Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran.
"Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke sofa terdekat, mengabaikan beberapa kertas yang beterbangan akibat gerakannya "Ya... begitulah." Siska mengangguk cepat sambil melepas kacamatanya. Ia memijat pelipis yang berdenyut sampai akhirnya menatap Narumi. "Tumben kamu ke sini, ada apa?" Narumi menarik napas dalam-dalam, menahan sesak yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. "Aku... mau bercerai dari Mas Ghali." Hening mencekam memenuhi ruangan sebelum teriakan melengking Siska memecahkannya. "Akhirnya… Keputusan yang bagus, Na." Mata Siska melebar sempurna dengan wajah bersemu bahagia, sampai-sampai kacamatanya hampir patah akibat menggebrak meja. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?” tanyanya antusias. Narumi menghela napas, atas euforia sahabatnya, "Karin... Dia..." Dia tak sanggup melanjutkan, tenggorokannya tercekat oleh kata-kata yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan. "Hamil?" tebak Siska cepat. Anggukan lemah Narumi cukup sebagai jawaban. "Sudah kuduga cepat atau lambat ini akan terjadi." Siska bergegas menghampiri, merengkuh tubuh sahabatnya yang gemetar. "Jangan sedih. Mungkin ini jalan Tuhan, membebaskan mu dari si brengsek itu." Narumi membenamkan wajahnya di bahu Siska, tapi mendadak tubuhnya menegang. Aroma tak sedap mengusik hidungnya. "By the way... sudah berapa hari kamu tidak mandi?" Siska menggaruk kepalanya dengan canggung, jari-jarinya bergerak menghitung. “Delapan eh sembilan, belum sepuluh hari Na,” jawabnya dengan cengir tak berdosa. “Ya ampun, joroknya!” Narumi pura-pura muntah, memancing tawa Siska yang meledak. Wanita itu memukul-mukul lengan Narumi dengan karakteristiknya yang keras dan berlebihan seperti biasa. Ketika tawa mereda, sorot mata Siska berubah serius. “Jadi... sudah punya rencana? Mau pulang kemana?” Nada suaranya melembut, kontras dengan penampilannya yang berantakan. “Sesuai saranmu, Sis. Aku akan pulang ke rumah Papa.” Narumi menatap sahabatnya, matanya berkaca-kaca menahan emosi yang berkecamuk. “Aku harap... bisa secepatnya lepas dari Mas Ghali. Kamu masih mau membantuku, kan?” “Tentu saja.” Siska meraih tangan Narumi, menggenggamnya erat. Ada keyakinan yang terpancar dari matanya yang lelah. “Dia tak akan berkutik kali ini. Kita punya bukti kuat, dan...,” seringai tipis muncul di sudut bibir wanita itu, “Aku punya kartu as yang akan membuatnya mati kutu kalau masih keras kepala.” “Kartu as?” Dahi Narumi berkerut penasaran. “Apa maksudnya?” “Tak perlu kamu tahu detailnya. Yang penting, semua akan beres sesuai keinginanmu.” Ada kilatan misterius di mata Siska yang membuat Narumi urung bertanya lebih jauh. “Baiklah, aku percaya padamu.” Mata Narumi berkelana ke tumpukan dokumen di meja, tangannya terulur mengambil salah satu kertas. Jantungnya seketika berdegup kencang saat membaca nama keluarga Ardiaz tertera sebagai headline kertas. Pertanyaan sudah di ujung lidah, namun ponselnya berdering nyaring, dan nomor tak dikenal muncul di layar. “Halo?” sapa Narumi ragu. [Masih belum selesai urusanmu? Berapa lama lagi kami harus menunggu?] Suara berat dan dalam itu membuat tulang punggung Narumi meremang. Suara yang familiar—Ardiaz. “Sebentar lagi aku turun. Maaf membuatmu menunggu.” Narumi berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski tak luput dari pandangannya serta kerutan dalam di dahi Siska, memberinya tatapan penuh tanya. “Calon suamiku. Syarat dari Papa untuk kepulanganku,” jelas Narumi singkat setelah sambungan terputus. “Ya Tuhan, Na...” Mata Siska terbelalak, tangannya refleks menutup mulut. “Kenapa aku jadi merasa bersalah begini? Karena aku...” Senyum tipis tersungging di bibir Narumi. "Tidak apa-apa, ini murni keputusanku sendiri." "Kamu bisa menolaknya, Na. Apartemen-ku..." Siska mengedarkan pandangan ke ruangan berantakannya dan tersenyum getir, "...Iya, mungkin butuh sedikit bersih-bersih, tapi masih cukup luas untuk menampung-mu." Genggamannya pada tangan Narumi mengerat, seolah tak rela melepaskan sahabatnya ke situasi yang tak pasti. "Terima kasih, Sis. Tapi aku memang ingin pulang ke rumah Papa." "Tapi..." Siska menggigit bibir bawahnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Rasanya aku sudah mendorongmu dari mulut buaya langsung ke mulut harimau." Tawa kecil meluncur dari bibir Narumi mendengar analogi itu. "Tidak seburuk yang kamu bayangkan." Ada kilatan aneh di matanya saat melanjutkan, "Aku sudah bertemu dengannya dan... dia jauh lebih menarik dibanding Mas Ghali." "Oh?" Alis Siska terangkat tinggi, nada suaranya berubah penasaran. "Benarkah?" Narumi mengangguk, semburat merah samar mewarnai pipinya. "Matanya... warnanya seperti emas cair. Kalau saja—" "Maaf, Na..." Siska memotong, raut wajahnya berubah sendu. "Sungguh, aku merasa bersalah. Seharusnya aku..." "Sudahlah, Sis." Narumi meremas lembut tangan sahabatnya. "Yang terpenting bagiku, kamu masih ada di pihakku." "Na..." Mata Siska berkaca-kaca. Ada resonansi kepahitan dalam tatapannya, jejak luka dari kisahnya sendiri yang masih menganga, tentang keluarga yang hingga kini ia hindari. "Aku harus kembali," Narumi merogoh saku celananya, mengeluarkan flashdisk hitam kecil. "Semua buktinya ada di sini, hasil penyelidikan-ku sendiri tentang Mas Ghali dan Karin." Ia meletakkan benda itu di telapak tangan Siska. "Aku tidak menuntut harta gono-gini atau apapun. Aku hanya ingin bebas." Siska menggenggam flashdisk itu seolah memegang kunci pembebasan sahabatnya. "Serahkan padaku. Akan kubereskan secepat mungkin." "Bagus," Narumi bangkit, menepuk-nepuk celananya yang kotor karena duduk di sofa berdebu. "Oh, tolong jawab kalau aku telepon atau chat, oke?" "Siap, Bos!" Siska memberi hormat main-main, mengikuti Narumi ke pintu. Narumi melangkah meninggalkan apartemen dengan perasaan lebih ringan, entah karena telah menyampaikan niatnya bercerai atau karena melihat Siska baik-baik saja meski dalam kondisi... Iya, kurang higienis. Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Di koridor yang sepi, instingnya mendadak menyala. Sensasi diawasi membuat bulu kuduknya meremang. Langkahnya dipercepat menuju lift, sesekali menoleh ke belakang hanya untuk mendapati koridor kosong. "Kenapa perasaanku tak enak," gumamnya pada diri sendiri. Jantungnya berdebar kencang ketakutan, sampai pintu lift akhirnya tertutup, memberikan rasa aman sesaat. Di basement yang redup, Narumi bergegas menuju mobil. Ketakutan mulai merayap di benaknya, membuat wanita itu gelisah dan terburu-buru. Langkahnya yang tergesa-gesa justru membuat ia tersandung kaki sendiri hingga tersungkur ke lantai dingin. Suasana tegang semakin menyesakkan, dan tiba-tiba dia merasakan sentuhan dingin di bahunya. Tubuh Narumi menegang, dan dengan gerakan perlahan yang kaku, ia menoleh. “Aah…,” teriaknya tercekik saat melihat sosok di belakangnya.“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria
Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
“Mama ingin bertemu.” Tangannya sedikit gemetar, ada keraguan yang menghantuinya. Tapi di sisi lain, ada dorongan kuat untuk memenuhi panggilan tersebut.{Iya, Kak. Kami akan menunggumu di restoran,} suara Liyou terngiang di pikirannya sebelum panggilan itu diputus secara sepihak.Narumi menghela napas panjang, kegugupannya semakin menjadi. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Na, ayo kita sarapan,” suara Ardiaz terdengar dari balik pintu. Suara itu terdengar santai, tapi Narumi tahu betul pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.Ia menggigit bibirnya, ragu untuk merespons. Ardiaz selalu tahu bagaimana caranya menembus pertahanan dirinya, meskipun ia sudah berusaha menghindar.“Aku tidak akan sarapan,” katanya akhirnya dengan nada datar. “Sarapanlah lebih dulu.”Narumi mendengar langkah kaki Ardiaz menjauh dari pintu, dan ia menghela
“Mas Ghali, kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, tangannya mencengkeram tirai dengan kuat.Keributan di luar villa semakin memuncak. Suara teriakan, bentakan, dan benda yang jatuh memecah keheningan pagi. Narumi masih berdiri diam di dekat jendela, matanya terpaku pada sosok Ghali yang berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. Di sampingnya, Karin tampak memegang lengannya, dengan ekspresi kepura-puraan khawatir dan provokasi halus.“Narumi! Aku tahu kamu di sana! Keluar sekarang!” teriak Ghali, suaranya begitu menggelegar.Narumi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, situasi ini terlalu melelahkan untuk dihadapi begitu saja.Sebelum Narumi sempat bergerak, suara tenang namun penuh ancaman terdengar dari arah ruang tamu.“Berhenti membuat keributan,” kata Ardiaz dengan nada rendah, tapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk berteriak-teriak seperti orang hutan.”Narumi meno
Di sudut sebuah kafe kecil di tepi jalan, Narumi duduk diam, memandangi secangkir teh hangat di hadapannya. Udara malam itu cukup dingin, namun hangatnya suasana dalam kafe berhasil sedikit meredakan pikirannya yang berkecamuk. Di depannya, Liyou duduk sambil menatap Narumi yang memegang kain kompres. Mata Narumi masih bengkak setelah tangis panjang yang tak terbendung sebelumnya.“Bagaimana kabar Kakak?” suara Liyou memecah keheningan, terdengar hati-hati tapi penuh perhatian.Narumi menghela napas panjang, lalu meletakkan kain kompres itu di atas meja. Matanya menatap wajah Liyou, menelusuri setiap detail wajah adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. “Tidak begitu baik,” jawabnya dengan nada lelah.Tapi di balik kelelahannya, ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Liyou, adiknya yang dulu kecil dan rapuh, kini duduk di hadapannya, terlihat kuat dan dewasa. Ia hampir lupa bahwa waktu terus berjalan, dan Liyou bukan lagi anak sepuluh tahun yang dulu sering ia ajak bermain.N
Narumi berdiri mematung, matanya menatap lekat pada Ardiaz yang kini hanya diam di tempat. Tatapan pria itu sulit diartikan. Entah itu rasa bersalah, kebingungan, atau mungkin campuran dari semuanya.“Kenapa kamu melakukan ini?” Narumi mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tajam. Ia tidak peduli dengan ketegangan yang terlihat di wajah Ardiaz. Tangannya terangkat, mencengkeram lengan pria itu dengan erat, sampai tubuh Ardiaz sedikit bergoyang karena dorongan emosinya.“Apa kamu sengaja ingin menyakitiku?”Tubuh Ardiaz menegang seketika. Matanya melebar, seolah pertanyaan itu seperti pukulan yang menghantam dadanya. Tapi ia tidak segera menjawab. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh tekad, Ardiaz membuka mulutnya. “Tidak, Na,” katanya, suaranya serak. “Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia dan kuat dalam menghadapi semua ini.”Narumi mengernyit
Narumi memaksakan senyumnya sambil melirik ke arah Ardiaz, yang menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya. Tapi kali ini, perhatian Narumi tidak bisa teralihkan. Matanya tetap terkunci pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka—ibunya.Sepuluh tahun.Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Jarak waktu yang panjang, dipenuhi kenangan yang dingin dan penuh luka.Narumi meneguk ludah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi yang diciptakan pikirannya. Tapi tatapan tajam wanita itu cukup untuk menyadarkannya bahwa ini nyata."Maaf, Nona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" suara lembut namun asing itu terdengar, disampaikan dalam bahasa Spanyol.Jantung Narumi berdebar keras. Ibunya… tidak mengenalinya.Bagaimana mungkin?Narumi menggigit bibirnya. Mungkin riasan tebal di wajahnya membuatnya tampak berbeda, atau… mungkin memang sejak dulu ibunya tidak pernah benar-benar peduli."Tidak," Narumi akhirnya menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Ha
Karin menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Ia tahu, jika ia terlihat terlalu penasaran, Ghali pasti akan menyadarinya.Namun, di dalam hati, ia merasa gelisah. Apa hubungan Narumi dengan Prajogo?Semakin lama, teka-teki ini terasa semakin membuatnya pusing. Jika benar Narumi berada di pulau pribadi milik Prayogo, maka jelas wanita itu memiliki sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Narumi… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?Karin menatap Ghali yang kini tampak frustrasi, menekan layar ponselnya dengan gusar.Aku harus bergerak cepat.Karin merapatkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke Ghali, mencoba mencari tahu apa yang membuat pria itu tampak gelisah sejak tadi. Matanya menelisik wajah Ghali yang dingin dan terfokus pada ponselnya.“Mas, ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.Ghali melirik sekilas, matanya menyiratkan kejengkelan yang ia coba tahan. Ia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat. Namun, tak lama kemudian, Ghali bangkit
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l