Kembali ke 12 tahun silam, saat aku pertama kali berkenalan degan mas andi.
Perkenalan itupun membuat kami semakin dekat. Walau saat itu kami terhalang jarak, tapi komunikasi yg intens tidak serta merta juga ikut memberi jarak perasaanku dan dia. Karena saat lulus SMA aku mendapatkan pekerjaan di salah satu klinik kecantikan di kota B dan Mas Andi sedang berkuliah di kota yang berbeda.
Saat libur kuliah, Mas Andi selalu menyempatkan untuk berkunjung ke tempatku yang berjarak 4 jam perjalanan dari kota dimana dia menempuh pendidikan. Sekedar melepas rindu untuk saling bertemu, makan bersama dan sesekali pulang kekota tempat tinggal kami berbarengan.
Tidak seperti biasanya, saat libur kuliah mas Andi selalu mengajakku kelokasi wisata yang ada dikota kami dan dilanjutkan makan malam diluar. Tapi liburannya kali ini, malah mengajakku untuk menemui ibunya. Jujur ada rasa gelisah yang tidak bisa aku sembunyikan. Entah mengapa ada sedikit ketakutan bertemu dengannya, bagaimana jika beliau nantinya tak menyukaiku dan tak merestui hubungan kami kedepannya. Entahlah...
Otakku berfikir keras bagaimana nanti aku akan bersikap saat bertemu dengan ibunya. Melihat kegelisahanku yang tidak mendasar itu, mas Andi meyakinkan. "Jangan kawatir, mama pasti menyukaimu, mas yakin". Diapun menggenggam tanganku erat seakan memberikan kekuatan agar aku percaya padanya.
Jarak antara rumahku dan rumah mas Andi cukup dekat, masih disatu kelurahan. Sesampainya dihalaman rumah, Mas Andi pun memarkirkan motornya dan mengajakku masuk untuk bertemu orang tuanya.
"Assalammu'alaikum". Ucap kami berbarengan.
"Waalaikumsalam". Terdengar jawaban dari dalam dan aku yakini itu suara ibunya mas Andi. Benar, tak lama keluar seorang wanita paruh baya dan pria yang terlihat lebih muda dari ibunya. Ya, pria itu adalah ayah sambung mas Andi. Dan yang ku dengar dari mas Andi usia mereka terpaut cukup jauh. Dengan senyum ramah mereka menghampiri kami dan mempersilahkan masuk.
Ketegangan yang tadinya aku rasakan seketika sirna melihat respon awal ibu mas Andi akan kedatangan kami. Mas andi pun memperkenalkanku. "Ma, om, kenalin ini Byan, teman Andi". Walau sudah bertahun-tahun menikah dgn ibunya, entah kenapa mas Andi seperti enggan memanggil beliau papa, dia lebih nyaman dengan panggilan om terhadap ayah sambungnya tersebut.
"Byan tante, om". Ucapku memperkenalkan diri sambil mencium tangan ibu dan ayah sambung mas Andi.
"Hmmm... Teman apa pacar?". Godanya
"Hehee... Sebenarnya pacar sich ma". Balas mas Andi lagi.
"Kamu ini, jadi laki-laki kok malu-malu begitu. Santai aja, mama ngak papa kok kalau kamu udah punya pacar. Mana cantik, putih lagi. Ya bisa merubah keturunanlah nantinya. Emang kamu, udah dekil, hitam lagi. Mama aja heran kok mau Byan yang cantik ini sama kamu".
"Mama anak sendiri malah di bully". Aku disini hanya menonton perdebatan ibu dan anak tersebut.
Cukup lama kami bercerita, dari masa kecil mas Andi hingga kehidupan ibunya setelah ditinggal untuk selamanya oleh ayah kandung mas Andi karena kecelakaan lalu lintas disaat mas Andi masih duduk dikelas 3 Sekolah Dasar. Bahkan ternyata ayah sambung mas Andi adalah teman Papaku. Akupun baru tau karena kami banyak mengobrol tadi. Keasyikan mengobrol hingga lupa waktu, tidak terasa hari sudah semakin sore, akupun berpamitan untuk pulang. Dan tentunya diantar oleh mas Andi.
Kesan pertama yg aku dapatkan pada pertemuan pertama kami sangat baik, ibu dan om Toni begitu baik dan ramah. Tidak jarang dikala aku libur kerja beliau sering berkunjung dan sesekali mengirimi buah-buahan dan makanan kesukaanku dengan ojek pangkalan yang sering mangkal di seberang toko buah miliknya.
Satu tahun kemudian, akupun memutuskan resign dari pekerjaanku untuk melanjutkan Pendidikan di Universitas Negeri dikota yang sama dimana Mas Andi berkuliah. Bahkan Universitas kami berjarak tidak terlalu jauh. Dan kamipun semakin sering bertemu sekedar sarapan, makan siang ataupun sebatas menjemputku dari kampus. Walau sering bertemu tidak mengganggu keseriusan ku untuk menuntut ilmu. Aku tetap fokus dengan kuliah. Terbukti dengan Indeks Prestasiku yang selalu di atas 3.8 bahkan dibeberapa semester aku mendapatkan IPK sempurna, yaitu 4.
Dan aku dinyatakan lulus ditahun yang sama dengan mas Andi. Ya, aku menyelesaikan Pendidikan S1 hanya selama 3 tahun dengan Predikat cumload. Dan menjadi Wisudawan terbaik di jurusanku.
Setelah wisuda Mas Andi mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan Consultan Engeenering, kamipun kembali di pisahkan jarak karena aku memutuskan kembali ke kota kelahiranku menyusul kedua orangtuaku yang telah lebih dulu pindah kesana. Jadi selama aku dan adikku berkuliah kami mengekos dan sesekali saat libur kuliah kami pulang mengunjungi mereka.
Sekian tahun menjalani hubungan jarak jauh. Ditahun ke enam hubungan kami, mas Andi pun memberanikan diri untuk melamarku. Tentu tidak terlepas dari dorongan sang ibu.
Setelah menentukan waktu yang tepat, mas Andi dan keluarga besarnya datang melamar. Satu persatu keluarga diperkenalkan. Ada beberapa bibi dan paman mas Andi serta kakak lelaki dan iparnya bersama keponakan mas Andi. Itu sedikit membuatku dan keluarga kaget. Bertahun-tahun berhubungan dengannya aku baru mengetahui ternyata mas Andi memiliki saudara lelaki berbeda ayah. Dan keponakannya tersebut sudah remaja bahkan yang tertua seumuran denganku.
Sekian tahun berhubungan, Mas Andi tidak pernah sekalipun menceritakan keberadaan mereka semua. Yang ku ketahui selama ini mas Andi anak tunggal setelah adiknya meninggal satu bulan sebelum ayah kandung mas Andi kecelakaan. Dan yang lebih anehnya lagi disaat aku mengetahui mas Andi memiliki saudara tiri. Aku kembali bertanya-tanya dimana keberadaan om Toni, ayah sambung Mas Andi.
Disaat semua keluarga berbincang-bincang aku mengajak mas Andi ketaman belakang, tentunya untuk meminta penjelasan atas semua yang tidak ku ketahui selama ini. Jujur, aku kecewa karena mas Andi menyembunyikan ini semua dariku dan entah apalagi yang ia sembunyikan. "Mas, apa maksudnya ini? Apa mas tidak menganggap aku, sehingga menyembunyikan ini semua dariku. Mas tidak sekalipun pernah bercerita tentang ini semua sebelumnya. Yang ku ketahui hanya adik mas, lalu ini apa mas?" cecarku Mas Andi sedikit mengambil nafas dan mulai bercerita keadaan yang sebenarnya. "Maafkan mas dek, mas bukannya tidak jujur sama kamu. Tapi menurut mas bukan hal yang penting untuk kamu ketehui. "Tidak penting gimana mas, mas anggap aku ngak sih selama ini?" ujarku kesar. Betepa tidak, dihari yang aku pikir menjadi hari bahagia kami mas Andi memiliki rahasia yang dia sembunyikan dariku selama ini. "Bukan begitu dek, mas hanya tidak ingin mendekatkanmu dengan mereka. Mas merasa lebih baik kamu tidak mengen
Sudah sebulan lebih ibu mertua tinggal dirumah mas Doddy. Tidak ada kabar berita darinya. Sesekali aku berusaha menghubungi. Tapi tanggapan kurang menyenangkan yang selalu ku terima. Akhirnya akupun mulai biasa akan kepergian ibu mertuaku.Tapi suatu pagi saat aku membersihkan pekarangan rumah, tiba-tiba beliau datang dan langsung memasuki rumah. Aku pun mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Tanpa basa basi dan tanpa rasa bersalah dia menanyakan perihal hutang yg dia miliki di Bank. "Gimana, sudah kalian selesaikan belum semua hutang-hutang di bank?" tanyanya santai"Belum ma". Jawabku singkat"Kenapa tidak dibayarkan aja sih, ketimbang uang segitu aja susah banget ngeluarin." omelnya"Mereka meminta melunasi hutang yang menunggak selama 3 bulan beserta bunganya. Sedangkan kami baru bisa membayar selama 2 bulan saja." Jelasku"Gimana sich kamu, ngk becus banget jadi istri. Ngk ikhlas ya uang anak saya di pake buat bayar bank?""Bukannya gitu ma, tapi kan hutang mama di bank n
Hampir satu jam lebih kami mengemasi barang-barang. Setelah semua selesai kamipun menaiki mobil keluar fmdari oekarangan rumah. Ada rasa sedih dan sedikit lega karena bisa terlepas dari mertua gila harta seperti ibu mas Andi. Baru beberapa menit kami keluar dari rumah tersebut, tiba-tiba dari arah belakang datang motor berusaha menyalip dan memberhentikan mobil kami. Ternyata itu adalah mas Doddy. Entah apa yang dia inginkan. Karena sedari tadi saat perdebatan terjadi dia tidak bereaksi sedikitpun untuk menjadi penengah. Kini mengapa dia menyusul kami. Pikirku dalam hari. "Ada apa mas?" tanya mas Andi malas"Kalian mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. Aku rasa hanya sekedar basa-basi belaka. "Belum tau mas, mungkin malam ini kami akan tidur di mobil. Baru besok cari kontrakan." jawab mas Andi seadanya. "Kenapa ngak kerumah mas aja?" ajaknya"Ngak usah mas, ngerepoton. Kami biar dimobil aja." tolakku halus. "Ngak papa, mending kerumah mas aja. Kasihan kamu hamil mal
"Assalammu'alaikum." akhirnya mas Andipun pulang."Waalaikumsalam" aku menyambut kedatangan mas Andi. "Udah pulang mas?" tanyaku. Aku berusaha bersikap sewajarnya. Saat ini aku tidak mau mas Andi mengetahui sebenarnya bahwa dalang dari kekacauan dikehidupan kami adalah kakak dan iparnya sendiri. Yang ada nanti semuanya runyam dan mas andi tidak bisa berfikir jernih."Maaf ya dek, mas lama. Mas udah keliling ngak nemu yang jualan. Ini aja mas kepasar kampung di ujung sana. Kebetulan hari ini pasarnya dek.""Oh jadi pasarnya ngak tiap hari mas?" tanyaku."Disini biasanya tiap pekan aja dek. Ngak setiap hari seperti di tempat kita." jelas mas Andi. Aku hanya manggut-manggut.Tak lama dari kedatangan mas Andi, suami istri itupun keluar dari kamarnya. Ya bagus lah mereka keluar sendiri. Aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Melihat wajah tanpa berdosa mereka aku semakin kesal di buatnya. Tapi aku harus sabar dan main cantik. Karena menghadapi manusia licik seperti mereka ngak bisa gegabah.
Kuturuti perintah mas Andi. Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mereka. Ku coba kembali mengetuk pintu tersebut. Nihil, dua hingga tiga kali kuketuk tapi tak kunjung ada respon dari mereka.Ku atur nafas dalam-dalam, ku coba kuasai diri agar tak terpancing emosi.Ku coba ketukan keempat...Tok tok tok... "Mas, mbak ini mas Andi bawain makanan." ucapku lagi dengan menahan kesal. Tak lama dua kamar itupun terbuka secara bersamaan. Tidak terlihat wajah mereka seperti orang yang baru bangun tidur. Kelima orang itu terlihat segar, walau ku tau tidak satupun dari mereka yang sudah mandi. Karena sedari tadi aku diruang tamu tak satu orang pun yang keluar kamar. Aku semakin dibuat geram olehnya. Jadi sedari tadi aku memanggil tak mereka hiraukan bukan karena tertidur. Melainkan pura-pura tidak mendengarkanku.Benar kata mas Andi. Ketikaku mengatakan makanan seketika merekapun keluar dari persembunyiannya dan menyambar makanan yang dibawakan mas Andi. Tanpa menunggu mas Andi terlebih dahu
Wanita paruh baya itupun berusaha membujuk mas Andi untuk kembali pulang kerumah. Aku berharap mas Andi tidak luluh begitu saja dengan wajah memelas ibunya. Jika benar itu terjadi, berarti akan membuat rencana kami untuk mengontrak dan memulai hidup baru hanya berdua saja sirna seketika. Bukannya mendendam dan tak peduli dengan keadaan ibunya sendirian dirumah tersebut. Hanya saja aku belum siap untuk kembali hidup bersama dengan ibunya yang jelas-jelas sudah sangat membuatku hilang respek padanya. Tidak ada yang tau, kejadian yang serupa mungkin saja akan terulang kembali. Bahkan bisa saja akan lebih buruk dari pada ini. Begitu kuat keinginan sang ibu membujuk mas andi untuk kembali. Kulihat wajah mas andi semakin ragu. Dia seperti bimbang ingin melangkah. Dan seoertinya benteng pertahanannyapun roboh. "Dek gimana?" tanya mas Andi padaku. Aku hanya diam tak menjawab. Tapi dari sorot mataku sudah cukup mewakili apa yang ada dihati ini. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mas
"Hai... Dari mana aja kamu?" tanya ibu mertua saat aku baru memasuki pekarangan rumah. "Byan dari rumah mbak Tisa." jawabku seadanya. Mbak tisa adalah kakak iparku, istri dari mas Rino kakak lelakiku satu-satunya. Kebetulan beberapa hari ini mbak kami pasti kaan keluar dari siruasi ini pulang kerumah orang tuanya yang berjarak tak jauh dari rumahku. "Enak ya kamu, udah berasa ratu dirumah saya. Pergi ngak pamit, mana lama lagi. Kamu mau saya mati kelaparan apa?" Bentak dengan suara yang semakin meninggi. "Maaf ma, Byan udah pamit sama mas Andi kok ma. Dan mas Andi juga ngizinin". Jawabku lagi"Terus menurut kamu, dengan kamu izin ke anak saya kamu ngk perlu izin ke saya lagi hah? Kamu kira rumah saya hotel bisa keluar masuk sesuka kamu"."Tadi Byan mau pamit ke mama, tapi mama ngk ada. Kata mas Andi mama ke rumah mbak Mirna. Jadi Byan izin ke mas Andi aja"."Emang kamu ngk punya kaki buat susul saya, emang mantu ngk punya otak. Ngk tau diri banget. Udah tinggal gratis diruma
Dua hari kembali kerumah ini membuatku semakin tidak betah. Harapan ingin memulai lembaran baru berdua dengan suami sembari menunggu kelahiran buah hati kamipun sirna. Aku tidak hanya dibuat tak nyaman tetapi juga tertekan. Hari-hariku dilalui dengan teriakan, makian hingga sumpah serapah dari ibu suamiku sendiri. Wanita yang sebelumnya sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri disaat jauh dari mama papa, malah menjadi duri dalam daging dirumah tangga anak dan menantunya. Masalah demi masalah selalu ia berikan kepadaku. Terkadang masalah kecil bisa menjadi besar olehnya. Seperti pagi ini, saat aku sedang menjalankan shalat dhuha. Jadi tidak bisa merespont panggilan darinya. Bukannya menungguku sebentar hingga aku selesai menjalankan shalat, dengan kasar ia menarik mukenah yang ku kenakan hingga aku tersungkur. Beruntung aku terhempas di atas matras yang cukup tebal jadi tidak berakibat fatal pada kandunganku. "Dasar budek, dipanggilin dari tadi bukannya nyaut." makinya. "Mama