Setelah pertemuan dengan pimpinan Bank dimana mertuaku berhutang, mas Andi berusaha mencari pinjaman kesana kemari untuk melunasi tunggakan kepada bank. Sedangkan gaji mas Andi sebagian dibawa ibu dan uang simpananku sudah terpakai untuk keperluan sehari-hari karena ibu selalu memeras jerih keringat anaknya dengan dalih balas budi telah melahirkan, membesarkan serta menyekolahkannya.
Lucu bukan, disaat orang tua lain ingin kebahagiaan untuk anaknya walau sudah berumah tangga. Dia malah meminta balas jasa terhadap apa yang telah ia berikan. Bahkan ia merasa dia yang lebih berkmhak atas semua itu dari pada aku yang merupakan istri mas Andi.
Sebenarnya aku bisa saja kembali bekerja seperti dulu. Bahkan aku yakin papapun tidak akan keberatan untuk memodaliku membuka usaha dengan skill yang aku miliki. Saat lulus sekolah aku sudah bekerja, dan saat kuliahpun aku isi waktu luangku bekerja di salah satu salon milik dosenku. Bahkan aku juga memegang kendali disalon yang dikelola kampus. Semua rutinitasku tidakku buang sia-sia dengan hal yang tidak bermanfaat. Aku kelola menegement waktuku dengan sangat baik.
Dengan keuangan keluargaku tidak serta-merta membuatku jumawa dan menghambur-hamburkan uang begitu saja. Karena dari kecil papa dan mama sudah mengajarkanku bagaimana susahnya mencari uang.
Sewaktu duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah belajar berdagang dengan berjualan makanan ringan dan sarapan yang mama buat. Awalnya hanya iseng untuk berbagi kepada tenan-teman dan guru-guru saja. Tetapi ternyata respon mereka sangat baik. Dari guru-guru dan teman-teman sekelas lah mulai ada pesanan. Dan dilanjutkan ke para wali murid dan warga sekitar sekolahku.
Semua makanan yang dibuat mama selalu habis terjual. Bahkan aku menularkan jiwa bisnisku kepada adikku yang saat itu duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar dan aku duduk dikelas 5.
Semua kami jalani dengan semangat. Selain semangat kami yang tinggi, dan juga support keluarga semakin menumbuhkan sifat mandiri pada kami, termasuk kakak lelakiku mas Rino. Kami dibesarkan dari darah prajurit, tegas tapi tetap lembut terhadap keluarga. Saling menyayangi satu sama lain.
Berbeda dengan mas Andi yang tumbuh tanpa ayah dan kasih sayang ibu. Bahkan dia tidak memiliki kedekatan terhadap kakaknya sendiri.
Tapi aku bersyukur mas Andi tidak mengikuti sifat angkuh dan congkak ibu dan kakaknya. Yang kuketahui selama ini mas Andi begitu penyayang kepadaku dan sopan terhadap kedua orang tuaku. Itulah yang membuatku masih bertahan hingga saat ini, walau setelah mwnikah dengannya begitu banyak cobaan yang aku alami. Dan kehidupan kami terbilang sederhana, berbeda saat aku masih bersama keluargaku. Tapi semua aku jalani dengan ikhas selama mas Andi tidak berubah dan tetap menjadi lelaki bertanggung jawab.
Dua minggu setelah pertemuan dengan pihak bank, mas andi belum juga mendapatkan pinjaman. Baik kepada teman maupun keluarga semua nihil. Dengan putus asa mas andi menghempaskan tubuhnya disofa. Pandangannya kosong. Terlihat begitu berat beban yang iya terima. Bagaimana tidak. Hutang yang sama sekali tidak ia nikmati dan kini harus menanggung itu semua. Belum lagi memikirkan keuangan kamo yang tidak stabil setelah ibu menguasai gajinya. Dan keadaanku yang saat ini sedang hamil. Bertapa kalutnya mas andi saat ini.
