“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”
Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu. Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar. “Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.” Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya. “Kamu tidak apa-apa?” pria itu kembali bertanya, sorot matanya kini dipenuhi kekhawatiran sekaligus rasa penasaran. “Iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih,” Narumi berusaha meyakinkan, meski batinnya masih diliputi kecemasan. Perasaan diawasi itu begitu nyata, dan ternyata, instingnya tidak salah. Di balik pilar besar basement, sesosok bayangan mengamati mereka dalam diam. Seringai misterius tersungging di wajahnya yang tersembunyi dalam remang-remang. “Sesuai rencana,” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum melangkah ke arah lift menuju lantai 15, meninggalkan jejak kehadirannya yang mencekam. Sementara itu, Narumi di tuntun lembut oleh Ardiaz menuju mobil mereka di mana ia masih tak bisa mengenyahkan firasat buruknya. Berkali-kali Narumi menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti, hingga pikirannya melayang pada kebiasaan Ghali selama tiga tahun terakhir; mengutus orang-orang untuk mengawasi setiap langkahnya. Kepala Narumi menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran tersebut. Tidak mungkin Ghali masih melakukannya, bisiknya pada diri sendiri. Bahkan tawa getir pun lolos dari bibir saat kenangan-kenangan pahit tentang suaminya itu berkelebat di benaknya. Sebab, pengawasan ketat yang selama ini Narumi terima bukanlah bentuk kasih sayang, itu adalah manifestasi dari ketakutan Ghali sendiri. Ketakutan jika Narumi kabur atau lebih buruk lagi, berani membongkar rahasia bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara belaka. “Kamu baik-baik saja?” Ardiaz lagi-lagi bertanya, heran melihat perubahan raut wajah Narumi yang berubah-ubah. “Hm,” desisnya singkat sebelum masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan Jimmy dengan sigap. Tak lama kemudian, ponsel Narumi bergetar. Dua pesan W******p masuk berturut-turut: {Narumi, kamu tidak aku izinkan untuk keluar dari rumah ini, PULANG SEGERA!} {Apa kamu akan membangkang dariku, aku masih suamimu. Haram bagimu meninggalkan rumah ini tanpa seizinku! PULANG SEKARANG!} Kening Narumi berkerut dalam membaca pesan-pesan itu. Sangat konyol. Sepertinya Ghali sudah kehilangan akal sehatnya, atau mungkin lupa bagaimana dia dan ibunya telah mempermalukan Narumi saat wanita itu hendak pergi dari rumah. “Cih, pulang,” decak Narumi sembari menyimpan kembali ponselnya, mengabaikan pesan Ghali sepenuhnya. Matanya kembali menatap lorong menuju lift dengan ketenangan yang tak terbaca. Narumi tak menyadari bahwa di kediaman Faghdam, Ghali tengah dilanda kegelisahan yang mencekik. "Nana tak membalas pesanku," Ghali mendesis frustrasi, jemarinya menggenggam ponsel begitu erat hingga kuku-kuku jarinya memutih. Matanya yang gelisah beralih pada sosok ibunya, "Mama mengenal pria berambut putih itu, kan? Dia... dia Jimmy Kwong." Ghali bangkit dengan gerakan tiba-tiba, membuat sofa mahal itu berderit pelan. Langkahnya yang berat mondar-mandir memenuhi ruangan, sementara Suhita dan Karin mengikuti setiap gerakannya dalam diam. "Bagaimana Nana bisa mengenalnya? Mereka bahkan tampak begitu akrab." Suaranya bergetar menahan amarah. Bayangan Narumi yang melangkah masuk ke dalam pelukan Jimmy sebelumnya, berputar-putar di benak Ghali seperti film rusak yang diulang tanpa henti. "Mama tahu dia siapa, tapi..." Suhita menghela napas panjang, "Bisakah kamu duduk tenang? Mama pusing melihatmu mondar-mandir seperti setrika begini." Ghali mengabaikan permintaan ibunya mentah-mentah, seolah kata-kata itu hanya angin lalu. "Bagaimana aku bisa tenang? Mama pikir sendiri," ia berhenti sejenak, matanya menyiratkan kefrustrasian yang mendalam. "Nana... kenapa bisa akrab dengan orang yang bahkan aku saja sulit untuk menemuinya?" "Iya, mana Mama tahu," Suhita mendengus kasar, tak repot-repot menyembunyikan kejengkelannya. "Selama ini dia cuma diam di rumah. Kalaupun keluar, paling juga buat foya-foya." Kata-kata itu keluar dengan nada sinis yang tajam, wajah wanita paruh baya itu mengeras oleh amarah yang sudah lama terpendam. Ghali menghempaskan tubuhnya di samping Karin, kepalanya tertunduk lelah. Matanya menerawang kosong ke lantai marmer yang dingin, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan. "Apa yang disembunyikan?" bisiknya parau, lebih kepada dirinya sendiri. Otaknya berputar keras memikirkan sosok wanita yang ia kira telah ia kenali dengan baik, atau mungkin... tak pernah benar-benar ia kenal sama sekali. "Mas," suara Karin memecah keheningan dengan lembut namun tegang. Mata bulatnya yang bening bertemu dengan tatapan tajam Ghali, "Sepertinya aku pernah bertemu dengan pria ubanan itu." "Pria ubanan?" Ghali mengulang kata-kata itu lambat-lambat, dahinya berkerut dalam. "Maksudmu... Pak Jimmy?" Ada nada menyelidik dalam suaranya yang berat. Karin mengangguk mantap, "Iya, pria tua itu." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, "Apa kamu ingat kejadian Narumi diculik saat satu bulan dia tinggal di rumahku?" Wajah Ghali mengeras, ingatan itu masih begitu jelas seperti baru terjadi kemarin. "Iya, aku ingat," jawabnya singkat. "Memangnya kenapa?" "Saat Narumi dirawat di rumah sakit," Karin memulai dengan hati-hati, "Aku secara kebetulan bertemu dengan pria itu ketika dia sedang mengobrol bersama Papa di lobi." Ia berhenti sejenak, mengamati perubahan raut wajah Ghali. "Papa..." Ghali mengangkat alisnya, matanya melebar perlahan. "Maksudmu Papamu?" "Iya, Mas, Papaku." Karin mengangguk, suaranya semakin serius. "Aku juga sempat dikenalkan oleh Papa, dan beliau bilang kalau lelaki itu adalah kolega penting Papa. Dan—" "Dan?" Ghali memotong tak sabar, tubuhnya condong ke depan dengan ketegangan yang nyata. "Dia bilang, kalau aku harus menjaga Nana," Karin melanjutkan dengan suara bergetar. "Iya... benar, pria itu bilang begitu sama aku." "Jagain Nana?" Ghali mengulang dengan nada tidak percaya. "Memangnya mereka punya hubungan apa?" Pertanyaan itu keluar dengan desakan yang tak bisa disembunyikan. Karin menggeleng lemah, "Aku tidak tahu Mas. Tapi," ia menghela napas berat, "Semenjak kejadian itu, Papa jauh lebih care sama Nana." Ada getir dalam suara Karin saat melanjutkan kalimatnya, "Bahkan Papa lebih sayang ke Nana ketimbang aku, yang notabenenya anak kandungnya sendiri." Bibirnya mengerucut, menyembunyikan luka yang tak pernah sembuh. "Berarti mereka ada hubungan?" Suhita menyela tajam, matanya yang awas bergantian menatap Ghali dan Karin dengan penuh selidik. "Hubungan?" Ghali mengulang kata itu dengan kerutan dalam di dahinya. Ia menggeleng pelan, berusaha menepis kemungkinan itu. "Tapi aku tidak tahu jika mereka memiliki hubungan sedekat itu. Apalagi Nana cuma gadis miskin yang dipungut Papa Karin." Ada nada meremehkan yang tersembunyi di balik kebingungannya. Suhita mengalihkan pandangannya, menatap tajam ke arah Karin. "Perusahaan Ghali lagi ada proyek kerja sama dengan grup Kwong. Rin, selidiki hubungan Narumi dengan Pak Jimmy," ucapnya dengan nada dingin, menciptakan suasana mencekam yang begitu kontras dengan keadaan Narumi. Ketika mobil mewah itu berhenti di depan pintu utama kediaman Kwong, pemandangan yang tersaji di hadapannya membuat mata Narumi terbelalak tak percaya. Bagaimana tidak? Deretan para pelayan berbaris rapi. Menggelar karpet merah khusus untuknya, menciptakan pemandangan yang hampir terlihat seperti adegan dalam film. “Jangan bilang kalau Papa yang membuat mereka melakukan ini, Paman?” Narumi menatap Jimmy dengan setengah protes dan setengah geli, bahkan ia mendapati pria tua itu sudah tertawa kecil dengan mata yang berkerlip jahil. Tak perlu menjawab pun, ia sudah paham maksudnya. “Kalian sangat kekanak-kanakan,” gerutunya dengan pipi merona malu. Ardiaz di sampingnya berusaha menahan tawa melihat ekspresi Narumi. "Anggap saja ini sambutan buatmu. Siapa suruh kamu kabur dari rumah." godanya, membuat wajah Narumi semakin memerah. “Kamu...” Narumi memutar matanya kesal, lalu ia kabur–keluar dari mobil untuk menghindari Ardiaz. Tak jauh dari sana, sosok pria yang selama sepuluh tahun ia tinggalkan berdiri tegak – Bramastyo Kwong, ayahnya. “Selamat datang kembali, Nona!” Suara kompak para pelayan memenuhi halaman. Narumi hanya bisa menghela napas, melangkah mendekati sang ayah dengan getaran emosi yang sulit dibendung. “Aku merindukanmu, Pa,” bisiknya dengan suara bergetar. Bramastyo bergerak cepat, menarik putrinya ke dalam pelukan erat. Tak perlu kata-kata untuk menjelaskan betapa rindunya seorang ayah kepada anak yang sudah lama terpisah. Air mata hampir saja lolos dari sudut matanya, namun ia tahan dengan segala keangkuhan seorang pria dewasa. Momen haru itu tiba-tiba terpotong oleh bunyi ponsel Narumi. Dengan terpaksa, ia melepaskan diri dari pelukan ayahnya untuk menjawab panggilan. Namun anehnya, panggilan dari Siska itu terputus begitu saja. Kemudian, sebuah pesan masuk menggantikan panggilan telepon. Namun anehnya, dahi Narumi langsung berkerut dalam melihat isi pesan. “Gambar apa ini?” tanyanya, bersama dengan ucapan yang terlontar dari Ardiaz hingga mereka berdua saling tatap.Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
“Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa
Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda
Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu