“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.”
Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan. Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu. “Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira. “Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi, Karin, dan Ghali memang berteman sejak SMA. Jadi, tak heran jika mertuanya juga menganggap Karin bagaikan anaknya sendiri. Narumi pun melirik ke arah Ghali, penasaran dengan ekspresi dari suaminya itu. Namun yang ia temukan hanyalah raut tenang, seakan perkataan Karin bukanlah sesuatu mengejutkan untuknya. “Mas, apakah kamu sudah tahu soal kehamilan Karin?” selidik Narumi hati-hati. Ghali memberi anggukkan singkat, membuat Narumi semakin heran. Mengapa semua orang di sini begitu antusias dan tak menunjukkan setitik pun rasa keterkejutan? Selama yang Narumi tahu, sahabatnya itu tak memiliki kekasih, apalagi seorang suami. Apakah kedua manusia ini tak bertanya-tanya, Bagaimana Karin tiba-tiba bisa hamil? “Aku sengaja ingin memberikan kejutan ini padamu, Na,” ujar Karin dengan antusias, baru saja melepaskan diri dari pelukan Suhita. Matanya berbinar-binar, seolah tak menyadari badai yang tengah berkecamuk di hati Narumi. “Apa kamu bahagia atas kehamilanku?” “Tentu,” Narumi mengangguk kaku sambil memaksa kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Pertanyaan Karin terdengar konyol di telinganya, seolah tengah mengolok-olok dirinya dengan buas. “Tapi...” Tak tahan dengan rasa penasaran, Narumi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Sejak kapan kamu memiliki kekasih? Siapa ayah dari janin ini?” Wajah Karin langsung bersemu merah. Ia melirik ke arah Ghali dan Suhita, membuat Narumi semakin yakin untuk memantapkan hati. Apalagi ia melihat, ibu mertuanya mengangguk kecil. “Kamu sudah mengenal ayah janin ini, Na. Dia—“ “Aku ayah dari janin di perut Karin,” potong Ghali tanpa basa-basi. Pria itu beranjak dari duduknya untuk berpindah ke sisi Karin, menggantikan posisi sang mertua dengan gerakan yang tampak begitu natural. Narumi tercekat. Dunianya runtuh dalam sekejap. Pertahanan yang di bangun akhirnya hancur. Ternyata, ia tak setangguh itu. “Sebentar lagi, rumah ini akan ada tangisan bayi. Keluarga Faghdam akan memiliki pewaris. Kamu akan segera menjadi Papa, Ghali,” Senyum mengejek tersungging di bibir Narumi kala mendengar ucapan Suhita. Jadi, ini alasan mengapa mertuanya dan Ghali begitu antusias. Mereka hanya menginginkan pewaris, tanpa memedulikan perasaannya sama sekali. Setiap tarikan napas terasa berat untuk Narumi, seakan udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya. Terlebih saat ia mengingat suara Siska, teman sekaligus pengacaranya terus berdenging bagai mantra tak berkesudahan, meminta Narumi untuk segera berpisah dari Ghali karena, “Wanita yang baik hanya untuk lelaki yang baik”, katanya. Narumi hanya bisa tertawa pahit, ia lalu menyesap tehnya untuk menangkan diri. “Jadi... sudah berapa lama kalian berzina?” sambungnya bertanya dengan nada ketus, namun suaranya tetap stabil. Mata coklat yang tajam itu menatap ke arah Karin, menuntut kejujuran dari sahabat yang kini telah berubah menjadi pengkhianat. “Na, apa maksud dari perkataanmu?” sahutnya, wajah Karin tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan. Tidak hanya sahabatnya itu saja, suami serta mertuanya pun menampilkan ekspresi yang sama. “Apa kalimat sederhana itu tak bisa kamu pahami, Rin?" Narumi berdecak, senyum mengejek mulai menghiasi wajahnya. "Kemana perginya otak cerdas super model itu?” “Narumi!” suara Ghali menggelegar, matanya menajam seakan bisa membunuh istrinya di tempat. “Aku tak tuli, jadi tak perlu berteriak, Mas.” timpal Narumi santai, terkesan tak peduli. “Na... apa kamu marah karena kehamilanku?” tanya Karin, suaranya bergetar. Narumi tertawa getir, sampai air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Menurutmu? Apa ada orang di dunia ini yang tidak marah ketika suaminya berzina? Dan... menghasilkan anak haram pula!” “Narumi! Perkataanmu sungguh keterlaluan!” Suhita tak bisa lagi menahan amarahnya, matanya menatap nyalang seakan bisa menelan menantu bulat-bulat. "Aku rasa pertanyaanku sederhana," sahut Narumi dengan nada datar. "Sejak kapan mereka berdua berzina? Tapi kenapa urusannya jadi sepanjang ini? Di sini aku yang terlalu pintar atau kalianlah yang terlalu bodoh." Wajah mertuanya itu semakin merah, namun reaksi itu justru mengundang tawa pahit dari Narumi. "Baiklah, kita sudahi saja perbincangan ini," ucapnya, beranjak untuk pergi. Namun langkahnya terhenti saat suara Karin memecah keheningan. "Na, kamu benar-benar keterlaluan. Kamu bukannya bersyukur aku hamil, tapi kamu malah menghinaku dan juga anak di perutku ini." Air mata mulai mengalir di pipi Karin. Narumi berbalik, matanya menatap wajah bulat Karin yang basah oleh air mata. "Menghina? Oh tidak Karin, aku tidak menghina, tapi itu adalah kenyataannya. Apa lagi sebutan yang baik atas anak itu dan juga kelakuanmu?” "Narumi! Kenapa kamu bersikap begini?" Karin berdiri, tangannya terkepal erat dengan mata merah oleh amarah. "Anak ini bukan anak haram, ia ada karena adanya cinta di antara kami. Senyum sepah menghiasi wajah Narumi. "Cinta? Wah hebat sekali." Suaranya penuh sarkasme. "Kenapa tidak tiga tahun yang lalu kamu bersikap begini?" Tatapannya begitu tajam hingga Karin tak sanggup membalas dan terdiam. "Tentu kamu masih ingat, bagaimana kamu bersujud di kakiku untuk menggantikan posisimu karena kamu belum siap menikah dengan Mas Ghali tiga tahun lalu? Kamu dengan mudahnya pergi keluar negeri demi mengejar karirmu tanpa menoleh saat itu. Tapi sekarang..." Narumi memutar matanya, diiringi desisan kemuakan yang tak bisa ia tutupi lagi. "Kamu bilang cinta? Omong kosong apa ini, Karin?" Nada suara Narumi begitu tenang, namun tajam, menembus lubuk hati siapa pun yang mendengarnya. "N-Na... Aku—" "Kamu tak perlu menjelaskan padanya, Rin. Aku memahami mu." Ghali memotong cepat, tangannya mengelus lembut bahu Karin, berusaha menenangkan wanita hamil itu. Ia lalu mendekati Narumi, matanya berkilat penuh determinasi. "Kamu juga harus ingat, kita menikah berdasarkan kontrak. Jika kamu tak bisa memberiku pewaris maka kamu siap di madu." Tawa mengejek meluncur dari bibir Narumi. "Tentu kamu juga tak lupa Mas, isi kontrak kita. Di sana tertulis tak ada pengkhianatan di dalamnya selama perjanjian itu berlangsung. Tapi, apa yang kamu lakukan?" Matanya menatap Ghali dengan sorot tajam yang menusuk. "Baru minggu lalu vonis itu keluar, Mas. Sementara kehamilan Karin... 8 minggu? Sejak kapan dia naik ke atas ranjangmu, Mas?" Ghali tampak tersentak, matanya melebar saat menatap Narumi. Seolah, Istri di hadapannya adalah orang asing; tatapan tajam, rahang yang mengeras, dan tak ada lagi kelembutan dalam suaranya. pria itu bahkan menelan ludah, berusaha mengendalikan situasi yang semakin terasa dingin. "Sebulan yang lalu, atau dua bulan yang lalu, atau... Satu tahun yang lalu?" Narumi kembali menambahkan, ucapannya benar-benar penuh racun. "Jawablah mas, sejak kapan kalian mulai berzina dan mengkhianati ku?!" "Na... Kami tak bermaksud mengkhianatimu, kami—" "Aku tak bertanya padamu, Pelacur! Aku bertanya pada suamiku!" Ia memotong ucapan Karin dengan kata-kata pedas, tangannya terangkat seolah hendak menampar udara. Wajah Narumi kini tak bersahabat, yang ada hanya kobaran kemarahan yang siap mengamuk. "Cukup Na, kamu sudah keterlaluan!" seru Ghali, mengabaikan pertanyaan Narumi. Namun Narumi tak membutuhkan jawaban itu. sebab, Ia sudah tahu perselingkuhan suaminya. Perselingkuhan yang telah berlangsung selama satu tahun, sejak sahabatnya itu kembali ke Indonesia. "Aku mencintai Karin, baik dulu maupun sekarang." Perkataan Ghali itu seketika menyadarkan Narumi, membuka matanya pada kenyataan pahit tentang suaminya yang dicintainya. Di mata hitam pekat Ghali, tak pernah ada Narumi sejak awal. Narumi hanyalah pengantin pengganti, sebuah cangkang kosong untuk cinta sejati Ghali. "Aku tahu itu, Mas. Aku tak buta." Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan gemuruh di dadanya. Mata Narumi menatap lurus ke arah Ghali, tidak lagi dipenuhi cinta, melainkan keteguhan hati yang baru ditemukan. "Terima kasih telah membuatku sadar." Ghali terlihat bingung, alisnya berkerut menatap perubahan di wajah Narumi. "Apa maksudmu?" Wanita itu hanya tersenyum kecil, senyum yang menyiratkan tekad baru. "Aku ingin bercerai. Ayo kita bercerai, Mas."“Cerai...” Perkataan tersebut menggantung di udara dari pria itu. Narumi tahu, kalimatnya bagaikan badai yang siap menyapu setiap orang di sana. Tetapi, kalimat itu juga sebuah simbol penegasan jika saat ini ia benar-benar sudah mati rasa. Udara di gazebo kian membeku, menyisakan ketegangan yang nyaris bisa disentuh dengan tangan telanjang. Karin, mata bulat yang kini terbelalak lebar, menatap tak percaya. “Na...” Wajahnya yang biasanya berseri kini pucat pasi, “Kamu serius dengan ucapanmu?” Suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang menyelimuti ruangan. Narumi membalas tatapan Karin dengan sorot mata yang tak tergoyahkan. Namun, ada kekecewaan yang berkecamuk di netra cokelatnya. “Tak ada yang lebih serius dari ini, Rin,” ucapnya tegas, meski setiap kata terasa berat, “Aku mundur. Selamat atas pilihanmu.” “T-Tapi Na,” Kepanikan mulai merambat di wajah Karin. Matanya bergerak liar, mencari secercah harapan atas situasinya. “Bagaimana dengan Papa? Di
Keheningan mengambang di udara seperti kabut malam yang enggan beranjak dari aspal. Narumi merasakan dentuman jantungnya sendiri. Empat bulan perjuangan untuk mempertahankan pendiriannya luruh dalam sekejap oleh satu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Lalu, suara berat dan dalam milik Bramastyo kembali memenuhi gendang telinga Narumi. [Bagus, kapan kamu akan kembali? Apa perlu dijemput?] Narumi menelan ludah dengan susah payah, kepalanya refleks menggeleng pelan meski sang ayah tak dapat melihatnya.“Tidak perlu, Pa,” tolaknya cepat, suaranya sedikit bergetar saat berusaha mempertahankan sisa-sisa kemandirian yang masih ia miliki. “Aku... akan datang dengan kakiku sendiri.”[Baiklah, Papa tunggu kamu di rumah.]“Mm,” hanya itu yang mampu Narumi gumamkan, lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata-kata lain.[Putriku, selamat datang kembali.]Kata-kata terakhir sang Ayah sebelum sambungan terputus bagaikan anak panah yang menembus pertahanan Narumi. Ia menggigit bibir b
"Ardiaz..." Nama itu belum selesai bergema saat sosok pemiliknya sudah berdiri tepat di hadapan Narumi, membuat wanita itu refleks mundur selangkah. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terkejut atau karena aura maskulin yang terpancar dari pria tersebut."Terima kasih sudah menentukan pilihan." Suara Ardiaz mengalun dalam. Bibirnya menyentuh punggung tangan Narumi dengan kelembutan bak seorang bangsawan, sementara mata coklat keemasannya memancarkan pesona yang nyaris hipnotis.Momen manis itu pecah oleh sentakan kasar. Ghali menarik Narumi ke arahnya dengan gerakan posesif yang tak terkendali. "Na..." Suaranya bergetar, sebuah anomali yang mencerminkan pergulatan antara amarah dan ketakutan akan kehilangan."Ada hubungan apa kamu dengannya?" Ghali menghujam mata Narumi dengan tatapan menuntut, mencari-cari secercah jawaban dalam iris hazel yang kini sedingin musim es, tak ada lagi kehangatan yang dulu selalu ia temukan di sana."Jangan kasar." Ardiaz bergerak secepat kilat,
Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran."Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari."Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas.Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke