“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”
Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu. Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar. “Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.” Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya. “Kamu tidak apa-apa?” pria itu kembali bertanya, sorot matanya kini dipenuhi kekhawatiran sekaligus rasa penasaran. “Iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih,” Narumi berusaha meyakinkan, meski batinnya masih diliputi kecemasan. Perasaan diawasi itu begitu nyata, dan ternyata, instingnya tidak salah. Di balik pilar besar basement, sesosok bayangan mengamati mereka dalam diam. Seringai misterius tersungging di wajahnya yang tersembunyi dalam remang-remang. “Sesuai rencana,” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum melangkah ke arah lift menuju lantai 15, meninggalkan jejak kehadirannya yang mencekam. Sementara itu, Narumi di tuntun lembut oleh Ardiaz menuju mobil mereka di mana ia masih tak bisa mengenyahkan firasat buruknya. Berkali-kali Narumi menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti, hingga pikirannya melayang pada kebiasaan Ghali selama tiga tahun terakhir; mengutus orang-orang untuk mengawasi setiap langkahnya. Kepala Narumi menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran tersebut. Tidak mungkin Ghali masih melakukannya, bisiknya pada diri sendiri. Bahkan tawa getir pun lolos dari bibir saat kenangan-kenangan pahit tentang suaminya itu berkelebat di benaknya. Sebab, pengawasan ketat yang selama ini Narumi terima bukanlah bentuk kasih sayang, itu adalah manifestasi dari ketakutan Ghali sendiri. Ketakutan jika Narumi kabur atau lebih buruk lagi, berani membongkar rahasia bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara belaka. “Kamu baik-baik saja?” Ardiaz lagi-lagi bertanya, heran melihat perubahan raut wajah Narumi yang berubah-ubah. “Hm,” desisnya singkat sebelum masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan Jimmy dengan sigap. Tak lama kemudian, ponsel Narumi bergetar. Dua pesan W******p masuk berturut-turut: {Narumi, kamu tidak aku izinkan untuk keluar dari rumah ini, PULANG SEGERA!} {Apa kamu akan membangkang dariku, aku masih suamimu. Haram bagimu meninggalkan rumah ini tanpa seizinku! PULANG SEKARANG!} Kening Narumi berkerut dalam membaca pesan-pesan itu. Sangat konyol. Sepertinya Ghali sudah kehilangan akal sehatnya, atau mungkin lupa bagaimana dia dan ibunya telah mempermalukan Narumi saat wanita itu hendak pergi dari rumah. “Cih, pulang,” decak Narumi sembari menyimpan kembali ponselnya, mengabaikan pesan Ghali sepenuhnya. Matanya kembali menatap lorong menuju lift dengan ketenangan yang tak terbaca. Narumi tak menyadari bahwa di kediaman Faghdam, Ghali tengah dilanda kegelisahan yang mencekik. "Nana tak membalas pesanku," Ghali mendesis frustrasi, jemarinya menggenggam ponsel begitu erat hingga kuku-kuku jarinya memutih. Matanya yang gelisah beralih pada sosok ibunya, "Mama mengenal pria berambut putih itu, kan? Dia... dia Jimmy Kwong." Ghali bangkit dengan gerakan tiba-tiba, membuat sofa mahal itu berderit pelan. Langkahnya yang berat mondar-mandir memenuhi ruangan, sementara Suhita dan Karin mengikuti setiap gerakannya dalam diam. "Bagaimana Nana bisa mengenalnya? Mereka bahkan tampak begitu akrab." Suaranya bergetar menahan amarah. Bayangan Narumi yang melangkah masuk ke dalam pelukan Jimmy sebelumnya, berputar-putar di benak Ghali seperti film rusak yang diulang tanpa henti. "Mama tahu dia siapa, tapi..." Suhita menghela napas panjang, "Bisakah kamu duduk tenang? Mama pusing melihatmu mondar-mandir seperti setrika begini." Ghali mengabaikan permintaan ibunya mentah-mentah, seolah kata-kata itu hanya angin lalu. "Bagaimana aku bisa tenang? Mama pikir sendiri," ia berhenti sejenak, matanya menyiratkan kefrustrasian yang mendalam. "Nana... kenapa bisa akrab dengan orang yang bahkan aku saja sulit untuk menemuinya?" "Iya, mana Mama tahu," Suhita mendengus kasar, tak repot-repot menyembunyikan kejengkelannya. "Selama ini dia cuma diam di rumah. Kalaupun keluar, paling juga buat foya-foya." Kata-kata itu keluar dengan nada sinis yang tajam, wajah wanita paruh baya itu mengeras oleh amarah yang sudah lama terpendam. Ghali menghempaskan tubuhnya di samping Karin, kepalanya tertunduk lelah. Matanya menerawang kosong ke lantai marmer yang dingin, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan. "Apa yang disembunyikan?" bisiknya parau, lebih kepada dirinya sendiri. Otaknya berputar keras memikirkan sosok wanita yang ia kira telah ia kenali dengan baik, atau mungkin... tak pernah benar-benar ia kenal sama sekali. "Mas," suara Karin memecah keheningan dengan lembut namun tegang. Mata bulatnya yang bening bertemu dengan tatapan tajam Ghali, "Sepertinya aku pernah bertemu dengan pria ubanan itu." "Pria ubanan?" Ghali mengulang kata-kata itu lambat-lambat, dahinya berkerut dalam. "Maksudmu... Pak Jimmy?" Ada nada menyelidik dalam suaranya yang berat. Karin mengangguk mantap, "Iya, pria tua itu." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, "Apa kamu ingat kejadian Narumi diculik saat satu bulan dia tinggal di rumahku?" Wajah Ghali mengeras, ingatan itu masih begitu jelas seperti baru terjadi kemarin. "Iya, aku ingat," jawabnya singkat. "Memangnya kenapa?" "Saat Narumi dirawat di rumah sakit," Karin memulai dengan hati-hati, "Aku secara kebetulan bertemu dengan pria itu ketika dia sedang mengobrol bersama Papa di lobi." Ia berhenti sejenak, mengamati perubahan raut wajah Ghali. "Papa..." Ghali mengangkat alisnya, matanya melebar perlahan. "Maksudmu Papamu?" "Iya, Mas, Papaku." Karin mengangguk, suaranya semakin serius. "Aku juga sempat dikenalkan oleh Papa, dan beliau bilang kalau lelaki itu adalah kolega penting Papa. Dan—" "Dan?" Ghali memotong tak sabar, tubuhnya condong ke depan dengan ketegangan yang nyata. "Dia bilang, kalau aku harus menjaga Nana," Karin melanjutkan dengan suara bergetar. "Iya... benar, pria itu bilang begitu sama aku." "Jagain Nana?" Ghali mengulang dengan nada tidak percaya. "Memangnya mereka punya hubungan apa?" Pertanyaan itu keluar dengan desakan yang tak bisa disembunyikan. Karin menggeleng lemah, "Aku tidak tahu Mas. Tapi," ia menghela napas berat, "Semenjak kejadian itu, Papa jauh lebih care sama Nana." Ada getir dalam suara Karin saat melanjutkan kalimatnya, "Bahkan Papa lebih sayang ke Nana ketimbang aku, yang notabenenya anak kandungnya sendiri." Bibirnya mengerucut, menyembunyikan luka yang tak pernah sembuh. "Berarti mereka ada hubungan?" Suhita menyela tajam, matanya yang awas bergantian menatap Ghali dan Karin dengan penuh selidik. "Hubungan?" Ghali mengulang kata itu dengan kerutan dalam di dahinya. Ia menggeleng pelan, berusaha menepis kemungkinan itu. "Tapi aku tidak tahu jika mereka memiliki hubungan sedekat itu. Apalagi Nana cuma gadis miskin yang dipungut Papa Karin." Ada nada meremehkan yang tersembunyi di balik kebingungannya. Suhita mengalihkan pandangannya, menatap tajam ke arah Karin. "Perusahaan Ghali lagi ada proyek kerja sama dengan grup Kwong. Rin, selidiki hubungan Narumi dengan Pak Jimmy," ucapnya dengan nada dingin, menciptakan suasana mencekam yang begitu kontras dengan keadaan Narumi. Ketika mobil mewah itu berhenti di depan pintu utama kediaman Kwong, pemandangan yang tersaji di hadapannya membuat mata Narumi terbelalak tak percaya. Bagaimana tidak? Deretan para pelayan berbaris rapi. Menggelar karpet merah khusus untuknya, menciptakan pemandangan yang hampir terlihat seperti adegan dalam film. “Jangan bilang kalau Papa yang membuat mereka melakukan ini, Paman?” Narumi menatap Jimmy dengan setengah protes dan setengah geli, bahkan ia mendapati pria tua itu sudah tertawa kecil dengan mata yang berkerlip jahil. Tak perlu menjawab pun, ia sudah paham maksudnya. “Kalian sangat kekanak-kanakan,” gerutunya dengan pipi merona malu. Ardiaz di sampingnya berusaha menahan tawa melihat ekspresi Narumi. "Anggap saja ini sambutan buatmu. Siapa suruh kamu kabur dari rumah." godanya, membuat wajah Narumi semakin memerah. “Kamu...” Narumi memutar matanya kesal, lalu ia kabur–keluar dari mobil untuk menghindari Ardiaz. Tak jauh dari sana, sosok pria yang selama sepuluh tahun ia tinggalkan berdiri tegak – Bramastyo Kwong, ayahnya. “Selamat datang kembali, Nona!” Suara kompak para pelayan memenuhi halaman. Narumi hanya bisa menghela napas, melangkah mendekati sang ayah dengan getaran emosi yang sulit dibendung. “Aku merindukanmu, Pa,” bisiknya dengan suara bergetar. Bramastyo bergerak cepat, menarik putrinya ke dalam pelukan erat. Tak perlu kata-kata untuk menjelaskan betapa rindunya seorang ayah kepada anak yang sudah lama terpisah. Air mata hampir saja lolos dari sudut matanya, namun ia tahan dengan segala keangkuhan seorang pria dewasa. Momen haru itu tiba-tiba terpotong oleh bunyi ponsel Narumi. Dengan terpaksa, ia melepaskan diri dari pelukan ayahnya untuk menjawab panggilan. Namun anehnya, panggilan dari Siska itu terputus begitu saja. Kemudian, sebuah pesan masuk menggantikan panggilan telepon. Namun anehnya, dahi Narumi langsung berkerut dalam melihat isi pesan. “Gambar apa ini?” tanyanya, bersama dengan ucapan yang terlontar dari Ardiaz hingga mereka berdua saling tatap.Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se
Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad
Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,
Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m
Narumi menatap Karin tajam, tahu betul bahwa niat wanita itu tidak sesederhana yang terlihat. “Liburan?” tanyanya, matanya menelisik dengan penuh selidik. “Kalian berdua tiba-tiba muncul di sini dengan koper, tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ingin ikut ke Yunani?”Ghali mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Narumi. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimanapun, kita masih suami istri, bukan?”Narumi tersenyum sinis. “Masih suami istri?” ia menekankan setiap kata dengan nada yang membuat Ghali sedikit mundur selangkah. “Aku sudah muak menekankan hal ini, Mas. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu.”Ardiaz menepuk pundak Narumi pelan, mengisyaratkan agar ia tetap tenang. Kemudian, ia menatap Ghali dengan tatapan yang tajam namun tetap santai. “Dengar, Ini perjalanan pribadi kami, dan aku rasa kehadiranmu tidak diperlukan.”Ghali mendengus kesal. “Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat istriku bersama pria lain?” katanya penuh penekanan.Narumi mengambil langkah maju,
Karin berusaha terdengar santai, meskipun ada semburat kepahitan yang tak bisa ia sembunyikan dalam suaranya. Pandangannya tetap terpatri pada sosok Narumi yang berdiri nyaman di sisi Ardiaz. Perlahan, genggamannya pada lengan Ghali semakin erat, seolah ingin memastikan bahwa pria di sisinya tetap berada dalam kendali.Namun, Ghali dengan tegas melepaskan genggaman itu. Tatapannya tajam dan dingin. “Berhentilah bermain kata, Karin. Sebaiknya kamu kembali ke Indonesia.”Karin tersentak, matanya membesar dalam keterkejutan. “Mas...,” suaranya bergetar, mencari secercah harapan di wajah Ghali, tetapi yang ia temukan hanyalah kebekuan.“Aku sudah bilang untuk tidak mengganggu.” Nada suara Ghali semakin tajam, menusuk langsung ke dalam hati Karin. “Kalau aku masih melihatmu bertingkah, jangan salahkan aku kalau harus bersikap lebih kasar.”Detik itu juga, Karin merasa dadanya mengimpit. Ia hanya bisa berdiri terpaku, melihat punggung Ghali yang meninggalkannya tanpa sedikit pun menoleh.S
“Na, aku harus cek sesuatu sebentar.” Pamitnya Ardiaz pada Narumi membuat ia harus duduk di meja makan sendiri, menatap piring yang hampir kosong. Kepergian Ardiaz yang terkesan mendadak menjadikannya resah, terlebih karena pria itu tampak berbeda, seperti menyembunyikan sesuatu.“Apa ada yang penting?” pertanyaannya tadi masih terngiang di kepalanya. Ardiaz hanya menjawab dengan senyum yang tidak benar-benar tulus, membuat Narumi semakin yakin bahwa ada hal yang sedang terjadi di luar kendalinya.Ia menghela napas dalam, matanya menatap kosong ke arah lilin kecil di meja. “Apa aku sudah keterlaluan sama Mama?” gumamnya pelan, rasa bersalah masih menyelimuti hatinya setelah percakapan menyakitkan dengan ibunya tadi siang.Narumi meneguk air mineral itu perlahan, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan masa lalunya terus menghantuinya, menciptakan kegelisahan yang sulit ia enyahkan.Di sisi lain, Ardiaz berdiri di luar villa, di bawah temaram lampu jalan yang berpendar redup. Mat
Narumi menatap ibunya dengan intens, sorot matanya penuh keingintahuan bercampur rasa sakit. Keheningan di antara mereka begitu tebal, hingga suara napas terdengar seperti gema di ruangan itu. Amaly akhirnya membuka suara, suaranya rendah dan penuh beban. “Tiga tahun sebelum kamu menemui Mama… Mama menikah dengan papa kandung Liyou. Kami…”Wanita itu berhenti, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Narumi tetap diam, tidak mendesak. Ia tahu ibunya sedang bertarung dengan emosinya sendiri.“Kami hidup bahagia saat itu,” lanjut Amaly akhirnya. “Tapi di tiga tahun pernikahan itu, Mama mulai merindukanmu.”Narumi terkejut. Matanya membesar, tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Mama merindukanku? Pikirnya, tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya menunggu ibunya melanjutkan.“Tapi Mama ingat akan perjanjian dengan Papamu,” lanjut Amaly, suaranya semakin lirih. “Dia akan memberikan setengah hartanya pada Mama asal Mama tidak menemuimu. Waktu itu Mama setuju, karena Mama pi