan dari anak-anak seumurannya
View MoreSebulan sudah aku sah menjadi seorang istri dari Andi Brian Wardana. Kekasih yang ku pacari selama 6 tahun saat masih duduk bangku Sekolah Menengah Kejuruan Negeri. Saat itu mas Andi sudah duduk dibangku kuliah semester 4.
Setelah menikah kami mengajak ibu mas Andi dan juga adikku untuk tinggal bersama dirumah ini. Menemaniku agar tidak kesepian.
Sebagai pengantin baru aku dan mas Andi tidak menunda untuk segera memiliki momongan. Bahkan mas Andi seakan tidak sabar untuk memiliki bayi. Saran dari teman dan kerabat kami ikuti agar aku bisa segera hamil.
Dan benar, tak lama setelahnya akupun positif hamil.
Saat semua keluarga berkumpul aku dan mas Andi mengumumkan atas kehamilan pertamaku ini. Kebetulan disaat itu kedua orang tuaku datang berkunjung.
Mama dan papa begitu bahagia, bahkan mama sampai menitikkan air mata kebahagiaan. Begitupun Yana, adikku. Tapi hal berbeda terlihat pada ibu mertuaku, beliau hanya diam tanpa terlihat ekspresi bahagia sedikutpun. Entah karena ini bukan hal baru baginya disebabkan dia juga sudah memiliki tiga cucu sebelumnya dari mas Doddy. Atau memang karena dia tidak senang mengetahui kabar bahagia ini. Entahlah...
Ternyata keanehan ibu mertua juga dirasakan oleh mas Andi. "Mama kenapa diam aja? bentar lagi mama jadi nenek lho." tanya mas andi.
"Tanpa Byan hamilpun mama sudah jadi nenek kok." jawabnya ketus. Jantungku serasa berhenti seketika mendengar ucapan dari ibu mertua yang selama ini begitu menyayangiku. Aku begitu tidak percaya akan apa yang aku dengar barusan. Jangankan ikut bahagia, dia terkesan tidak menginginkan aku memiliki anak. Padahal anak ini adalah cucunya, darah daging dari putranya sendiri. Walaupun dia telah memiliki cucu lain sebelumnya. Tapi apakah tidak berharga baginya anak dalam kandunganku ini. Tanpa banyak bicara, dia melangkah pergi meninggalkan kami begitu saja menuju kamarnya. Kenapa dengan ibu mertuaku, padahal yang kulihat dari tadi mereka asik bersenda gurau bersama sebelum mengetahui berita kehamilanku ini.
Tak hanya aku dan mas Andi, kedua orang tua ku cukup di buat heran dengan sikap ibu mertuaku. Padahal selama ini kami tidak melihat gelagat aneh pada dirinya. Atau memang seperti ini lah sifat aslinya yang dia tutupi dengan topeng.
Mas Andipun menyusul ibunya ke kamar untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Tok... Tok... Tok...
Mas andi mengetok pintu kamar dan langsung memasuki kamar tersebut. Akupun sedikit penasaran mengikuti mas Andi dan berusaha mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Ada apa sih ma?" tanya mas andi membuka pembicaraan.
"Kenapa ngak ditunda dulu sih?" mertuaku pun balik mempertanyakan perihal kehamilanku ini.
"Loh mama kok bicara begitu, memangnya mama ngak seneng bakal punya cucu?"
"Bukannya ngak senang, tapi mama ngerasa udah cukup lah 3 cucu. Kenapa harus tambah lagi. Nambah-nambahin biaya aja." ucap mertuaku.
Jujur, aku tidak percaya itu semua terlontar dari mulut seorang ibu. Bisa-bisanya dia berkata seakan-akan dengan kehamilanku ini akan menambah beban untuknya dan mas Andi. Sedangkan selama ini aku dan mas Andi tidak pernah sekalipun membebani dia dengan masalah keuangan maupun tenaga. Semua pengeluaran rumah kami tanggung sendiri dan pekerjaan rumahpun aku kerjakan sendiri tanpa merepotkan dirinya. Bahkan pakaian kotornya pun aku yang cuci dan setrika. Itu semua tidak menjadi masalah bagiku selama ini. Karena aku sudah menganggap beliau seperti ibuku sendiri. Tapi setelah mendengar ucapannya barusan aku menjadi meragukan kebaikannya selama ini. Rasa simpatiku selama ini seketika sirna hilang tak berjejak. Apa dia selama ini hanya bersandiwara?
"Tiga cucu yang mama maksud itu kan anak-anak dari mas Doddy ma. Andi juga pengen punya anak sendiri. Apa salahnya sih ma?"
"Ya ngak ada yang salah, cuma kenapa harus secepat ini? Mama kan jadi malu sama teman-teman mama. Ngak lama lagi acara resepsi pernikahan kalian dirumah keluarga Byan loh. Semua teman-teman mama udah pada tau kalau kalian akan melakukan resepsi kedua secara mewah. Kalau dia hamil gimana coba acara resepsi kalian nantinya."
"Ya ampun ma, acara resepsi kan masih bulan depan. Dan Andi rasa ngak akan jadi masalah, ya walau resepsinya dilakukan secara sederhana seperti resepsi pertama. Cukup dihadiri keluarga besar dan kerabat dekat saja."
"Ya ngak bisa gitu dong nak, mau tarok dimana muka mama dihadapan ibu-ibu komplek kalau tau resepsi kedua kalian hanya sederhana. Mereka tu taunya resepsi yang di adakan orang tua Byan secara besar-besaran dan diadakan di Hotel mewah. Lah kalau cuma acara sederhana mama yang rugi dong. Ngk bakal pulang modal. Kamu ingat ya, mama ngeluarin uang buat acara resepsi kemaren ngk sedikit, jadi mama ngk mau tau, gmn caranya resepsi itu harus terlaksana dan semua amplop dari para tamu bisa mama gunakan membayar semua pengeluaran yang mama gunakan untuk acara kalian kemaren."
"Andi ngak habis pikir dengan jalan pikiran mama. Bisa-bisanya mama kepikiran hal memalukan seperti itu. Ingat ma, keluarga Byan ngk pernah meminta mama mengadakan acara syukuran tersebut. Mama aja yang ngeyel seolah-olah mampu. Lagian habis berapa sih, ketimbang makan-makan untuk puluhan orang. Delapan juta aja ngk nyampe kan ma." mas Andi sudah mulai geram dengan tingkah ibunya.
"Kamu jangan sembarangan. Mama bela-belain pinjam uang di Bank untuk acara kalian tau." tutur mertuaku lagi.
Mas andi begitu kaget dengan penuturan ibunya, karena tidak sekalipun ibunya bercerita perihal hutang tersebut. Saat bertanya masalah biaya syukuran, dia berdalih memiliki uang simpanan dan ditambah dari uang tabungan mas Andi selama bekerja. Tapi kenyataanya tidak sesuai dengan ucapan.
Mas andi semakin dibuat geram dengan jumlah pinjaman tersebut memcapai 100 juta rupiah. Dan dengan jaminan sertifikat rumah peninggalan ayah mas Andi yang diwariskan untuknya.
Dengan frustasi mas Andi mengacak-acak rambut dan wajahnya dengan kasar. Begitu tertekan suamiku akibat tingkah ibunya.
"Andi tidak menyangka, ternyata mama tidak berubah. Mama terlalu mendewakan uang sehingga bisa sedangkal ini dalam mengambil keputusan. Ini rumah peninggalan papa, tanpa pikir panjang menggadaikannya. Lalu jika tidak bisa melunasinya, kita mau tinggal dimana ma? Rumah kita yang satunya lagi kan sudah mama jual untuk bebasin mas Doddy dari penjara."
"Ya kamu dong yang lunasi, mama udah capek kerja untuk kamu sampai kamu sarjana. Masak ketimbang uang 100 juta kamu perhitungan sama mama. Kamu ingat, kalau bukan karena mama kamu ngak akan bisa sekolah tinggi." jelas mertuaku meminta balas budi.
"Dapat uang dari mana Andi ma, mama kan tau sendiri berapa gaji Andi.
"Ya kalau kamu ngak mampu, kamu tinggal minta ke mertuamu. Percuma mertua kaya tapi ngak ada gunanya."
