“Cerai...”
Perkataan tersebut menggantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu juga sebuah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...” Ia tergagap. Senyum misterius menghiasi bibir Narumi. Dalam sekejap, bayangan wajah ayah Karin melintas di benaknya. Pria yang sepuluh tahun lalu, telah menerima Narumi dengan tangan terbuka di rumah dan hatinya saat Narumi memutuskan untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri. Lebih dari itu, ayah Karin sangat mempercayainya dalam memilih rekan bisnis, mengandalkan intuisi dan ketajaman pengamatan Narumi. Sebagai penasihat investasi, Narumi memang memiliki wawasan yang mendalam di bidang finansial. Kenangan ini menimbulkan perasaan hangat sekaligus pahit yang bergejolak di dalam dadanya. “Dia kenapa? Apa kamu takut pada Papamu?” tanyanya dengan nada tenang, namun mata Narumi menyiratkan badai kemarahan yang siap bergejolak. “Apa kau tidak memikirkan hal ini sebelumnya?” Karin menundukkan wajahnya, namun ekor matanya melirik ke arah Ghali, memohon bantuan tanpa suara. Akan tetapi, pria itu tetap membisu, matanya terpaku pada Narumi dengan tatapan yang sulit diartikan. “Na, jangan begini,” Karin kembali berkata dengan wajah memelas, masih berusaha membujuk Narumi. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, menunjukkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi. Narumi menatap Karin, matanya menyipit penuh penilaian. “Menurutmu, aku harus bagaimana, Rin?” “Na,” Karin berusaha menjelaskan, suaranya bergetar hebat. “Aku pikir, masalah ini tak akan sebesar ini, sebab kita selalu berbagi. Jadi aku rasa, kita bisa berbagi—“ “Maksudmu berbagi suami?” Narumi memotong ucapan Karin dengan nada penuh kebencian. “Apa yang kamu pikirkan, Rin? Kamu kira aku rela dimadu, begitu?” “Iya, aku pikir...” Karin mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Kamu yakin ingin bercerai dariku, Na?” Ghali tiba-tiba angkat bicara, suaranya tenang namun ada ketegangan yang tersirat di dalamnya. Pandangan Narumi beralih, matanya menatap lurus ke mata suaminya dengan ketangguhan yang tersisa, meski perasaan kekecewaan begitu jelas hingga nyaris membunuhnya. “Tentu saja, Mas,” jawabnya mantap. “Aku tak pernah seyakin ini!” Ruangan itu kembali hening, seolah-olah waktu terhenti sejenak. Narumi berdiri tegak, bahunya tegap meski hatinya remuk. Ia telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. “Sayangnya, aku tak akan menceraikan mu. Perceraian itu tak akan pernah terjadi!” Ghali berkata dengan nada angkuh yang tak terbantahkan. “Iya Na, kita bisa membicarakannya baik-baik. Kita bisa hidup bersama dengan bahagia. Aku, Mas Ghali, serta bayi ini... bayi kita.” Karin menambahkan dengan cepat, tangannya refleks menyentuh perutnya. Narumi menyeringai tak percaya, netranya menyiratkan rasa jijik pada dua manusia di depannya. “Hidup bersama? Bayi Kita?” Ia menatap Karin dengan tatapan sedingin es. “Jangan konyol kamu. Itu bukanlah bayiku, tapi bayi kalian!” Tatapan Narumi beralih pada suaminya, sorot matanya menggambarkan kemarahan yang tak terbendung. “Jika kamu tak mau bercerai, maka aku yang akan menggugat. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Mas.” “Surat pengadilan?” Suhita, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Ia bahkan tertawa mengejek. “Baiklah, lakukan sesukamu. Silakan angkat kaki dari rumah ini!” “Ma—“ Ghali mencoba menyela, namun Suhita mengangkat tangannya, mengisyaratkan putranya untuk diam. “Tapi ingat,” lanjut Suhita dengan nada mengancam, “Kamu akan kehilangan segalanya. Semua fasilitas yang kamu punya, semuanya akan kami ambil!” Bukannya takut, Narumi justru mulai melepas semua yang ia kenakan tanpa di minta; cincin, kalung, bahkan pakaiannya yang dibeli oleh Ghali. Wanita itu meletakkan barang-barangnya di atas meja hingga hanya menyisakan pakaian dalam yang masih melekat pada tubuhnya yang indah. Bahkan, tindakannya itu bagaikan pernyataan tanpa kata, jika ia siap melepaskan segalanya. “Ambillah, aku tak butuh semua ini,” ujarnya dengan nada dingin. Wanita bermata Cokelat itu berbalik, meninggalkan ketiga orang di hadapannya terbelalak sempurna. Tekad bulatnya membuat Suhita kehilangan kata-kata. Begitu memasuki rumah, Narumi langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tatapan heran para pelayan mengikuti langkahnya, namun ia mengabaikan tatapan itu. Begitu pintu kamar tertutup rapat, pertahanannya seketika runtuh. “Kenapa harus begini? Kenapa aku kembali dikhianati dan ditinggalkan?” Isakan yang ditahan akhirnya pecah, air mata mengalir deras membasahi pipi. Narumi pikir ia tak akan menangisi Ghali lagi, namun nyatanya, air mata itu belum kering dan kini mengalir tanpa diminta. Tidak hanya itu, bayangan masa lalu menghantui benak wanita 27 tahun itu. Pengkhianatan Ghali dan Karin bukan hanya melukai hatinya saat ini, tapi juga membuka luka lama; kenangan pahit masa kecil akibat perselingkuhan sang ibu. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha melindungi diri dari dunia yang terlalu kejam. Bahkan, waktu pun berlalu tanpa disadari, saat ia masih tenggelam dalam kesedihan. “Siska.” Narumi bergumam serak, ia baru ingat akan pengacaranya itu. Wanita itu lalu bangkit perlahan dengan kaki gemetar, langkahnya gontai menuju lemari untuk mencari ponsel yang di beli dengan uangnya sendiri. Tetapi, kepahitan belum cukup menyiksa Narumi. Tangannya tanpa sengaja menemukan sebuah foto pernikahan. Sebuah tawa miris lolos dari bibir Narumi yang kering. “Aku tahu tawamu di sini palsu, Mas,” jemarinya menelusuri wajah Ghali yang tersenyum lebar di foto. “Kebahagiaan ternyata hanyalah khayalanku. Mataku selalu tertutup oleh cintaku untukmu, Mas. Aku kira kita bisa...” Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum dengan kasar merobek foto itu menjadi potongan-potongan kecil. “Semua sudah berakhir,” ujarnya pada diri sendiri, suaranya terdengar lebih kuat kali ini. “Ini sudah selesai. Jangan terjebak dalam penderitaan lagi, Na.” Wanita itu terus bergumam menyemangati diri, sampai ia teringat pada tujuannya. “Dia pasti merasa senang dengan keputusanku ini.” Narumi membayangkan wajah Siska yang berkali-kali mendesaknya untuk meninggalkan Ghali. Tangannya meraih ponsel, jemarinya yang masih sedikit gemetar mulai mencari kontak Siska. Akan tetapi, nomornya tak aktif. Ia mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap sama—nihil. “Dia ke mana?” bisik Narumi, kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya. Sudah hampir 10 hari Siska menghilang tanpa kabar. “Mungkin Siska sibuk. Dia kan pengacara ternama dan semua hal dia yang urus.” Wanita itu berusaha menenangkan diri. Tetapi, nadanya tidak meyakinkan bahkan untuk telinganya sendiri. Narumi menepis pikiran buruk akan Siska hingga matanya terpaku pada layar ponsel. Di bawah nama temannya itu, ada nama yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang—ayah kandungnya, Bramastyo Kwong. Jari telunjuknya mulai mengetuk-ngetuk di atas layar yang menghitam, keraguan mulai menggerogoti pikirannya. Percakapan mereka empat bulan lalu terngiang di telinga, jelas... seolah baru kemarin terjadi. ‘Terima tawaran ini, jika kamu ingin dibukakan pintu di rumahku!’ Narumi menghela napas panjang, paru-parunya terasa sesak. Sang ayah mengajaknya membuat kesepakatan yang sempat ia tolak sepuluh tahun lalu, dan kini tawaran itu terasa seperti pelampung terakhir di lautan masalah di hidupnya. Kendati demikian, menerima tawaran berarti membuka lembaran baru yang penuh ketidakpastian, sebab ia belum sepenuhnya siap. Narumi kembali memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita itu menekan tombol panggilan pada nomor ayahnya. Ia berpikir, hanya inilah satu-satunya cara untuk terbebas dari kekang keluarga Faghdam. [Ada apa?] Narumi tersentak, sang ayah tanpa basa-basi bertanya di seberang telepon. Suaranya terkesan dingin, namun ia bisa mendengar setitik harapan di dalamnya. “Pa...” wanita itu menarik napas dalam, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. “Aku menerima persyaratan itu.”Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya.“Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.”[Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.]“Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain.[Putriku, selamat datang kembali.]Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia menggigit bibir b
"Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut."Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis.Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan."Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana."Jangan kasar." Ardiaz bergerak secepat kilat,
Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran."Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari."Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas.Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke
“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.” Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan. Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu. “Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira. “Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi, K