"Oh iya kalau begitu aku ganti baju dulu."Baik, kalau begitu aku siap-siap dulu—“
"Tidak perlu!” Baru saja Dini membalik tubuhnya, suara Rio kembali menghentikan langkahnya. Wanita itu kembali menghadap pria itu dengan pandangan bingung.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Dini, merujuk pada penampilannya yang masih memakai pakaian rumah biasa.
Maksud gadis itu adalah ... dia ingin menghargai istri Rio. Bagaimana pun menurutnya, menemui ‘majikannya’ dengan memakai gaun rumah—daster lusuh, adalah hal yang kurang pantas.
“Aku tidak membawamu untuk memikatnya.” Rio berujar dengan tatapan tajam. “Kamu hanya wanita yang kupinjam rahimnya. Bukan wanita yang kunikahi dengan sungguh-sungguh.”
Saat itu, Dini tertohok. Benar juga, pikirnya. Dia bukanlah siapa-siapa. Dia bukan wanita yang akan menjadi saingan istri Rio.
Bagaimana pun, dia hanyalah ‘pembantu’, membantu Rio dan istrinya mendapatkan anak dengan rahimnya.
Setelah itu, mereka pun bergegas.
Awalnya, suasana mobil terasa mencekam karena tidak ada obrolan apa pun di sana. Hanya deru mobil, dan suara klakson dari kendaraan lain yang sesekali terdengar.
Sampai Rio memulai percakapan lebih dulu.
“Dengar, Dini. Rahasiakan soal pernikahan kita dari istriku.” Rio menatap dari ekor matanya ke arah Dini. “Kamu hanya perlu jelaskan posisimu sebagai ibu pengganti.”
Wanita itu mengangguk, paham. "Ya, aku mengerti Kak."
Rio mengangkat tangannya ke udara.
"Dan satu lagi!" seru Rio. "Jangan panggil aku Kak. Aku tidak ingin istriku berspekulasi."
"Eh maksudnya?"
"Aku tidak ingin istriku salah paham, jika dia tahu kita saling mengenal. Panggilanmu itu bisa membuatnya berpikir ke arah sana.” Rio menjelaskan dengan suara dinginnya. “Lagipula, itu semua masa lalu yang tidak ingin lagi kuingat.”
Perasaan Dini tak jelas. Dia malu dengan teguran Rio dan merasa perih juga. Dia memang bodoh. Seharusnya dia memanggil Rio dengan sebutan Pak Rio sejak awal.
Rio benar, Dini bukan adiknya dan mereka sudah tidak seperti dulu.
"Baik Pak Rio," ucap Dini sembari menahan sesak dalam dadanya, dia sungguh berharap air matanya tak akan menetes.
"Berhentikan mobilnya sebelum halte!"
Belum hilang rasa sakit di dalam hati Dini, dia kembali mendengar perintah Rio pada sopirnya yang membuatnya bingung.
"Turun! Kamu tidak berharap istriku melihatmu satu mobil denganku, kan?"
"Eh, iya Kak- ehm, maaf, Pak Rio maksudku."
Setelahnya, Dini turun dari mobil dan berjalan menuju restoran yang disebutkan Rio. Beruntung, dia bertemu dengan Teddy yang baru turun dari mobil ketika sampai di parkiran.
Jika tidak, Dini yakin ... Dengan penampilannya yang seperti ini, dia pasti tidak diizinkan masuk ke restoran mewah tempat pertemuan itu diadakan.
"Hai Teddy! Siapa yang bersamamu?"
Seorang wanita berkulit putih berkilau dan cantik bak supermodel itu bertanya pada Teddy.
Wanita itu menggandeng mesra tangan Rio, menguatkan Dini tentang tebakannya jika dialah istri Rio.
"Dia ibu pengganti yang tadi kuceritakan," jelas Rio pada sang istri.
Tatapan menilai langsung diperlihatkan wanita itu pada Dini. "Oh, jadi dia calon ibu penggantinya?"
Dini menangkap ada nada keberatan dalam suara wanita berkelas itu. Lama bergaul dalam lingkaran anak-anak konglomerat, Dini sangat mengetahui arti tatapan dan sebab wanita itu terlihat merendahkannya.
"Kamu ... keberatan?" tanya Rio usai menyimak respons sang istri yang tidak langsung menyetujui. "Kalau kamu keberatan--"
"Tidak, Sayang." Cepat-cepat, wanita itu langsung memotong perkataan sang suami. "Aku tahu, pasti sulit mencari ibu pengganti, apalagi di sini. Aku tidak masalah, yang penting kita bisa punya anak."
Wanita itu mengecup pipi Rio dengan mesra di akhir kalimat, membuat Dini memalingkan wajahnya.
Harus dia akui, hatinya memanas melihat kemesraan yang ditunjukkan pasangan itu di hadapannya.
"Nah, Dini ... Ini Ibu Christa, istrinya Pak Rio." Dokter Teddy mulai bersuara usai kedua orang di hadapannya terlihat tenang.
Sambil menundukkan kepalanya, Dini berujar, "Selamat malam, Bu. Namaku Dini."
Christa tersenyum. "Selamat malam, Dini. Senang berkenalan denganmu. Terima kasih ya, sudah mau membantu kami. Ayo, silakan duduk."
Wanita itu kemudian menyilakan Dini juga Teddy untuk menempat meja yang telah dipesannya.
Sejenak, mereka sibuk dengan makanan yang telah datang. Kecuali Dini yang terkadang masih terus 'terganggu' dengan pemandangan kemesraan yang diperlihatkan Rio dan Christa.
Rio terlihat begitu perhatian pada sang istri, sementara Christa terlihat begitu menghargai sang suami. Sungguh pasangan yang benar-benar dimabuk cinta, pikirnya.
Namun, semakin Dini melihat kemesraan itu, dia jadi tidak nyaman. Beruntung, sesekali Dokter Teddy mengajaknya berbicara mengenai makanan mereka, yang akhirnya mampu membuat perhatian Dini teralih.
Hingga kemudian, suara Christa terdengar usai makanan di piring wanita itu sisa sedikit. "Kalau boleh tahu, apa alasanmu ingin membantu kami?"
"Anakku menderita talasemia, dan aku butuh biaya."
Christa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ah, aku turut prihatin untuk anakmu. Pasti berat menghadapi ini." Wanita itu terlihat berempati.
"Itulah kenapa aku meminta dia melakukan tes kesehatan secara menyeluruh, sebelum kita memulai penanaman benih, Sayang." Rio memandang dingin ke arah Dini. "Aku tidak ingin anak kita bernasib sama seperti anaknya."
Lagi, Dini merasa dipojokkan. Apalagi dengan nada bicara Rio yang begitu ketus.
"Sayang!" Christa menyenggol lengan sang suami. Dia kemudian menatap Dini dengan senyum tipisnya, "Maafkan suamiku, Dini. Dia memang agak sedikit kasar kalau bicara. Aku yakin dia tidak bermaksud merendahkanmu, dia hanya khawatir pada calon anak kami."
Dini sadar, matanya memerah. Untuk itu, dia semakin menundukkan kepalanya guna menyembunyikan perasaan sakit.
Kendati begitu, dia mengangguk dan berkata, "Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti."
Namun, Rio tampak belum puas menorehkan luka di hati Dini. Pria itu kembali mengeluarkan kata-kata tajamnya. "Kamu tidak perlu terlalu baik padanya, Sayang. Dia hanya membantu, kita juga sudah berikan kompensasi yang cukup untuknya."
"Sayang--"
"Maaf, Bu, Pak." Merasa tidak sanggup lagi menahan sakit hati, Dini lantas memberanikan diri untuk bangkit. "Sa-saya tidak bisa berlama-lama, sebab anak saya tidak ada yang jaga." Dia agak terbata-bata. "Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan, saya pamit dulu."
Tanpa menunggu jawaban dari dua majikannya, Dini meninggalkan restoran mewah itu.
Ketika sampai di parkiran, tubuhnya seketika luruh. Dadanya naik-turun bersamaan dengan tangisnya yang terdengar pilu.
Dia tidak menyangka, jika ucapan Rio bisa melukainya sampai sedalam ini.
