Share

ASS 02 : Menerima Persyaratan

Penulis: B.E.B.Y
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-13 13:01:23

“Cerai...”

Perkataan tersebut mengantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu adalah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa.

Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang.

Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan.

Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya.

“Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.”

“T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...” Ia tergagap.

Senyum misterius menghiasi bibir Narumi. Dalam sekejap, bayangan wajah ayah Karin melintas di benaknya. Pria yang sepuluh tahun lalu, telah menerima Narumi dengan tangan terbuka di rumah dan hatinya saat Narumi memutuskan untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri.

Lebih dari itu, ayah Karin sangat mempercayainya dalam memilih rekan bisnis, mengandalkan intuisi dan ketajaman pengamatan Narumi. Sebagai penasihat investasi, Narumi memang memiliki wawasan yang mendalam di bidang finansial. Kenangan ini menimbulkan perasaan hangat sekaligus pahit yang bergejolak di dalam dadanya.

“Dia kenapa? Apa kamu takut pada Papamu?” tanyanya dengan nada tenang, namun mata Narumi menyiratkan badai kemarahan yang siap bergejolak. “Apa kau tidak memikirkan hal ini sebelumnya?”

Karin menundukkan wajahnya, namun ekor matanya melirik ke arah Ghali, memohon bantuan tanpa suara. Akan tetapi, pria itu tetap membisu, matanya terpaku pada Narumi dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Na, jangan begini,” Karin kembali berkata dengan wajah memelas, masih berusaha membujuk Narumi. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, menunjukkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi.

Narumi menatap Karin, matanya menyipit penuh penilaian. “Menurutmu, aku harus bagaimana, Rin?”

“Na,” Karin berusaha menjelaskan, suaranya bergetar hebat. “Aku pikir, masalah ini tak akan sebesar ini, sebab kita selalu berbagi. Jadi aku rasa, kita bisa berbagi—“

“Maksudmu berbagi suami?” Narumi memotong ucapan Karin dengan nada penuh kebencian. “Apa yang kamu pikirkan, Rin? Kamu kira aku rela dimadu, begitu?”

“Iya, aku pikir...” Karin mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

“Kamu yakin ingin bercerai dariku, Na?” Ghali tiba-tiba angkat bicara, suaranya tenang namun ada ketegangan yang tersirat di dalamnya.

Pandangan Narumi beralih, matanya menatap lurus ke mata suaminya dengan ketangguhan yang tersisa, meski perasaan kekecewaan begitu jelas hingga nyaris membunuhnya.

“Tentu saja, Mas,” jawabnya mantap. “Aku tak pernah seyakin ini!”

Ruangan itu kembali hening, seolah-olah waktu terhenti sejenak. Narumi berdiri tegak, bahunya tegap meski hatinya remuk. Ia telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

“Sayangnya, aku tak akan menceraikan mu. Perceraian itu tak akan pernah terjadi!” Ghali berkata dengan nada angkuh yang tak terbantahkan.

“Iya Na, kita bisa membicarakannya baik-baik. Kita bisa hidup bersama dengan bahagia. Aku, Mas Ghali, serta bayi ini... bayi kita.” Karin menambahkan dengan cepat, tangannya refleks menyentuh perutnya.

Narumi menyeringai tak percaya, netranya menyiratkan rasa jijik pada dua manusia di depannya. “Hidup bersama? Bayi Kita?” Ia menatap Karin dengan tatapan sedingin es. “Jangan konyol kamu. Itu bukanlah bayiku, tapi bayi kalian!”

Tatapan Narumi beralih pada suaminya, sorot matanya menggambarkan kemarahan yang tak terbendung. “Jika kamu tak mau bercerai, maka aku yang akan menggugat. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Mas.”

“Surat pengadilan?” Suhita, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Ia bahkan tertawa mengejek. “Baiklah, lakukan sesukamu. Silakan angkat kaki dari rumah ini!”

“Ma—“ Ghali mencoba menyela, namun Suhita mengangkat tangannya, mengisyaratkan putranya untuk diam.

“Tapi ingat,” lanjut Suhita dengan nada mengancam, “Kamu akan kehilangan segalanya. Semua fasilitas yang kamu punya, semuanya akan kami ambil!”

Bukannya takut, Narumi justru mulai melepas semua yang ia kenakan tanpa di minta; cincin, kalung, bahkan pakaiannya yang dibeli oleh Ghali.

Wanita itu meletakkan barang-barangnya di atas meja hingga hanya menyisakan pakaian dalam yang masih melekat pada tubuhnya yang indah. Bahkan, tindakannya itu bagaikan pernyataan tanpa kata, jika ia siap melepaskan segalanya.

“Ambillah, aku tak butuh semua ini,” ujarnya dengan nada dingin. Wanita bermata Cokelat itu berbalik, meninggalkan ketiga orang di hadapannya terbelalak sempurna. Tekad bulatnya membuat Suhita kehilangan kata-kata.

Begitu memasuki rumah, Narumi langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tatapan heran para pelayan mengikuti langkahnya, namun ia mengabaikan tatapan itu. Begitu pintu kamar tertutup rapat, pertahanannya seketika runtuh.

“Kenapa harus begini? Kenapa aku kembali dikhianati dan ditinggalkan?” Isakan yang ditahan akhirnya pecah, air mata mengalir deras membasahi pipi.

Narumi pikir ia tak akan menangisi Ghali lagi, namun nyatanya, air mata itu belum kering dan kini mengalir tanpa diminta. Tidak hanya itu, bayangan masa lalu menghantui benak wanita 27 tahun itu.

