“Cerai...”
Perkataan tersebut mengantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu adalah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...” Ia tergagap. Senyum misterius menghiasi bibir Narumi. Dalam sekejap, bayangan wajah ayah Karin melintas di benaknya. Pria yang sepuluh tahun lalu, telah menerima Narumi dengan tangan terbuka di rumah dan hatinya saat Narumi memutuskan untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri. Lebih dari itu, ayah Karin sangat mempercayainya dalam memilih rekan bisnis, mengandalkan intuisi dan ketajaman pengamatan Narumi. Sebagai penasihat investasi, Narumi memang memiliki wawasan yang mendalam di bidang finansial. Kenangan ini menimbulkan perasaan hangat sekaligus pahit yang bergejolak di dalam dadanya. “Dia kenapa? Apa kamu takut pada Papamu?” tanyanya dengan nada tenang, namun mata Narumi menyiratkan badai kemarahan yang siap bergejolak. “Apa kau tidak memikirkan hal ini sebelumnya?” Karin menundukkan wajahnya, namun ekor matanya melirik ke arah Ghali, memohon bantuan tanpa suara. Akan tetapi, pria itu tetap membisu, matanya terpaku pada Narumi dengan tatapan yang sulit diartikan. “Na, jangan begini,” Karin kembali berkata dengan wajah memelas, masih berusaha membujuk Narumi. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, menunjukkan kegelisahan yang semakin menjadi-jadi. Narumi menatap Karin, matanya menyipit penuh penilaian. “Menurutmu, aku harus bagaimana, Rin?” “Na,” Karin berusaha menjelaskan, suaranya bergetar hebat. “Aku pikir, masalah ini tak akan sebesar ini, sebab kita selalu berbagi. Jadi aku rasa, kita bisa berbagi—“ “Maksudmu berbagi suami?” Narumi memotong ucapan Karin dengan nada penuh kebencian. “Apa yang kamu pikirkan, Rin? Kamu kira aku rela dimadu, begitu?” “Iya, aku pikir...” Karin mencoba berbicara lagi, namun kata-katanya tersangkut di tenggorokan. “Kamu yakin ingin bercerai dariku, Na?” Ghali tiba-tiba angkat bicara, suaranya tenang namun ada ketegangan yang tersirat di dalamnya. Pandangan Narumi beralih, matanya menatap lurus ke mata suaminya dengan ketangguhan yang tersisa, meski perasaan kekecewaan begitu jelas hingga nyaris membunuhnya. “Tentu saja, Mas,” jawabnya mantap. “Aku tak pernah seyakin ini!” Ruangan itu kembali hening, seolah-olah waktu terhenti sejenak. Narumi berdiri tegak, bahunya tegap meski hatinya remuk. Ia telah membuat keputusan, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. “Sayangnya, aku tak akan menceraikan mu. Perceraian itu tak akan pernah terjadi!” Ghali berkata dengan nada angkuh yang tak terbantahkan. “Iya Na, kita bisa membicarakannya baik-baik. Kita bisa hidup bersama dengan bahagia. Aku, Mas Ghali, serta bayi ini... bayi kita.” Karin menambahkan dengan cepat, tangannya refleks menyentuh perutnya. Narumi menyeringai tak percaya, netranya menyiratkan rasa jijik pada dua manusia di depannya. “Hidup bersama? Bayi Kita?” Ia menatap Karin dengan tatapan sedingin es. “Jangan konyol kamu. Itu bukanlah bayiku, tapi bayi kalian!” Tatapan Narumi beralih pada suaminya, sorot matanya menggambarkan kemarahan yang tak terbendung. “Jika kamu tak mau bercerai, maka aku yang akan menggugat. Kamu tunggu saja surat dari pengadilan, Mas.” “Surat pengadilan?” Suhita, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Ia bahkan tertawa mengejek. “Baiklah, lakukan sesukamu. Silakan angkat kaki dari rumah ini!” “Ma—“ Ghali mencoba menyela, namun Suhita mengangkat tangannya, mengisyaratkan putranya untuk diam. “Tapi ingat,” lanjut Suhita dengan nada mengancam, “Kamu akan kehilangan segalanya. Semua fasilitas yang kamu punya, semuanya akan kami ambil!” Bukannya takut, Narumi justru mulai melepas semua yang ia kenakan tanpa di minta; cincin, kalung, bahkan pakaiannya yang dibeli oleh Ghali. Wanita itu meletakkan barang-barangnya di atas meja hingga hanya menyisakan pakaian dalam yang masih melekat pada tubuhnya yang indah. Bahkan, tindakannya itu bagaikan pernyataan tanpa kata, jika ia siap melepaskan segalanya. “Ambillah, aku tak butuh semua ini,” ujarnya dengan nada dingin. Wanita bermata Cokelat itu berbalik, meninggalkan ketiga orang di hadapannya terbelalak sempurna. Tekad bulatnya membuat Suhita kehilangan kata-kata. Begitu memasuki rumah, Narumi langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tatapan heran para pelayan mengikuti langkahnya, namun ia mengabaikan tatapan itu. Begitu pintu kamar tertutup rapat, pertahanannya seketika runtuh. “Kenapa harus begini? Kenapa aku kembali dikhianati dan ditinggalkan?” Isakan yang ditahan akhirnya pecah, air mata mengalir deras membasahi pipi. Narumi pikir ia tak akan menangisi Ghali lagi, namun nyatanya, air mata itu belum kering dan kini mengalir tanpa diminta. Tidak hanya itu, bayangan masa lalu menghantui benak wanita 27 tahun itu. Pengkhianatan Ghali dan Karin bukan hanya melukai hatinya saat ini, tapi juga membuka luka lama; kenangan pahit masa kecil akibat perselingkuhan sang ibu. Dia memeluk lututnya erat-erat, seolah berusaha melindungi diri dari dunia yang terlalu kejam. Bahkan, waktu pun berlalu tanpa disadari, saat ia masih tenggelam dalam kesedihan. “Siska.” Narumi bergumam serak, ia baru ingat akan pengacaranya itu. Wanita itu lalu bangkit perlahan dengan kaki gemetar, langkahnya gontai menuju lemari untuk mencari ponsel yang di beli dengan uangnya sendiri. Tetapi, kepahitan belum cukup menyiksa Narumi. Tangannya tanpa sengaja menemukan sebuah foto pernikahan. Sebuah tawa miris lolos dari bibir Narumi yang kering. “Aku tahu tawamu di sini palsu, Mas,” jemarinya menelusuri wajah Ghali yang tersenyum lebar di foto. “Kebahagiaan ternyata hanyalah khayalanku. Mataku selalu tertutup oleh cintaku untukmu, Mas. Aku kira kita bisa...” Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak sebelum dengan kasar merobek foto itu menjadi potongan-potongan kecil. “Semua sudah berakhir,” ujarnya pada diri sendiri, suaranya terdengar lebih kuat kali ini. “Ini sudah selesai. Jangan terjebak dalam penderitaan lagi, Na.” Wanita itu terus bergumam menyemangati diri, sampai ia teringat pada tujuannya. “Dia pasti merasa senang dengan keputusanku ini.” Narumi membayangkan wajah Siska yang berkali-kali mendesaknya untuk meninggalkan Ghali. Tangannya meraih ponsel, jemarinya yang masih sedikit gemetar mulai mencari kontak Siska. Akan tetapi, nomornya tak aktif. Ia mencoba lagi dan lagi, tapi hasilnya tetap sama—nihil. “Dia ke mana?” bisik Narumi, kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya. Sudah hampir 10 hari Siska menghilang tanpa kabar. “Mungkin Siska sibuk. Dia kan pengacara ternama dan semua hal dia yang urus.” Wanita itu berusaha menenangkan diri. Tetapi, nadanya tidak meyakinkan bahkan untuk telinganya sendiri. Narumi menepis pikiran buruk akan Siska hingga matanya terpaku pada layar ponsel. Di bawah nama temannya itu, ada nama yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang—ayah kandungnya, Bramastyo Kwong. Jari telunjuknya mulai mengetuk-ngetuk di atas layar yang menghitam, keraguan mulai menggerogoti pikirannya. Percakapan mereka empat bulan lalu terngiang di telinga, jelas... seolah baru kemarin terjadi. ‘Terima tawaran ini, jika kamu ingin dibukakan pintu di rumahku!’ Narumi menghela napas panjang, paru-parunya terasa sesak. Sang ayah mengajaknya membuat kesepakatan yang sempat ia tolak sepuluh tahun lalu, dan kini tawaran itu terasa seperti pelampung terakhir di lautan masalah di hidupnya. Kendati demikian, menerima tawaran berarti membuka lembaran baru yang penuh ketidakpastian, sebab ia belum sepenuhnya siap. Narumi kembali memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dengan tangan yang masih gemetar, wanita itu menekan tombol panggilan pada nomor ayahnya. Ia berpikir, hanya inilah satu-satunya cara untuk terbebas dari kekang keluarga Faghdam. [Ada apa?] Narumi tersentak, sang ayah tanpa basa-basi bertanya di seberang telepon. Suaranya terkesan dingin, namun ia bisa mendengar setitik harapan di dalamnya. “Pa...” wanita itu menarik napas dalam, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. “Aku menerima persyaratan itu.”Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia me
"Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak se
Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran. "Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan
“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria
Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den
Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Mama ingin bertemu.” Tangannya sedikit gemetar, ada keraguan yang menghantuinya. Tapi di sisi lain, ada dorongan kuat untuk memenuhi panggilan tersebut.{Iya, Kak. Kami akan menunggumu di restoran,} suara Liyou terngiang di pikirannya sebelum panggilan itu diputus secara sepihak.Narumi menghela napas panjang, kegugupannya semakin menjadi. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Na, ayo kita sarapan,” suara Ardiaz terdengar dari balik pintu. Suara itu terdengar santai, tapi Narumi tahu betul pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.Ia menggigit bibirnya, ragu untuk merespons. Ardiaz selalu tahu bagaimana caranya menembus pertahanan dirinya, meskipun ia sudah berusaha menghindar.“Aku tidak akan sarapan,” katanya akhirnya dengan nada datar. “Sarapanlah lebih dulu.”Narumi mendengar langkah kaki Ardiaz menjauh dari pintu, dan ia menghela
“Mas Ghali, kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, tangannya mencengkeram tirai dengan kuat.Keributan di luar villa semakin memuncak. Suara teriakan, bentakan, dan benda yang jatuh memecah keheningan pagi. Narumi masih berdiri diam di dekat jendela, matanya terpaku pada sosok Ghali yang berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. Di sampingnya, Karin tampak memegang lengannya, dengan ekspresi kepura-puraan khawatir dan provokasi halus.“Narumi! Aku tahu kamu di sana! Keluar sekarang!” teriak Ghali, suaranya begitu menggelegar.Narumi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, situasi ini terlalu melelahkan untuk dihadapi begitu saja.Sebelum Narumi sempat bergerak, suara tenang namun penuh ancaman terdengar dari arah ruang tamu.“Berhenti membuat keributan,” kata Ardiaz dengan nada rendah, tapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk berteriak-teriak seperti orang hutan.”Narumi meno
Di sudut sebuah kafe kecil di tepi jalan, Narumi duduk diam, memandangi secangkir teh hangat di hadapannya. Udara malam itu cukup dingin, namun hangatnya suasana dalam kafe berhasil sedikit meredakan pikirannya yang berkecamuk. Di depannya, Liyou duduk sambil menatap Narumi yang memegang kain kompres. Mata Narumi masih bengkak setelah tangis panjang yang tak terbendung sebelumnya.“Bagaimana kabar Kakak?” suara Liyou memecah keheningan, terdengar hati-hati tapi penuh perhatian.Narumi menghela napas panjang, lalu meletakkan kain kompres itu di atas meja. Matanya menatap wajah Liyou, menelusuri setiap detail wajah adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. “Tidak begitu baik,” jawabnya dengan nada lelah.Tapi di balik kelelahannya, ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Liyou, adiknya yang dulu kecil dan rapuh, kini duduk di hadapannya, terlihat kuat dan dewasa. Ia hampir lupa bahwa waktu terus berjalan, dan Liyou bukan lagi anak sepuluh tahun yang dulu sering ia ajak bermain.N
Narumi berdiri mematung, matanya menatap lekat pada Ardiaz yang kini hanya diam di tempat. Tatapan pria itu sulit diartikan. Entah itu rasa bersalah, kebingungan, atau mungkin campuran dari semuanya.“Kenapa kamu melakukan ini?” Narumi mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tajam. Ia tidak peduli dengan ketegangan yang terlihat di wajah Ardiaz. Tangannya terangkat, mencengkeram lengan pria itu dengan erat, sampai tubuh Ardiaz sedikit bergoyang karena dorongan emosinya.“Apa kamu sengaja ingin menyakitiku?”Tubuh Ardiaz menegang seketika. Matanya melebar, seolah pertanyaan itu seperti pukulan yang menghantam dadanya. Tapi ia tidak segera menjawab. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh tekad, Ardiaz membuka mulutnya. “Tidak, Na,” katanya, suaranya serak. “Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia dan kuat dalam menghadapi semua ini.”Narumi mengernyit
Narumi memaksakan senyumnya sambil melirik ke arah Ardiaz, yang menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya. Tapi kali ini, perhatian Narumi tidak bisa teralihkan. Matanya tetap terkunci pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka—ibunya.Sepuluh tahun.Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Jarak waktu yang panjang, dipenuhi kenangan yang dingin dan penuh luka.Narumi meneguk ludah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi yang diciptakan pikirannya. Tapi tatapan tajam wanita itu cukup untuk menyadarkannya bahwa ini nyata."Maaf, Nona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" suara lembut namun asing itu terdengar, disampaikan dalam bahasa Spanyol.Jantung Narumi berdebar keras. Ibunya… tidak mengenalinya.Bagaimana mungkin?Narumi menggigit bibirnya. Mungkin riasan tebal di wajahnya membuatnya tampak berbeda, atau… mungkin memang sejak dulu ibunya tidak pernah benar-benar peduli."Tidak," Narumi akhirnya menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Ha
Karin menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Ia tahu, jika ia terlihat terlalu penasaran, Ghali pasti akan menyadarinya.Namun, di dalam hati, ia merasa gelisah. Apa hubungan Narumi dengan Prajogo?Semakin lama, teka-teki ini terasa semakin membuatnya pusing. Jika benar Narumi berada di pulau pribadi milik Prayogo, maka jelas wanita itu memiliki sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Narumi… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?Karin menatap Ghali yang kini tampak frustrasi, menekan layar ponselnya dengan gusar.Aku harus bergerak cepat.Karin merapatkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke Ghali, mencoba mencari tahu apa yang membuat pria itu tampak gelisah sejak tadi. Matanya menelisik wajah Ghali yang dingin dan terfokus pada ponselnya.“Mas, ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.Ghali melirik sekilas, matanya menyiratkan kejengkelan yang ia coba tahan. Ia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat. Namun, tak lama kemudian, Ghali bangkit
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l