"Apa yang harus kulakukan supaya dia bisa memaafkanku?"
Pagi hari ini, ada yang berbeda dari Dini.Wajah wanita itu tidak secerah biasanya, ditambah jalannya yang terlihat tidakbiasa.Semua ini karena dia yang terlalu banyakmenangis semalam. Sedang kakinya, karena dia berjalan dari restoran hingga kerumah, karena lupa membawa uang dan juga ponselnya.Ekspresi Dini semakin keruh mana kala orangyang semalam membuatnya tersiksa datang ke rumah ini."Mana kopi dan sarapanku?" kata Rioyang langsung duduk di meja makan usai menyapa Anggia."Memangnya di rumah Bapak tidak adasarapan?" Dini berkata ketus, tetapi kemudian kembali sibuk menatalauk-pauk di meja."Aku tidak punya kewajiban menjawabpertanyaanmu!" Rio menatap Dini dengan dingin kendati wanita itu tidakmelihat ke arahnya. "Lagipula, aku sudah membayarmu untuk menurutikeinginanku."Dini menatap garang ke arah Rio. "TapiKak Ri--maksudku, Pak Rio membayarku bukan untuk hal ini.""Terserah. Bagaimana pun, mencaripenggantimu bukan hal sulit untukku." Rio melirik ke arah Anggia yan
"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi,riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengansaya. Apa yang—““Kamu terlalu percaya diri, Dini.” Rio menolehdan menatap dingin Dini dengan seringai tipis di bibirnya. “Aku sudah punyaistri yang sempurna. Kamu pikir, aku akan tergoda denganmu seperti dulu?”Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Riokemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kayaraya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanyalaki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini."Lagi pula aku tidak tertarik denganwanita bekas laki-laki lain!"Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relunghati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejamsekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimakioleh Satrio."Kalau begitu, kenapa Bapak inginberduaan dengan saya di sini?"“Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akanbertindak bo
“Diamlah!”Rio menarik kaki Dini ke atas pangkuannya. MataDini sudah memejam, takut membayangkan yang tidak-tidak.Namun, tidak ada yang terjadi lagi selain kakinyaterasa dipegang oleh Rio dengan begitu hati-hati.“Bapak sedang apa?” tanyanya, bingung.“Apa kamu bodoh?” ujar Rio ketus, tetapimatanya tidak lepas dari luka-luka dan kaki Dini yang terlihat mulaimembengkak. “Kakimu terluka, tetapi tidak mencari bantuan untuk diobati? Apakamu benar-benar ingin membuatku dalam masalah besar?”Kalau ada tempat bersembunyi untuk menutupiwajahnya, Dini rasanya ingin masuk ke tempat itu karena dia malu sekali sempatberpikir Rio akan melakukan melecehkannya. Padahal Dini sadar kalau istri Riokecantikannya tak bisa dibandingkan dengan dirinya yang sekarang.Dugaan Dini salah besar!“Luka sekecil apa pun akan mengganggumu, danmembuat proses bayi tabungku terkendala. Bukan hanya kamu yang dirugikan, akudan istriku justru pihak yang paling dirugikan di sini!”Dini diam. Menurutnya, alasan
“Apa? Bapak mencoba memeras saya?”Kaget, Dini berseru pada Rio.“Bayarannya bukan itu!” Rio kemudian mencuci tangannya di wastafel sebelum kemudian kembali mengangkat Dini dalam gendongannya.Pria itu tidak mengizinkan Dini jalan sendiri alasannya kaki Dini baru diobati dan Rio tidak menutupnya dengan kasa. Alasannya lagi, kasa tidak tersedia di kotak P3K-nya.Dini pasrah, tapi dia juga ingin kepastian dari Rio apa yang pria itu inginkan.Saat Rio sudah mendudukkannya di tempat tidur Dini kembali menagih karena tidak mau berhutang Budi pada Rio lebih banyak lagi. “Lalu, bayaran seperti apa yang Bapak minta?” "Kalau sudah waktunya, nanti aku memberitahumu!" seru Rio yang kembali duduk di samping Dini dan memberikan pijatan.Mulanya, Dini menjerit-jerit kesakitan. Namun, semakin lama ... bahkan nyaris 30 menit Rio melakukannya, dia menjadi semakin nyaman. Rasa sakit itu seolah perlahan sirna."Jangan melakukan kebodohan yang sama yang bisa menyusahkan orang lain!" seru Rio sembari men
"Aku tidak setuju! Kamu pembawa gen Thalasemia!"Syukur suaminya sudah bicara lebih dulu dan menolak penawaran Dini. Karena Christa sejujurnya tak setuju juga.Dia dari awal memang tidak terlalu menyukai Dini. Menurutnya, wanita itu selain kotor, tak berasal dari strata sosial yang sama, satu lagi, bagaimana bisa dia menerima sel telur Dini dan merawat anak itu nantinya seperti anaknya sendiri?Ini tak bisa, Christa jijik!"Rio, cuma gen pembawa. Lagian Kamu kan sehat! Aku rasa nggak ada masalah jika Dini menyumbangkan sel telurnya." Rio memang belum pernah mengecek terkait thalasemia."Daripada kita ambil sel telur asal dari dari pendonor yang gak dikenal, ini akan lebih bermasalah. Dan lagi, kamu tahu kan gimana sistem di Indonesia? Ribet! Kecuali kalau kalian bisa bawa Dini ke luar negeri dan inseminasi buatan di sana. Baru deh, ada kemungkinan bisa cari sel telur di sana."Rio juga paham soal ini. Tapi kemungkinan keluar negeri, apa itu mungkin?"Sayang, papaku akan curiga kalau k
"Pak Rio, hentikan!"Dini meronta, dia bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa yang dimaksud oleh pernyataan Rio barusan.Bayangan tentang penyatuan diri dalam benaknya memang indah. Tapi tidak! Bukan yang seperti itu yang harus mereka lakukan!Hubungannya dengan Rio tidak bisa sejauh itu. Terlebih, Dini punya dua alasan. Rio mencintai istrinya dan dia tak ingin dilecehkan lalu dibuang dan dihinakan. Karena ini lebih buruk dari hubungannya dengan Satrio. Dialah wanita kedua. Dini tak sudi dicap sebagai pelakor.Ditambah lagi, mereka memang tidak boleh melakukannya. Anggia dan penyakitnya adalah rahasia terbesar Dini. Dan dia dilarang melakukan itu dengan Rio. Dini tidak bisa! Dia semakin kuat meronta ingin lepas dari cangkuman Rio."Sssh, kenapa menggigitku, kamu terlalu bernafsu?"Dini memang sengaja menggigit bahu Rio untuk membuat jarak dan menyelamatkan dirinya. Bukan karena dia bernafsu."Pak, apa Anda tidak sadar kalau Anda punya istri?""Lalu apa kamu sadar kalau kamu sudah menik
"Ti, makasih ya, udah nganter sampai sini dan doain saya berhasil ya!""Iya Bu, semangat ya! Saya yakin kalau ibu pasti lolos kok! Masakan ibu kan enak!"Peluang kesempatan untuk mendapatkan project catering di PH tidak akan disia-siakan oleh Dini apalagi setelah mendengar banyak manis yang bisa didapatkannya dari cerita Titi. Setelah mendapat jawaban dari saudaranya Titi yang bekerja di PH dan memikirkan selama dua minggu, akhirnya Dini memberanikan diri untuk ikut.Ini kesempatannya! Lagi pula projectnya salah satu project besar yang akan menghandle catering sekitar 250 orang per harinya untuk satu project sinetron yang sedang naik daun. Nilai yang sangat diharapkan oleh Dini. Dia pun membulatkan hatinya untuk datang ke lokasi test akan dilaksanakan. Dan seharusnya Dini menyerahkan CV tapi karena bantuan dari orang dalam, yaitu saudaranya Titi, dia bisa ikut test penyisihan. Untuk datang ke tempat itu, Dini yang tidak punya uang dan tidak mau menggunakan uang Rio akhirnya menumpang
"Mbak Dini, sabar ya, sebenarnya kita juga heran dengan keputusan ini soalnya dari rasa masakannya, nasi goreng Mbak Dini itu lebih enak! Bahkan kru yang dapat nasi hainan banyak yang minta nasi gorengnya. Soalnya nasi hainan dengan bebek panggangnya amis!"Dini memang kalah dalam memperebutkan tender catering PH. Tapi pujian yang disampaikan oleh saudaranya Titi yang mewakili para kru sudah seperti oase di padang pasir untuknya. Dini sangat bersyukur dan terharu. Masakannya bisa diterima."Terima kasih. Gapapa, Mas. Memang beginilah rezeki. Tidak ada yang tahu. Datang dari mana dan apa yang bisa kita dapat nantinya, semua rahasia ilahi. Cuma aku sangat berterima kasih sama kamu yang sudah kasih aku izin buat ikutan seleksi ini. Padahal aku nggak punya KTP! Dan aku nggak ngisi CV. Makasih ya."Dini paham kalaupun dia lolos, dia akan dapat kendala baru saat tanda tangan kontrak karena tidak punya data pribadi tentang dirinya.Jadi dia legowo dan tak mau berlama-lama di sana, izin pami
"Kamu nih--"UWEEEEEK! UWEEEEK!Siapa suruh Rio tadi tak mau menuruti Dini?Kan tadi sudah dibilang kalau Dini ingin ke kamar mandi tapi dikiranya hanya berpura-pura saja.Yang ada keluarlah semua yang membuat Dini merasa mual. Dan Rio tidak lagi bisa menghindar ketika muntahan itu mengenai roti sobek perutnya yang terpahat sempurna.Dia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi ketika Dini masih terus memuntahkan semua yang membuatnya tak nyaman hingga wanita itu terlihat lemas."Sudah?""Hm. Maaf," dan sejujurnya Dini juga merasa tidak enak.Alhasil, Dini tak berani menatap Rio tapi dia juga tidak mau disalahkan. Apalagi Rio masih diam setelah tadi dia meminta maaf."Aku kan sudah mengingatkan dari awal kalau aku ingin muntah. Tapi kamu yang tidak mau menyingkir.""Kapan tanggal menstruasimu?""Eh, itu--"Dini juga tidak bisa menjawabnya dia diam karena tanggalnya sering sekali berubah-ubah."Sudahlah tak perlu menjawab!""Eh, turunkan aku!"Rio seperti frustasi sendiri menunggu Dini menj
"Sudah. Tapi karena Om Rio-nya Anggia sudah besar dan bukan kakak Mama, jadi lebih baik Mama panggilnya Pak Rio. Karena kalau mama panggilnya Kak Rio, orang akan risih dan istrinya Om Rio akan terganggu, Anggia. Itu gak boleh." Dini yakin jawabannya sudah sangat diplomatis dan seharusnya tidak ada celah! Lagian dia masih ingat betul yang dikatakan Rio kalau pria itu risih dengan panggilan Dini dulu padanya. Tak ada alasan lagi untuk Dini membiarkan mulutnya memanggil dengan cara yang sama. Dini tahu putrinya pasti ingin bertanya lagi makanya jarinya sudah menunjuk ke arah kue ulang tahun. "Mama udah bikin kue ulang tahun loh buat Anggia. Jadi gimana nih? Mau tiup lilin dulu atau mau makan dulu?" Ada senyum yang kelewat manis diberikan Dini pada putrinya. Buat Dini Anggia adalah segalanya. Tanpa Anggia mungkin dia tidak punya harapan untuk hidup sekarang. Bisa saja dia khilaf dan bunuh diri. "Makan kue dulu, habis itu potong kuenya ya Ma!" "Oke sayang! Ayo kita nyanyi dulu y
"Pak Rio, kumohon. Hari ini adalah hari ulang tahun putriku. Dan aku ingin merayakan dengannya dulu. Tolong, jangan buat aku kesakitan sekarang.""Tak ada yang bisa melarangku!""Tidak melarang. Hanya menunda. Saya mohon Pak, jika Anda masih punya hati maka Anda akan mengizinkan saya merayakan hari jadi putri saya dulu dan nanti saya akan lakukan apapun untuk Anda setelah acara ini."Masih dengan tangannya yang menahan tangan Rio supaya tidak mengganggu intinya, Dini lagi-lagi kembali merendahkan dirinya di hadapan Rio demi putrinya.Entah sudah keberapa kali dia mengalah dan berusaha untuk membuat pria itu sedikit saja mengerti tentang kondisinya.Tapi apakah permohonan tulus Dini yang sekarang bisa menahan Rio memenuhi keinginannya lebih lanjut? Apa pria itu bisa mengerti?"Lalu bagaimana dengan diriku? Apa pernah kamu memberikan waktu untuk mengerti alasanmu pergi?""Pak Rio, itu-""Tidak pernah. Kamu tidak memberikanku waktu dan penjelasan. Kamu pergi begitu saja meninggalkanku di
Dini: Terima kasih Mas ucapannya. Nanti akan aku sampaikan pada Anggia dia pasti senang sekali dapat hadiah itu. Tapi saat Rio sedang mengenang apa yang dikatakan Darsa dalam ruangan Teddy, tiba-tiba pikirannya terdistraksi oleh suara Dini yang masih bicara dengan Darsa.Rio tak tahu apa yang ditawarkan oleh Darsa sebagai hadiah untuk Anggia tapi rasa di dalam hatinya tidak suka saja apalagi sudah melihat senyum di wajah Dini.Emosi dan pikiran Rio jadi ngelantur kemana-mana. Tapi untung saja matanya menatap ke sesuatu yang dikenakan Dini. Sebuah ide pun muncul di dalam benaknya. Dia tak akan membiarkan Dini enak-enakan bicara dengan seseorang yang menjadi orang nomor satu yang tak disukainya saat ini. Rio mendekat pada Dini dan tangannya menyingkap dress dengan bawahan bentuk A yang dikenakan Dini."Hentikan!"Darsa: Eh, ada apa Dini?Dini: Eh, enggak Mas, anu, aku lagi sambil nonton TV. Ada dramanya dan aku kaget saja waktu tadi tokoh prianya mengganggu tokoh wanita.Mata Dini aw
"Pak Rio, tidak puaskah Anda melecehkan saya tadi malam dan saat ini melakukannya lagi di hari ulang tahun putri saya?""Apa seorang suami menyentuh istrinya itu namanya pelecehan?"Rio membalikkan badan Dini dan menatap wajah wanita itu dengan posisi yang sangat dekat sekali. Jadi saja Dini yang tingginya cuma sebahu Rio jadi nervous.Apa lagi pas dirinya mendongak, tepat sekali mata Dini mengarah ke bibir Rio."Kenapa memperhatikan bibirku? Ingat kecupan semalam dan ingin lagi?"Ah, sial sekali. Dini sama sekali tidak menginginkan itu. Tapi ya kenapa juga dia malah mengarahkan matanya ke sana? Pandai saja Rio memanfaatkan keadaannya."Boleh juga, Anda mau melayani saya dengan kecupan itu lagi? Mumpung Anda belum menceraikan saya, kayaknya saya bisa menikmati itu dulu. Sebelum nanti, kalau saya sudah melahirkan anak itu kan saya tidak bisa lagi merasakan service plus-plus dari Bapak Rio Ravindra."Masa bodolah Rio mau suka atau tidak suka yang penting Dini sudah membalasnya. Enak saj
"Iya Mama, tadi pagi juga aku yang mandiin Om Rio. Iya kan Suster Titi?""Iya, Kak Anggia."Sebenarnya yang salah itu telinga Dini atau memang dia masih ada di alam mimpikah?Diam-diam, Dini mencubit kecil punggung tangannya dan merasakan perihnya.Rasanya dia tidak mimpi. Jadi benar Rio menemani Anggia? Tapi Kenapa ini sulit diterima olehnya?Apalagi mengingat perlakuan Rio tadi malam. Wah, Dini yakin, pasti ada yang konslet dengan pikiran pria itu. Bahkan dia rela memberikan mainan-mainan mahal pada putrinya.Tapi ... kenapa Rio masih ada di rumah ini semalam? Lalu bagaimana nasib orang yang menghubunginya?Apa Rio berbohong pada Dini? Apa telepon itu palsu? Tapi kenapa dia harus berbohong? Iseng sekali bukan? Atau ... apa mungkin ini semua dilakukannya karena Rio merasa sangat bahagia setelah menyiksa Dini?Cuma semakin dipikirkan semakin pikiran Dini tidak mengerti apa yang diinginkan oleh pria itu. "Mama, Anggia nanti dapet kado apa dari Mama?"Dan sudahlah! Tidak perlu dipikirk
"Terserah aku dong mau melakukan apa pada milikku!""Apa Anda tahu Anda sangat tidak punya hati?"Dini tidak tahu lagi harus mengatakan apa! Tubuhnya yang dikekang membuatnya tidak bisa melakukan apapun dan sekarang dia semakin khawatir karena Rio seperti ingin menjerumuskannya lebih dalam.Buat apa dia merekam Dini tanpa busana dan sedang dieksekusi olehnya kalau tidak untuk niat jahat?"Aku tidak punya hati? Lebih tidak punya hati mana daripada seorang wanita yang meninggalkan kekasih yang sangat mencintainya dan sangat berharap bersama dengannya tapi dia mematahkan harapannya itu hanya karena masalah kekasihnya miskin? Meninggalkannya tanpa kabar!""Pak Rio-""Itu impian dan harapan Dini! Itu masa depa, hidup dan mimpi seseorang! Tapi kamu menghancurkannya setelah membawa angan itu melayang tingga. Apa kamu pikir hanya wanita yang bisa patah hati?""Ya sudah terserah saja dengan Pak Rio ingin melakukan apa! Membalas dendam pada saya? Lakukan! Sampai Bapak puas!"Dini sudah lelah di
"Aaakh, lepaskan!"Dini, dia tadinya ingin memaksakan diri tetap keluar dari mobil tapi tangannya kembali ditarik oleh Rio.Cukup kuat hingga dirinya tersentak dan tubuhnya sampai menubruk Rio."Apa mau Anda?" protes Dini, dia tak bisa membiarkan Rio melukainya lagi tapi sayang Dini kalah kuat dengan Rio"Kenapa saya harus pakai jas Anda?"Dini tidak tahu apa niatan Rio yang lain. Tapi jas yang tadi dibuka oleh pria itu kini sudah dikenakan olehnya di tubuh Dini!Rio tidak menjelaskan apapun. Hanya menarik Dini ke atas pangkuannya dan dia membuka pintu, lalu kedua tangannya merengkuh tubuh Dini"Turunkan saya!""Diam! Atau jangan salahkan jika aku menggunakan Anggia sebagai balasan untukmu karena tidak patuh!"Dini tidak minta digendong. Dini juga tidak minta Rio untuk memberikan jas itu menutupi pakaian dalamnya. Tapi Rio sendiri yang memakaikannya dan kini kedua tangan itu juga mengangkat tubuh Dini masuk ke tempat tinggal mereka.Jangan tanya betapa kesalnya Dini saat itu. Tapi ber
"Pak Rio, hentikan!"Tapi percuma juga Dini memekik, berusaha melepaskan diri, atau memukul-mukul Rio. Pria itu sudah seperti kerasukan iblis entah dari mana datangnya dan tidak lagi memedulikan perasaan Dini.Pakaian Dini sudah compang-camping akibat ulah tarikan tangannya. Belum lagi bibirnya yang buas, bergerak menyusuri wajah Dini seperti sedang menikmati makanan enak. Tak cukup sampai di sana. leher jenjang Dini juga menjadi mangsanya dan Rio meninggalkan jejak-jejak merah dan biru lebam bukan hanya di satu spot. Rio dengan kasar memaksa Dini menerima setiap sentuhan yang tidak bisa dibilang nikmat. Itu sakit! Dini menjerit dan sekuat tenaga, meronta juga tidak bisa saat tubuh besar Rio menindih badannya yang kecil dan ringkih. Gigitan-gigitan dari giginya yang memberikan bekas di dua gunung Dini juga meninggalkan perih. Ada beberapa bahkan yang membuat luka berdarah. Tak ada guna Dini memekik karena kaca mobil Rio tidak tembus pandang. Ditambah lagi ada sekat antara driver de