Dini Putri Lestari terpaksa membiarkan dirinya terjebak dalam hubungan yang sulit dengan Rio Ravindra karena menawarkan diri menjadi ibu pengganti yang akan mengandung anak Rio dan istrinya Christa. Dini tak ada pilihan karena harus membiayai pengobatan putrinya, Anggia setelah semua hartanya diambil mantan suaminya. Dini tak pernah berniat untuk jadi wanita kedua. Dini tak pernah menginginkan menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Tapi apa jadinya jika takdir berkehendak lain dan menguak satu-persatu semua rahasia tersembunyi yang semakin menghimpit Dini dan tak lagi bisa membuatnya menghindar dari Rio? Bagaimana Dini mempertahankan prinsip hidupnya ditengah kesulitan menghadapi hati dan pikirannya yang sulit bekerja sama? Dan apakah Rio tega mengkhianati istrinya Christa demi mengikuti isi hati dan keinginan terbesar dalam dirinya?
View More"Ini rumah mendiang papaku. Kamu nggak berhak ngusir aku dan anakku, Satrio!"
"Tidak berhak katamu? Jelas-jelas kamu sudah menandatangani surat perjanjian, berikut surat cerai.”
Ucapan pria berengsek itu membuat jantung Dini berpacu. Wajahnya seketika memerah padam. "Kamu biadab, Satrio! Kamu menjebakku!"
Wanita itu lantas berteriak, mencoba menerjang Satrio—mantan suami liciknya dengan pukulan bertubi-tubi. Namun, sekuat apa pun dia menyerang, Dini tetap kalah.
Bukan hanya tenaga yang kalah, dia pun kalah bukti ... sebab Satrio benar, dialah yang menyerahkan seluruh harta warisannya pada pria itu.
Berbekal rasa cinta dan percaya, Dini luput membaca satu pun kalimat di dokumen yang Satrio berikan.
"Pergi kamu dari sini. Dan bawa anak harammu itu.”
Satrio mendorong Dini dengan kasar. Pria itu bahkan tidak membiarkan Dini membawa satu pun barang-barangnya dari rumah.
Hanya bersama sang anak, Dini pun akhirnya terusir dari rumahnya.
Hubungannya dengan Satrio memang rumit. Dia sudah mengandung sebelum pernikahannya yang terjalin atas dasar perjodohan oleh orang tua.
Saat itu, baik Satrio maupun keluarganya bersedia bertanggung jawab ... sebab mereka pun membutuhkan pernikahan itu demi perusahaan keluarganya yang di ambang kebangkrutan.
Semua kebaikan itu nyatanya berubah ketika kematian ayah Dini. Satrio mulai bermain mata dengan sekretarisnya, dan bahkan berani membawa wanita itu ke rumah mereka.
Dan sekarang ... posisi Dini sebagai nyonya rumah itu tergantikan oleh pelakor yang naik tahta.
Dini menatap iba pada anaknya yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Air matanya nyaris mengalir, manakala memikirkan ... bagaimana caranya membuat pengobatan sang anak tetap berjalan, sementara dia sekarang tidak memiliki apa-apa?
"Bu, apa bisa dapat tindakannya dulu, bayarnya belakangan? Saya akan cari uangnya segera."
"Tidak bisa Bu. Ketentuan di rumah sakit ini, biaya administrasi harus dilunasi dulu baru pasien akan mendapatkan terapi yang dibutuhkannya."
Dini sontak menghela napas panjang dan dalam. Tiga bulan sudah dia berpisah dengan Satrio. Dia sudah habis-habisan menjual perhiasan yang dia kenakan ketika keluar dari rumah.
Ponsel yang jadi satu-satunya barang berharga Dini pun sudah terjual. Praktis, tidak ada satu pun benda berharga yang bisa dia jual lagi untuk membiayai pengobatan sang anak yang menderita talasemia.
Dini sudah berusaha berhemat dengan mencari kerja serabutan dan tinggal di rumah kontrakan sepetak yang paling murah. Tapi tetap saja uangnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan berobat putrinya.
Tidak punya pilihan lain, Dini bahkan merendahkan harga dirinya dengan cara menemui Satrio.
Namun, harapannya tentu saja tidak terwujud, sebab pria itu enggan menolong. Dia bahkan diusir oleh satpam baru yang dipekerjakan pria itu, sebab dianggap sebagai seorang pengemis.
Saat Dini tengah dalam kebingungan ... sebuah percakapan kemudian terdengar dari seorang pria yang membelakanginya, dengan seorang pria lainnya yang berseragam dokter.
"Kalau kamu ingin mencari Ibu pengganti, jangan cari di Indonesia.” Kalimat pertama itu langsung berhasil membuat perhatian Dini tercurah sepenuhnya. “Pergilah ke luar negeri. Aku tidak bisa membantumu,” kata pria yang berseragam sneli putih itu.
Seolah mendapatkan jawaban atas doa-doanya, Dini lantas menghampiri dua pria itu.
"Saya bersedia.” Dua pria itu menegang. Sang dokter menaruh tatapan penuh, sementara bahu pria yang masih membelakanginya semakin terlihat kaku. “Saya wanita baik-baik. Saya mau menjadi ibu pengganti, asalkan bayarannya bisa untuk membiayai pengobatan putri saya."
Namun, ketika pria yang membelakangi Dini memutar tubuhnya ... wanita itu seketika menyesal dengan penawarannya.
"Dini? Dini Putri Lestari?" kata pria itu.
Ingin rasanya dia menarik kata-katanya, tapi keadaan putrinya yang saat ini masih ada di IGD kembali membayang.
“K-kak Rio?” Dini menyebut nama pria itu dengan ragu.
Pria yang dipanggil Rio itu menatap Dini dengan saksama, kemudian bertanya dengan suara baritonnya, “Apa maksud ucapanmu tadi?”
Dini menunduk, dia memintal-mintal kedua tangannya.
“Aku bersedia menjadi ibu pengganti untuk Kak Rio dan istri.” Dini menaikkan pandangannya, kali ini emosi kesedihan dan harapan terlihat jelas di pelupuk mata. “Asalkan Kakak mau menanggung biaya pengobatan putriku."
Andai Dini tahu, pria yang membutuhkan ibu pengganti itu adalah Rio, dia tidak akan gegabah menawarkan diri.
Bagaimana pun, melihat Rio membuat perasaan Dini berkecamuk antara senang, marah, dan sedih ... semua bercampur jadi satu.
"Anakmu sakit apa?" tanya Rio lagi.
Pria itu menatap Dini dengan pandangan khawatirnya.
"Talasemia. Dia ada di IGD sekarang dan butuh transfusi darah malam ini juga, tetapi aku kehabisan uang.”
Di hadapannya, Rio terdengar menghela napas panjang. Berulang kali pria itu menatap Dini dan dokternya secara bergantian.
“Aku turut prihatin dengan keadaan anakmu, Din.” Pria itu menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan, “Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerima istri orang menjadi Ibu pengganti.”
Mata Dini sontak membulat. Tetapi kemudian dia sadar, jika Rio tidak tahu kabarnya setelah Dini memutuskan menerima perjodohan itu.
“A-aku sudah bercerai, Kak.”
Sedetik, dua detik, tiga detik, Rio memperhatikan Dini dari atas ke bawah, hingga matanya yang dingin kembali menatap Dini.
"Baiklah, tapi dengan satu syarat."
Binar kebahagiaan muncul di mata wanita itu. "Apapun. Asal biaya pengobatan anakku ditanggung!" ujarnya dengan tidak sabaran.
"Kamu harus menikah denganku, dan mengikuti semua peraturan yang kubuat.”
Kedua mata Dini kini mengerjap, kaget. "Apa harus begitu? Bukannya—“
"Aku tidak bisa menjawab banyak pertanyaan. Jika kamu ingin aku menolong anakmu, itu syaratnya."
Dini terdiam. Dalam ingataannya, Rio begitu lembut. Namun, pria yang saat ini berdiri di hadapannya itu sama sekali tidak demikian.
Namun, Dini pun sadar bahwa itu adalah karena kesalahan yang telah ia perbuat di masa lalu.
Untuk itu, mengesampingkan rasa nyeri di relung hatinya, Dini mengangguk. "Ya, aku setuju, tapi aku punya syarat juga dalam pernikahan itu."
"Aku tidak menerima syarat apapun!” tolak Rio cepat. Mata pria itu menatap Dini dengan tajam. “Jika kamu setuju, aku akan bayar biaya pengobatan anakmu dan menanggung kalian seumur hidupku. Jika tidak, maka aku akan mencari orang lain.”
“Seumur hidup? Apa itu tidak terlalu lama?” tanya Dini sanksi. “Maksudku ... bagaimana bisa aku percaya ucapan Kak Rio?”
Di hadapannya, Rio tersenyum sinis. “Aku bukan seorang pengkhianat yang meninggalkan kekasih 7 tahunnya menikah dengan pria lain, Dini.”
Tidak disangka kalau jawaban Rio langsung seganas itu dan membuatnya Dini terdiam, menunduk tak berani bicara lagi.
"Aku akan melegalkan perjanjian kita di mata hukum. Kamu tidak perlu khawatir.”
Mengesampingkan nyeri di hatinya ... Dini pun kembali mengangguk. "Baiklah, yang penting anakku bisa segera mendapatkan pengobatan."
"Dokter Teddy akan mengurusnya setelah kamu sah menjadi istriku malam ini juga!"
"Kamu nih--"UWEEEEEK! UWEEEEK!Siapa suruh Rio tadi tak mau menuruti Dini?Kan tadi sudah dibilang kalau Dini ingin ke kamar mandi tapi dikiranya hanya berpura-pura saja.Yang ada keluarlah semua yang membuat Dini merasa mual. Dan Rio tidak lagi bisa menghindar ketika muntahan itu mengenai roti sobek perutnya yang terpahat sempurna.Dia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi ketika Dini masih terus memuntahkan semua yang membuatnya tak nyaman hingga wanita itu terlihat lemas."Sudah?""Hm. Maaf," dan sejujurnya Dini juga merasa tidak enak.Alhasil, Dini tak berani menatap Rio tapi dia juga tidak mau disalahkan. Apalagi Rio masih diam setelah tadi dia meminta maaf."Aku kan sudah mengingatkan dari awal kalau aku ingin muntah. Tapi kamu yang tidak mau menyingkir.""Kapan tanggal menstruasimu?""Eh, itu--"Dini juga tidak bisa menjawabnya dia diam karena tanggalnya sering sekali berubah-ubah."Sudahlah tak perlu menjawab!""Eh, turunkan aku!"Rio seperti frustasi sendiri menunggu Dini menj
"Sudah. Tapi karena Om Rio-nya Anggia sudah besar dan bukan kakak Mama, jadi lebih baik Mama panggilnya Pak Rio. Karena kalau mama panggilnya Kak Rio, orang akan risih dan istrinya Om Rio akan terganggu, Anggia. Itu gak boleh." Dini yakin jawabannya sudah sangat diplomatis dan seharusnya tidak ada celah! Lagian dia masih ingat betul yang dikatakan Rio kalau pria itu risih dengan panggilan Dini dulu padanya. Tak ada alasan lagi untuk Dini membiarkan mulutnya memanggil dengan cara yang sama. Dini tahu putrinya pasti ingin bertanya lagi makanya jarinya sudah menunjuk ke arah kue ulang tahun. "Mama udah bikin kue ulang tahun loh buat Anggia. Jadi gimana nih? Mau tiup lilin dulu atau mau makan dulu?" Ada senyum yang kelewat manis diberikan Dini pada putrinya. Buat Dini Anggia adalah segalanya. Tanpa Anggia mungkin dia tidak punya harapan untuk hidup sekarang. Bisa saja dia khilaf dan bunuh diri. "Makan kue dulu, habis itu potong kuenya ya Ma!" "Oke sayang! Ayo kita nyanyi dulu y
"Pak Rio, kumohon. Hari ini adalah hari ulang tahun putriku. Dan aku ingin merayakan dengannya dulu. Tolong, jangan buat aku kesakitan sekarang.""Tak ada yang bisa melarangku!""Tidak melarang. Hanya menunda. Saya mohon Pak, jika Anda masih punya hati maka Anda akan mengizinkan saya merayakan hari jadi putri saya dulu dan nanti saya akan lakukan apapun untuk Anda setelah acara ini."Masih dengan tangannya yang menahan tangan Rio supaya tidak mengganggu intinya, Dini lagi-lagi kembali merendahkan dirinya di hadapan Rio demi putrinya.Entah sudah keberapa kali dia mengalah dan berusaha untuk membuat pria itu sedikit saja mengerti tentang kondisinya.Tapi apakah permohonan tulus Dini yang sekarang bisa menahan Rio memenuhi keinginannya lebih lanjut? Apa pria itu bisa mengerti?"Lalu bagaimana dengan diriku? Apa pernah kamu memberikan waktu untuk mengerti alasanmu pergi?""Pak Rio, itu-""Tidak pernah. Kamu tidak memberikanku waktu dan penjelasan. Kamu pergi begitu saja meninggalkanku di
Dini: Terima kasih Mas ucapannya. Nanti akan aku sampaikan pada Anggia dia pasti senang sekali dapat hadiah itu. Tapi saat Rio sedang mengenang apa yang dikatakan Darsa dalam ruangan Teddy, tiba-tiba pikirannya terdistraksi oleh suara Dini yang masih bicara dengan Darsa.Rio tak tahu apa yang ditawarkan oleh Darsa sebagai hadiah untuk Anggia tapi rasa di dalam hatinya tidak suka saja apalagi sudah melihat senyum di wajah Dini.Emosi dan pikiran Rio jadi ngelantur kemana-mana. Tapi untung saja matanya menatap ke sesuatu yang dikenakan Dini. Sebuah ide pun muncul di dalam benaknya. Dia tak akan membiarkan Dini enak-enakan bicara dengan seseorang yang menjadi orang nomor satu yang tak disukainya saat ini. Rio mendekat pada Dini dan tangannya menyingkap dress dengan bawahan bentuk A yang dikenakan Dini."Hentikan!"Darsa: Eh, ada apa Dini?Dini: Eh, enggak Mas, anu, aku lagi sambil nonton TV. Ada dramanya dan aku kaget saja waktu tadi tokoh prianya mengganggu tokoh wanita.Mata Dini aw
"Pak Rio, tidak puaskah Anda melecehkan saya tadi malam dan saat ini melakukannya lagi di hari ulang tahun putri saya?""Apa seorang suami menyentuh istrinya itu namanya pelecehan?"Rio membalikkan badan Dini dan menatap wajah wanita itu dengan posisi yang sangat dekat sekali. Jadi saja Dini yang tingginya cuma sebahu Rio jadi nervous.Apa lagi pas dirinya mendongak, tepat sekali mata Dini mengarah ke bibir Rio."Kenapa memperhatikan bibirku? Ingat kecupan semalam dan ingin lagi?"Ah, sial sekali. Dini sama sekali tidak menginginkan itu. Tapi ya kenapa juga dia malah mengarahkan matanya ke sana? Pandai saja Rio memanfaatkan keadaannya."Boleh juga, Anda mau melayani saya dengan kecupan itu lagi? Mumpung Anda belum menceraikan saya, kayaknya saya bisa menikmati itu dulu. Sebelum nanti, kalau saya sudah melahirkan anak itu kan saya tidak bisa lagi merasakan service plus-plus dari Bapak Rio Ravindra."Masa bodolah Rio mau suka atau tidak suka yang penting Dini sudah membalasnya. Enak saj
"Iya Mama, tadi pagi juga aku yang mandiin Om Rio. Iya kan Suster Titi?""Iya, Kak Anggia."Sebenarnya yang salah itu telinga Dini atau memang dia masih ada di alam mimpikah?Diam-diam, Dini mencubit kecil punggung tangannya dan merasakan perihnya.Rasanya dia tidak mimpi. Jadi benar Rio menemani Anggia? Tapi Kenapa ini sulit diterima olehnya?Apalagi mengingat perlakuan Rio tadi malam. Wah, Dini yakin, pasti ada yang konslet dengan pikiran pria itu. Bahkan dia rela memberikan mainan-mainan mahal pada putrinya.Tapi ... kenapa Rio masih ada di rumah ini semalam? Lalu bagaimana nasib orang yang menghubunginya?Apa Rio berbohong pada Dini? Apa telepon itu palsu? Tapi kenapa dia harus berbohong? Iseng sekali bukan? Atau ... apa mungkin ini semua dilakukannya karena Rio merasa sangat bahagia setelah menyiksa Dini?Cuma semakin dipikirkan semakin pikiran Dini tidak mengerti apa yang diinginkan oleh pria itu. "Mama, Anggia nanti dapet kado apa dari Mama?"Dan sudahlah! Tidak perlu dipikirk
"Terserah aku dong mau melakukan apa pada milikku!""Apa Anda tahu Anda sangat tidak punya hati?"Dini tidak tahu lagi harus mengatakan apa! Tubuhnya yang dikekang membuatnya tidak bisa melakukan apapun dan sekarang dia semakin khawatir karena Rio seperti ingin menjerumuskannya lebih dalam.Buat apa dia merekam Dini tanpa busana dan sedang dieksekusi olehnya kalau tidak untuk niat jahat?"Aku tidak punya hati? Lebih tidak punya hati mana daripada seorang wanita yang meninggalkan kekasih yang sangat mencintainya dan sangat berharap bersama dengannya tapi dia mematahkan harapannya itu hanya karena masalah kekasihnya miskin? Meninggalkannya tanpa kabar!""Pak Rio-""Itu impian dan harapan Dini! Itu masa depa, hidup dan mimpi seseorang! Tapi kamu menghancurkannya setelah membawa angan itu melayang tingga. Apa kamu pikir hanya wanita yang bisa patah hati?""Ya sudah terserah saja dengan Pak Rio ingin melakukan apa! Membalas dendam pada saya? Lakukan! Sampai Bapak puas!"Dini sudah lelah di
"Aaakh, lepaskan!"Dini, dia tadinya ingin memaksakan diri tetap keluar dari mobil tapi tangannya kembali ditarik oleh Rio.Cukup kuat hingga dirinya tersentak dan tubuhnya sampai menubruk Rio."Apa mau Anda?" protes Dini, dia tak bisa membiarkan Rio melukainya lagi tapi sayang Dini kalah kuat dengan Rio"Kenapa saya harus pakai jas Anda?"Dini tidak tahu apa niatan Rio yang lain. Tapi jas yang tadi dibuka oleh pria itu kini sudah dikenakan olehnya di tubuh Dini!Rio tidak menjelaskan apapun. Hanya menarik Dini ke atas pangkuannya dan dia membuka pintu, lalu kedua tangannya merengkuh tubuh Dini"Turunkan saya!""Diam! Atau jangan salahkan jika aku menggunakan Anggia sebagai balasan untukmu karena tidak patuh!"Dini tidak minta digendong. Dini juga tidak minta Rio untuk memberikan jas itu menutupi pakaian dalamnya. Tapi Rio sendiri yang memakaikannya dan kini kedua tangan itu juga mengangkat tubuh Dini masuk ke tempat tinggal mereka.Jangan tanya betapa kesalnya Dini saat itu. Tapi ber
"Pak Rio, hentikan!"Tapi percuma juga Dini memekik, berusaha melepaskan diri, atau memukul-mukul Rio. Pria itu sudah seperti kerasukan iblis entah dari mana datangnya dan tidak lagi memedulikan perasaan Dini.Pakaian Dini sudah compang-camping akibat ulah tarikan tangannya. Belum lagi bibirnya yang buas, bergerak menyusuri wajah Dini seperti sedang menikmati makanan enak. Tak cukup sampai di sana. leher jenjang Dini juga menjadi mangsanya dan Rio meninggalkan jejak-jejak merah dan biru lebam bukan hanya di satu spot. Rio dengan kasar memaksa Dini menerima setiap sentuhan yang tidak bisa dibilang nikmat. Itu sakit! Dini menjerit dan sekuat tenaga, meronta juga tidak bisa saat tubuh besar Rio menindih badannya yang kecil dan ringkih. Gigitan-gigitan dari giginya yang memberikan bekas di dua gunung Dini juga meninggalkan perih. Ada beberapa bahkan yang membuat luka berdarah. Tak ada guna Dini memekik karena kaca mobil Rio tidak tembus pandang. Ditambah lagi ada sekat antara driver de
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments