Sudah sebulan lebih ibu mertua tinggal dirumah mas Doddy. Tidak ada kabar berita darinya. Sesekali aku berusaha menghubungi. Tapi tanggapan kurang menyenangkan yang selalu ku terima.
Akhirnya akupun mulai biasa akan kepergian ibu mertuaku.
Tapi suatu pagi saat aku membersihkan pekarangan rumah, tiba-tiba beliau datang dan langsung memasuki rumah. Aku pun mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Tanpa basa basi dan tanpa rasa bersalah dia menanyakan perihal hutang yg dia miliki di Bank.
"Gimana, sudah kalian selesaikan belum semua hutang-hutang di bank?" tanyanya santai
"Belum ma". Jawabku singkat
"Kenapa tidak dibayarkan aja sih, ketimbang uang segitu aja susah banget ngeluarin." omelnya
"Mereka meminta melunasi hutang yang menunggak selama 3 bulan beserta bunganya. Sedangkan kami baru bisa membayar selama 2 bulan saja." Jelasku
"Gimana sich kamu, ngk becus banget jadi istri. Ngk ikhlas ya uang anak saya di pake buat bayar bank?"
"Bukannya gitu ma, tapi kan hutang mama di bank nunggak selama 3 bulan. Itu pun ada bunga. Mas andi ngk ada uang sebanyak itu. Kan semua gaji mas Andi mama yang pegang". Aku berusaha membela diri agar tidak terus-terusan disalahkan olehnya
"Alah, alasan kamu aja. Kamu aja yang ngak bisa kelola uang anak saya dengan bener. Boros sih". Hinanya
"Maaf ya ma, asal mama tau. Utk menyicil hutang selama dua bulan aku pakai uang tabungan ku sendiri. Dan aku ngk ada sedikitpun menggunakan uang mas andi sedikit pun. Lagian uangnya juga mama yang ambilkan. Jadi jangan memutar balikan fakta deh ma". Emosi ku sudah tak tertahankan lagi.
"Kan uang dari anak saya juga. Baru jadi ibu rumah tangga aja belagu." diapun beranjak dari tempat duduknya berlalu dengan wajah masam keluar dari rumah. Mungkin kembali ke rumah mas Doddy. Entahlah, aku sudah tak peduli lagi.
Aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya. Begitu pedas ucapan yang dia lontarkan, hinaan demi hinaan selalu dia berikan padaku. Tak adakah sedikit rasa iba untukku. Tidakkah dia mempunyai sedikit kasih sayang untuk cucunya yang saat ini ku kandung. Padahal setahuku adik mas Andi terlahir prematur karena ibunya bertengkar dengan mas doddy disaat hamil 7 bulan hingga akhirnya nyawa bayi malang itu tidak tertolong. Entah dari apa terbuat hatinya, seakan sudah mengeras seperti batu.
Saat mas Andi pulang, aku ceritakan semua kejadian pagi tadi pada mas Andi. Dia sedikit geram akan kelakuan ibunya. Tapi mau bagaimana, seburuk apapun kelakuan ibu mertua beliau tetap ibu dari suamiku.
Mas Andi hanya bisa terduduk sambil mengambil nafas dalam seakan kekurangan oksigen.
Saat malam tiba, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kamipun bersiap untuk beristirahat. Karena besok pagi-pagi sekali mas andi sudah harus berangkat kerja. Baru akan menuju kamar, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang mengetuk pintu dengan keras tanpa henti.
Kamipun keluar membukakan pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang datang bertamu di jam dimana orang beristirahat seperti ini.
Saat pintu dibukakan, tanpa salam masuk seorang wanita paruh baya dengan seorang pria menyelonong kedalam rumah. Mereka adalah ibu mertuaku dan mas doddy. Tidak sadarkah mereka saat ini pukul berapa.
Tanpa banyak bertanya kamipun mengikuti mereka duduk di sofa. Setelah sekian lama berbicara terjadi perdebatan antara mas Andi dan Ibunya. Seketika suara ibupun meninggi dan keluarlah sumpah serapah yang terlontar diri mulutnya yang tertuju kepada mas Andi, aku dan anak dalam kandunganku.
Astagfirullah...
Begitu kejam mulut seorang ibu yang dengan sengaja menyumpahi anak, menatu dan calon cucunya sendiri dengan ucapan yang menyakitkan tersebut.
Tanpa banyak bicara, mas Andi pun memintaku mengemasi semua pakaian kami. Malam itupun mas andi putuskan untuk keluar dari rumah peninggalan ayahnya. Dia lebih memilih meninggalkan ibunya dari pada harus menuruti keinginan wanita tua tersebut yang menurut ku tidak tau malu.
"Dasar anak tidak tau diri, anak durhaka. Dikasih solusi bukannya berterimakasih malah membangkang. Sia-sia aku lahirkan dan sekolahkan kalau tidak bisa balas budi."
"Terserah mama mau bilang apa, aku lebih memilih menjadi gembel diluar dari pada harus menjatuhkan harga diri kepada mertuaku untuk memenuhi keserakahan mama. Cukup mertuaku selama ini membantu keluarga kita ma, bahkan tunggakan kemaren saja semua mertuaku yang menyelesaikannya. Dan sekarang, mama malah meminta mereka melunasi semua hutang itu yang jumlahnya tidak sedikit." suara mas andi ikut meninggi dengan deru nafas yang tidak beraturan menahan amarah.
"Kamu mama sekolahkan tinggi-tinggi bukannya pintar malah jadi tambah bodoh. Apagunanya mertua kaya klo ngk ad untung untuk kita hah?" tanpa rasa malu semua terlontar dari mulutnya.
"Cukup ma, mama semakin keterlaluan". Mas Andi pun menyudahi perdebatannya dengan sang ibu. Meninggalkan ibunya dan mas doddy di ruang tamu membantuku mengemasi barang-barang milik kami memasuki mobil.
"Dasar anak si*l, semoga kalian celak*". Cecarnya menyumpahi kami.
Saat dikamar, aku hanya bisa menangis akan kejadian yang kami alami. Disaat hamil bukannya ketenangan yang ku dapat tapi tekanan demi tekanan yang ku terima.
"Maafkan mas ya dek". Mas Andi mendekat memeluk, berusaha menenangkanku yang sedari tadi menangis tersedu.
"Terus kita mau kemana mas, ngak mungkin kita pulang ke rumah papa. Aku ngk mau mereka sedih melihat kita mas".
"Mas belum tau dek, yang jelas kita pergi saja dari rumah ini dulu. Mungkin utk malam ini kita tidur dimobil sementara, baru besok kita cari kontrakan."
"Bukannya mas besok harus lerja pagi?"
"Iya dek, mas pagi kelokasi dulu. Setelah itu mas izin ke bang Ardan untuk cari kontrakan. Kamu yang sabar ya, mas yakin kita bisa keluar dari masalah ini." mas Andi kembali menenangkanku.
"Iya mas, aku ikut mas aja gimana baiknya". ujarku.
Kamipun melanjutkan mengemasi semua pakaian dan barang lainnya yang akan dibawa. Beruntung saat ini adikku libur kuliah dan sedang berada dirumah kedua orang tuaku. Jadi dia tidak menyaksikan kejadian yang tidak menyenangkan ini. Mungkin setelah kami mendapatkan kontrakkan dan masa liburannya habis barulah akan aku jelaskan kepada seluruh keluargaku.
