Beranda / Pernikahan / Catatan Luka Istri Rahasia / BAB 6 : Zia dan Nasehatnya

Share

BAB 6 : Zia dan Nasehatnya

Penulis: Es Pucil
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

A. Kenzie R.

[Aku nggak tau separah apa masalah kamu sama Satria, tapi plis, maafin aku karena ajak Satria tanpa persetujuan kamu. Kamu jangan melakukan hal buruk, Din. Kamu ke mana?]

[Angkat telpon aku]

[Plis lah T.T ini Bu Lisa marahin aku Mulu kamu ngilang]

[Aku jemput deh, Din, tapi bilang kamu di mana?]

[Plis, lah kabarin kalau online, Din]

[P]

[P]

[Ping]

[Samlekum!]

[Woy]

Spam chat dari Zia aku baca sekilas, lalu mengantongi gawai dalam cardigan yang aku pakai. Aku berjalan pelan sembari mengedarkan pandangan mencari sosok Mas Satya. Sampai di kerumunan manusia yang didominasi wanita, aku mendapatinya sibuk meladeni fans yang ingin meminta foto. 

Aku bergabung dalam sekumpulan orang itu. Berdesak-desakan, semuanya hanya ingin didahulukan. Aku tidak ingin maju lebih dulu, hanya memilih diam memperhatikan bagaimana Mas Satya meladeni semuanya. 

"Iya?" Begitu kata Mas Satya saat seorang wanita tinggi putih menghampirinya. 

Wanita itu mungkin sedikit lebih muda dariku, memindahkan kumpulan rambutnya ke bahu kanan, sehingga bagian kirinya memamerkan bahu putihnya yang telanjang. 

"Mau minta foto, Kak." Kegenitannya terlihat jelas. Dia sengaja mengikis jarak, dan meletakkan sebelah tangannya di pinggang Mas Satya.

Aku meremas ujung outer cardigan kesal. 

"Maaf, ya." Mas Satya bergeser sedikit, sehingga wanita itu melepaskan tangannya. 

Aku lega. Mas Satya jaga batasan-tapi ... bersamaan saat wanita itu memotret, dia mengecup pipi Mas Satya dengan cepat. Mas Satya tampak diam di tempat, sementara wanita itu hanya tersenyum nyengir mengabaikan seruan kesal dari fans lain Mas Satya. 

"Terimakasih, Kak!" Wanita itu berlalu dengan pipi bersemu merah. 

Mengabaikan desakan manusia ini, aku berusaha menjadi yang terdepan, menjadi yang selanjutnya fans Mas Satya bertemu dengannya. Seorang pria bertubuh besar menyeret lenganku mendekat pada Mas Satya.

"Hai!" sapaku ketika Mas Satya sempat sibuk dengan kertasnya.

"Ya?" Mas Satya melotot beberapa detik ketika melihatku. Menanggapi itu, hanya senyuman lebar aku berikan. 

"Boleh minta fotonya, Kak?" tanyaku, khas fans manja lebay bin alay. Ponsel aku sodorkan pada Mas Satya yang tersenyum kikuk. 

"Boleh." Dia sangat lihai menyembunyikan perasaannya. 

Dia mensejajarkan tinggi kami, kamera diatur sebaik mungkin, lalu sama-sama tersenyum. Lampu ponsel berkedip. 

"Terimakasih, Kak." Aku tersenyum lagi. Lalu, menatapnya dalam. Sebagai bentuk peringatan, bahwa aku tidak akan diam lagi sekarang. 

Aku akan mencari keadilan untukku sendiri. 

"Kamu yang kerja di toko bunga itu, kan?" tanya Mas Satya, yang aku iyakan.

"Bisa bicara sebentar nanti di belakang? Saya mau pesan bunga untuk pacar saya."

"Bol-eh?"

Aku tercenung. Pa-car?

*

Lenganku setengah diseret oleh Mas Satya ke sebuah ruangan serba putih, kemudian menutup pintunya. 

"Kamu ngapain ke sini, Dina? Gimana kalau kejadian beberapa hari lalu terulang lagi? Astaga, Dina, jangan bikin aku khawatir, Sayang."

Aku sedikit berjinjit, mencium pipi Mas Satya secara kilat di bagian yang dikecup wanita tadi.

"Enakan yang perempuan tadi, atau aku?" tanyaku, berbanding terbalik dengan topiknya tadi.

"Itu kecelakaan, Dina. Kalau aku tau dari awal dia niat cium, aku bakalan menghindar."

"Kamu langsung tegang abis dicium."

"Dina, please ... jangan kayak anak-anak gini, Sayang. Aku artis, punya banyak fans yang sama sekali aku nggak tau isi kepalanya apa. Kejadian kayak tadi susah diprediksi. Ini juga alasan aku sembunyikan kamu. Banyak fans fanatik aku yang intoleran. Bayangin kalau wanita tadi tau kamu istri aku, apa yang bakalan dia lakukan?"

"Dia nggak bakalan cium suami orang sembarangan kalau tau kamu udah nikah," jawabku sederhana. 

"Nggak sesimpel itu, Dina. Beberapa orang fanatik, akan membabat habis semua halangan ya menggapai apa yang mereka inginkan, termasuk menghancurkan kamu sekiranya mereka tau hubungan kita." Mas Satya memegang kedua lenganku. "Apa pun yang aku lakukan sekarang, demi kamu, Dina. Plis, jangan datang lagi ke sini. Bahaya buat kamu, buat aku, buat kita."

"Gimana kalau aku bilang, aku nggak peduli sama ancaman mereka. Publikasikan hubungan kita, dan aku akan bertahan di sisi kamu, apa pun masalahnya," tantangku.

"Dina, kenapa kamu nggak ngerti-ngerti-"

"Kamu yang nggak ngerti. Aku ... capek di posisi ini. Aku mau jadi nyata, bukan disembunyiin kayak gini. Aku-"

"Satya?"

Kami berdua saling berpandangan ketika suara Kinanti terdengar dari balik pintu. 

"I-iya?" Mas Satya membalas gugup. 

Kenop pintu bergerak.

"Aku nggak peduli sama ancaman yang kamu maksud. Kalau kamu yang nggak mau publikasikan hubungan kita, aku yang bakal lakuin." Setelah mengatakan itu, aku menarik kerah kemeja Mas Satya sehingga dia sedikit merunduk, lalu mencium bibirnya.

"Sat, ada panggilan-oh my God!"

Mas Satya mendorong bahuku dengan kuat. Ia menatapku nyalang, lalu beralih pada Kinanti. 

"Kenapa?" tanya Mas Satya, lalu seakan menganggapku tidak ada di sini.

"Mas, aku serius sama ucapanku tadi." Aku menyela obrolan mereka. Berkedip sebelah mata, lalu berlalu dari mereka. 

"Whoa ... seleramu sekarang ukhti-ukhti gitu, Sat? Yang pake bikini kemarin, kamu udah tinggalin?" 

Suara Kinanti membuatku terdiam di balik pintu. Sial. Berapa kali Mas Satya dapat ciuman seperti tadi?

*

Sejak insiden di lokasi shooting Mas Satya, dia tidak pernah lagi pulang selama dua hari terakhir. Aku pun berusaha tidak peduli, meski kadangkala, mengharapkan ada pesan kabar darinya. 

"Nih." Zia datang dengan dua cup mi instan. Malam Minggu ini mau kami habiskan dengan begadang sambil menonton drama Korea-yang sebenarnya bukan seleraku banget. Tapi, karena gabut sendiri di rumah, aku mengiyakan saja keinginan Zia. 

"Kamu suka genre apa? Romansa? Komedi? Science? Sejarah? Mau naikin darah rendah? Thriller?"

"Komedi." Aku cepat menjawab. Otakku malas berpikir. Mi panas aku seruput begitu saja. Membuat lidahku kebas, tapi tidak membuatku kapok. 

"Eh, Din, aku tuh nggak bisa nggak kepo sama hubungan kamu sama Satria. Secara, dia cinta pertama kamu, pacar pertama kamu, bahkan kalian dengar-dengar udah mau nikah. Tapi kenapa malah jadi mantan sekarang?" tanya Zia ketika drama dalam laptopnya mulai tayang. 

Menampilkan sebuah restoran dengan para Chef berpakaian serba putih sibuk memasak. Fokus kamera kemudian tertuju pada pria berwajah lonjong. 

"Dia milih kerjaan daripada aku," jawabku malas.

Si pria dalam drama sedang diwawancarai mengenai kehidupannya sebagai chef. Dia dengan bangga menjelaskan cita-cita dan alasannya menjadi chef sejak dulu. Bahkan, hewan buas pun tidak akan menyakiti orang yang memberinya makan. Begitu katanya.

"Cuman gara-gara itu kalian putus?"

Aku langsung menatap tajam Zia. "Cuman gara-gara itu?" Pertanyaannya itu aku ulang dengan nada kesal. Dia tidak tahu saja, Satria hampir menghancurkan keluargaku. Seandainya sejak awal dia cerita punya bisnis yang sedang berkembang dan ingin menunda pernikahan, aku tidak masalah. Satria tanpa kabar langsung menghilang tepat di hari pernikahan. Seandainya bukan karena Mas Satya, aku mungkin sudah bunuh diri saking malunya sekarang.

"Kok marah sih? Biasanya kalian LDR-an nggak ada masalah tuh. Empat tahun langgeng aja, nggak ada keretakan. Terus, pas dia mentingin bisnisnya, kalian malah putus," tutur Zia dengan wajah polosnya.

Percuma saja menjelaskan. Toh, ujung-ujungnya berakhir dengan rahasia.

"Terserah. Aku males bahas dia," kataku, lalu fokus pada drama.

Si pria terjatuh dari balkon. Saat terjun itu, dia masih sempat-sempatnya tergoda dengan wanita. Ah, apa semua pria seperti itu? Tidak bisa mengabaikan pesona wanita lain? 

"Eh, Zi. Kamu kan kepengen banget jodoh sama Mas Satya-"

"Mau banget." Zia dengan antusias menjawab

Aku merasa tidak enak pada Zia. Apa yang terjadi padanya jika aku yang menjadi istrinya Mas Satya? Semoga dia bisa move on seperti yang dia janjikan.

"Kan, Mas Satya itu artis. Seandainya nih, ya, Mas Satya sembunyiin status pernikahan kalian demi jaga kamu dari fans fanatiknya, kamu bakalan lakuin apa?"

Zia mengangguk-angguk. "Ikutin aja sih, maunya Mas Satya. Toh itu buat kebaikan aku sendiri." Dia lalu tersenyum. "Eh, pertanyaan kamu bikin aku tambah baper tau! Mas Satya penyayang banget kalau seandainya mau lindungi aku dari fans fanatiknya gitu."

Ndasmu! Belum ngerasain jadi istri rahasia sih!

"Tapi, Zi, kamu harus diem aja kalau liat Mas Satya berduaan sama perempuan lain. Kinanti misalnya, rekan kerja dia sesama artis, apalagi mereka berdua deket. Kamu nggak bisa apa-apa. Emang kamu bakalan tahan?"

"Eh, inget kata Pak Habibie 'Mau kamu jungkir-balik pun, kalau dia jodoh saya, kamu bisa apa?' Gitu. Jadi, kalau Mas Satya udah jodoh sama aku, dan beneran cinta sama aku, mau si Kinanti kayang-salto-terbang sekalipun, Mas Satya tetap milik aku."

Aku mengangguk-angguk. "Gitu, ya?" Aku jadi ragu dengan tindakanku dua hari lalu.

"Eh, ini pertanyaan menguji buat aku, atau pertanyaan buat kebingungan kamu? Kamu ada semacam secret relationship gitu sama artis? Atau sama Mas Satya?" Zia memekik di akhir kalimat.

"Nggak lah!" Nggak bohong lagi, beneran ada.

"Oalah, aku kirain ada. Berarti pertanyaan-pertanyaan tadi, buat uji kesiapan aku jadi jodohnya Mas Satya, ya?"

Aku meneguk ludah kasar. "Kalau seandainya, seandainya ya, Mas Satya malah menikah sama sahabat baik kamu, kamu bakalan ngapain?"

"Sahabat? Kamu maksudnya? Emang kamu juga suka sama Mas Satya?"

"Kan aku bilangnya seandainya."

"Aku bakalan benci sahabat aku itu lah."

Aku menegang. 

"Astaga, Din," lanjut Zia sembari terbahak. "Yakali aku korbanin persahabatan cuman buat orang kayak Mas Satya. Kamu udah jadi temen aku sejak kecil, punya banyak jasa dan bantuan buat aku, sementara Mas Satya apa? Cuman bahan halu yang sebenarnya aku yakini nggak bakalan bisa jadi milik aku. Kalau seandainya kamu nikah sama dia? Ya udah. Mo gimana? Protes? Mana bisa? Mau aku jungkir-balik pun, kalau Mas Satya jodohmu, aku bisa apa?"

Astaga Zia ....

"Kamu emang teman terbaik aku." Lebay memang, tapi aku sangat tersentuh dengan sikap dewasa Zia. 

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sita Citra Nurani
lanjut up dong aku smp ngebayangin visualnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 7 : Coba Bertahan, Lagi

    "Assalamualaikum warahmatullah ...." Aku menoleh ke arah kanan. Sedikit terkejut melihat Mas Satya duduk di pinggir tempat tidur. Lalu bersikap biasa saja sebelum menoleh ke arah kiri."Assalamualaikum warahmatullah ...."Mengusap wajah dengan kedua tangan, sholat isya sudah selesai.Sebelum beranjak, aku berdoa sebentar, mengamininya, kemudian mengusap wajah lagi dari atas ke bawah. Setelah tiga hari pergi, Mas Satya baru muncul lagi, dan itu cukup menjadi alasan aku tidak memedulikan dia.Mukena aku lepas, lalu rok. Kain ini aku gantung sebelum melipat sajadah.Semua sudah rapi, aku keluar dari kamar tanpa perlu merasa ada orang lain di tempat ini. Tidak akan bicara, sampai dia sendiri yang mau menjelaskan kepergiannya selama tiga hari ini tanpa kabar.Dalam dua harian ini, aku juga malas memasak. Hanya menyeduh mi instan sampai keny

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 8 : Teman Gibah

    Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku."Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku."Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi."Satria?" tebak Zia.Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—""Assalamualaikum."Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 9 : Kepanikan Mas Satya

    Televisi tidak lagi menarik perhatian. Aku amat suntuk setelah duduk berjam-jam di sofa depan televisi. Kadang berbaring dengan sebelah kaki terangkat di sandaran sofa, kadang tengkurap. Berbagai gaya aku lakukan, tetap saja membosankan.Belum isya menjadi alasan kenapa aku belum ke kamar. Rencananya, setelah salat isya, aku akan langsung tidur. Mas Satya mengabarkan akan pulang sekitar jam sebelas malam, atau mungkin tidak pulang.Well, memang mengecewakan. Tapi aku sedikit tenang dengan kejujuran dan keterbukaannya. Dia dengan sabar menjelaskan setiap kegiatannya di lokasi shooting. Karena sinetronnya akan tayang dalam minggu ini. Ia juga sedikit sibuk dengan promosi.Ponselku bergetar di atas meja. Dengan malas, aku meraihnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat si penelpon."Halo?" sapaku langsung.Tidak ada jawaban. Saat melirik layar, hany

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 10 : Mulai Mencari Tahu

    Pasokan udaraku terasa tertahan. Aku menggeliat untuk mendapat setidaknya sedikit oksigen untuk diproses paru-paru. Setelah bisa mengeluarkan wajah dari sesak tersebut, aku kembali tenang.Sebuah lengan memelukku erat. Sekarang, dadaku yang terasa dihimpit."Aku ... mau napas," ucapku parau.Tawa ringan terdengar. Aku tersenyum singkat tanpa membuka mata sedikitpun. Rasanya sangat melelahkan.Tapi, aku mendadak teringat. Kemarin, aku tidak di rumah Mas Satya, tapi Satria. Jangan-jangan ....Aku langsung membuka mata, bangun dari posisi berbaring, dan rasa berat langsung menghantam kepalaku. Tubuhku oleng sedikit."Kenapa, Sayang?"Mas Satya ternyata. Aku langsung mengembuskan napas lega."Aku pikir siapa tadi." Aku kembali berbaring di lengan Mas Satya yang secara sukarela men

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 11 : Sudut Pandang Satya

    Turun dari mobil, Satya langsung membanting pintu mobilnya dengan tatap dingin mengarah ke jendela lantai dua yang terbuka. Di sana, Satria tersenyum mengejek dengan salah satu tangan memegang ponsel, sama seperti yang Satya lakukan."Turun sekarang, buka pintunya!" titah Satya, tanpa intonasi."As you wish, Brother." Satria menutup jendela beserta gordennya.Sambungan telepon masih terus berlanjut, tetapi tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Sampai pintu utama sudah terbuka. Satya mematikan sambungan secara sepihak, lalu masuk ke dalam."Kenapa kayak kebalik, ya, Sat?" Satria bergumam saat menutup pintunya kembali. "Harusnya gue yang marah karna lo udah ambil calon istri gue. Kenapa malah lo yang dingin kayak gini? Takut bini lo gue ambil lagi.""Shut up!" Satya menoleh sedikit pada kakaknya untuk memberi peringatan. "Dina di mana?"

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 12 : Suami Berpatroli

    Dari sebelumnya memegang tangan, Mas Satya berubah merangkul pundakku memperkenalkan rumah sederhana yang akan menjadi tempat tinggal kami ke depannya. Hanya satu lantai, dengan luas pas untuk kami berdua."Ini nggak semewah dulu. Soalnya, kita bakalan lebih sering keluar nanti, jadi kalau rumahnya kecil, mudah dibersihinnya. Kalau kebesaran kayak dulu, kamu nanti kerepotan urus dua pekerjaan sekaligus. Kamu suka, Sayang?" Mas Satya menjelaskan.Kami duduk di sofa. Masih dalam rangkulannya, aku mengangguk pelan."Suka. Pas buat kita berdua," jawabku."Syukur deh. Aku takutnya kamu nggak nyaman sama rumah sempit.""Sempit apanya?" Aku langsung membantah. "Ini pas banget buat kita berdua. Nanti kalau udah ada anak banyak, baru deh dipikirin buat besarin rumah." Aku menengadah sedikit melirik Mas Satya, berharap kode ingin memiliki anak bisa dia dengarkan.&nb

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 13 : Dunia Publik Figur

    Aku selesai memakaisneakersdua kali lebih cepat dari Mas Satya. Dia masih tampak cemberut usai kejadian subuh tadi. Aku yang sedang luang, mencoba untuk mengganggu."Mas, gimana kalau beneran jadi? Temen aku, baru sekali coba, langsung hamil."Mas Satya menatapku tajam. "Kamu nggak boleh hamil. Jangan sampai!""Mas sendiri yang kelepasan."Dia kurang fokus semalam, sampai keinginannya keluar di luar, jadi batal. Cuman gara-gara sederhana begitu, dia sampai gelisah hingga sekarang. Saking tidak maunya dia punya anak. Aku menipiskan bibir melihat caranya mengikat sepatu dengan gerakan gontai. Lalu ketika ada ikatan sepatunya yang bermasalah, dia menggeram dan menyugar rambut secara kasar.Aku berlutut di depan sepatu kanannya yang tersimpul mati. Menariknya dengan teliti sampai terbuka. Kemudian memperbaiki ikatannya."Kenapa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 14 : Saranghae

    Kami ke rumah bunda untuk hari ini. Karena Mas Satya harus memilih rumah yang benar-benar cocok untuk kami tempati ke depannya. Bunda tidak banyak tanya, hanya langsung menyambut dengan senang hati. Mas Satya sama sekali tidak mampir sebentar pun, langsung menancap gas, pergi. Dia harus bekerja hari ini, sementara aku dibiarkan istirahat selama beberapa hari."Bunda nggak tau rahasianya Mas Satya gitu?" tanyaku penasaran ketika Bunda sudah membawakan secangkir teh hangat. Beliau duduk di sofa seberangan denganku, menyalakan televisi agar suasana menjadi santai."Dia nggak cerita apa-apa sama kamu?" Bunda balik tanya.Aku menggelengkan kepala sekali, ragu."Berarti nggak ada rahasia," ucap Bunda kemudian. "Satya lebih terbuka kok daripada Satria. Bahkan, dia jatuh pun, dia bakalan cerita ke Bunda, sekarang udah nikah, jadi dia bakalan ceritanya ke kamu."Apa semua yang Mas S

Bab terbaru

  • Catatan Luka Istri Rahasia   Epilog

    Aku sekarang tiba di bab terakhir dari kisah ini. Membuatku berada di depan laptop setelah sarapan tadi. Ditemani oleh lagu Wiz Khalifa: See You Again, dan suara shower dari kamar mandi—aku terus menarikan jemariku di atas keyboard. Hingga, pintu kamar mandi terbuka. Aku tersenyum hangat pada Mas Satya sebentar, sekadar untuk menyambut kedatangannya. Barulah meneruskan kegiatan mengetik ini. "Kan sudah dibilangin jangan terlalu capek, Sayang. Ngerjain apa?" tanya Mas Satya, setelah memperbaiki posisi handuknya, lalu bergerak ke belakangku. Sontak, laptop aku lipat agar ia tidak membaca apa yang aku tulis. "Pakaian udah aku siapin. Sarapan ada di meja, plus sama kue buat bekal kamu nanti siang. Jadwal kamu udah aku atur, nanti cek aja di iPad kamu." Aku buru-buru menjelaskan segala hal secara rinci pada Mas Satya, agar ia segera menjauh, tetapi, pria ini malah semakin merendahkan kepalanya sampai kami bisa sejajar. "Pulang jam berapa nanti?" Se

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 43 : Pernikahan Impian

    "Setelah antar Medina ke kamar, kamu ke sini lagi, Satya! Saya perlu bicara penting empat mata dengan kamu."Papa berujar tegas, sebuah ciri khas bahwa beliau tidak bisa dibantah, atau nada suaranya akan meninggi ketika memberikan perintah lanjutan. Jadi, aku hanya bisa mengangguk, dan menunduk lemas ketika Mas Satya mendorong kursi roda masuk ke kamar. Aku masih diperlakukan dengan sangat baik ketika dipindahkan ke atas tempat tidur. Mas Satya membantu melepas jilbabku, dengan senyum tipis yang memaksa untuk memperlihatkan kondisinya yang baik-baik saja. Padahal, aku tahu, kami sama-sama tegang karena panggilan Papa tadi. Mas Satya tidak membuang lebih banyak waktu. Ia langsung keluar dari kamar usai melepaskan jaketnya. Aku tiba-tiba saja berpikir; karena Papa sudah sembuh total, beliau bisa saja mengusir Mas Satya dari rumah. Aku tidak suka dengan hal ini, dan mulai berpikir keras agar bisa meyakinkan Papa bahwa aku masih perlu Mas Satya, bu

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 42 : Kegigihan Satya

    Selama masa pemulihan Papa, Mas Satya benar-benar menunjukkan keseriusannya dalam mengelola bisnis Papa—yang membuatku khawatir, karena ia juga harus mengawasi perusahaan keluarganya secara bersamaan, setelah Satria masuk penjara. Itu membuatnya jarang terlihat istirahat—meski memang sudah terbiasa selama menjadi seorang aktor, tetap saja, aku khawatir karena ia baru saja menjadi seorang pebisnis.Belum lagi, sifat cuek Papa yang meski sudah melihat semua keseriusan Mas Satya, tetap saja kesulitan untuk luluh. Hingga pada akhir pekan ini, aku sendiri yang muak melihat bagaimana sibuknya Mas Satya mengurus semua hal sendiri. Aku yang baru saja masuk ke dalam kamar, langsung menghampirinya menggunakan kursi roda, hingga berada di samping Mas Satya."Hari sabtu kerja juga, Mas?" tanyaku, sembari memperhatikan layar laptop Mas Satya.Pria itu tidak menoleh, hanya mengangguk secukupnya untuk mengiyakan pertanyaanku."Sarapan dulu?" Aku menawa

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 41 : Menantu tanpa Restu

    Ini hanya tentang menggerakkan kaki, tetapi aku bahkan sampai kesulitan bernapas untuk hal sederhana ini. Hingga pada akhirnya, aku kembali merosot, beberapa detik setelah Mas Satya menjauh. Ia segera menghampiri lagi diriku yang kini hanya lesehan di lantai, dengan tangan masih berpegangan kuat pada dua besi penopang tubuh. "Nggak bisa ...." Aku meringis, lalu memukul-mukul kaki yang sama sekali tidak menimbulkan sakit sedikit pun. "Ini ... bukan lumpuh permanen, 'kan?""Nggak kok." Mas Satya berlutut di depanku. "Tangan kamu aja sekarang udah bisa gerak. Tinggal kaki aja, ini. Paling beberapa bulan lagi."Mas Satya membantuku berdiri. Meski belum waktunya untuk istirahat, ia tetap menggendongku duduk di sofa. "Nggak papa. Nanti sore lanjut lagi latihannya." Mas Satya mengusap kepalaku, lalu menarik pelan sampai ia bersandar di sofa, sementara aku di dadanya. "Nggak ada kabar dari Papa lagi? Ini sudah ... empat bulan," tanyaku, sembar

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 40 : Pertahanan Egois

    Papa sama sekali belum sadar ketika aku sudah diizinkan untuk pulang. Hal ini menyebabkan aku terpaksa harus tinggal dengan Mas Satya, setidaknya sampai Papa pulih, atau ada keajaiban tubuhku bisa digerakkan. Mas Satya sungguhan memenuhi apa yang ia katakan. Usaha Papa, dia yang urus sepenuhnya, selama Papa masih belum sadar. Bahkan, meski bayarannya tidak sesuai dengan honor sinetronnya. Setiap hari, ketika Mas Satya berangkat bekerja, perawat yang akan membantu untuk keperluan terapi selama tiga jam, kemudian Bunda yang biasanya datang untuk menjagaku sampai Mas Satya pulang dari kantor.Namun, di hari keenam setelah aku keluar dari rumah sakit, Bunda tidak datang. Padahal, perawat sudah waktunya pulang. Aku juga segan menahan terlalu lama. "Mbak pulang aja. Saya bisa jaga diri, kok. Cukup bantu bawa saya ke ruang keluarga saja," ucapku ketika itu. Perempuan ini tampak tidak nyaman, tetapi tetap, ia mendorong kursi roda yang aku ken

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 39 : Perdebatan Batin

    Usai puas menjenguk Papa, aku meminta Mas Satya membawaku ke ruang rawat. Hanya saat keadaan seperti itu; meminta tolong untuk diantara saja—aku membutuhkan bantuan Mas Satya. Selain makanan, hal lainnya akan dibantu oleh perawat. Sehingga aku tidak perlu mengeluarkan suara berlebih untuk mengobrol dengan pria ini. "Kamu nggak mau keluar, Medina?" tanya Mas Satya, ketika akan melewati lift."Nggak." Aku menjawab singkat, dan secepat mungkin agar ia segera melanjutkan perjalanan, tetapi pria ini malah membelokkan kursi roda ke arah lift yang terbuka karena beberapa orang memasukinya. "Mas ...." Aku menegur tegas, seraya menoleh malas padanya. "Sejak kamu sadar, kamu nggak dapat hiburan apa pun, Dina. Aku yakin, kamu stres di ruang rawat terus. Kamu juga nggak mau nyalain televisi, atau aku tunjukkin video. Jadi, kita ke taman, ya?"Aku merapatkan kedua bibir, enggan mengeluarkan suara lagi. Mendebat pun tidak akan memberi solusi, karena pria ini

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 38 : Pertentangan

    Respons pertama Mas Satya usai aku mengutarakan itu adalah berjongkok di depanku. Memasang wajah memelas, dengan kepala mendongak untuk menyatukan tatap kami."Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mikir begitu? Aku masih inget, hari pertama aku bebas, Papa ceritain semua keras kepala kamu demi ngumpulin bukti supaya aku bebas. Sekarang, aku di sini. Kenapa, Dina? Kenapa kamu malah berubah pikiran?" Aku bergeming dengan pertanyaan beruntun Mas Satya. Memilih memalingkan pandangan pada Papa yang masih nyaman dengan tidur panjangnya. "Medina, aku minta maaf kalau bawa kamu ke masalah-masalah yang bukan urusan kamu. Tapi, please, Sayang. Semuanya udah kelar. Kita bisa atur hidup kita lebih baik sekarang. Aku juga bakalan penuhi keinginan kamu buat asuh perusahaan Papa kamu. Sekarang, kurangnya di mana, Medina? Ada masalah lain? Kalau ada masalah lain lagi, biar Mas yang selesaiin. Oke?"Bagaimana menjelaskan pada Mas Satya? Bahwa mimpi buruk itu terus meng

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 37 : Ayo, Pisah!

    "Kamu itu anak Papa satu-satunya. Kalau ada masalah kayak kemarin ... nggak ada garansinya, Medina. Nggak ada, Nak! Kalau kamu nggak peduli keselamatan sendiri, pikirin nyawa Mama kamu yang jadi bayaran demi pertahanin kamu. Please, Dina. Ngertiin Papa." Ucapan Papa adalah penyiksaan tersendiri untukku yang menyesali tindakan malam itu. Seharusnya ... seharusnya aku memenuhi peringatan Papa. Seharusnya ....Mungkin, aku akan menunggu 10 tahun lagi, tetapi setidaknya tidak akan banyak yang menderita. Mungkin, jika aku mau bersabar, tidak akan ada tangisan pilu seperti yang terjadi hari ini. Atau, tidak akan ada pukulan Papa yang mendarat di wajah Mas Satya sampai lebam. Setidaknya, jika aku memenuhi ucapan Papa malam itu, Papa tidak akan sebenci ini pada Mas Satya. Untuk sebuah kebebasan Mas Satya, aku harus melihatnya menangis sepanjang hari di depan batu nisan yang bertuliskan namaku. Demi membawa keadilan untuk Runika dan Mas Satya, aku yang diperlakuk

  • Catatan Luka Istri Rahasia   BAB 36 : Sekumpulan Bukti

    Aku mengambil sebuah kardus dari rak paling atas, kemudian meletakkannya di atas tempat tidur. Tidak berdebu, dan ruangan ini terbilang bersih. Menandakan Satria sering datang ke sini. Aku membukanya, dan hanya menemukan pakaian usang di sini. Baru saja ingin mengeluarkan pakaian dari dalam, ponselku berdering nyaring. Aku sampai tersentak ke belakang selangkah. Napas aku perbaiki, lalu mengecek layar ponsel. Karena telepon berasal dari Bunda, maka aku segera mengangkatnya. "Assalamualaikum," sapa Bunda terlebih dahulu. "Wa alaikumussalam." Aku menjawab, seraya mengapit ponsel dengan bahu dan telinga. Sementara tanganku sibuk mengeluarkan semua pakaian dari kardus. Ini bukan pakaian usang biasa. Terdapat bekas robek yang disengaja. Tampak tercabik-cabik setiap pakaian di dalam kardus ini, dan jelasnya bukan karena rayap dan sejenisnya. Ini memang perbuatan manusia."Kamu di mana, Dina?" tanya Bunda, sehingga untuk sejenak aku menormalkan keterk

DMCA.com Protection Status