"Ardiaz..."
Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak secepat kilat, menarik Narumi ke dalam lingkup perlindungannya. Gerakannya elegan namun protektif, membuat otot rahang Ghali mengeras hingga terlihat menonjol. "Kamu tak apa?" Suara Ardiaz melembut saat berbicara pada Narumi, kontras tajam dengan tatapan mencemooh yang ia tembakkan pada Ghali. Warna merah perlahan merayap di wajah suami Narumi, bukan lagi sekadar manifestasi amarah, tapi juga api cemburu yang membakar setiap sel dalam tubuhnya melihat kedekatan mereka. "Jadi ini alasan kamu ngotot minta cerai?" Suara Ghali bergetar penuh tuduhan. "Kamu juga main belakang ternyata." Tawa mengejek meluncur dari bibir Narumi, tawa asing yang belum pernah Ghali dengar sebelumnya. Akan tetapi di sana, ada kepuasan tersendiri baginya melihat guratan kemarahan dan kecemburuan menari-nari di wajah pria yang telah mengkhianati kepercayaannya. "Kamu bilang apa, Mas? Aku main belakang...?" Narumi memberikan jeda dramatis, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sedingin Antartika. "Aaa... kalau iya, kenapa?!" Tatapan Narumi menantang, tak tersisa secuil pun cinta yang dulu selalu terpancar dari matanya untuk Ghali, dan membuat pria itu terdiam, seolah semua kata-kata yang biasa Ghali gunakan untuk menyudutkan Narumi mendadak menguap dari kepalanya. "Kamu bisa selingkuh sampai wanitamu hamil, terus... kenapa aku tidak?" Setiap kata yang meluncur dari bibir Narumi bagai belati tajam yang mengiris-iris harga diri Ghali. "Toh, istri adalah cerminan suaminya. Ketika sang cermin memantulkan wajah lain, kenapa bayangan yang terpantul tidak boleh berbeda?" Narumi mengalihkan pandangannya pada Ardiaz, sengaja membiarkan tatapannya berlama-lama di sana, sebuah pernyataan tanpa kata yang ia tahu akan menghancurkan ego suaminya. “Ayo kita pergi.” Ajaknya tanpa menunggu balasan dari siapa pun. Narumi melenggang dengan anggun memasuki mobil yang pintunya telah dibukakan Ardiaz. Setiap langkahnya mengandung determinasi, seolah ia sedang berjalan menjauh dari masa lalu yang menyakitkan. Ardiaz mengitari mobil dengan langkah mantap dan ekspresi angkuh yang terbungkus sempurna. Setiap gerakannya bagai koreografi yang dirancang khusus untuk memancing amarah Ghali yang kini mengepalkan tangan hingga kuku-kuku jarinya memutih. Di dalam mobil mewah yang aromanya didominasi wangi kulit asli, Narumi menyandarkan kepalanya ke jok empuk. Bahunya yang sedari tadi tegang perlahan meluruh. “Paman, aku lapar,” ucapnya sambil memejamkan mata, mengabaikan tatapan takjub Ardiaz yang terpana melihat transformasi drastis sikapnya, dari wanita angkuh menjadi sosok yang terlihat begitu natural. “Mampir dulu ke rumah makan Padang.” Sudut bibir pria berambut putih itu terangkat membentuk senyum tipis dari balik kemudi, matanya menangkap bayangan Narumi dari cermin spion. “Seperti biasa, Nona,” sahutnya singkat. Mesin mobil mendengung halus meninggalkan kediaman Faghdam yang kini tampak seperti panggung drama yang baru saja usai pertunjukan. Keheningan merayap dalam mobil seperti kabut tipis, hingga suara Narumi memecahnya dengan pertanyaan yang tajam seperti pecahan kaca. “Kenapa kamu mau dijodohkan denganku?” Matanya menatap wajah Ardiaz dengan dingin yang menusuk. “Apa perlu aku memberi alasan?” Ardiaz membalas dengan nada yang tak kalah beku. “Tentu.” Narumi mengangguk kecil, gerakan anggun yang kontras dengan tatapan penuh selidiknya. “Kamu sudah tahu posisiku saat ini. Lagipula...” matanya menelusuri fitur wajah Ardiaz dengan cermat, “Kamu tidak memiliki wajah yang buruk. Aku rasa, kamu bisa mendapatkan calon istri yang jauh lebih baik dariku.” Senyum tipis mengembang di bibir Ardiaz sebelum ia mendekatkan wajahnya pada Narumi, cukup dekat hingga wanita itu bisa mencium aroma mint segar dari napasnya. “Sayangnya, aku memilihmu sebagai calon istri. Karena kamu nona muda dari keluarga Kwong.” Narumi menelan ludah, jantungnya berdegup kencang oleh kedekatan yang tak ia antisipasi. Ia mengubah posisinya dengan cepat, menciptakan jarak yang lebih aman sebelum mendecakkan lidah. “Lagi-lagi karena uang!” gerutunya dengan nada getir. “Grup Kwong tidak sebanding dengan grup Prajogo, Nona,” pria berambut putih atau disapa Jimmy itu angkat bicara, kepalanya menggeleng pelan. “Grup mereka menduduki label pertama di Indonesia dan sudah melebarkan sayapnya ke mancanegara.” Kepala Narumi berputar cepat ke arah Ardiaz yang kini tersenyum dengan gestur santai namun angkuh, sebuah kombinasi yang entah bagaimana membuatnya terlihat semakin menarik dan menyebalkan di saat bersamaan. “Ini kesepakatan para tetua, Nona.” Jimmy melanjutkan, suaranya tenang namun mengandung ketegasan. “Perjodohan kalian sudah mutlak ditetapkan ketika Anda berumur 5 tahun. Dan pastinya, bukan karena uang seperti yang Anda kira sebelumnya.” Narumi menghela napas panjang, sebuah gestur yang menyiratkan beban tak kasat mata di pundaknya. Keheningan kembali menyelimuti interior mobil sampai mereka tiba di rumah makan Padang, sebuah tempat sederhana yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup Narumi. Aroma menggiurkan rendang yang disajikan mengisi udara di sekitar mereka. Suasana hening yang nyaman pecah ketika Narumi kembali bersuara, kali ini pandangannya tertuju pada Jimmy. “Paman, aku ingin mampir sebentar ke Apartemen Lavenue. Ada seseorang yang ingin aku kunjungi.” “Sesuai instruksi,” Jimmy menanggapi dengan kepatuhan yang telah terlatih selama bertahun-tahun. Namun tak ada yang menyadari perubahan pada wajah Ardiaz, bagaimana otot-otot di sekitar rahangnya menegang sekilas. “Lavenue?” ia mengulang nama itu seolah kata tersebut mengandung racun. Narumi menoleh, alisnya terangkat penasaran. “Iya, kenapa? Apa ada kenalanmu juga di sana?” “Tidak, hanya saja aku... cukup familiar dengan tempat itu,” Ardiaz menjawab dengan kecepatan yang sedikit mencurigakan, namun Narumi hanya menanggapi dengan anggukan santai sebelum kembali fokus pada hidangan di hadapannya. Waktu berlalu begitu saja, kini mereka sudah kembali ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Jimmy. Mobil itu membelah padatnya lalu lintas Jakarta di tengah terik matahari siang. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya menyilaukan, menciptakan kilasan-kilasan yang menari di jendela mobil. Meski jalanan padat, mereka berhasil mencapai Apartemen Lavenue tanpa hambatan berarti. “Kita sudah tiba, Nona,” lapor Jimmy, menoleh ke arah Narumi. “Kalian bisa tunggu sebentar,” wanita itu merapikan baju kaos yang sedikit kusut. “Aku hanya perlu mengantarkan sesuatu pada temanku. Cukup 30 menit saja.” Suaranya terdengar ringan, namun ada sesuatu dalam nada bicaranya yang tak terjelaskan, sebuah urgensi yang tersembunyi dengan baik. Tanpa menunggu jawaban Wanita itu pergi meninggalkan mobil, dan masuk ke Lift. Narumi kini berdiri di depan pintu cokelat tua yang familiar, jemarinya bergerak lincah memasukkan kode, serangkaian angka yang telah terpatri dalam memorinya seperti lagu favorit. Namun ketika pintu mengayun terbuka, waktu seolah membeku. Mata Narumi membulat sempurna, pupilnya melebar menyaksikan pemandangan di hadapannya. "Oh... Astaga." Kata-kata itu akhirnya meluncur dari bibirnya yang bergetar. "Apa yang terjadi?"Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran."Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari."Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas.Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke
“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.” Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan. Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu. “Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira. “Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi, K
“Cerai...” Perkataan tersebut menggantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu juga sebuah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Di
Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya.“Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.”[Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.]“Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain.[Putriku, selamat datang kembali.]Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia menggigit bibir b