"Mas, bagaimana kalau kita minta bantuan papa atau mas Rino?" usulku. Terlihat wajah kaget dari mas Andi. Ya mas Andi selama ini selalu merasa tidak enak hati saat papa dan mas Rino selalu mengirimiku uang. Bukannya tidak bersyukur, tetapi mas Andi merasa tak enak karena belum bisa membahagiakanku secara finansial. Dan malah merepotkanertua untuk masalah keuangan keluarganya. Ditambah lagi dengan masalah hutang ini, pasti mas Andi semakin berkecil hati. Merasa aku dan keluargaku merendahkan harga dirinya.
"Kamu jangan bercanda dek, mau tarok dimana muka dihadapan papa dan mas Rino." ucapnya menolak.
"Mas jangan salah paham dulu, aku ngk bermaksud merendahkan harga diri mas didepan papa dan mas Rino. Aku hanya ingin meringankan beban pikiran mas. Toh aku meminta tolong bukan pada orang lain melainkan kepada orang tuaku sendiri. Dan aku yakin papa dan mas Rino ngk akan keberatan."
"Tapi dek... " belum sempat mas Andi memyelesaikan ucapannya segera kusanggah dengan penuh emosi.
"Udah lah mas, mau sampai kapan kamu pertahankan egomu demi harga dirimu ini. Aku bukan bermaksud merendahkan mu mas, tapi kamu harus tau!!! Kekuargaku bukan seperti keluargamu yang meminta balasan akan kebaikannya." sengaja kutekankan kata kekuarganya agar dia tau betapa marahny aku melihat keegoisannya ksli ini. Di seakan-akan menyamaratakan sifat keluarganya dengan keluargaku.
"Ya sudah, terserah kamu. Aku capek..!!!" akupun berlalu meninggalkannya begitu saja menuju kamar. Rasanya percuma berdebat dengan orang yang keras kepala seperti mas Andi. Yang ada semakin tambah masalah dan aku makin dibuat pusing nantinya. Ku percayakan saja padanya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Lama mas Andi duduk disofa, tanpa beranjak sedikitpun. Pandangannya jauh keluar jendela. Mungkin menelaah setiap ucapan yang kulontarkan tadi.
Setelah beberapa saat diapun masuk kedalam kamar menemuiku. "dek, maafkan mas." ucapnya lirih
"Maaf untuk apa, toh mas kan bisa menyelesaikan masalah mas sendiri." ucapku ketus
"Mas ngak bermaksud meragukan kebaikanmu dan keluargamu. Mas cuma ngk mau menjadi beban untuk mereka karena masalah ini. Mas merasa belum bisa jadi suami dan menantu yang baik. Dan sekarang mas malah ikut membebani mereka. Itu yang mas takutkan." jelasnya lagi.
"Terus sekarang mas maunya gimana? Udah ada jalan keluar atau ikuti saranku meminta pertolongan ke papa dan mas Rino?" tanyaku tegas.
"Mas belum ada jalan keluar lain, semua teman dan keluarga ngak bisa bantu. Mas sekarang buntu dek. Mau ngk mau mas ikuti usulan kamu." walau dengan berat hati mas Andi menerina tawaranku tadi.
"ya udah aku coba hubungi papa dan mas Rino dulu.
"Tapi jangan banyak-banyak ya dek, cukup untuk tunggakan dua bulan ini aja. Selebihnya bisa kita angsur dengan gaji mas bulan depan." pintanya yang masih terligat gelisah tak enak hati.
Akukun mengangguk mengiyakan ucapnnya.
Akupun menghubungi papa dan mas rino bergantian. Dan menjelaskan semua yang terjadi. Merekaoun memaklumi dan bersedia membantu kami.
Ada rasa lega terpancar di wajah suamiku, walau sedikit rasa kekuatiran masih terlihat jelas di raut mukanya karena rasa rendah diri tadi. Tapi aku terus meyakininya bahwa papa akan memahami dan mengerti situasi yang kami alamai saat ini.
Tak lama setelah sambungan telpon terputus, terdengar notifikasi transferan dilayar telpon genggam suamiku. Wajahnya membulat melihat jumlah uang yang dikirimkan papa dan mas Rino. Jauh melebihi jumlah yang kami minta.
"Dek ini kok sebanyak ini?" Tanya suamiku kaget.
"Mas kan tadi sudah pesankan untuk meminjam seperlunya. Kalau segini giman mas gantinya sayang." kembali terlihat kekuatiran diwajahnya.
"Ya ampun mas, ngk usah segitunya lh mas. Aku kan mintanya sesuai mas bilang tadi. Ya klo papa kasih lebih anggap aja jajan buat aku sama calon cucunya. Lagian kamu aneh deh,,, harusnya bersyukur papa masih perhatian ke kita. Kan lumayan uangnya mas bisa nutupi hutang beberapa bulan. Jadi kita ngk musti kocar kacir cari pinjaman lagi 5 bulan kedepan. Kita bisa fokus ke kandunganku kan mas. Terangku meyakinkan mas Andi. Diapun manggut-manggut mengiyakan.
"Lagian ni ya mas, mana mungkin papa sama mas Rino tega ngeliat kita susah. Klo mereka cuma kasih uang sesuai yang kita butuhkan pasti kita nanti kembali kocar-kacir untuk kebutuhan rumah. Mana tega lah mereka mas..." jelasku.
"Iya juga ya dek, tapi mas masih ngerasa ngk enak loh dek."
"Udah ngk papa mas, anggap aja kita pinjam uang ke papa. Kalau mas ada rezeki lebih jangan lupa siapa yang ada dibelajang kita saat kita kesusahan seperti ini."
"Iya dek... Mas ngak akan pernah lupa akan pertolongan papa dan mas Rino."
Kembali ke 12 tahun silam, saat aku pertama kali berkenalan degan mas andi.Perkenalan itupun membuat kami semakin dekat. Walau saat itu kami terhalang jarak, tapi komunikasi yg intens tidak serta merta juga ikut memberi jarak perasaanku dan dia. Karena saat lulus SMA aku mendapatkan pekerjaan di salah satu klinik kecantikan di kota B dan Mas Andi sedang berkuliah di kota yang berbeda. Saat libur kuliah, Mas Andi selalu menyempatkan untuk berkunjung ke tempatku yang berjarak 4 jam perjalanan dari kota dimana dia menempuh pendidikan. Sekedar melepas rindu untuk saling bertemu, makan bersama dan sesekali pulang kekota tempat tinggal kami berbarengan.Tidak seperti biasanya, saat libur kuliah mas Andi selalu mengajakku kelokasi wisata yang ada dikota kami dan dilanjutkan makan malam diluar. Tapi liburannya kali ini, malah mengajakku untuk menemui ibunya. Jujur ada rasa gelisah yang tidak bisa aku sembunyikan. Entah mengapa ada sedikit ketakutan bertemu dengannya, bagaimana jika beli
Disaat semua keluarga berbincang-bincang aku mengajak mas Andi ketaman belakang, tentunya untuk meminta penjelasan atas semua yang tidak ku ketahui selama ini. Jujur, aku kecewa karena mas Andi menyembunyikan ini semua dariku dan entah apalagi yang ia sembunyikan. "Mas, apa maksudnya ini? Apa mas tidak menganggap aku, sehingga menyembunyikan ini semua dariku. Mas tidak sekalipun pernah bercerita tentang ini semua sebelumnya. Yang ku ketahui hanya adik mas, lalu ini apa mas?" cecarku Mas Andi sedikit mengambil nafas dan mulai bercerita keadaan yang sebenarnya. "Maafkan mas dek, mas bukannya tidak jujur sama kamu. Tapi menurut mas bukan hal yang penting untuk kamu ketehui. "Tidak penting gimana mas, mas anggap aku ngak sih selama ini?" ujarku kesar. Betepa tidak, dihari yang aku pikir menjadi hari bahagia kami mas Andi memiliki rahasia yang dia sembunyikan dariku selama ini. "Bukan begitu dek, mas hanya tidak ingin mendekatkanmu dengan mereka. Mas merasa lebih baik kamu tidak mengen
Sudah sebulan lebih ibu mertua tinggal dirumah mas Doddy. Tidak ada kabar berita darinya. Sesekali aku berusaha menghubungi. Tapi tanggapan kurang menyenangkan yang selalu ku terima. Akhirnya akupun mulai biasa akan kepergian ibu mertuaku.Tapi suatu pagi saat aku membersihkan pekarangan rumah, tiba-tiba beliau datang dan langsung memasuki rumah. Aku pun mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Tanpa basa basi dan tanpa rasa bersalah dia menanyakan perihal hutang yg dia miliki di Bank. "Gimana, sudah kalian selesaikan belum semua hutang-hutang di bank?" tanyanya santai"Belum ma". Jawabku singkat"Kenapa tidak dibayarkan aja sih, ketimbang uang segitu aja susah banget ngeluarin." omelnya"Mereka meminta melunasi hutang yang menunggak selama 3 bulan beserta bunganya. Sedangkan kami baru bisa membayar selama 2 bulan saja." Jelasku"Gimana sich kamu, ngk becus banget jadi istri. Ngk ikhlas ya uang anak saya di pake buat bayar bank?""Bukannya gitu ma, tapi kan hutang mama di bank n
Hampir satu jam lebih kami mengemasi barang-barang. Setelah semua selesai kamipun menaiki mobil keluar fmdari oekarangan rumah. Ada rasa sedih dan sedikit lega karena bisa terlepas dari mertua gila harta seperti ibu mas Andi. Baru beberapa menit kami keluar dari rumah tersebut, tiba-tiba dari arah belakang datang motor berusaha menyalip dan memberhentikan mobil kami. Ternyata itu adalah mas Doddy. Entah apa yang dia inginkan. Karena sedari tadi saat perdebatan terjadi dia tidak bereaksi sedikitpun untuk menjadi penengah. Kini mengapa dia menyusul kami. Pikirku dalam hari. "Ada apa mas?" tanya mas Andi malas"Kalian mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. Aku rasa hanya sekedar basa-basi belaka. "Belum tau mas, mungkin malam ini kami akan tidur di mobil. Baru besok cari kontrakan." jawab mas Andi seadanya. "Kenapa ngak kerumah mas aja?" ajaknya"Ngak usah mas, ngerepoton. Kami biar dimobil aja." tolakku halus. "Ngak papa, mending kerumah mas aja. Kasihan kamu hamil mal
"Assalammu'alaikum." akhirnya mas Andipun pulang."Waalaikumsalam" aku menyambut kedatangan mas Andi. "Udah pulang mas?" tanyaku. Aku berusaha bersikap sewajarnya. Saat ini aku tidak mau mas Andi mengetahui sebenarnya bahwa dalang dari kekacauan dikehidupan kami adalah kakak dan iparnya sendiri. Yang ada nanti semuanya runyam dan mas andi tidak bisa berfikir jernih."Maaf ya dek, mas lama. Mas udah keliling ngak nemu yang jualan. Ini aja mas kepasar kampung di ujung sana. Kebetulan hari ini pasarnya dek.""Oh jadi pasarnya ngak tiap hari mas?" tanyaku."Disini biasanya tiap pekan aja dek. Ngak setiap hari seperti di tempat kita." jelas mas Andi. Aku hanya manggut-manggut.Tak lama dari kedatangan mas Andi, suami istri itupun keluar dari kamarnya. Ya bagus lah mereka keluar sendiri. Aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Melihat wajah tanpa berdosa mereka aku semakin kesal di buatnya. Tapi aku harus sabar dan main cantik. Karena menghadapi manusia licik seperti mereka ngak bisa gegabah.
Kuturuti perintah mas Andi. Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mereka. Ku coba kembali mengetuk pintu tersebut. Nihil, dua hingga tiga kali kuketuk tapi tak kunjung ada respon dari mereka.Ku atur nafas dalam-dalam, ku coba kuasai diri agar tak terpancing emosi.Ku coba ketukan keempat...Tok tok tok... "Mas, mbak ini mas Andi bawain makanan." ucapku lagi dengan menahan kesal. Tak lama dua kamar itupun terbuka secara bersamaan. Tidak terlihat wajah mereka seperti orang yang baru bangun tidur. Kelima orang itu terlihat segar, walau ku tau tidak satupun dari mereka yang sudah mandi. Karena sedari tadi aku diruang tamu tak satu orang pun yang keluar kamar. Aku semakin dibuat geram olehnya. Jadi sedari tadi aku memanggil tak mereka hiraukan bukan karena tertidur. Melainkan pura-pura tidak mendengarkanku.Benar kata mas Andi. Ketikaku mengatakan makanan seketika merekapun keluar dari persembunyiannya dan menyambar makanan yang dibawakan mas Andi. Tanpa menunggu mas Andi terlebih dahu
Wanita paruh baya itupun berusaha membujuk mas Andi untuk kembali pulang kerumah. Aku berharap mas Andi tidak luluh begitu saja dengan wajah memelas ibunya. Jika benar itu terjadi, berarti akan membuat rencana kami untuk mengontrak dan memulai hidup baru hanya berdua saja sirna seketika. Bukannya mendendam dan tak peduli dengan keadaan ibunya sendirian dirumah tersebut. Hanya saja aku belum siap untuk kembali hidup bersama dengan ibunya yang jelas-jelas sudah sangat membuatku hilang respek padanya. Tidak ada yang tau, kejadian yang serupa mungkin saja akan terulang kembali. Bahkan bisa saja akan lebih buruk dari pada ini. Begitu kuat keinginan sang ibu membujuk mas andi untuk kembali. Kulihat wajah mas andi semakin ragu. Dia seperti bimbang ingin melangkah. Dan seoertinya benteng pertahanannyapun roboh. "Dek gimana?" tanya mas Andi padaku. Aku hanya diam tak menjawab. Tapi dari sorot mataku sudah cukup mewakili apa yang ada dihati ini. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mas
"Hai... Dari mana aja kamu?" tanya ibu mertua saat aku baru memasuki pekarangan rumah. "Byan dari rumah mbak Tisa." jawabku seadanya. Mbak tisa adalah kakak iparku, istri dari mas Rino kakak lelakiku satu-satunya. Kebetulan beberapa hari ini mbak kami pasti kaan keluar dari siruasi ini pulang kerumah orang tuanya yang berjarak tak jauh dari rumahku. "Enak ya kamu, udah berasa ratu dirumah saya. Pergi ngak pamit, mana lama lagi. Kamu mau saya mati kelaparan apa?" Bentak dengan suara yang semakin meninggi. "Maaf ma, Byan udah pamit sama mas Andi kok ma. Dan mas Andi juga ngizinin". Jawabku lagi"Terus menurut kamu, dengan kamu izin ke anak saya kamu ngk perlu izin ke saya lagi hah? Kamu kira rumah saya hotel bisa keluar masuk sesuka kamu"."Tadi Byan mau pamit ke mama, tapi mama ngk ada. Kata mas Andi mama ke rumah mbak Mirna. Jadi Byan izin ke mas Andi aja"."Emang kamu ngk punya kaki buat susul saya, emang mantu ngk punya otak. Ngk tau diri banget. Udah tinggal gratis diruma