“Cerai...”
Perkataan tersebut mengantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu adalah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...” Ia tergagap. Senyum misterius menghiasi bibir Narumi. Dalam sekejap, bayangan wajah ayah Karin melintas di benaknya. Pria yang sepuluh tahun lalu, telah menerima Narumi dengan tangan terbuka di rumah dan hatinya saat Narumi memutuskan untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri. Lebih dari itu, ayah Karin sangat mempercayainya dalam memilih rekan bisnis, mengandalkan intuisi dan ketajaman pengamatan Narumi. Sebagai penasihat investasi, Narumi memang memiliki wawasan yang mendalam di bidang finansial. Kenangan ini menimbulkan perasaan hangat sekaligus pahit yang bergejolak di dalam dadanya. “Dia kenapa? Apa kamu takut pada Papamu?” tanyanya dengan nada tenang, namun mata Narumi menyiratkan badai kemarahan yang siap bergejolak. “Apa kau tidak memikirkan hal ini sebelumnya?” Karin menundukkan wajahnya, namun ekor matanya melirik ke arah Ghali, memohon bantuan tanpa suara. Akan tetapi, pria itu tetap membisu, matanya terpaku pada Narumi dengan tatapan yang sulit diartikan. “Na, jangan begini,” Karin kembali berkata dengan wajah memelas, masih berusaha membujuk Narumi. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, menunjukkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi. Narumi menatap Karin, matanya menyipit penuh penilaian. “Menurutmu, aku harus bagaimana, Rin?” “Na,” Karin berusaha menjelaskan, suaranya bergetar hebat. “Aku pikir, masalah ini tak akan sebesar ini, sebab kita selalu berbagi. Jadi aku rasa, kita bisa berbagi—“ “Maksudmu berbagi suami?” Narumi memotong ucapan Karin dengan nada penuh kebencian. “Apa yang kamu pikirkan, Rin? Kamu kira aku rela dimadu, begitu?” “Iya, aku pikir...” Karin mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Kamu yakin ingin bercerai dariku, Na?” Ghali tiba-tiba angkat bicara, suaranya tenang namun ada ketegangan yang tersirat di dalamnya. Pandangan Narumi beralih, matanya menatap lurus ke mata suaminya dengan ketangguhan yang tersisa, meski perasaan kekecewaan begitu jelas hingga nyaris membunuhnya. “Tentu saja, Mas,” jawabnya mantap. “Aku tak pernah seyakin ini!” Ruangan itu kembali hening, seolah-olah waktu terhenti sejenak. Narumi berdiri tegak, bahunya tegap meski hatinya remuk. Ia telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. “Sayangnya, aku tak akan menceraikan mu. Perceraian itu tak akan pernah terjadi!” Ghali berkata dengan nada angkuh yang tak terbantahkan. “Iya Na, kita bisa membicarakannya baik-baik. Kita bisa hidup bersama dengan bahagia. Aku, Mas Ghali, serta bayi ini... bayi kita.” Karin menambahkan dengan cepat, tangannya refleks menyentuh perutnya. Narumi menyeringai tak percaya, netranya menyiratkan rasa jijik pada dua manusia di depannya. “Hidup bersama? Bayi Kita?” Ia menatap Karin dengan tatapan sedingin es. “Jangan konyol kamu. Itu bukanlah bayiku, tapi bayi kalian!” Tatapan Narumi beralih pada suaminya, sorot matanya menggambarkan kemarahan yang tak terbendung. “Jika kamu tak mau bercerai, maka aku yang akan menggugat. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Mas.” “Surat pengadilan?” Suhita, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Ia bahkan tertawa mengejek. “Baiklah, lakukan sesukamu. Silakan angkat kaki dari rumah ini!” “Ma—“ Ghali mencoba menyela, namun Suhita mengangkat tangannya, mengisyaratkan putranya untuk diam. “Tapi ingat,” lanjut Suhita dengan nada mengancam, “Kamu akan kehilangan segalanya. Semua fasilitas yang kamu punya, semuanya akan kami ambil!” Bukannya takut, Narumi justru mulai melepas semua yang ia kenakan tanpa di minta; cincin, kalung, bahkan pakaiannya yang dibeli oleh Ghali. Wanita itu meletakkan barang-barangnya di atas meja hingga hanya menyisakan pakaian dalam yang masih melekat pada tubuhnya yang indah. Bahkan, tindakannya itu bagaikan pernyataan tanpa kata, jika ia siap melepaskan segalanya. “Ambillah, aku tak butuh semua ini,” ujarnya dengan nada dingin. Wanita bermata Cokelat itu berbalik, meninggalkan ketiga orang di hadapannya terbelalak sempurna. Tekad bulatnya membuat Suhita kehilangan kata-kata. Begitu memasuki rumah, Narumi langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tatapan heran para pelayan mengikuti langkahnya, namun ia mengabaikan tatapan itu. Begitu pintu kamar tertutup rapat, pertahanannya seketika runtuh. “Kenapa harus begini? Kenapa aku kembali dikhianati dan ditinggalkan?” Isakan yang ditahan akhirnya pecah, air mata mengalir deras membasahi pipi. Narumi pikir ia tak akan menangisi Ghali lagi, namun nyatanya, air mata itu belum kering dan kini mengalir tanpa diminta. Tidak hanya itu, bayangan masa lalu menghantui benak wanita 27 tahun itu. Pengkhianatan Ghali dan Karin bukan hanya melukai hatinya saat ini, tapi juga membuka luka lama; kenangan pahit masa kecil akibat perselingkuhan sang ibu. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha melindungi diri dari dunia yang terlalu kejam. Bahkan, waktu pun berlalu tanpa disadari, saat ia masih tenggelam dalam kesedihan. “Siska.” Narumi bergumam serak, ia baru ingat akan pengacaranya itu. Wanita itu lalu bangkit perlahan dengan kaki gemetar, langkahnya gontai menuju lemari untuk mencari ponsel yang di beli dengan uangnya sendiri. Tetapi, kepahitan belum cukup menyiksa Narumi. Tangannya tanpa sengaja menemukan sebuah foto pernikahan. Sebuah tawa miris lolos dari bibir Narumi yang kering. “Aku tahu tawamu di sini palsu, Mas,” jemarinya menelusuri wajah Ghali yang tersenyum lebar di foto. “Kebahagiaan ternyata hanyalah khayalanku. Mataku selalu tertutup oleh cintaku untukmu, Mas. Aku kira kita bisa...” Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum dengan kasar merobek foto itu menjadi potongan-potongan kecil. “Semua sudah berakhir,” ujarnya pada diri sendiri, suaranya terdengar lebih kuat kali ini. “Ini sudah selesai. Jangan terjebak dalam penderitaan lagi, Na.” Wanita itu terus bergumam menyemangati diri, sampai ia teringat pada tujuannya. “Dia pasti merasa senang dengan keputusanku ini.” Narumi membayangkan wajah Siska yang berkali-kali mendesaknya untuk meninggalkan Ghali. Tangannya meraih ponsel, jemarinya yang masih sedikit gemetar mulai mencari kontak Siska. Akan tetapi, nomornya tak aktif. Ia mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap sama—nihil. “Dia ke mana?” bisik Narumi, kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya. Sudah hampir 10 hari Siska menghilang tanpa kabar. “Mungkin Siska sibuk. Dia kan pengacara ternama dan semua hal dia yang urus.” Wanita itu berusaha menenangkan diri. Tetapi, nadanya tidak meyakinkan bahkan untuk telinganya sendiri. Narumi menepis pikiran buruk akan Siska hingga matanya terpaku pada layar ponsel. Di bawah nama temannya itu, ada nama yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang—ayah kandungnya, Bramastyo Kwong. Jari telunjuknya mulai mengetuk-ngetuk di atas layar yang menghitam, keraguan mulai menggerogoti pikirannya. Percakapan mereka empat bulan lalu terngiang di telinga, jelas... seolah baru kemarin terjadi. ‘Terima tawaran ini, jika kamu ingin dibukakan pintu di rumahku!’ Narumi menghela napas panjang, paru-parunya terasa sesak. Sang ayah mengajaknya membuat kesepakatan yang sempat ia tolak sepuluh tahun lalu, dan kini tawaran itu terasa seperti pelampung terakhir di lautan masalah di hidupnya. Kendati demikian, menerima tawaran berarti membuka lembaran baru yang penuh ketidakpastian, sebab ia belum sepenuhnya siap. Narumi kembali memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita itu menekan tombol panggilan pada nomor ayahnya. Ia berpikir, hanya inilah satu-satunya cara untuk terbebas dari kekang keluarga Faghdam. [Ada apa?] Narumi tersentak, sang ayah tanpa basa-basi bertanya di seberang telepon. Suaranya terkesan dingin, namun ia bisa mendengar setitik harapan di dalamnya. “Pa...” wanita itu menarik napas dalam, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. “Aku menerima persyaratan itu.”Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia me
"Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak se
Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran. "Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan
“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria
Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
“Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa
Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda
Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu