Share

AIB 05: Kartu As

Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran.

"Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. 

Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari.

"Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas.

Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke sofa terdekat, mengabaikan beberapa kertas yang beterbangan akibat gerakannya

"Ya... begitulah." Siska mengangguk cepat sambil melepas kacamatanya. Ia memijat pelipis yang berdenyut sampai akhirnya menatap Narumi. "Tumben kamu ke sini, ada apa?"

Narumi menarik napas dalam-dalam, menahan sesak yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. "Aku... mau bercerai dari Mas Ghali."

Hening mencekam memenuhi ruangan sebelum teriakan melengking Siska memecahkannya. "Akhirnya… Keputusan yang bagus, Na." 

Mata Siska melebar sempurna dengan wajah bersemu bahagia, sampai-sampai kacamatanya hampir patah akibat menggebrak meja. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?” tanyanya antusias.

Narumi menghela napas, atas euforia sahabatnya, "Karin... Dia..." Dia tak sanggup melanjutkan, tenggorokannya tercekat oleh kata-kata yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan.

"Hamil?" tebak Siska cepat. Anggukan lemah Narumi cukup sebagai jawaban. "Sudah kuduga cepat atau lambat ini akan terjadi." 

Siska bergegas menghampiri, merengkuh tubuh sahabatnya yang gemetar. "Jangan sedih. Mungkin ini jalan Tuhan, membebaskan mu dari si brengsek itu."

Narumi membenamkan wajahnya di bahu Siska, tapi mendadak tubuhnya menegang. Aroma tak sedap mengusik hidungnya. "By the way... sudah berapa hari kamu tidak mandi?"

Siska menggaruk kepalanya dengan canggung, jari-jarinya bergerak menghitung. “Delapan eh sembilan, belum sepuluh hari Na,” jawabnya dengan cengir tak berdosa.

“Ya ampun, joroknya!” Narumi pura-pura muntah, memancing tawa Siska yang meledak. Wanita itu memukul-mukul lengan Narumi dengan karakteristiknya yang keras dan berlebihan seperti biasa.

Ketika tawa mereda, sorot mata Siska berubah serius. “Jadi... sudah punya rencana? Mau pulang kemana?” Nada suaranya melembut, kontras dengan penampilannya yang berantakan.

“Sesuai saranmu, Sis. Aku akan pulang ke rumah Papa.” Narumi menatap sahabatnya, matanya berkaca-kaca menahan emosi yang berkecamuk. 

“Aku harap... bisa secepatnya lepas dari Mas Ghali. Kamu masih mau membantuku, kan?”

“Tentu saja.” Siska meraih tangan Narumi, menggenggamnya erat. Ada keyakinan yang terpancar dari matanya yang lelah. 

“Dia tak akan berkutik kali ini. Kita punya bukti kuat, dan...,” seringai tipis muncul di sudut bibir wanita itu, “Aku punya kartu as yang akan membuatnya mati kutu kalau masih keras kepala.”

“Kartu as?” Dahi Narumi berkerut penasaran. “Apa maksudnya?”

“Tak perlu kamu tahu detailnya. Yang penting, semua akan beres sesuai keinginanmu.” Ada kilatan misterius di mata Siska yang membuat Narumi urung bertanya lebih jauh.

“Baiklah, aku percaya padamu.” Mata Narumi berkelana ke tumpukan dokumen di meja, tangannya terulur mengambil salah satu kertas. 

Jantungnya seketika berdegup kencang saat membaca nama keluarga Ardiaz tertera sebagai headline kertas. Pertanyaan sudah di ujung lidah, namun ponselnya berdering nyaring, dan nomor tak dikenal muncul di layar. 

“Halo?” sapa Narumi ragu.

[Masih belum selesai urusanmu? Berapa lama lagi kami harus menunggu?] 

Suara berat dan dalam itu membuat tulang punggung Narumi meremang. Suara yang familiar—Ardiaz.

“Sebentar lagi aku turun. Maaf membuatmu menunggu.” 

Narumi berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski tak luput dari pandangannya serta kerutan dalam di dahi Siska, memberinya tatapan penuh tanya.

“Calon suamiku. Syarat dari Papa untuk kepulanganku,” jelas Narumi singkat setelah sambungan terputus.

“Ya Tuhan, Na...” Mata Siska terbelalak, tangannya refleks menutup mulut. “Kenapa aku jadi merasa bersalah begini? Karena aku...”

Senyum tipis tersungging di bibir Narumi. "Tidak apa-apa, ini murni keputusanku sendiri."

"Kamu bisa menolaknya, Na. Apartemen-ku..." Siska mengedarkan pandangan ke ruangan berantakannya dan tersenyum getir, "...Iya, mungkin butuh sedikit bersih-bersih, tapi masih cukup luas untuk menampung-mu." Genggamannya pada tangan Narumi mengerat, seolah tak rela melepaskan sahabatnya ke situasi yang tak pasti.

"Terima kasih, Sis. Tapi aku memang ingin pulang ke rumah Papa."

"Tapi..." Siska menggigit bibir bawahnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Rasanya aku sudah mendorongmu dari mulut buaya langsung ke mulut harimau."

Tawa kecil meluncur dari bibir Narumi mendengar analogi itu. "Tidak seburuk yang kamu bayangkan." Ada kilatan aneh di matanya saat melanjutkan, "Aku sudah bertemu dengannya dan... dia jauh lebih menarik dibanding Mas Ghali."

"Oh?" Alis Siska terangkat tinggi, nada suaranya berubah penasaran. "Benarkah?"

Narumi mengangguk, semburat merah samar mewarnai pipinya. "Matanya... warnanya seperti emas cair. Kalau saja—"

"Maaf, Na..." Siska memotong, raut wajahnya berubah sendu. "Sungguh, aku merasa bersalah. Seharusnya aku..."

"Sudahlah, Sis." Narumi meremas lembut tangan sahabatnya. "Yang terpenting bagiku, kamu masih ada di pihakku."

"Na..." Mata Siska berkaca-kaca. Ada resonansi kepahitan dalam tatapannya, jejak luka dari kisahnya sendiri yang masih menganga, tentang keluarga yang hingga kini ia hindari.

"Aku harus kembali," Narumi merogoh saku celananya, mengeluarkan flashdisk hitam kecil. 

"Semua buktinya ada di sini, hasil penyelidikan-ku sendiri tentang Mas Ghali dan Karin." Ia meletakkan benda itu di telapak tangan Siska. "Aku tidak menuntut harta gono-gini atau apapun. Aku hanya ingin bebas."

Siska menggenggam flashdisk itu seolah memegang kunci pembebasan sahabatnya. "Serahkan padaku. Akan kubereskan secepat mungkin."

"Bagus," Narumi bangkit, menepuk-nepuk celananya yang kotor karena duduk di sofa berdebu. "Oh, tolong jawab kalau aku telepon atau chat, oke?"

"Siap, Bos!" Siska memberi hormat main-main, mengikuti Narumi ke pintu.

Narumi melangkah meninggalkan apartemen dengan perasaan lebih ringan, entah karena telah menyampaikan niatnya bercerai atau karena melihat Siska baik-baik saja meski dalam kondisi... Iya, kurang higienis.

Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Di koridor yang sepi, instingnya mendadak menyala. Sensasi diawasi membuat bulu kuduknya meremang. Langkahnya dipercepat menuju lift, sesekali menoleh ke belakang hanya untuk mendapati koridor kosong.

"Kenapa perasaanku tak enak," gumamnya pada diri sendiri. Jantungnya berdebar kencang ketakutan, sampai pintu lift akhirnya tertutup, memberikan rasa aman sesaat.

Di basement yang redup, Narumi bergegas menuju mobil. Ketakutan mulai merayap di benaknya, membuat wanita itu gelisah dan terburu-buru. Langkahnya yang tergesa-gesa justru membuat ia tersandung kaki sendiri hingga tersungkur ke lantai dingin.

Suasana tegang semakin menyesakkan, dan tiba-tiba dia merasakan sentuhan dingin di bahunya. 

Tubuh Narumi menegang, dan dengan gerakan perlahan yang kaku, ia menoleh. “Aah…,” teriaknya tercekik saat melihat sosok di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status