Berawal dari keinginannya untuk meminjam uang, Sarah Daniawati tak pernah mengira dirinya akan dijadikan istri kedua dari Bagas Kuncoro. Kemandulan istri pertama Bagas dan keinginan ibunda pria itu untuk segera menimang cucu memaksanya untuk menikah dengan sahabat masa kecilnya itu. Pernikahan Sarah yang dipenuhi kesedihan berubah ketika dirinya berhasil mengandung anak Bagas. Namun, kebahagiaan itu berlalu cepat ketika Sarah keguguran akibat konfrontasinya dengan istri pertama. Wanita itu dihina dan dicaci, bahkan dituduh menjadi dalang dari kecelakaannya sendiri demi menyingkirkan sang istri pertama. Bagaimana Sarah membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah? Apakah Sarah akan membalaskan dendamnya kepada istri pertama Bagas atas kematian anak dalam kandungannya? Atau mungkinkah di kehidupan ini ... Sarah selamanya akan hidup dalam neraka?
Lihat lebih banyak"Kemana saja kamu?!" Setelah beradu argumentasi dengan Kaisar, Sarah akhirnya diantar kembali ke rumah sang suami. Sepanjang perjalanan, Sarah berusaha menenangkan diri. Dia mencoba untuk mendengarkan kalimat-kalimat dari pria itu yang terus memintanya untuk bisa mengendalikan diri sebaik mungkin. Namun, begitu Sarah masuk ke dalam rumah, teriakan Bagas menyambutnya. Sarah memperhatikan Bagas yang masih duduk di sofa ruang tamu, bersama dengan Rayya--Istri kesayangannya itu. Di kepalanya saat ini hanya berputar setiap kejahatan yang dilakukan Bagas kepadanya, dan kepada keluarganya. Sarah ingin langsung mengkonfrontasi Bagas, tetapi Kaisar benar. Itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri."Ingat ini Sarah. Kalau kamu mau kembali ke rumah itu sekarang, maka bersikaplah seperti tidak ada yang terjadi."Sarah juga teringat bagaimana Kaisar menyiapkan sebuah alibi untuknya. Kalau seandainya Bagas bertanya kemana ia pergi dari rumah sakit. "Aku harus sanggup mengontrol diriku
Semalaman penuh, Sarah tidak tidur sama sekali. Dia menghabiskan malamnya dengan membaca setiap lembar yang ditulis oleh sang ayah di dalam buku catatan itu. Dan semakin membacanya, amarah Sarah semakin bergejolak. Pagi ini, Sarah bertekad untuk kembali ke rumah Bagas.Namun rencananya berantakan saat ia melihat Kaisar sudah menunggunya di meja makan. "Mau kemana pagi-pagi begini?" ujar Kaisar--sambil meminum jus jeruk yang baru saja disajikan oleh Mbok Sum.Sarah menurunkan barang-barangnya di lantai. Meskipun enggan, dia tetap berjalan menuju meja makan. "Pulang," ujarnya singkat. Kaisar tidak bereaksi. Dia justru terlihat tenang menyantap sarapannya. Di sampingnya terlihat seorang pria dengan setelan serba hitam, dengan rambut plontos, dan sebuah tab di tangannya, sedang membacakan jadwalnya hari ini. "Jam sepuluh nanti ada pertemuan singkat dengan Pak Nuggie. Asisten Direktur PT. Berlian Nusantara. Setelahnya, jam sebelas akan bertemu Pak Narendra di lapangan golf BSD, terkai
"Sebaiknya kamu di sini dulu saja."Setelah adu mulut yang terjadi beberapa jam yang lalu, Sarah menyetujui ajakan Kaisar untuk pergi ke sebuah tempat guna menenangkan dirinya selama beberapa saat. Mereka sampai di sana menjelang tengah malam. "Ini rumah siapa?"Sarah terdiam memandangi interior dari sebuah rumah bergaya klasik eropa, yang didominasi warna putih. Rumah ini sangat besar, megah dan mewah, tapi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Anggap saja rumah sendiri."Setelah mengatakan itu, Kaisar terlihat memanggil seseorang. Tak lama, seorang perempuan paruh baya berlari dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya terlihat panik."Ampun, Den..." Perempuan paruh baya itu langsung menundukkan kepalanya saat berhadapan dengan Kaisar. Tubuhnya gemetaran, kedua tangannya saling mengait. Dia terlihat begitu gelisah. Sarah mengamati interaksi antara keduanya, yang melahirkan tanda tanya. Apakah Kaisar begitu mengerikan?Kaisar yang tidak kunjung mengatakan apapun, membuat perempuan paruh
“Seharusnya ada di sini.” Sarah ingat, sang ayah selalu memasukkan semua dokumen penting, uang tunai, ataupun emas yang dia miliki ke dalam brankas yang tersembunyi di balik lukisan besar di ruangan kerjanya. Sarah juga ingat dengan jelas kunci kombinasi yang pernah diberitahukan oleh sang ayah. Jadi, ia terkejut ketika tidak mendapati apapun di dalam brankas ayahnya. “Apa mungkin ayah memindahkan dokumen-dokumennya?” Sarah menggelengkan kepalanya, dia bertekad untuk tidak menyerah. Dia mulai mencari di setiap sudut ruangan. Lemari besar milik sang ayah, meja kerja, tumpukan dokumen di rak, semuanya tidak luput dicari. Namun, hasilnya nihil. “Dimana ayah menaruhnya?” Sarah berujar dengan nada kebingungan, sebelum ia memutuskan untuk menghampiri Kaisar yang sepertinya masih menunggu di lantai bawah. Namun, langkah kakinya terhenti saat ia melihat buku catatan milik sang ayah yang selalu dibawanya kemanapun–yang terletak di atas meja kerjanya. Dengan rasa penasaran yang tinggi,
Sarah yang terlalu terkejut, tidak dapat mengeluarkan suara apapun. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ada kebingungan yang menghinggapinya. Amarah dan kekecewaan juga bercampur di dalamnya.“Kenapa? Kenapa Bagas melakukan semua itu?"Sarah mendongakkan kepalanya, menatap pria asing itu, secara tidak langsung memintanya untuk menjawab semua pertanyaannya.Saat itulah, Sarah baru menyadari sesuatu. Bahwa entah sejak kapan, pria asing itu sudah memayungi dirinya hingga terhindar dari hujan.Pria asing itu yang tidak mengubah ekspresi di wajahnya sama sekali, kemudian berujar, "Kalau kamu ingin membalas dendam, ikutlah denganku, Sarah…"*** Ada begitu banyak pertanyaan yang berputar di dalam kepalanya. Namun, Sarah justru tidak mengatakan apapun kepada pria asing itu. Dia hanya berdiam diri, menatap laju kendaraan yang membawa mereka. Dari balik kaca mobil, Sarah dapat melihat beberapa bangunan yang tampak tidak asing. Dia menoleh ke arah si pria asing, namun belum sempat bertanya mobil itu
Di atas ranjang kamar inapnya, Sarah terbaring seraya menatap kosong ke depan. Ingatan perihal kejadian beberapa saat lalu mengalir ke dalam benaknya. “Kalau bukan karena ibu, aku pastikan kita akan bercerai." Kalimat terakhir Bagas sebelum dia meninggalkan Sarah sendirian di rumah sakit terus-terusan menggema di dalam kepala wanita itu. Sarah mengusap air mata dari wajahnya, tidak ingin melihat ekspresi kejam Bagas setiap kali pandangannya membuyar. Kenapa tidak ada yang percaya padanya? Bagaimana mungkin mereka dengan mudah menepiskan kenyataan bahwa dirinyalah yang paling kehilangan dalam situasi ini?! Manik Sarah terarah pada perutnya, membayangkan keberadaan yang sebelumnya ada di sana. “Kalau saja Ibu lebih kuat, mungkin kita bisa bertemu ....” Kesedihan, terluka, dan kekecewaan bercampur menjadi satu emosi, yang meledak dalam sebuah tangisan. Tidak kencang, tapi siapa pun yang mendengarnya akan ikut merasakan kesedihan yang teramat sangat. "Kamu bisa menjadi kuat, Sara
"A-apa maksud ibu?" Rayya yang masih sesenggukan menatap sang ibu mertua dengan gugup. Tidak mungkin wanita tua itu menembus sandiwaranya, bukan? Dia sudah mengorbankan dirinya sendiri sampai mengalami luka-luka seperti ini! Di sisi lain, Retno mengalihkan pandangan dan menghampiri pintu. Alih-alih menyusul putranya, dia justru berjalan dan menutup rapat pintu tersebut, seolah-olah tidak ingin siapa pun mendengar apa yang akan dikatakannya kepada sang menantu. "Mungkin sebaiknya kamu mengajar kelas akting, Rayya." Retno berjalan ke sudut ruangan, dia menuangkan air putih ke dalam gelas. "Akting kamu benar-benar hebat, sampai putra saya begitu percaya." Dia tersenyum ke arah sang menantu. Rayya terlihat gelagapan, tapi berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Aku benar-benar nggak mengerti maksud ibu." Retno berjalan menuju ranjang yang dihuni oleh Rayya, lalu duduk di atasnya. "Bagas sudah tidak ada di sini. Hanya ada kita berdua. Jangan berpura-pura lagi." Rayya tetap menggele
“Sarah! Ya Allah!” Sang ibu mertua panik saat mendapati dua menantu perempuannya terkapar di lantai, dan tak sadarkan diri. Darah segar menggenangi lantai, membuat kepanikannya semakin menjadi. “Cepat panggilkan ambulans! Cepat sana! Ya Allah, cucuku!” Ambulans tiba, kedua istri Bagas yang pingsan berhasil dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Bagas datang terburu-buru dari kantornya. Kepanikan jelas menghiasi wajahnya. “Kok bisa begini, bu? Apa yang terjadi?” Perempuan paruh baya itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Dia terlihat khawatir sekali. “Ibu nggak tau. Saat ibu tiba, mereka berdua sudah tergeletak di lantai. Ya Allah... Cucuku...” Bagas berjalan mondar-mandir, terlihat sangat gelisah. Tampaknya dia tidak sanggup membayangkan jika salah satu dari istrinya terluka. “Tapi ibu yakin, bukan Sarah yang salah. Ini semua pasti salahnya Rayya.” “Bu, kita nggak bisa berasumsi seperti itu. Kita kan nggak tau apa yang terjadi sebenarnya.” Ekspresi perempuan paruh baya
“Selamat ya, bu, pak… Hasil pemeriksaannya positif, hari ini genap 4 minggu. Sebentar lagi kalian akan menjadi orangtua…” Sarah menelan saliva-nya perlahan, tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering. Sang ibu mertua tidak berhenti berucap syukur, dan juga terus-menerus memeluknya dengan sayang. Sementara Bagas tidak berkomentar apapun. “Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk menantu dan cucu saya ya, dok.” Sang dokter hanya tersenyum tipis sebelum menjawabnya dengan tegas, “Tentu saja, bu.” Sarah takjub dengan betapa mudahnya seorang manusia berubah perilaku. Meskipun ibu mertuanya tidak pernah berbuat kasar padanya, tapi dia juga bukanlah seseorang yang melimpahkan kasih sayang pada Sarah. Oleh karena itu, saat ibu mertuanya tiba-tiba menghujaninya dengan perhatian berlebih, itu membuatnya kewalahan. “Sarah, ibu sudah buatkan makanan. Kata dokter, ini bagus untuk ibu hamil.” “Sarah, kamu mau susu yang ini, atau yang ini?” “Sarah, kamu nggak boleh kecapean. Semua
“Minggu depan, kalian semua saya undang ke acara pernikahan putra saya, Bagas Kuncoro, dengan perempuan cantik yang berada di sebelah saya ini, Sarah Daniawati.” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lembut, sekaligus tegas. Pengumuman itu sekejap mengejutkan semua orang yang hadir dalam pesta. Namun, semua itu berlangsung sesaat karena riuh renyah suara tepuk tanganlah yang kemudian bergemuruh dalam ruangan. 'Apa-apaan ini?' Di tempatnya, Sarah, wanita yang disebutkan dalam pengumuman itu, tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut dari wajahnya. 'Menikah?' Keringat dingin mulai membasahi gaun malam yang ia kenakan. 'Dengan Bagas?!' Kalau saja ia tidak ingat bahwa ada puluhan pasang mata yang sedang menatapnya dengan intens, mungkin dia sudah limbung saat itu juga. Selagi lengan perempuan paruh baya itu melingkar di pinggangnya, seakan merantai Sarah agar tidak kabur, berbagai komentar pun mulai dilontarkan para tamu yang hadir. "Selamat, Bu Retno! Kok bisa mendadak sih pengumu...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen