Pagi hari ini, ada yang berbeda dari Dini. Wajah wanita itu tidak secerah biasanya, ditambah jalannya yang terlihat tidak biasa.
Semua ini karena dia yang terlalu banyak menangis semalam. Sedang kakinya, karena dia berjalan dari restoran hingga ke rumah, karena lupa membawa uang dan juga ponselnya.
Ekspresi Dini semakin keruh mana kala orang yang semalam membuatnya tersiksa datang ke rumah ini.
"Mana kopi dan sarapanku?" kata Rio yang langsung duduk di meja makan usai menyapa Anggia.
"Memangnya di rumah Bapak tidak ada sarapan?" Dini berkata ketus, tetapi kemudian kembali sibuk menata lauk-pauk di meja.
"Aku tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu!" Rio menatap Dini dengan dingin kendati wanita itu tidak melihat ke arahnya. "Lagipula, aku sudah membayarmu untuk menuruti keinginanku."
Dini menatap garang ke arah Rio. "Tapi Kak Ri--maksudku, Pak Rio membayarku bukan untuk hal ini."
"Terserah. Bagaimana pun, mencari penggantimu bukan hal sulit untukku." Rio melirik ke arah Anggia yang sudah fokus dengan makanannya, tidak mengindahkan perdebatan orang dewasa di hadapannya. "Tapi coba pikirkan, siapa yang mau menanggung biaya pengobatannya?"
Dini berdecak dan menghela napas panjang. "Tunggu sebentar."
Meski sebal, Dini tetap ke dapur untuk menyiapkan tambahan sarapan yang diminta Rio.
Saat itulah, mata Rio mengamati ada yang berbeda dari Dini.
Langkah kaki wanita itu terlihat tertatih. Namun, pria itu menahan pertanyaannya, menunggu hingga Dini kembali usai mengambilkan makanan untuknya.
"Ada apa dengan kakimu?" tanya Rio datar, enggan menatap juga ke arah Dini.
"Terkilir," kilah Dini menyembunyikan kebenarannya.
Rio terlihat mengangguk pelan, tetapi kemudian mulut tajamnya kembali berujar, "Ceroboh! Bagaimana bisa kamu menjaga calon anakku kalau kamu saja tidak bisa menjaga dirimu?"
Tidak tahan, Dini meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Dia lantas menoleh ke Anggia. "Sayang, kalau sudah selesai makannya, main sama suster dulu, ya."
Bocah itu menurut, dan langsung bergegas pergi dari meja makan.
Usai tinggal hanya Dini dan Rio di meja itu, suasana berubah menjadi lebih dingin.
"Sepertinya Bapak tidak benar-benar percaya dengan saya untuk menjadi ibu pengganti." Dini berujar tegas, menatap tajam ke arah Rio yang juga tengah menatapnya sengit. "Kalau Bapak ragu, saya bersedia mengundurkan diri."
Dini berdiri dari duduknya, menyebabkan bangku makan yang tadi dia duduki berdecit nyaring.
Rio berdecih, menatap semakin dingin dengan seringai tipis di bibir.
"Kamu benar-benar bukan Dini yang kukenal dulu," katanya dengan suara dalam. "Ke mana Dini, gadis manis dan penurut yang kukenal dulu?"
'Kak Rio juga berubah. Kakak bukan lagi pria yang kukenal dulu.' Rasanya, Dini ingin sekali berujar demikian. Namun, dia menahannya hanya keluar di pikiran.
"Apa Kakak sengaja mengulur-ulur waktu proses penanaman embrio untuk menyiksaku?" tanya Dini dengan sorot nanar. "Apa Kakak berniat membalas dendam karena kesalahanku di masa lalu?"
"Balas dendam?" Rio mengulang kata-kata Dini, kemudian tertawa sumbang. "Apa untungnya untukku?" Dia menatap Dini dalam-dalam. "Apa kamu merasa dirugikan atas kesepakatan kita?" tantang Rio lagi.
Di tempatnya, Dini diam mematung.
Secara materil, dia memang tidak dirugikan. Justru, Rio memberikan segala yang dia butuhkan mulai dari biaya perobatan sang anak, uang harian-bulanan, hingga tempat tinggal.
Namun, secara batin ... Dini merasa Rio benar-benar sedang menyiksanya. Apalagi dengan kesepakatan, jika dia hanya bisa terbebas setelah wanita itu melahirkan keturunan untuk pria itu.
"Tidak." Akhirnya, Dini menjawab pertanyaan Rio. Dia lantas mengukir senyum, meski tatapannya masih menghujam. "Lantas, kapan saya bisa membalas budi pada Pak Rio yang dermawan?" ujar Dini mengubah sapaannya menjadi lebih formal.
"Bersiaplah, dua hari lagi Teddy akan mengatur jadwal untuk pengecekan kesehatanmu."
Dini mengangguk patuh. "Baiklah. Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, saya permisi."
"Siapa yang menyuruhmu pergi?" Suara bariton Rio kembali menahan langkah Dini yang sudah memutar tubuh. "Aku ingin berbicara denganmu, tapi tidak di sini." Kemudian, Rio bangun dari duduknya dan berkata, "Ikut aku!"
Rio memimpin langkah, sedang Dini mengekor di belakang. Namun, ketika pria itu berhenti di sebuah pintu kamar, yang tidak lain adalah kamar selama dia berada di sini ... Langkah Dini spontan berhenti.
'Mau apa dia mengajakku berbicara di dalam kamar?'
"Pak Rio, saya tahu ini rumah Anda. Tapi,riskan sekali kalau dilihat orang Anda masuk ke dalam kamar ini berdua dengansaya. Apa yang—““Kamu terlalu percaya diri, Dini.” Rio menolehdan menatap dingin Dini dengan seringai tipis di bibirnya. “Aku sudah punyaistri yang sempurna. Kamu pikir, aku akan tergoda denganmu seperti dulu?”Mengingat kesempurnaan tubuh istrinya Riokemarin, cantik, wangi, tubuhnya bersih dengan kulit terawat, dan pastinya kayaraya, Dini tak ragu menggelengkan kepalanya. Wanita itu sempurna. Hanyalaki-laki bodoh yang mau mengganti Christa dengan wanita seperti Dini."Lagi pula aku tidak tertarik denganwanita bekas laki-laki lain!"Pedih, lagi-lagi Rio bicara melukai relunghati Dini. Memang Rio tidak melukai fisik Dini, tapi kata-katanya sangat kejamsekali. Ini lebih menyakitkan untuknya ketimbang dipukul, diusir, dan dimakioleh Satrio."Kalau begitu, kenapa Bapak inginberduaan dengan saya di sini?"“Aku hanya ingin memastikan kamu tidak akanbertindak bo
“Diamlah!”Rio menarik kaki Dini ke atas pangkuannya. MataDini sudah memejam, takut membayangkan yang tidak-tidak.Namun, tidak ada yang terjadi lagi selain kakinyaterasa dipegang oleh Rio dengan begitu hati-hati.“Bapak sedang apa?” tanyanya, bingung.“Apa kamu bodoh?” ujar Rio ketus, tetapimatanya tidak lepas dari luka-luka dan kaki Dini yang terlihat mulaimembengkak. “Kakimu terluka, tetapi tidak mencari bantuan untuk diobati? Apakamu benar-benar ingin membuatku dalam masalah besar?”Kalau ada tempat bersembunyi untuk menutupiwajahnya, Dini rasanya ingin masuk ke tempat itu karena dia malu sekali sempatberpikir Rio akan melakukan melecehkannya. Padahal Dini sadar kalau istri Riokecantikannya tak bisa dibandingkan dengan dirinya yang sekarang.Dugaan Dini salah besar!“Luka sekecil apa pun akan mengganggumu, danmembuat proses bayi tabungku terkendala. Bukan hanya kamu yang dirugikan, akudan istriku justru pihak yang paling dirugikan di sini!”Dini diam. Menurutnya, alasan
“Apa? Bapak mencoba memeras saya?”Kaget, Dini berseru pada Rio.“Bayarannya bukan itu!” Rio kemudian mencuci tangannya di wastafel sebelum kemudian kembali mengangkat Dini dalam gendongannya.Pria itu tidak mengizinkan Dini jalan sendiri alasannya kaki Dini baru diobati dan Rio tidak menutupnya dengan kasa. Alasannya lagi, kasa tidak tersedia di kotak P3K-nya.Dini pasrah, tapi dia juga ingin kepastian dari Rio apa yang pria itu inginkan.Saat Rio sudah mendudukkannya di tempat tidur Dini kembali menagih karena tidak mau berhutang Budi pada Rio lebih banyak lagi. “Lalu, bayaran seperti apa yang Bapak minta?” "Kalau sudah waktunya, nanti aku memberitahumu!" seru Rio yang kembali duduk di samping Dini dan memberikan pijatan.Mulanya, Dini menjerit-jerit kesakitan. Namun, semakin lama ... bahkan nyaris 30 menit Rio melakukannya, dia menjadi semakin nyaman. Rasa sakit itu seolah perlahan sirna."Jangan melakukan kebodohan yang sama yang bisa menyusahkan orang lain!" seru Rio sembari men
"Aku tidak setuju! Kamu pembawa gen Thalasemia!"Syukur suaminya sudah bicara lebih dulu dan menolak penawaran Dini. Karena Christa sejujurnya tak setuju juga.Dia dari awal memang tidak terlalu menyukai Dini. Menurutnya, wanita itu selain kotor, tak berasal dari strata sosial yang sama, satu lagi, bagaimana bisa dia menerima sel telur Dini dan merawat anak itu nantinya seperti anaknya sendiri?Ini tak bisa, Christa jijik!"Rio, cuma gen pembawa. Lagian Kamu kan sehat! Aku rasa nggak ada masalah jika Dini menyumbangkan sel telurnya." Rio memang belum pernah mengecek terkait thalasemia."Daripada kita ambil sel telur asal dari dari pendonor yang gak dikenal, ini akan lebih bermasalah. Dan lagi, kamu tahu kan gimana sistem di Indonesia? Ribet! Kecuali kalau kalian bisa bawa Dini ke luar negeri dan inseminasi buatan di sana. Baru deh, ada kemungkinan bisa cari sel telur di sana."Rio juga paham soal ini. Tapi kemungkinan keluar negeri, apa itu mungkin?"Sayang, papaku akan curiga kalau k
"Pak Rio, hentikan!"Dini meronta, dia bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa yang dimaksud oleh pernyataan Rio barusan.Bayangan tentang penyatuan diri dalam benaknya memang indah. Tapi tidak! Bukan yang seperti itu yang harus mereka lakukan!Hubungannya dengan Rio tidak bisa sejauh itu. Terlebih, Dini punya dua alasan. Rio mencintai istrinya dan dia tak ingin dilecehkan lalu dibuang dan dihinakan. Karena ini lebih buruk dari hubungannya dengan Satrio. Dialah wanita kedua. Dini tak sudi dicap sebagai pelakor.Ditambah lagi, mereka memang tidak boleh melakukannya. Anggia dan penyakitnya adalah rahasia terbesar Dini. Dan dia dilarang melakukan itu dengan Rio. Dini tidak bisa! Dia semakin kuat meronta ingin lepas dari cangkuman Rio."Sssh, kenapa menggigitku, kamu terlalu bernafsu?"Dini memang sengaja menggigit bahu Rio untuk membuat jarak dan menyelamatkan dirinya. Bukan karena dia bernafsu."Pak, apa Anda tidak sadar kalau Anda punya istri?""Lalu apa kamu sadar kalau kamu sudah menik
"Ti, makasih ya, udah nganter sampai sini dan doain saya berhasil ya!""Iya Bu, semangat ya! Saya yakin kalau ibu pasti lolos kok! Masakan ibu kan enak!"Peluang kesempatan untuk mendapatkan project catering di PH tidak akan disia-siakan oleh Dini apalagi setelah mendengar banyak manis yang bisa didapatkannya dari cerita Titi. Setelah mendapat jawaban dari saudaranya Titi yang bekerja di PH dan memikirkan selama dua minggu, akhirnya Dini memberanikan diri untuk ikut.Ini kesempatannya! Lagi pula projectnya salah satu project besar yang akan menghandle catering sekitar 250 orang per harinya untuk satu project sinetron yang sedang naik daun. Nilai yang sangat diharapkan oleh Dini. Dia pun membulatkan hatinya untuk datang ke lokasi test akan dilaksanakan. Dan seharusnya Dini menyerahkan CV tapi karena bantuan dari orang dalam, yaitu saudaranya Titi, dia bisa ikut test penyisihan. Untuk datang ke tempat itu, Dini yang tidak punya uang dan tidak mau menggunakan uang Rio akhirnya menumpang
"Mbak Dini, sabar ya, sebenarnya kita juga heran dengan keputusan ini soalnya dari rasa masakannya, nasi goreng Mbak Dini itu lebih enak! Bahkan kru yang dapat nasi hainan banyak yang minta nasi gorengnya. Soalnya nasi hainan dengan bebek panggangnya amis!"Dini memang kalah dalam memperebutkan tender catering PH. Tapi pujian yang disampaikan oleh saudaranya Titi yang mewakili para kru sudah seperti oase di padang pasir untuknya. Dini sangat bersyukur dan terharu. Masakannya bisa diterima."Terima kasih. Gapapa, Mas. Memang beginilah rezeki. Tidak ada yang tahu. Datang dari mana dan apa yang bisa kita dapat nantinya, semua rahasia ilahi. Cuma aku sangat berterima kasih sama kamu yang sudah kasih aku izin buat ikutan seleksi ini. Padahal aku nggak punya KTP! Dan aku nggak ngisi CV. Makasih ya."Dini paham kalaupun dia lolos, dia akan dapat kendala baru saat tanda tangan kontrak karena tidak punya data pribadi tentang dirinya.Jadi dia legowo dan tak mau berlama-lama di sana, izin pami
"Nah, benar kamu Dini? Kamu-- apa kabarnya? Mas hampir aja nggak ngenalin kamu loh! Kenapa kamu jadi kurusan kayak gini? Dini sehat?""Mas Darsa sendiri ngapain disini?""Loh, ini kan stasiun televisi miliknya Mas. Kamu lupa kalau Mas punya stasiun TV?"Dini meringis kecil dan dia mengangguk merasa malu sekaligus menyesal karena dia sama sekali tidak kepikiran tentang Darsa dan stasiun televisinya. Dan jelas mimik wajah Dini juga cara Darsa menyapanya membuat Christa tak suka. Begitupun Rio yang memang tanpa ekspresi tapi sebenarnya memiliki keingintahuan yang besar di dalam hatinya. Mereka menanti jawaban Dini."Dan ... kamu kenal sama Christa?""Ketemu tadi di dalam Mas. aku ikutan seleksi buat tender catering. Kebetulan Ibu Christa jurinya.""Oh ya, apa kamu yang bikin nasi goreng itu dan menang?" Dini dan Christa jujur saja kaget ketika Darsa langsung menebak begitu.Christa mulai ketar-ketir menunggu jawaban Dini dan sebetulnya dia ingin menerobos bicara untuk menyelamatkan diri
"Kamu nih--"UWEEEEEK! UWEEEEK!Siapa suruh Rio tadi tak mau menuruti Dini?Kan tadi sudah dibilang kalau Dini ingin ke kamar mandi tapi dikiranya hanya berpura-pura saja.Yang ada keluarlah semua yang membuat Dini merasa mual. Dan Rio tidak lagi bisa menghindar ketika muntahan itu mengenai roti sobek perutnya yang terpahat sempurna.Dia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi ketika Dini masih terus memuntahkan semua yang membuatnya tak nyaman hingga wanita itu terlihat lemas."Sudah?""Hm. Maaf," dan sejujurnya Dini juga merasa tidak enak.Alhasil, Dini tak berani menatap Rio tapi dia juga tidak mau disalahkan. Apalagi Rio masih diam setelah tadi dia meminta maaf."Aku kan sudah mengingatkan dari awal kalau aku ingin muntah. Tapi kamu yang tidak mau menyingkir.""Kapan tanggal menstruasimu?""Eh, itu--"Dini juga tidak bisa menjawabnya dia diam karena tanggalnya sering sekali berubah-ubah."Sudahlah tak perlu menjawab!""Eh, turunkan aku!"Rio seperti frustasi sendiri menunggu Dini menj
"Sudah. Tapi karena Om Rio-nya Anggia sudah besar dan bukan kakak Mama, jadi lebih baik Mama panggilnya Pak Rio. Karena kalau mama panggilnya Kak Rio, orang akan risih dan istrinya Om Rio akan terganggu, Anggia. Itu gak boleh." Dini yakin jawabannya sudah sangat diplomatis dan seharusnya tidak ada celah! Lagian dia masih ingat betul yang dikatakan Rio kalau pria itu risih dengan panggilan Dini dulu padanya. Tak ada alasan lagi untuk Dini membiarkan mulutnya memanggil dengan cara yang sama. Dini tahu putrinya pasti ingin bertanya lagi makanya jarinya sudah menunjuk ke arah kue ulang tahun. "Mama udah bikin kue ulang tahun loh buat Anggia. Jadi gimana nih? Mau tiup lilin dulu atau mau makan dulu?" Ada senyum yang kelewat manis diberikan Dini pada putrinya. Buat Dini Anggia adalah segalanya. Tanpa Anggia mungkin dia tidak punya harapan untuk hidup sekarang. Bisa saja dia khilaf dan bunuh diri. "Makan kue dulu, habis itu potong kuenya ya Ma!" "Oke sayang! Ayo kita nyanyi dulu y