Pengkhianatan Ghali dan Karin bukan hanya melukai hatinya saat ini, tapi juga membuka luka lama; kenangan pahit masa kecil akibat perselingkuhan sang ibu.

Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha melindungi diri dari dunia yang terlalu kejam. Bahkan, waktu pun berlalu tanpa disadari, saat ia masih tenggelam dalam kesedihan.

“Siska.” Narumi bergumam serak, ia baru ingat akan pengacaranya itu.

Wanita itu lalu bangkit perlahan dengan kaki gemetar, langkahnya gontai menuju lemari untuk mencari ponsel yang di beli dengan uangnya sendiri. Tetapi, kepahitan belum cukup menyiksa Narumi. Tangannya tanpa sengaja menemukan sebuah foto pernikahan.

Sebuah tawa miris lolos dari bibir Narumi yang kering. “Aku tahu tawamu di sini palsu, Mas,” jemarinya menelusuri wajah Ghali yang tersenyum lebar di foto.

“Kebahagiaan ternyata hanyalah khayalanku. Mataku selalu tertutup oleh cintaku untukmu, Mas. Aku kira kita bisa...” Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum dengan kasar merobek foto itu menjadi potongan-potongan kecil.

“Semua sudah berakhir,” ujarnya pada diri sendiri, suaranya terdengar lebih kuat kali ini. “Ini sudah selesai. Jangan terjebak dalam penderitaan lagi, Na.” Wanita itu terus bergumam menyemangati diri, sampai ia teringat pada tujuannya.

“Dia pasti merasa senang dengan keputusanku ini.” Narumi membayangkan wajah Siska yang berkali-kali mendesaknya untuk meninggalkan Ghali.

Tangannya meraih ponsel, jemarinya yang masih sedikit gemetar mulai mencari kontak Siska. Akan tetapi, nomornya tak aktif. Ia mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap sama—nihil.

“Dia ke mana?” bisik Narumi, kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya. Sudah hampir 10 hari Siska menghilang tanpa kabar.

“Mungkin Siska sibuk. Dia kan pengacara ternama dan semua hal dia yang urus.” Wanita itu berusaha menenangkan diri. Tetapi, nadanya tidak meyakinkan bahkan untuk telinganya sendiri.

Narumi menepis pikiran buruk akan Siska hingga matanya terpaku pada layar ponsel. Di bawah nama temannya itu, ada nama yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang—ayah kandungnya, Bramastyo Kwong.

Jari telunjuknya mulai mengetuk-ngetuk di atas layar yang menghitam, keraguan mulai menggerogoti pikirannya. Percakapan mereka empat bulan lalu terngiang di telinga, jelas... seolah baru kemarin terjadi.

‘Terima tawaran ini, jika kamu ingin dibukakan pintu di rumahku!’ Narumi menghela napas panjang, paru-parunya terasa sesak.

Sang ayah mengajaknya membuat kesepakatan yang sempat ia tolak sepuluh tahun lalu, dan kini tawaran itu terasa seperti pelampung terakhir di lautan masalah di hidupnya. Kendati demikian, menerima tawaran berarti membuka lembaran baru yang penuh ketidakpastian, sebab ia belum sepenuhnya siap.

Narumi kembali memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita itu menekan tombol panggilan pada nomor ayahnya. Ia berpikir, hanya inilah satu-satunya cara untuk terbebas dari kekang keluarga Faghdam.

[Ada apa?]

Narumi tersentak, sang ayah tanpa basa-basi bertanya di seberang telepon. Suaranya terkesan dingin, namun ia bisa mendengar setitik harapan di dalamnya.

“Pa...” wanita itu menarik napas dalam, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. “Aku menerima persyaratan itu.”

Bab terkait

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 03: Keterkejutan

    Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 04: Cermin yang Retak

    "Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak se

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-04
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 05: Kartu As

    Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran. "Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-08
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 006: Kata tak Terucap

    “Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 07: Salah Kirim atau Sebuah Petunjuk

    Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 08: Dekapan Hangat

    Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 09: Jejak

    “Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 10: Badai Hati

    “Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24

Bab terbaru

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 64: Siapa Dalang sebenarnya?

    Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 63: Panggilan Rahasia

    Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 62: Pesan Misterius

    Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 61: Ingin Tahu Segalanya

    Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 60: Lebih Gelap dan Lebih Berbahaya

    Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 58: Tidak Punya Pilihan Lain

    Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 58: Perpisahan Terakhir

    Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 57: Jalan-jalan Bersama

    Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 56: Permainan yang Dimulai

    Narumi menatap Karin tajam, tahu betul bahwa niat wanita itu tidak sesederhana yang terlihat. “Liburan?” tanyanya, matanya menelisik dengan penuh selidik. “Kalian berdua tiba-tiba muncul di sini dengan koper, tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ingin ikut ke Yunani?”Ghali mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Narumi. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimanapun, kita masih suami istri, bukan?”Narumi tersenyum sinis. “Masih suami istri?” ia menekankan setiap kata dengan nada yang membuat Ghali sedikit mundur selangkah. “Aku sudah muak menekankan hal ini, Mas. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu.”Ardiaz menepuk pundak Narumi pelan, mengisyaratkan agar ia tetap tenang. Kemudian, ia menatap Ghali dengan tatapan yang tajam namun tetap santai. “Dengar, Ini perjalanan pribadi kami, dan aku rasa kehadiranmu tidak diperlukan.”Ghali mendengus kesal. “Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat istriku bersama pria lain?” katanya penuh penekanan.Narumi mengambil langkah maju,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status