Share

Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!
Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!
Penulis: B.E.B.Y

ASS 01 : Aku Ingin Bercerai

Penulis: B.E.B.Y
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-08 10:27:13

“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.”

Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari.

Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan.

Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu.

“Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira.

“Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya.

Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi, Karin, dan Ghali memang berteman sejak SMA. Jadi, tak heran jika mertuanya juga menganggap Karin bagaikan anaknya sendiri.

Narumi pun melirik ke arah Ghali, penasaran dengan ekspresi dari suaminya itu. Namun yang ia temukan hanyalah raut tenang, seakan perkataan Karin bukanlah sesuatu mengejutkan untuknya.

“Mas, apakah kamu sudah tahu soal kehamilan Karin?” selidik Narumi hati-hati.

Ghali memberi anggukkan singkat, membuat Narumi semakin heran. Mengapa semua orang di sini begitu antusias dan tak menunjukkan setitik pun rasa keterkejutan?

Selama yang Narumi tahu, sahabatnya itu tak memiliki kekasih, apalagi seorang suami. Apakah kedua manusia ini tak bertanya-tanya, Bagaimana Karin tiba-tiba bisa hamil?

“Aku sengaja ingin memberikan kejutan ini padamu, Na,” sambung Karin dengan antusias, baru saja melepaskan diri dari pelukan Suhita. Matanya berbinar-binar, seolah tak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Narumi. “Apa kamu bahagia atas kehamilanku?”

“Tentu,” Narumi mengangguk kaku sambil memaksa kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Pertanyaan Karin terdengar konyol di telinganya, seolah tengah mengolok-olok dirinya dengan buas.

“Tapi...” Tak tahan dengan rasa penasaran, Narumi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Sejak kapan kamu memiliki kekasih? Siapa ayah dari janin ini?”

Wajah Karin langsung bersemu merah. Ia melirik ke arah Ghali dan Suhita, membuat Narumi semakin yakin untuk memantapkan hati. Apalagi ia melihat, ibu mertuanya mengangguk kecil.

“Kamu sudah mengenal ayah janin ini, Na. Dia—“

“Aku ayah dari janin di perut Karin,” potong Ghali tanpa basa-basi. Pria itu beranjak dari duduknya untuk berpindah ke sisi Karin, menggantikan posisi sang mertua dengan gerakan yang tampak begitu natural.

Narumi tercekat. Dunianya runtuh dalam sekejap. Pertahanan yang di bangun akhirnya hancur. Ternyata, ia tak setangguh itu.

“Sebentar lagi, rumah ini akan ada tangisan bayi. Keluarga Faghdam akan memiliki pewaris. Kamu akan segera menjadi Papa, Ghali,”

Senyum mengejek tersungging di bibir Narumi kala mendengar ucapan Suhita. Jadi, ini alasan mengapa mertuanya dan Ghali begitu antusias. Mereka hanya menginginkan pewaris, tanpa memedulikan perasaannya sama sekali.

Setiap tarikan napas terasa berat untuk Narumi, seakan udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.

Terlebih saat ia mengingat suara Siska, teman sekaligus pengacaranya terus berdenging bagai mantra tak berkesudahan, meminta Narumi untuk segera berpisah dari Ghali karena, “Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik”, katanya.

Narumi hanya bisa tertawa pahit, ia lalu menyesap tehnya untuk menangkan diri. “Jadi... sudah berapa lama kalian berzina?” sambungnya bertanya dengan nada ketus, namun suaranya tetap stabil.

Mata coklat yang tajam itu menatap ke arah Karin, menuntut kejujuran dari sahabat yang kini telah berubah menjadi pengkhianat.

“Na, apa maksud dari perkataanmu?” sahutnya, wajah Karin tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan. Tidak hanya sahabatnya itu saja, suami serta mertuanya pun menampilkan ekspresi yang sama.

“Apa kalimat sederhana itu tak bisa kamu pahami, Rin?" Narumi berdecak, senyum mengejek mulai menghiasi wajahnya. "Kemana perginya otak cerdas super model itu?”

“Narumi!” suara Ghali menggelegar, matanya menajam seakan bisa membunuh istrinya di tempat.

“Aku tak tuli, jadi tak perlu berteriak, Mas.” timpal Narumi santai, terkesan tak peduli.

“Na... apa kamu marah karena kehamilanku?” tanya Karin, suaranya bergetar.

Narumi tertawa getir, sampai air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Menurutmu? Apa ada orang di dunia ini yang tidak marah ketika suaminya berzina? Dan... menghasilkan anak haram pula!”

“Narumi! Perkataanmu sungguh keterlaluan!” Suhita tak bisa lagi menahan amarahnya, matanya menatap nyalang seakan bisa menelan menantu bulat-bulat.

"Aku rasa pertanyaanku sederhana," sahut Narumi dengan nada datar. "Sejak kapan mereka berdua berzina? Tapi kenapa urusannya jadi sepanjang ini? Di sini aku yang terlalu pintar atau kalianlah yang terlalu bodoh."

Wajah mertuanya itu semakin merah, namun reaksi itu justru mengundang tawa pahit dari Narumi. "Baiklah, kita sudahi saja perbincangan ini," ucapnya, beranjak untuk pergi. Namun langkahnya terhenti saat suara Karin memecah keheningan.

"Na, kamu benar-benar keterlaluan. Kamu bukannya bersyukur aku hamil, tapi kamu malah menghinaku dan juga anak di perutku ini." Air mata mulai mengalir di pipi Karin.

Narumi berbalik, matanya menatap wajah bulat Karin yang basah oleh air mata. "Menghina? Oh tidak Karin, aku tidak menghina, tapi itu adalah kenyataannya. Apa lagi sebutan yang baik atas anak itu dan juga kelakuanmu?”

"Narumi! Kenapa kamu bersikap begini?" Karin berdiri, tangannya terkepal erat dengan mata merah oleh amarah. "Anak ini bukan anak haram, ia ada karena adanya cinta di antara kami.

Senyum sepah menghiasi wajah Narumi. "Cinta? Wah hebat sekali." Suaranya penuh sarkasme. "Kenapa tidak tiga tahun yang lalu kamu bersikap begini?" Tatapannya begitu tajam hingga Karin tak sanggup membalas dan terdiam.

"Tentu kamu masih ingat, bagaimana kamu bersujud di kakiku untuk menggantikan posisimu karena kamu belum siap menikah dengan Mas Ghali tiga tahun lalu? Kamu dengan mudahnya pergi keluar negeri demi mengejar karirmu tanpa menoleh saat itu. Tapi sekarang..." Narumi memutar matanya, diiringi desisan kemuakan yang tak bisa ia tutupi lagi.

"Kamu bilang cinta? Omong kosong apa ini, Karin?" Nada suara Narumi begitu tenang, namun tajam, menembus lubuk hati siapa pun yang mendengarnya.

"N-Na... Aku—"

"Kamu tak perlu menjelaskan padanya, Rin. Aku memahami mu." Ghali memotong cepat, tangannya mengelus lembut bahu Karin, berusaha menenangkan wanita hamil itu. Ia lalu mendekati Narumi, matanya berkilat penuh determinasi.

"Kamu juga harus ingat, kita menikah berdasarkan kontrak. Jika kamu tak bisa memberiku pewaris maka kamu siap di madu."

Tawa mengejek meluncur dari bibir Narumi. "Tentu kamu juga tak lupa Mas, isi kontrak kita. Di sana tertulis tak ada pengkhianatan di dalamnya selama perjanjian itu berlangsung. Tapi, apa yang kamu lakukan?" Matanya menatap Ghali dengan sorot tajam yang menusuk.

"Baru minggu lalu vonis itu keluar, Mas. Sementara kehamilan Karin... 8 minggu? Sejak kapan dia naik ke atas ranjangmu, Mas?"

Ghali tampak tersentak, matanya melebar saat menatap Narumi. Seolah, Istri di hadapannya adalah orang asing; tatapan tajam, rahang yang mengeras, dan tak ada lagi kelembutan dalam suaranya. pria itu bahkan menelan ludah, berusaha mengendalikan situasi yang semakin terasa dingin.

"Sebulan yang lalu, atau dua bulan yang lalu, atau... Satu tahun yang lalu?" Narumi kembali menambahkan, ucapannya benar-benar penuh racun. "Jawablah mas, sejak kapan kalian mulai berzina dan mengkhianati ku?!"

"Na... Kami tak bermaksud mengkhianatimu, kami—"

"Aku tak bertanya padamu, Pelacur! Aku bertanya pada suamiku!" Ia memotong ucapan Karin dengan kata-kata pedas, tangannya terangkat seolah hendak menampar udara. Wajah Narumi kini tak bersahabat, yang ada hanya kobaran kemarahan yang siap mengamuk.

"Cukup Na, kamu sudah keterlaluan!" seru Ghali, mengabaikan pertanyaan Narumi.

Namun Narumi tak membutuhkan jawaban itu. sebab, Ia sudah tahu perselingkuhan suaminya. Perselingkuhan yang telah berlangsung selama satu tahun, sejak sahabatnya itu kembali ke Indonesia.

"Aku mencintai Karin, baik dulu maupun sekarang."

Perkataan Ghali itu seketika menyadarkan Narumi, membuka matanya pada kenyataan pahit tentang suaminya yang dicintainya. Di mata hitam pekat Ghali, tak pernah ada Narumi sejak awal. Narumi hanyalah pengantin pengganti, sebuah cangkang kosong untuk cinta sejati Ghali.

"Aku tahu itu, Mas. Aku tak buta." Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan gemuruh di dadanya. Mata Narumi menatap lurus ke arah Ghali, tidak lagi dipenuhi cinta, melainkan keteguhan hati yang baru ditemukan.

"Terima kasih telah membuatku sadar."

Ghali terlihat bingung, alisnya berkerut menatap perubahan di wajah Narumi. "Apa maksudmu?"

Wanita itu hanya tersenyum kecil, senyum yang menyiratkan tekad baru. "Aku ingin bercerai. Ayo kita bercerai, Mas."

Bab terkait

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 02 : Menerima Persyaratan

    “Cerai...” Perkataan tersebut mengantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu adalah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Dia...”

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-13
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 03: Keterkejutan

    Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya. “Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.” [Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.] “Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain. [Putriku, selamat datang kembali.] Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-29
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 04: Cermin yang Retak

    "Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut. "Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis. Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan. "Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana. "Jangan kasar." Ardiaz bergerak se

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-04
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 05: Kartu As

    Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran. "Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-08
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 006: Kata tak Terucap

    “Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat. “Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan. Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.“Kamu tidak apa-apa?” pria

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 07: Salah Kirim atau Sebuah Petunjuk

    Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .“Ada apa?”Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya.“Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel.Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri den

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 08: Dekapan Hangat

    Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-21
  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 09: Jejak

    “Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23

Bab terbaru

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 27: Email

    Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 26: Pelukan Sang Pengawas

    Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 25: Kepingan

    “Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 24: Jejak di Kancing

    Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 23: Kebenaran yang Menghancurkan

    Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 22: Karena Surat

    Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 21: Ketegangan

    “Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 20: Pilihan Terakhir

    Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 19: Intrik

    Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu

DMCA.com Protection Status