Selama berhari-hari mas Andi tidak bertegur sapa dengan ibunya. Bukan bermaksud menjadi anak durhaka, tetapi mas andi hanya merasa kecewa dengan sifat memalukan ibunya.
Tanpa sepengetahuan kami ibu mertua pergi dari rumah dan kami yakini kerumah mas Doddy. Karena setiap ada pertengkaran antara mas Andi dan ibu mertua selalu pergi mencari pembelaan ke mas Doddy. Bukannya menjadi penengah, mas Doddy dan mbak Elis akan semakin memperkeruh suasana. Terlebih mereka begitu tidak menyukaiku.
Mas Andi kembali mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat dirinya memutuskan keluar dari rumah dan tinggal bersama keluarga ayahnya. Dari cerita yang diperoleh dari paman mas Andi. Awal kejadian mengapa ibunya bisa menikah dengan om Toni. Karena pada saat itu warga mendapat laporan dari para tetangga terdekat akan seringnya om oni berkunjung disaat mertuaku hanya seorang diri dirumah. Setelah mengumpulkan warga yang cukup banyak, mereka melakukan penggerebekan. Disaat itu didapat mertuaku dan om Toni dalam kondisi setengah tanpa busana didalam kamar. Sedangkan saat itu diketahui om Toni masih memiliki istri dan 4 orang anak. Untuk menghindari amukan warga ketua RT meminta untuk keduanya di nikahkan saat itu juga. Dan membayar denda akan tindakan tersebut.
Setelah menikah dengan ibu mas Andi, om Toni pun menceraikan istrinya dan ikut tinggal dirumah peninggalan almarhum ayah mertuaku yang kini kami tempati.
"Mas... " panggilku membuyarkan lamunan mas Andi dan terlihat bening air mata menetes disudut matanya.
"Mas masih kepikiran masalah mama kemarin ya? Maafin aku ya mas, sebenarnya itu bukan kali pertama mama membawa orang itu kerumah kita." jelasku.
"Kenapa adek ngak pernah ceritakan ke mas? Ini bukan masalah sepele dek. Ini menyangkut nama baik keluarga kita." tanya mas Andi sedikit kecewa dengan penjelasanku.
"Aku hanya ngk mau mas dan mama bertengkar karena aku yang memberi tahu. Aku inginnya mas sendiri yang melihat secara langsung agar mama tidak terus menerus menekanku dirumah ini mas."
"Jadi selama ini mama memperlakukan kamu tidak baik dek? Tanyanya lagi.
Aku hanya tertunduk lesu. Dan aku yakin mas andi bisa mengerti akan semua itu.
"Mas takutnya hal yang sana terulang kembali dek, jika bukan mas yang memergoki mereka bisa jadi suatu saat warga yang akan menggerebek mereka." terdengar suara mas Andi tertahan seakan penuh beban.
Disaat kami saling menguatkan satu sama lain, dari luar terdengar suara orang mengucapkan salam.
"Assalammu'alaikum... "
"Waalaikumsalam..." jawab kami bersamaan.
"Apa benar ini rumah ibu Mirna?" tanya dua orang pria yang berpakaian rapi tersebut. Dari penampilannya terlihat seperti pegawai bank.
"Iya pak, benar. Kebetulan saya anaknya. Ada keperluan apa bapak mencari ibu saya?" tanya mas Andi penasaran.
"Begini pak, kami dari Bank *** ingin menyampaikan bahwasanya ibu Mirna sudah menunggak pembayaran selama 3 bulan pada Bank kami. Sebelumnya kami juga sudah mencoba menghubungi ibu anda tapi tidak ada respon sama sekali. Dan saat salah satu rekan saya mencoba menemuinya di toko sungguh perlakuan yang kurang menyenangkan yang rekan saya dapatkan dari ibu Mirna. Maka dari itu kami memutuskan untuk menemui keluarga dari pada ibu Mirna. Kami harap bapak bisa bekerja sama."
"Maaf sebelumnya pak, perihal peminjaman uang yang ibu saya lakukan pada Bank tersebut saya sama sekali tidak tau-menau. Bahkan dengan jaminan rumah inipun ibu saya tidak pernah sama sekali mengkomunikasikannya kepada saya. Tapi sebagai anak saya merasa bertanggung jawab akan itu semua. Maka saya mohon diberi waktu lagi pak, pasti akan saya lunasi semua tunggakannya." Pinta mas Andi pada pihak Bank tersebut.
"Sebelumnya kami sudah memberi waktu kepada ibu Mirna, tapi sampai detik ini tidak ada itikat baik ibu Mirna terhadap Bank kami. Jadi oleh karena itu kami disini ingin menyampaikan kepada bapak bahwa rumah ini akan dilelang. Dan hasil pelelangan diserahkan kepada Bank untuk pelunasan hutang ibu Mirna beserta bunganya. Dan sisanya akan kami serahkan kepada ibu Mirna dan keluarga.
"Tidak bisa begitu pak, rumah ini rumah peninggalan ayah saya dan diwariskan untuk saya. Saya sebagai ahliwaris sama sekali tidak dilibatkan dalam hal ini. Jadi sebagai pemilik rumah saya keberatan jika rumah peninggalan dari ayah saya harus dilelang." mas Andi semakin frustasi
"Itu sudah menjadi keputusan dari pihak Bank pak. Kami hanya menjalankan tugas." tutur pria itu lagi.
Mas Andi terlihat kalut dan gusar. Dia tidak habis pikir, masalah yang dibuat ibunya akan berdampak sebesar ini. Dengan tega dia menggadaikan rumah peninggalan ayah mertuaku. Dan kini dia pergi begitu saja. Kepergiannya kurasa bukan hanya disebabkan pertengkaran dengan mas Amdi tetapi karena di kejar hutang dari pihak bank. Dia berpikir dengan dia melarikan diri akan menyelesaikan semua masalah yang telah ia timbulkan. Aku sama sekali tidak habis pikir dengan sifat ibu mertuaku yang sebenarnya. Bertahun-tahun aku mengenalnya dengan penilaian yang baik dan semua terkuah hanya dalam waktu singkat disaat aku telah menjadi istri anaknya.
"Begini saja pak, apa bisa saya menemui pimpinan bapak terlebih dahulu sebelum melakukan pelelangan. Saya berharap ada keringanan dari pihak Bank pak. Saya berjanji pasti akan saya lunasi semua. Saya berharap ada jalan keluar untuk ini semua tanpa harus melelang rumah ini. Jika rumah ini dilelang saya dan istri saya harus tinggal dimana pak. Apalagi sekarang istri saya sedang hamil. Ibu sayapun sekarang kabur entah kemana." Jelas mas Andi memohon.
"Baik kalau begitu pak. Besok bisa saya buatkan janji bertemu dengan atasan saya. Untuk jamnya bisa saya info kan kembali besok." merekapun berpamintan kepada kami yang sebelumnya telah saling bertukar nomor telpon dengan Mas Andi.
Keesokan harinya, kamipun menemui pimpinan Bank tersebut perihal masalah permohonan untuk pembatalan pelelangan rumah yang kami tempati saat ini. Dari pihak Bank menerima keberadaan kami dengan sangat baik dan mendengar setiap penjelasan yang diberikan mas Andi. Maka dari itu diambil jalan tengah untuk kami bahwa pelelangan rumah akan dibatalkan. Dengan gantinya kami harus melunasi dua bulan tunggakan dan satu bulan lagi di anggap lunas dengan cacatan kami membalikkan nama peminjam yang sebelumnya atas nama ibu mertua dan berganti dengan nama Mas Andi. Karena pihak Bank sudah memblacklis nama ibu mertua dan tidak ingin berurusan dalam bentuk apapun lagi dengan beliau. Bahkan pihak bank saja bisa angkat tangan menghadapi kelakuan ibu mertua apalagi kami yang tiap hari dibuat naik darah oleh sikapnya.
Mas andi pun menyetujui syarat dari pihak bank dan kami memutuskan untuk menambah jangka waktu peminjaman agar pembayaran tiap bulannya tidak terlalu besar. Apalagi disaat ini kami membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk persiapan persalinanku nanti.
Ditengah kebahagiaan atas kehamilanku, sungguh ujian bertubi-tubi datang menghampiri. Sungguh kami berharap bisa melalui ini semua dan dapat keluar dari semua masalah yang kami sendiri tidak memiliki andil didalamnya.
Setelah pertemuan dengan pimpinan Bank dimana mertuaku berhutang, mas Andi berusaha mencari pinjaman kesana kemari untuk melunasi tunggakan kepada bank. Sedangkan gaji mas Andi sebagian dibawa ibu dan uang simpananku sudah terpakai untuk keperluan sehari-hari karena ibu selalu memeras jerih keringat anaknya dengan dalih balas budi telah melahirkan, membesarkan serta menyekolahkannya. Lucu bukan, disaat orang tua lain ingin kebahagiaan untuk anaknya walau sudah berumah tangga. Dia malah meminta balas jasa terhadap apa yang telah ia berikan. Bahkan ia merasa dia yang lebih berkmhak atas semua itu dari pada aku yang merupakan istri mas Andi. Sebenarnya aku bisa saja kembali bekerja seperti dulu. Bahkan aku yakin papapun tidak akan keberatan untuk memodaliku membuka usaha dengan skill yang aku miliki. Saat lulus sekolah aku sudah bekerja, dan saat kuliahpun aku isi waktu luangku bekerja di salah satu salon milik dosenku. Bahkan aku juga memegang kendali disalon yang dikelola kampus.
Kembali ke 12 tahun silam, saat aku pertama kali berkenalan degan mas andi.Perkenalan itupun membuat kami semakin dekat. Walau saat itu kami terhalang jarak, tapi komunikasi yg intens tidak serta merta juga ikut memberi jarak perasaanku dan dia. Karena saat lulus SMA aku mendapatkan pekerjaan di salah satu klinik kecantikan di kota B dan Mas Andi sedang berkuliah di kota yang berbeda. Saat libur kuliah, Mas Andi selalu menyempatkan untuk berkunjung ke tempatku yang berjarak 4 jam perjalanan dari kota dimana dia menempuh pendidikan. Sekedar melepas rindu untuk saling bertemu, makan bersama dan sesekali pulang kekota tempat tinggal kami berbarengan.Tidak seperti biasanya, saat libur kuliah mas Andi selalu mengajakku kelokasi wisata yang ada dikota kami dan dilanjutkan makan malam diluar. Tapi liburannya kali ini, malah mengajakku untuk menemui ibunya. Jujur ada rasa gelisah yang tidak bisa aku sembunyikan. Entah mengapa ada sedikit ketakutan bertemu dengannya, bagaimana jika beli
Disaat semua keluarga berbincang-bincang aku mengajak mas Andi ketaman belakang, tentunya untuk meminta penjelasan atas semua yang tidak ku ketahui selama ini. Jujur, aku kecewa karena mas Andi menyembunyikan ini semua dariku dan entah apalagi yang ia sembunyikan. "Mas, apa maksudnya ini? Apa mas tidak menganggap aku, sehingga menyembunyikan ini semua dariku. Mas tidak sekalipun pernah bercerita tentang ini semua sebelumnya. Yang ku ketahui hanya adik mas, lalu ini apa mas?" cecarku Mas Andi sedikit mengambil nafas dan mulai bercerita keadaan yang sebenarnya. "Maafkan mas dek, mas bukannya tidak jujur sama kamu. Tapi menurut mas bukan hal yang penting untuk kamu ketehui. "Tidak penting gimana mas, mas anggap aku ngak sih selama ini?" ujarku kesar. Betepa tidak, dihari yang aku pikir menjadi hari bahagia kami mas Andi memiliki rahasia yang dia sembunyikan dariku selama ini. "Bukan begitu dek, mas hanya tidak ingin mendekatkanmu dengan mereka. Mas merasa lebih baik kamu tidak mengen
Sudah sebulan lebih ibu mertua tinggal dirumah mas Doddy. Tidak ada kabar berita darinya. Sesekali aku berusaha menghubungi. Tapi tanggapan kurang menyenangkan yang selalu ku terima. Akhirnya akupun mulai biasa akan kepergian ibu mertuaku.Tapi suatu pagi saat aku membersihkan pekarangan rumah, tiba-tiba beliau datang dan langsung memasuki rumah. Aku pun mengikuti langkahnya menuju ruang tamu. Tanpa basa basi dan tanpa rasa bersalah dia menanyakan perihal hutang yg dia miliki di Bank. "Gimana, sudah kalian selesaikan belum semua hutang-hutang di bank?" tanyanya santai"Belum ma". Jawabku singkat"Kenapa tidak dibayarkan aja sih, ketimbang uang segitu aja susah banget ngeluarin." omelnya"Mereka meminta melunasi hutang yang menunggak selama 3 bulan beserta bunganya. Sedangkan kami baru bisa membayar selama 2 bulan saja." Jelasku"Gimana sich kamu, ngk becus banget jadi istri. Ngk ikhlas ya uang anak saya di pake buat bayar bank?""Bukannya gitu ma, tapi kan hutang mama di bank n
Hampir satu jam lebih kami mengemasi barang-barang. Setelah semua selesai kamipun menaiki mobil keluar fmdari oekarangan rumah. Ada rasa sedih dan sedikit lega karena bisa terlepas dari mertua gila harta seperti ibu mas Andi. Baru beberapa menit kami keluar dari rumah tersebut, tiba-tiba dari arah belakang datang motor berusaha menyalip dan memberhentikan mobil kami. Ternyata itu adalah mas Doddy. Entah apa yang dia inginkan. Karena sedari tadi saat perdebatan terjadi dia tidak bereaksi sedikitpun untuk menjadi penengah. Kini mengapa dia menyusul kami. Pikirku dalam hari. "Ada apa mas?" tanya mas Andi malas"Kalian mau kemana malam-malam begini?" tanyanya. Aku rasa hanya sekedar basa-basi belaka. "Belum tau mas, mungkin malam ini kami akan tidur di mobil. Baru besok cari kontrakan." jawab mas Andi seadanya. "Kenapa ngak kerumah mas aja?" ajaknya"Ngak usah mas, ngerepoton. Kami biar dimobil aja." tolakku halus. "Ngak papa, mending kerumah mas aja. Kasihan kamu hamil mal
"Assalammu'alaikum." akhirnya mas Andipun pulang."Waalaikumsalam" aku menyambut kedatangan mas Andi. "Udah pulang mas?" tanyaku. Aku berusaha bersikap sewajarnya. Saat ini aku tidak mau mas Andi mengetahui sebenarnya bahwa dalang dari kekacauan dikehidupan kami adalah kakak dan iparnya sendiri. Yang ada nanti semuanya runyam dan mas andi tidak bisa berfikir jernih."Maaf ya dek, mas lama. Mas udah keliling ngak nemu yang jualan. Ini aja mas kepasar kampung di ujung sana. Kebetulan hari ini pasarnya dek.""Oh jadi pasarnya ngak tiap hari mas?" tanyaku."Disini biasanya tiap pekan aja dek. Ngak setiap hari seperti di tempat kita." jelas mas Andi. Aku hanya manggut-manggut.Tak lama dari kedatangan mas Andi, suami istri itupun keluar dari kamarnya. Ya bagus lah mereka keluar sendiri. Aku sebenarnya enggan menyapa mereka. Melihat wajah tanpa berdosa mereka aku semakin kesal di buatnya. Tapi aku harus sabar dan main cantik. Karena menghadapi manusia licik seperti mereka ngak bisa gegabah.
Kuturuti perintah mas Andi. Kulangkahkan kaki ini menuju kamar mereka. Ku coba kembali mengetuk pintu tersebut. Nihil, dua hingga tiga kali kuketuk tapi tak kunjung ada respon dari mereka.Ku atur nafas dalam-dalam, ku coba kuasai diri agar tak terpancing emosi.Ku coba ketukan keempat...Tok tok tok... "Mas, mbak ini mas Andi bawain makanan." ucapku lagi dengan menahan kesal. Tak lama dua kamar itupun terbuka secara bersamaan. Tidak terlihat wajah mereka seperti orang yang baru bangun tidur. Kelima orang itu terlihat segar, walau ku tau tidak satupun dari mereka yang sudah mandi. Karena sedari tadi aku diruang tamu tak satu orang pun yang keluar kamar. Aku semakin dibuat geram olehnya. Jadi sedari tadi aku memanggil tak mereka hiraukan bukan karena tertidur. Melainkan pura-pura tidak mendengarkanku.Benar kata mas Andi. Ketikaku mengatakan makanan seketika merekapun keluar dari persembunyiannya dan menyambar makanan yang dibawakan mas Andi. Tanpa menunggu mas Andi terlebih dahu
Wanita paruh baya itupun berusaha membujuk mas Andi untuk kembali pulang kerumah. Aku berharap mas Andi tidak luluh begitu saja dengan wajah memelas ibunya. Jika benar itu terjadi, berarti akan membuat rencana kami untuk mengontrak dan memulai hidup baru hanya berdua saja sirna seketika. Bukannya mendendam dan tak peduli dengan keadaan ibunya sendirian dirumah tersebut. Hanya saja aku belum siap untuk kembali hidup bersama dengan ibunya yang jelas-jelas sudah sangat membuatku hilang respek padanya. Tidak ada yang tau, kejadian yang serupa mungkin saja akan terulang kembali. Bahkan bisa saja akan lebih buruk dari pada ini. Begitu kuat keinginan sang ibu membujuk mas andi untuk kembali. Kulihat wajah mas andi semakin ragu. Dia seperti bimbang ingin melangkah. Dan seoertinya benteng pertahanannyapun roboh. "Dek gimana?" tanya mas Andi padaku. Aku hanya diam tak menjawab. Tapi dari sorot mataku sudah cukup mewakili apa yang ada dihati ini. Aku hanya ingin memberi ruang kepada mas