"Pak Rio, kumohon. Hari ini adalah hari ulang tahun putriku. Dan aku ingin merayakan dengannya dulu. Tolong, jangan buat aku kesakitan sekarang.""Tak ada yang bisa melarangku!""Tidak melarang. Hanya menunda. Saya mohon Pak, jika Anda masih punya hati maka Anda akan mengizinkan saya merayakan hari jadi putri saya dulu dan nanti saya akan lakukan apapun untuk Anda setelah acara ini."Masih dengan tangannya yang menahan tangan Rio supaya tidak mengganggu intinya, Dini lagi-lagi kembali merendahkan dirinya di hadapan Rio demi putrinya.Entah sudah keberapa kali dia mengalah dan berusaha untuk membuat pria itu sedikit saja mengerti tentang kondisinya.Tapi apakah permohonan tulus Dini yang sekarang bisa menahan Rio memenuhi keinginannya lebih lanjut? Apa pria itu bisa mengerti?"Lalu bagaimana dengan diriku? Apa pernah kamu memberikan waktu untuk mengerti alasanmu pergi?""Pak Rio, itu-""Tidak pernah. Kamu tidak memberikanku waktu dan penjelasan. Kamu pergi begitu saja meninggalkanku di
Dini: Terima kasih Mas ucapannya. Nanti akan aku sampaikan pada Anggia dia pasti senang sekali dapat hadiah itu. Tapi saat Rio sedang mengenang apa yang dikatakan Darsa dalam ruangan Teddy, tiba-tiba pikirannya terdistraksi oleh suara Dini yang masih bicara dengan Darsa.Rio tak tahu apa yang ditawarkan oleh Darsa sebagai hadiah untuk Anggia tapi rasa di dalam hatinya tidak suka saja apalagi sudah melihat senyum di wajah Dini.Emosi dan pikiran Rio jadi ngelantur kemana-mana. Tapi untung saja matanya menatap ke sesuatu yang dikenakan Dini. Sebuah ide pun muncul di dalam benaknya. Dia tak akan membiarkan Dini enak-enakan bicara dengan seseorang yang menjadi orang nomor satu yang tak disukainya saat ini. Rio mendekat pada Dini dan tangannya menyingkap dress dengan bawahan bentuk A yang dikenakan Dini."Hentikan!"Darsa: Eh, ada apa Dini?Dini: Eh, enggak Mas, anu, aku lagi sambil nonton TV. Ada dramanya dan aku kaget saja waktu tadi tokoh prianya mengganggu tokoh wanita.Mata Dini aw
"Pak Rio, tidak puaskah Anda melecehkan saya tadi malam dan saat ini melakukannya lagi di hari ulang tahun putri saya?""Apa seorang suami menyentuh istrinya itu namanya pelecehan?"Rio membalikkan badan Dini dan menatap wajah wanita itu dengan posisi yang sangat dekat sekali. Jadi saja Dini yang tingginya cuma sebahu Rio jadi nervous.Apa lagi pas dirinya mendongak, tepat sekali mata Dini mengarah ke bibir Rio."Kenapa memperhatikan bibirku? Ingat kecupan semalam dan ingin lagi?"Ah, sial sekali. Dini sama sekali tidak menginginkan itu. Tapi ya kenapa juga dia malah mengarahkan matanya ke sana? Pandai saja Rio memanfaatkan keadaannya."Boleh juga, Anda mau melayani saya dengan kecupan itu lagi? Mumpung Anda belum menceraikan saya, kayaknya saya bisa menikmati itu dulu. Sebelum nanti, kalau saya sudah melahirkan anak itu kan saya tidak bisa lagi merasakan service plus-plus dari Bapak Rio Ravindra."Masa bodolah Rio mau suka atau tidak suka yang penting Dini sudah membalasnya. Enak saj
"Iya Mama, tadi pagi juga aku yang mandiin Om Rio. Iya kan Suster Titi?""Iya, Kak Anggia."Sebenarnya yang salah itu telinga Dini atau memang dia masih ada di alam mimpikah?Diam-diam, Dini mencubit kecil punggung tangannya dan merasakan perihnya.Rasanya dia tidak mimpi. Jadi benar Rio menemani Anggia? Tapi Kenapa ini sulit diterima olehnya?Apalagi mengingat perlakuan Rio tadi malam. Wah, Dini yakin, pasti ada yang konslet dengan pikiran pria itu. Bahkan dia rela memberikan mainan-mainan mahal pada putrinya.Tapi ... kenapa Rio masih ada di rumah ini semalam? Lalu bagaimana nasib orang yang menghubunginya?Apa Rio berbohong pada Dini? Apa telepon itu palsu? Tapi kenapa dia harus berbohong? Iseng sekali bukan? Atau ... apa mungkin ini semua dilakukannya karena Rio merasa sangat bahagia setelah menyiksa Dini?Cuma semakin dipikirkan semakin pikiran Dini tidak mengerti apa yang diinginkan oleh pria itu. "Mama, Anggia nanti dapet kado apa dari Mama?"Dan sudahlah! Tidak perlu dipikirk
"Terserah aku dong mau melakukan apa pada milikku!""Apa Anda tahu Anda sangat tidak punya hati?"Dini tidak tahu lagi harus mengatakan apa! Tubuhnya yang dikekang membuatnya tidak bisa melakukan apapun dan sekarang dia semakin khawatir karena Rio seperti ingin menjerumuskannya lebih dalam.Buat apa dia merekam Dini tanpa busana dan sedang dieksekusi olehnya kalau tidak untuk niat jahat?"Aku tidak punya hati? Lebih tidak punya hati mana daripada seorang wanita yang meninggalkan kekasih yang sangat mencintainya dan sangat berharap bersama dengannya tapi dia mematahkan harapannya itu hanya karena masalah kekasihnya miskin? Meninggalkannya tanpa kabar!""Pak Rio-""Itu impian dan harapan Dini! Itu masa depa, hidup dan mimpi seseorang! Tapi kamu menghancurkannya setelah membawa angan itu melayang tingga. Apa kamu pikir hanya wanita yang bisa patah hati?""Ya sudah terserah saja dengan Pak Rio ingin melakukan apa! Membalas dendam pada saya? Lakukan! Sampai Bapak puas!"Dini sudah lelah di
"Aaakh, lepaskan!"Dini, dia tadinya ingin memaksakan diri tetap keluar dari mobil tapi tangannya kembali ditarik oleh Rio.Cukup kuat hingga dirinya tersentak dan tubuhnya sampai menubruk Rio."Apa mau Anda?" protes Dini, dia tak bisa membiarkan Rio melukainya lagi tapi sayang Dini kalah kuat dengan Rio"Kenapa saya harus pakai jas Anda?"Dini tidak tahu apa niatan Rio yang lain. Tapi jas yang tadi dibuka oleh pria itu kini sudah dikenakan olehnya di tubuh Dini!Rio tidak menjelaskan apapun. Hanya menarik Dini ke atas pangkuannya dan dia membuka pintu, lalu kedua tangannya merengkuh tubuh Dini"Turunkan saya!""Diam! Atau jangan salahkan jika aku menggunakan Anggia sebagai balasan untukmu karena tidak patuh!"Dini tidak minta digendong. Dini juga tidak minta Rio untuk memberikan jas itu menutupi pakaian dalamnya. Tapi Rio sendiri yang memakaikannya dan kini kedua tangan itu juga mengangkat tubuh Dini masuk ke tempat tinggal mereka.Jangan tanya betapa kesalnya Dini saat itu. Tapi ber
"Pak Rio, hentikan!"Tapi percuma juga Dini memekik, berusaha melepaskan diri, atau memukul-mukul Rio. Pria itu sudah seperti kerasukan iblis entah dari mana datangnya dan tidak lagi memedulikan perasaan Dini.Pakaian Dini sudah compang-camping akibat ulah tarikan tangannya. Belum lagi bibirnya yang buas, bergerak menyusuri wajah Dini seperti sedang menikmati makanan enak. Tak cukup sampai di sana. leher jenjang Dini juga menjadi mangsanya dan Rio meninggalkan jejak-jejak merah dan biru lebam bukan hanya di satu spot. Rio dengan kasar memaksa Dini menerima setiap sentuhan yang tidak bisa dibilang nikmat. Itu sakit! Dini menjerit dan sekuat tenaga, meronta juga tidak bisa saat tubuh besar Rio menindih badannya yang kecil dan ringkih. Gigitan-gigitan dari giginya yang memberikan bekas di dua gunung Dini juga meninggalkan perih. Ada beberapa bahkan yang membuat luka berdarah. Tak ada guna Dini memekik karena kaca mobil Rio tidak tembus pandang. Ditambah lagi ada sekat antara driver de