Deg... Satu lagi kebusukan ibu mertuaku terbongkar. Dia tenyata hanya mengincar uang keluargaku. Tapi walau begitu apa pantas dia melakukan semua ini sehingga merencanakan untuk menguasai seluruh amplop berisi uang yang nantinya akan diberikan oleh tamu undangan. Kenapa dia bisa berfikir sedangkal itu. Padahal saat acara pernikahan kami tidak ingin membebani dia dengan acara tersebut. Cukup dilakukan akad nikah dan dua bulan kemudian resepsi dikediaman orangtuaku. Mencocokkan dengan jadwal semua keluarga besar kami yang berada diluar kota. Dan saat itu diputuskanlah acara resepsi pernikahan pada akhir tahun hingga seluruh keluarga bisa menghadirinya. Tapi ibu mertuaku tidak setuju, dia merasa sanggup melakukan resepsi yang terbilang begitu sederhana itu. Malah bisa dikatakan bukan resepsi namanya. Lebih tepatnya hanya syukuran biasa yang kutaksir mungkin hanya menghabiskan biaya kurang dari 10 juta. Hanya sekedar makan bersama tanpa acara lainnya. Tapi dengan angkuh dia mengatakan seakan akan telah menghabiskan biaya ratusan juta untuk acara tersebut. Dan kini ingin meminta kembali atas apa yang telah dia keluarkan. Aneh bin ajaib, tapi itulah yang terjadi. Aku tidak menyangka memiliki ibu mertua Yang begitu sempit jalan pikirannya. Tak adakah sedikit rasa malu yang iya miliki. Mertua yang dulu ku sanjung, karena kasih sayangnya melebih anak kandung ternyata hanya kebohongan belaka. Ada maksud terselubung dibalik semua kebaikan tersebut. Dia tidak lebih dari wanita tua yang gila harta, mengukur segala sesuatunya dari uang yang dimiliki.
Sejak perdebatan dengan mertua tempo hari, dia tidak lagi banyak bicara. Entah takut atau sedang merencanakan hal jahat untuk ku. waktunya lebih banyak dihabiskan dikamar. keluapun jika mulai lapar. tak banyak aktifitas yg iya lakukan jika aku berada dirumah. Hari-harinya dilalui tak tentu arah. Toko buah yang selama ini dia kelola kini sudah di ambil alih oleh mbak elis. Ditambah motor pemberian mas Andi untuknya juga sudah berpindah tangan ke mas doddy.Entah apa yang ada dipikiran wanita paruh baya tersebut. Bisa-bisanya dia seceroboh itu. bahkan demi uang yang menurutku tidak seberapa dia rela melepas tempat selama ini iya memcari nafkah. Dan mbak elis dan mas Doddy juga tidak berperasaan, dengan kejam mengambil alih semua usaha ibu dan mertuanya sendiri hanya karena pinjaman uang ratusan ribu yang iya berikan pada mertua. Padahal selama ini kami begitu banyak berkorban untuknya tidak pernah sedikitpun ingin menguasai apa yang iya miliki. entah dari apa terbuat hati mereka. Dala
Dua hari kembali kerumah ini membuatku semakin tidak betah. Harapan ingin memulai lembaran baru berdua dengan suami sembari menunggu kelahiran buah hati kamipun sirna. Aku tidak hanya dibuat tak nyaman tetapi juga tertekan. Hari-hariku dilalui dengan teriakan, makian hingga sumpah serapah dari ibu suamiku sendiri. Wanita yang sebelumnya sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri disaat jauh dari mama papa, malah menjadi duri dalam daging dirumah tangga anak dan menantunya. Masalah demi masalah selalu ia berikan kepadaku. Terkadang masalah kecil bisa menjadi besar olehnya. Seperti pagi ini, saat aku sedang menjalankan shalat dhuha. Jadi tidak bisa merespont panggilan darinya. Bukannya menungguku sebentar hingga aku selesai menjalankan shalat, dengan kasar ia menarik mukenah yang ku kenakan hingga aku tersungkur. Beruntung aku terhempas di atas matras yang cukup tebal jadi tidak berakibat fatal pada kandunganku. "Dasar budek, dipanggilin dari tadi bukannya nyaut." makinya. "Mama
"Hai... Dari mana aja kamu?" tanya ibu mertua saat aku baru memasuki pekarangan rumah. "Byan dari rumah mbak Tisa." jawabku seadanya. Mbak tisa adalah kakak iparku, istri dari mas Rino kakak lelakiku satu-satunya. Kebetulan beberapa hari ini mbak kami pasti kaan keluar dari siruasi ini pulang kerumah orang tuanya yang berjarak tak jauh dari rumahku. "Enak ya kamu, udah berasa ratu dirumah saya. Pergi ngak pamit, mana lama lagi. Kamu mau saya mati kelaparan apa?" Bentak dengan suara yang semakin meninggi. "Maaf ma, Byan udah pamit sama mas Andi kok ma. Dan mas Andi juga ngizinin". Jawabku lagi"Terus menurut kamu, dengan kamu izin ke anak saya kamu ngk perlu izin ke saya lagi hah? Kamu kira rumah saya hotel bisa keluar masuk sesuka kamu"."Tadi Byan mau pamit ke mama, tapi mama ngk ada. Kata mas Andi mama ke rumah mbak Mirna. Jadi Byan izin ke mas Andi aja"."Emang kamu ngk punya kaki buat susul saya, emang mantu ngk punya otak. Ngk tau diri banget. Udah tinggal gratis diruma
Wanita paruh baya itupun berusaha membujuk mas Andi untuk kembali pulang kerumah. Aku berharap mas Andi tidak luluh begitu saja dengan wajah memelas ibunya. Jika benar itu terjadi, berarti akan membuat rencana kami untuk mengontrak dan memulai hidup baru hanya berdua saja sirna seketika. Bukannya mendendam dan tak peduli dengan keadaan ibunya sendirian dirumah tersebut. Hanya saja aku belum siap untuk kembali hidup bersama dengan ibunya yang jelas-jelas sudah sangat membuatku hilang respek padanya. Tidak ada yang tau, kejadian yang serupa mungkin saja akan terulang kembali. Bahkan bisa saja akan lebih buruk dari pada ini. Begitu kuat keinginan sang ibu membujuk mas andi untuk kembali. Kulihat wajah mas andi semakin ragu. Dia seperti bimbang ingin melangkah. Dan seoertinya benteng pertahanannyapun roboh. "Dek gimana?" tanya mas Andi padaku. Aku hanya diam tak menjawab. Tapi dari sorot mataku sudah cukup mewakili apa yang ada dihati ini. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mas
Kuturuti perintah mas Andi. Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mereka. Ku coba kembali mengetuk pintu tersebut. Nihil, dua hingga tiga kali kuketuk tapi tak kunjung ada respon dari mereka.Ku atur nafas dalam-dalam, ku coba kuasai diri agar tak terpancing emosi.Ku coba ketukan keempat...Tok tok tok... "Mas, mbak ini mas Andi bawain makanan." ucapku lagi dengan menahan kesal. Tak lama dua kamar itupun terbuka secara bersamaan. Tidak terlihat wajah mereka seperti orang yang baru bangun tidur. Kelima orang itu terlihat segar, walau ku tau tidak satupun dari mereka yang sudah mandi. Karena sedari tadi aku diruang tamu tak satu orang pun yang keluar kamar. Aku semakin dibuat geram olehnya. Jadi sedari tadi aku memanggil tak mereka hiraukan bukan karena tertidur. Melainkan pura-pura tidak mendengarkanku.Benar kata mas Andi. Ketikaku mengatakan makanan seketika merekapun keluar dari persembunyiannya dan menyambar makanan yang dibawakan mas Andi. Tanpa menunggu mas Andi terlebih dahu
"Assalammu'alaikum." akhirnya mas Andipun pulang."Waalaikumsalam" aku menyambut kedatangan mas Andi. "Udah pulang mas?" tanyaku. Aku berusaha bersikap sewajarnya. Saat ini aku tidak mau mas Andi mengetahui sebenarnya bahwa dalang dari kekacauan dikehidupan kami adalah kakak dan iparnya sendiri. Yang ada nanti semuanya runyam dan mas andi tidak bisa berfikir jernih."Maaf ya dek, mas lama. Mas udah keliling ngak nemu yang jualan. Ini aja mas kepasar kampung di ujung sana. Kebetulan hari ini pasarnya dek.""Oh jadi pasarnya ngak tiap hari mas?" tanyaku."Disini biasanya tiap pekan aja dek. Ngak setiap hari seperti di tempat kita." jelas mas Andi. Aku hanya manggut-manggut.Tak lama dari kedatangan mas Andi, suami istri itupun keluar dari kamarnya. Ya bagus lah mereka keluar sendiri. Aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Melihat wajah tanpa berdosa mereka aku semakin kesal di buatnya. Tapi aku harus sabar dan main cantik. Karena menghadapi manusia licik seperti mereka ngak bisa gegabah.
Hampir satu jam lebih kami mengemasi barang-barang. Setelah semua selesai kamipun menaiki mobil keluar fmdari oekarangan rumah. Ada rasa sedih dan sedikit lega karena bisa terlepas dari mertua gila harta seperti ibu mas Andi. Baru beberapa menit kami keluar dari rumah tersebut, tiba-tiba dari arah belakang datang motor berusaha menyalip dan memberhentikan mobil kami. Ternyata itu adalah mas Doddy. Entah apa yang dia inginkan. Karena sedari tadi saat perdebatan terjadi dia tidak bereaksi sedikitpun untuk menjadi penengah. Kini mengapa dia menyusul kami. Pikirku dalam hari. "Ada apa mas?" tanya mas Andi malas"Kalian mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. Aku rasa hanya sekedar basa-basi belaka. "Belum tau mas, mungkin malam ini kami akan tidur di mobil. Baru besok cari kontrakan." jawab mas Andi seadanya. "Kenapa ngak kerumah mas aja?" ajaknya"Ngak usah mas, ngerepoton. Kami biar dimobil aja." tolakku halus. "Ngak papa, mending kerumah mas aja. Kasihan kamu hamil mal
Sudah sebulan lebih ibu mertua tinggal dirumah mas Doddy. Tidak ada kabar berita darinya. Sesekali aku berusaha menghubungi. Tapi tanggapan kurang menyenangkan yang selalu ku terima. Akhirnya akupun mulai biasa akan kepergian ibu mertuaku.Tapi suatu pagi saat aku membersihkan pekarangan rumah, tiba-tiba beliau datang dan langsung memasuki rumah. Aku pun mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Tanpa basa basi dan tanpa rasa bersalah dia menanyakan perihal hutang yg dia miliki di Bank. "Gimana, sudah kalian selesaikan belum semua hutang-hutang di bank?" tanyanya santai"Belum ma". Jawabku singkat"Kenapa tidak dibayarkan aja sih, ketimbang uang segitu aja susah banget ngeluarin." omelnya"Mereka meminta melunasi hutang yang menunggak selama 3 bulan beserta bunganya. Sedangkan kami baru bisa membayar selama 2 bulan saja." Jelasku"Gimana sich kamu, ngk becus banget jadi istri. Ngk ikhlas ya uang anak saya di pake buat bayar bank?""Bukannya gitu ma, tapi kan hutang mama di bank n
Disaat semua keluarga berbincang-bincang aku mengajak mas Andi ketaman belakang, tentunya untuk meminta penjelasan atas semua yang tidak ku ketahui selama ini. Jujur, aku kecewa karena mas Andi menyembunyikan ini semua dariku dan entah apalagi yang ia sembunyikan. "Mas, apa maksudnya ini? Apa mas tidak menganggap aku, sehingga menyembunyikan ini semua dariku. Mas tidak sekalipun pernah bercerita tentang ini semua sebelumnya. Yang ku ketahui hanya adik mas, lalu ini apa mas?" cecarku Mas Andi sedikit mengambil nafas dan mulai bercerita keadaan yang sebenarnya. "Maafkan mas dek, mas bukannya tidak jujur sama kamu. Tapi menurut mas bukan hal yang penting untuk kamu ketehui. "Tidak penting gimana mas, mas anggap aku ngak sih selama ini?" ujarku kesar. Betepa tidak, dihari yang aku pikir menjadi hari bahagia kami mas Andi memiliki rahasia yang dia sembunyikan dariku selama ini. "Bukan begitu dek, mas hanya tidak ingin mendekatkanmu dengan mereka. Mas merasa lebih baik kamu tidak mengen
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments