Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri.
Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan isak tangis yang memberontak ingin keluar. Sepuluh tahun, waktu yang tidak sebentar untuk menghilang dari kehidupan keluarganya. Rasa bersalah kini menggerogoti hatinya seperti rayap yang perlahan namun pasti menghancurkan kayu. Sementara itu, di gazebo yang terletak di halaman belakang rumah mewah itu, sosok Ghali mondar-mandir bagai singa terkurung. Keringat dingin membasahi dahinya yang berkerut, matanya tak henti melirik ke arah jendela kamar Narumi di lantai atas. Bayang-bayang kehancuran karirnya menari-nari di pelupuk mata. “Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya parau, lebih kepada bayangan diri sendiri. “Bagaimana kalau wanita itu angkat bicara ke media? Citraku... semuanya bisa hancur dalam sekejap.” Di ambang pintu gazebo, Suhita berdiri dengan anggun – namun keanggunannya itu kontras dengan tatapan dingin yang menusuk dari matanya yang menyipit. Ia pun ikut menatap ke arah kamar Narumi, seolah dapat menembus dinding-dinding yang memisahkan mereka. “Tenanglah, Ghali. Apa yang kamu takutkan?” Ghali mengalihkan pandangannya ke arah sang ibu, matanya menyipit penuh kekhawatiran. “Citraku, Ma. Aku tak mau dipandang buruk oleh masyarakat. Belum lagi investor... semuanya akan berantakan jika nama baikku rusak.” Suhita melengkungkan senyum misterius, langkahnya anggun namun mengancam ketika mendekati putranya. “Tak perlu khawatir,” suaranya sehalus sutra namun setajam belati, “Jika mantan istrimu membuka mulutnya ke awak media, maka dia akan menjadi mayat...” Ghali tersentak sejenak, namun keterkejutannya dengan cepat berganti dengan seringai tipis di wajahnya yang tampan. “Aaa... Kenapa aku jadi bodoh begini?” ucapnya dengan nada yang sama misterius. “Jangan cemas, Mas.” Suara manja Karin memecah ketegangan saat wanita itu menghampiri Ghali, langsung menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu kokoh pria tersebut. “Tak akan ada yang merusak citra mu, aku bisa jamin itu.” “Termasuk papamu?” Ghali mengangkat satu alisnya, ada nada menantang dalam suaranya. Karin mengangkat kepalanya, matanya yang berbinar penuh ambisi bertaut dengan mata Ghali. “Iya, termasuk Papa. Aku akan membujuknya agar merestui hubungan kita.” “Bagus!” Suhita berseru dengan semangat yang kontras dengan kilatan dingin di matanya – kilatan yang menyimpan rahasia gelap yang siap menerkam siapa saja yang berani menghalangi jalan mereka. Tawa bahagia mengalun dari gazebo, kontras dengan suasana keruh yang menyelimuti kamar Narumi. Di ujung ranjang, dia duduk termenung, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang telah menjadi saksi bisu tiga tahun kehidupannya. Setiap detail memicu kenangan, baik yang manis maupun pahit. Dengan gerakan perlahan namun pasti, Narumi yang kini mengenakan pakaian santai bangkit dari duduknya. Tas travel kecil tergenggam di tangannya; seringan bebannya, seberat keputusannya. Wajahnya memang tenang, tapi matanya menyiratkan kewaspadaan seekor rusa yang siap menghadapi ancaman predator. Derit halus anak tangga seolah mengiringi setiap langkahnya menuju lantai bawah. Tepat di ujung tangga, takdir seakan mengejeknya dengan mempertemukan Narumi dengan tiga sosok yang paling ingin ia hindari. "Na, kamu mau kemana?" Karin melontarkan pertanyaan dengan nada manis yang kentara palsu. Narumi memilih bungkam, terus melangkah melewati mereka hingga sentakan keras di lengannya membuatnya terhenti. "Apa yang Anda lakukan?" tanya Narumi pada Suhita, menjaga nada formalnya meski amarah mulai bergolak. "Cek semua barang yang dibawa wanita ini!" Wanita paruh baya tersebut malah berseru tajam, mengabaikan pertanyaan Narumi seolah itu hanya angin lalu. "Lepas!" Jeritan Narumi memenuhi ruangan saat para pelayan berusaha merebut tasnya. "Apa kalian pikir aku membawa barang-barang kalian dari rumah ini?" Pertanyaannya menggantung di udara, tak berjawab. Yang ada hanya isyarat dingin Suhita pada para penjaga untuk terus menarik tas itu hingga Narumi tersungkur ke lantai dengan suara berdebum pelan. "Perhatikan dengan jelas," Suhita menginstruksi dengan nada sedingin es, "Jika ada barang mewah, laporkan dia ke polisi!" Kilatan amarah berkobar di mata Narumi saat menatap mertuanya, sebelum pandangannya beralih pada isi tasnya yang kini berserakan di lantai bagai kepingan harga dirinya yang hancur. "Tak ada barang yang mahal, Nyonya. Semua pakaian itu terlihat kumal dan lusuh." Suhita mengangguk puas, seringai mengejek tersungging di bibirnya. "Sangat disayangkan. Aku kira akan menemukan barang berharga, mengingat bagaimana borosnya mantan istri anakku ini." Kata 'mantan istri' diucapkan dengan penekanan khusus, seolah ingin menggores luka baru di hati Narumi - meski status perceraian mereka belum resmi. Narumi bangkit dengan wajah merah padam, amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. "Apa Anda sudah puas!" Matanya bergerak liar seperti api yang menjilat-jilat mencari mangsa. "Kalian... tidak pernah cukup untuk menyakitiku." Tawa Suhita mengudara, memenuhi ruangan dengan nada mengejek yang menyesakkan. "Bukannya aku sudah bilang, aku tak akan pernah melepaskanmu, Narumi. Ini belum seberapa, anggap saja sebagai peringatan dariku!" "Kalian akan menyesal karena sudah menyinggungku!" Narumi berdecak, suaranya bergetar menahan emosi. "Oh, kamu sudah mengancam Mama ya Na!" Ghali akhirnya angkat bicara, sementara Karin tersenyum penuh kemenangan di sampingnya, menikmati pertunjukan penghinaan ini. Senyum miris terpatri pada wajah Narumi, matanya berkaca-kaca menahan air mata kekecewaan. "Aku sudah salah karena jatuh cinta padamu, Mas. Kamu bukanlah orang yang pantas untuk dicintai. Dan... benar, aku mengancam Mamamu!" "Kamu..." Ghali mencengkeram lengan Narumi dengan kasar, membuat wanita itu meringis kesakitan. Namun sebelum kalimatnya selesai, kehadiran mendadak para pengawal rumah memotong ucapannya. "Tuan, di luar..." BRAK! Suara tubuh yang terlempar memecah ketegangan, membuat semua terlonjak kaget. Cengkeraman Ghali pada lengan Narumi mengendur tanpa ia sadari. "Siapa kalian?!" Suhita memekik saat sosok-sosok bertubuh besar dan berpakaian hitam memaksa masuk. Para pria itu mengabaikan teriakan Suhita, bergerak dengan presisi militer hingga mencapai Narumi. "Nona Narumi," salah satu dari mereka menyodorkan ponsel. "Tuan besar ingin berbicara dengan Anda." Narumi terpaku, matanya mengikuti arah pandang pria itu ke arah CCTV. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo..." [Keluar dari rumah itu, sekarang.] Narumi menelan ludah, matanya melebar menatap layar ponsel yang menghitam. Suara tegas Bramastyo, ayahnya, masih bergema di telinganya. Mendadak semua menjadi masuk akal untuk tatapan pria itu ke CCTV, pengawasan rahasia ayahnya selama ini. “Jadi, papa mengamati ku?” Batin Narumi bergumam kebingungan, “Tapi sejak kapan?” "Mari Nona, kami akan mengawal Anda." Narumi tersentak, ia dengan cepat mengangguk pelan, melangkah di antara para pengawal yang menunduk hormat padanya. Setiap langkahnya kini dipenuhi keyakinan baru. "Narumi, siapa mereka?" Suara Suhita yang biasanya penuh otoritas kini terdengar goyah. Narumi terus melangkah dalam diam, tubuhnya dikawal ketat oleh dua puluh pria berbadan tegap, mengabaikan Ghali, Karin, dan Suhita yang masih mengikuti dengan pertanyaan yang sama. "Narumi ZK! Jawab, siapa mereka?!" Ghali berteriak saat Narumi mencapai pintu utama dan menuruni anak tangga. "Selamat datang kembali, Nona." Sebuah suara familiar menyapa. Pria berambut putih dengan kacamata bulat membungkuk hormat, sekaligus mengabaikan rasa ingin tahu Ghali. Kemudian, perhatian mereka teralih pada sosok yang baru keluar dari mobil. Pria bertubuh tinggi dan atletis dengan aura dingin yang mengintimidasi. “Dia...”"Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak se
Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran. "Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan
“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria
Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur
Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se
Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad
Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,
Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m