Hampir satu jam lebih kami mengemasi barang-barang. Setelah semua selesai kamipun menaiki mobil keluar fmdari oekarangan rumah. Ada rasa sedih dan sedikit lega karena bisa terlepas dari mertua gila harta seperti ibu mas Andi. Baru beberapa menit kami keluar dari rumah tersebut, tiba-tiba dari arah belakang datang motor berusaha menyalip dan memberhentikan mobil kami. Ternyata itu adalah mas Doddy. Entah apa yang dia inginkan. Karena sedari tadi saat perdebatan terjadi dia tidak bereaksi sedikitpun untuk menjadi penengah. Kini mengapa dia menyusul kami. Pikirku dalam hari. "Ada apa mas?" tanya mas Andi malas"Kalian mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. Aku rasa hanya sekedar basa-basi belaka. "Belum tau mas, mungkin malam ini kami akan tidur di mobil. Baru besok cari kontrakan." jawab mas Andi seadanya. "Kenapa ngak kerumah mas aja?" ajaknya"Ngak usah mas, ngerepoton. Kami biar dimobil aja." tolakku halus. "Ngak papa, mending kerumah mas aja. Kasihan kamu hamil mal
"Assalammu'alaikum." akhirnya mas Andipun pulang."Waalaikumsalam" aku menyambut kedatangan mas Andi. "Udah pulang mas?" tanyaku. Aku berusaha bersikap sewajarnya. Saat ini aku tidak mau mas Andi mengetahui sebenarnya bahwa dalang dari kekacauan dikehidupan kami adalah kakak dan iparnya sendiri. Yang ada nanti semuanya runyam dan mas andi tidak bisa berfikir jernih."Maaf ya dek, mas lama. Mas udah keliling ngak nemu yang jualan. Ini aja mas kepasar kampung di ujung sana. Kebetulan hari ini pasarnya dek.""Oh jadi pasarnya ngak tiap hari mas?" tanyaku."Disini biasanya tiap pekan aja dek. Ngak setiap hari seperti di tempat kita." jelas mas Andi. Aku hanya manggut-manggut.Tak lama dari kedatangan mas Andi, suami istri itupun keluar dari kamarnya. Ya bagus lah mereka keluar sendiri. Aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Melihat wajah tanpa berdosa mereka aku semakin kesal di buatnya. Tapi aku harus sabar dan main cantik. Karena menghadapi manusia licik seperti mereka ngak bisa gegabah.
Kuturuti perintah mas Andi. Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mereka. Ku coba kembali mengetuk pintu tersebut. Nihil, dua hingga tiga kali kuketuk tapi tak kunjung ada respon dari mereka.Ku atur nafas dalam-dalam, ku coba kuasai diri agar tak terpancing emosi.Ku coba ketukan keempat...Tok tok tok... "Mas, mbak ini mas Andi bawain makanan." ucapku lagi dengan menahan kesal. Tak lama dua kamar itupun terbuka secara bersamaan. Tidak terlihat wajah mereka seperti orang yang baru bangun tidur. Kelima orang itu terlihat segar, walau ku tau tidak satupun dari mereka yang sudah mandi. Karena sedari tadi aku diruang tamu tak satu orang pun yang keluar kamar. Aku semakin dibuat geram olehnya. Jadi sedari tadi aku memanggil tak mereka hiraukan bukan karena tertidur. Melainkan pura-pura tidak mendengarkanku.Benar kata mas Andi. Ketikaku mengatakan makanan seketika merekapun keluar dari persembunyiannya dan menyambar makanan yang dibawakan mas Andi. Tanpa menunggu mas Andi terlebih dahu
Wanita paruh baya itupun berusaha membujuk mas Andi untuk kembali pulang kerumah. Aku berharap mas Andi tidak luluh begitu saja dengan wajah memelas ibunya. Jika benar itu terjadi, berarti akan membuat rencana kami untuk mengontrak dan memulai hidup baru hanya berdua saja sirna seketika. Bukannya mendendam dan tak peduli dengan keadaan ibunya sendirian dirumah tersebut. Hanya saja aku belum siap untuk kembali hidup bersama dengan ibunya yang jelas-jelas sudah sangat membuatku hilang respek padanya. Tidak ada yang tau, kejadian yang serupa mungkin saja akan terulang kembali. Bahkan bisa saja akan lebih buruk dari pada ini. Begitu kuat keinginan sang ibu membujuk mas andi untuk kembali. Kulihat wajah mas andi semakin ragu. Dia seperti bimbang ingin melangkah. Dan seoertinya benteng pertahanannyapun roboh. "Dek gimana?" tanya mas Andi padaku. Aku hanya diam tak menjawab. Tapi dari sorot mataku sudah cukup mewakili apa yang ada dihati ini. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mas
"Hai... Dari mana aja kamu?" tanya ibu mertua saat aku baru memasuki pekarangan rumah. "Byan dari rumah mbak Tisa." jawabku seadanya. Mbak tisa adalah kakak iparku, istri dari mas Rino kakak lelakiku satu-satunya. Kebetulan beberapa hari ini mbak kami pasti kaan keluar dari siruasi ini pulang kerumah orang tuanya yang berjarak tak jauh dari rumahku. "Enak ya kamu, udah berasa ratu dirumah saya. Pergi ngak pamit, mana lama lagi. Kamu mau saya mati kelaparan apa?" Bentak dengan suara yang semakin meninggi. "Maaf ma, Byan udah pamit sama mas Andi kok ma. Dan mas Andi juga ngizinin". Jawabku lagi"Terus menurut kamu, dengan kamu izin ke anak saya kamu ngk perlu izin ke saya lagi hah? Kamu kira rumah saya hotel bisa keluar masuk sesuka kamu"."Tadi Byan mau pamit ke mama, tapi mama ngk ada. Kata mas Andi mama ke rumah mbak Mirna. Jadi Byan izin ke mas Andi aja"."Emang kamu ngk punya kaki buat susul saya, emang mantu ngk punya otak. Ngk tau diri banget. Udah tinggal gratis diruma
Dua hari kembali kerumah ini membuatku semakin tidak betah. Harapan ingin memulai lembaran baru berdua dengan suami sembari menunggu kelahiran buah hati kamipun sirna. Aku tidak hanya dibuat tak nyaman tetapi juga tertekan. Hari-hariku dilalui dengan teriakan, makian hingga sumpah serapah dari ibu suamiku sendiri. Wanita yang sebelumnya sudah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri disaat jauh dari mama papa, malah menjadi duri dalam daging dirumah tangga anak dan menantunya. Masalah demi masalah selalu ia berikan kepadaku. Terkadang masalah kecil bisa menjadi besar olehnya. Seperti pagi ini, saat aku sedang menjalankan shalat dhuha. Jadi tidak bisa merespont panggilan darinya. Bukannya menungguku sebentar hingga aku selesai menjalankan shalat, dengan kasar ia menarik mukenah yang ku kenakan hingga aku tersungkur. Beruntung aku terhempas di atas matras yang cukup tebal jadi tidak berakibat fatal pada kandunganku. "Dasar budek, dipanggilin dari tadi bukannya nyaut." makinya. "Mama
Sejak perdebatan dengan mertua tempo hari, dia tidak lagi banyak bicara. Entah takut atau sedang merencanakan hal jahat untuk ku. waktunya lebih banyak dihabiskan dikamar. keluapun jika mulai lapar. tak banyak aktifitas yg iya lakukan jika aku berada dirumah. Hari-harinya dilalui tak tentu arah. Toko buah yang selama ini dia kelola kini sudah di ambil alih oleh mbak elis. Ditambah motor pemberian mas Andi untuknya juga sudah berpindah tangan ke mas doddy.Entah apa yang ada dipikiran wanita paruh baya tersebut. Bisa-bisanya dia seceroboh itu. bahkan demi uang yang menurutku tidak seberapa dia rela melepas tempat selama ini iya memcari nafkah. Dan mbak elis dan mas Doddy juga tidak berperasaan, dengan kejam mengambil alih semua usaha ibu dan mertuanya sendiri hanya karena pinjaman uang ratusan ribu yang iya berikan pada mertua. Padahal selama ini kami begitu banyak berkorban untuknya tidak pernah sedikitpun ingin menguasai apa yang iya miliki. entah dari apa terbuat hati mereka. Dala
Sebulan sudah aku sah menjadi seorang istri dari Andi Brian Wardana. Kekasih yang ku pacari selama 6 tahun saat masih duduk bangku Sekolah Menengah Kejuruan Negeri. Saat itu mas Andi sudah duduk dibangku kuliah semester 4.Setelah menikah kami mengajak ibu mas Andi dan juga adikku untuk tinggal bersama dirumah ini. Menemaniku agar tidak kesepian.Sebagai pengantin baru aku dan mas Andi tidak menunda untuk segera memiliki momongan. Bahkan mas Andi seakan tidak sabar untuk memiliki bayi. Saran dari teman dan kerabat kami ikuti agar aku bisa segera hamil. Dan benar, tak lama setelahnya akupun positif hamil.Saat semua keluarga berkumpul aku dan mas Andi mengumumkan atas kehamilan pertamaku ini. Kebetulan disaat itu kedua orang tuaku datang berkunjung.Mama dan papa begitu bahagia, bahkan mama sampai menitikkan air mata kebahagiaan. Begitupun Yana, adikku. Tapi hal berbeda terlihat pada ibu mertuaku, beliau hanya diam tanpa terlihat ekspresi bahagia sedikutpun. Entah karena ini bukan ha