Pisah Terindah

Pisah Terindah

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-30
Oleh:  Hanina ZhafiraOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
9.2
12 Peringkat. 12 Ulasan-ulasan
59Bab
44.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Berpisah, itulah kata yang terlintas di kepala Dara ketika tanpa angin tanpa hujan, Danar --suaminya-- membuat pengakuan mengejutkan. Bahwa dia telah menikah secara siri dengan seorang wanita bernama Lalisa dan sekarang tengah menunggu kelahiran buah cinta mereka. Danar meminta kepada Dara untuk memberikan persetujuannya karena Danar akan meresmikan pernikahan keduanya itu sebelum anak mereka lahir. Hancur, itulah yang dirasakan Dara. Rumah tangga yang hampir tujuh tahun berjalan dengan baik-baik saja ternyata berselimutkan dusta. Dunianya seketika runtuh. Perceraian musti terjadi. Dara tidak bisa memaafkan sebuah pengkhianatan. Tak peduli apa pun yang melatar belakanginya. Tekadnya sudah bulat, tidak bisa ditawar-tawar lagi meskipun Danar bersekukuh tidak akan pernah ada perceraian di antara mereka. Danar menjadikan Shahna, putri semata wayang mereka sebagai tameng. Setelah bercerita dengan salah seorang teman dekatnya, akhirnya Dara terpengaruh. Dia tidak akan mengakhiri rumah tangganya. Dia tidak akan memberikan apa yang diinginkan oleh wanita yang datang dari negri antah berantah itu secara cuma-cuma. Takkan dibiarkannya kemenangan dengan mudah akan didapatkan oleh wanita yang telah mengusik kebahagiaannya itu. Wanita itu juga harus tahu seperti apa rasanya menunggu dalam rindu. Seperti apa rasanya kesepian dan tak dihiraukan. Wanita itu harus merasakan dulu panas dinginnya menjadi wanita perusak rumah tangga orang. Dara memutuskan akan bermain-main sejenak meski harus memendam rasa sakit. Paling tidak sampai datang masanya di mana dia akan memberikan hadiah terbaik untuk Danar, suaminya. Sebuah perpisahan terindah!

Lihat lebih banyak

Bab 1

Part 1

Pisah Terindah

#1

Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku.

"Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat.

"Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja.

Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah.

"Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku.

"Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja.

"Okey, see you."

Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi.

Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yang bahagia.

Hari ini Mas Danar pulang. Sudah tiga hari dia keluar kota. Terasa sangat lama bagiku. Mungkin baginya juga. Meskipun bukan kali pertama dia melakukan tugas keluar kota, tetap saja merasa canggung bila dia tak ada. Rindu terasa begitu menggebu-gebu. Tak sabar rasanya ingin segera bermanja di pelukannya.

Tak berapa lama kemudian terdengar klakson mobil dari depan rumah. Lalu suara pagar terbuka. Sudah sangat pasti kalau itu adalah Mas Danar. Aku segera memanjangkan langkah menuju pintu depan. Seperti biasa, aku akan menyambutnya dengan sambutan terbaik.

"Welcome home!"

Aku berseru dari ambang pintu. Dengan wajah semringah dan senyum termanis. Wajahku pun sudah kupoles dengan riasan yang disesuaikan dengan baju yang kupakai. Setelah melalui beberapa percobaan, akhirnya pilihanku jatuh pada dress selutut berwarna baby pink. Mas Danar sangat senang melihatku memakai warna ini. Aku terlihat lebih menggemaskan, katanya.

Aku rasa penampilanku tidak terlalu kalah fresh dengan ABG belasan tahun. Tubuhku tidak melar walaupun sudah hamil dan melahirkan seorang putri yang sebentar lagi berusia empat tahun.

Meskipun tinggiku tidak terlalu semampai, tetapi posturku ideal. Tubuhku masih ramping dan sesekali aku sempatkan juga melakukan perawatan tubuh dan wajah. Walaupun tidak glowing-glowing amat, yang penting tidak kusam.

Aku berjalan gemulai menyongsong Mas Danar yang baru saja menginjak lantai teras. Aku mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya. Mas Danar melirik dengan senyum tipis. Dia terkesan pasif ketika aku mengambil tangannya dan kubawa ke puncak hidung.

"I miss you so much," ungkapku penuh kejujuran lalu mendaratkan kecupan ke pipinya.

Mas Danar tidak merespons sama sekali. Biasanya dia juga akan balas mengecup kening atau pipiku. Namun entah kenapa kali ini tidak dilakukannya. Dia meletakkan ransel yang dijinjing dengan tangan kirinya ke meja di teras lalu melepas sepatunya satu per satu. Setelah itu dia kembali meraih ransel hitamnya itu dan melangkah masuk.

Aku segera bergelayut di lengannya dan kami beriringan masuk.

Jika melihat ekspresi wajahnya, sepertinya Mas Danar sedang tidak baik-baik saja. Sepertinya ada masalah dengan pekerjaannya.

Dia memang akan lebih sedikit pendiam kalau sedang ada beban pikiran. Begitulah yang dapat kupahami selama kami tinggal seatap.

Seingatku bulan lalu dia pernah berkeluh-kesah tentang sebuah proyek yang ditanganinya. Proyek itu terindikasi merugi. Penyebabnya adalah karena ketidaktelitian Mas Danar dalam mengecek selisih harga suatu produk. Kalau benar-benar terjadi kerugian, kemungkinan Mas Danar harus bertanggung jawab menutupi kerugian tersebut.

Pikiranku yang tengah terfokus pada curhatan Mas Danar bulan lalu disentakkan kembali oleh pertanyaan Mas Danar.

"Shahna mana? Lagi tidur?"

"Dia lagi di rumah Windi. Ntar agak sorean aja jemputnya."

Mas Danar hanya mengangguk mendengar penjelasanku. Lagi, tidak seperti biasanya. Tidak ada respons apa-apa lagi dari Mas Danar.

Shahna adalah nama putri tunggal kami. Tadi pagi Windi --sahabatku-- mampir. Ketika dia pulang Shahna ikut dengannya. Dan itu sudah sering terjadi. Windi juga sangat menyayangi Shahna.

Mas Danar melepas kancing lengan kemejanya lalu menggulungnya asal. Dia duduk di sofa ruang tengah sambil meletakkan ponsel dan kunci di atas meja.

"Dara, aku mau bicara," ucap Mas Danar dengan suara tanpa tenaga.

"Nanti aja. Sekarang Mas mandi. Setelah itu kita bicara sambil ngeteh. Tadi aku bikin bolu karamel, loh. Ini percobaan pertamaku dan hasilnya wow banget. Aku jamin kamu pasti suka, Mas."

"Tapi Ra, aku ingin bicara ...."

"No ... no ... nehi ...! Tidak sekarang, Sayang. Kita bicara nanti di taman. Pasti akan kudengarkan semuanya tanpa melewatkan satu huruf pun. Swear."

Aku menyimpulkan sebuah senyum lalu menarik Mas Danar agar bangun dari duduknya. Setelah dia berdiri aku mendorongnya ke kamar. Handuk, pakaian dalam, serta baju ganti telah kusiapkan di atas kasur. Setelah itu, aku segera ke dapur.

***

Aku membawa sebuah nampan yang di atasnya tersusun sebuah teko berisi teh, dua buah cangkir, dan beberapa potong bolu karamel hasil olahan tanganku sendiri.

"It's time!"

Aku meletakkan nampan di atas meja. Mas Danar sudah terlebih dahulu ada di sana. Dia nampak sangat serius menekuni layar ponselnya.

"Kok nggak jadi mandi, Mas?"

Mas Danar menggeleng pelan. Sepertinya Dia hanya mencuci muka dan itu cukup berhasil membuat wajahnya sedikit lebih segar.

"Dara, duduklah dulu. Aku ingin bicara.”

Aku menurut. Segera kuambil tempat di sampingnya. Pada kursi taman yang ada di teras samping. Teh yang baru saja kutuangkan ke cangkir mengepulkan asap yang kemudian membaur dengan udara yang lembap. Hujan memang turun beberapa jam lalu dan hawa dingin masih terasa sampai sekarang.

“Ceritalah, Mas. Akan kudengar apapun keluh kesahmu. Berbagilah denganku,” ujarku dengan tatapan meyakinkan dan sesimpul senyum tipis.

Mas Danar berdiri, lalu menarik kursinya lebih mendekat padaku. Sekarang jarak kami begitu tipis.

“Dara ….” Mas Danar menarik  napas dalam. Untuk beberapa saat dia menggantung ucapannya.

Tanpa diberitahu pun, aku sudah dapat memastikan bahwa beban yang sangat berat kini tengah bergelayut di hati Mas Danar. Hingga begitu sulit untuknya mencari kata yang tepat untuk mulai mengurai cerita.

Aku mengembuskan napas pelan lalu sedikit mencondongkan badan ke arah lelaki tercintaku itu.

“Mas, berbagilah denganku. Jangan kaupikul sendiri. Susah senang kita lalui bersama. Begitu, kan janji kita?" Aku mendaratkan telapak tangan ke punggung tangan Mas Danar yang bertengger di atas pahanya.

Mas Danar menarik tangannya dan dibawanya mengusap pelipis. Sorot mataku mengikuti pergerakan tangannya dan berlabuh pada wajahnya yang kembali tampak kusut.

Mas Danar juga mengarahkan tatapan padaku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Dia tidak pernah menatapku seperti ini sebelum-sebelumnya. Tatapannya selalu hangat dan penuh cinta yang menggebu-gebu. Jika pun suasana hatinya sedang tidak baik, tatapannya akan terlihat lebih sayu dan meminta untuk disemangati. Namun, kali ini tidak begitu. Sangat berbeda dan terasa asing.

“Dara ... aku butuh persetujuan kamu.” 

Kalimat Mas Danar masih menggantung. Belum bisa kutarik kesimpulan ke mana arah yang ditujunya. Kendatipun begitu, simpul-simpul saraf di otak besarku telah berkelana lebih cepat dari yang kuperkirakan untuk mengumpulkan beberapa dugaan.

Menjual mobil atau rumah. Atau mungkin juga dua-duanya. Kemungkinan-kemungkinan itulah yang pada akhirnya bersarang di kepalaku. Membuat rasa penasaran semakin bertalu-talu.

Jujur, aku ingin segera mendengar secara lugas dari Mas Danar. Namun, aku pun tak ingin mendesak. Aku memilih bersabar, menunggu cerita itu mengalir dengan lancar dari mulut Mas Danar.

Lelaki itu membuang tatapan sejenak lalu kembali mata kami saling beradu. Wajah tegang Mas Danar mau tidak mau juga mengalirkan rasa yang sama padaku. Jantungku tiba-tiba saja berdegup lebih cepat. Kecemasan yang entah tentang apa seketika menggerogoti. Meskipun begitu, sebisa mungkin aku tetap tenang. Bersabar menunggu detik-detik yang terasa sangat menegangkan.

"Aku butuh persetujuan kamu untuk menikah resmi."

Dalam satu tarikan napas kalimat itu terucap tanpa tersendat dari mulut Mas Danar. Lalu dia memundurkan badannya, merapatkan punggung pada sandaran kursi dengan kepala tetap tegak. Satu tangannya mengusap wajah yang sedari tadi dihiasi ketegangan.

Untuk beberapa detik aku terpaku. Seperti ada kekuatan maha dahsyat yang memindahkan aku dalam sekejap mata ke dunia tanpa udara. Aku tercekat, aliran oksigen untuk pernapasan bagai terhenti. Kesadaranku seakan terbang tanpa bisa kutahan. Aku tak tahu, sudah berapa lama aku mematung.

"Dara."

Sentuhan tangan Mas Danar di bahuku telah menarik kembali kesadaranku dengan paksa. Seolah baru terbangun dari tidur yang panjang, aku mengerjap beberapa kali dengan tarikan napas lebih cepat. Lalu berusaha secepatnya untuk menguasai diri kembali.

“Bercanda kamu ga lucu, Mas. Jangan ngeprank, ah. Aku nggak ultah hari ini dan lagi nggak ada momen spesial apa-apa hari ini.” Aku mengipaskan di depan wajah dan mencoba mengeluarkan tawa kecil.

Aku yakin ini hanyalah akal-akalan Mas Danar ingin mengerjai aku. Dan aku pastikan dia gagal total. Meskipun begitu, aku tidak suka sama sekali dengan candaan seperti ini. Meskipun suka bercanda tetapi menurutku hal-hal yang sakral tidak patut sama sekali dijadikan bahan banyolan.

“Dara, aku tidak bercanda. Ini serius! Tak lama lagi dia akan melahirkan anak kami. Aku butuh persetujuan kamu untuk menikahinya secara resmi agar anak yang dilahirkan itu punya dokumen resmi."

Mas Danar mengalihkan pandangan dariku setelah menyelesaikan kalimat yang bagaikan petir menyambar-nyambar di kepalaku.

Aku menatap lekat-lekat pada Mas Danar. Wajahnya masih tegang dengan sorot mata yang dihiasi kekalutan dan kecemasan. Aku segera tahu bahwa dia tidak main-main. Mas Danar tidak sedang bercanda sama sekali.

Kepalaku berdengung seperti baru saja ditimpa benda yang keras dan berat. Atau jangan-jangan langit yang menaungi bumi ini telah runtuh dan semuanya berjatuhan padaku?

Tak hanya sebatas itu, di dadaku ini serasa tengah ditancapkan ratusan belati lalu disirami dengan air garam dan asam. Pedih, perih, hancur, dan lebur.

“Melahirkan? Menikahi secara resmi?"

Aku bergumam pelan dengan pahatan kerutan di kening. Semua yang ada di sekitarku seakan berputar-putar menambah rasa pening di kepalaku.

Mas Danar menatapku sebentar kemudian menunduk.

“Kamu berzina, Mas? Kamu menghamili perempuan lain?” Aku mencecarnya dengan napas memburu.

“Tidak ... Bukan ... bukan seperti itu! Kami telah menikah sebelumnya secara agama. Dan sekarang tinggal meresmikannya secara negara. Dan, kamu pasti tahu kalau syaratnya adalah persetujuan dari kamu sebagai istri pertama."

"Apa? Meresmikan?"

Bibirku rasanya sangat kelu walau sekadar untuk mengulang kata yang telah dilontarkan Mas Danar. Mas Danar mengangguk pelan.

"Kamu ... kamu telah menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan aku, Mas? Kamu ... kamu sudah mengkhianati aku dan pernikahan kita selama ini? "

Tatapan tajam yang menuntut penjelasan yang kulayangkan masih dijawab dengan helaan napas berat dari Mas Danar. Dia sepertinya tengah menimbang-nimbang apa yang tepat untuk dia ucapkan.

"Mas?! Jawab! Sejak kapan? Sudah berapa lama?"

Tanpa bisa kukontrol lagi, suaraku mulai meninggi. Napasku pun mulai memburu. Aku memejamkan mata rapat-rapat agar air mata yang perlahan menggenang tidak sampai luruh.

****

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Tantichristianty Tanti
lama updatenya
2024-10-07 11:04:03
0
user avatar
yenyen
ayoo dong mba update nya
2024-08-05 22:02:08
1
user avatar
Lia Novita Firdaus
kapan ini updatenya?
2024-08-01 18:24:44
0
user avatar
pri pudjiastuty
kelamaan updatenya, sampe lupa cerita di awalnya
2024-01-01 14:38:03
0
user avatar
Yetti S
Suka sama ceritanya, tapi sayang sekali update nya lama banget.
2023-11-04 22:47:33
2
user avatar
Aryabima
ceritanya bagus tapi saya g ngerti cara prabayrnya kk
2023-10-12 23:55:46
1
default avatar
Putri Miriaunti
suka sama cerita ini.. cerita ini yang ditunggu tunggu dari kemaren. tapi sayang kelamaan up nya. semangat buat author
2023-10-12 02:04:26
1
user avatar
Anik Pudjiharto
kak, pisah terindah, tayang dimana lg selain di goodnovel?
2023-09-09 12:09:39
4
user avatar
Rinie Ritonga
suka dengan cerita nya,tp jgn lama2 dong up tiap bab nya dong thor
2023-07-07 13:25:01
2
default avatar
widha.87
sukak thor,, ceritanya bikin gemess... request up tiap hari donk... smangaat author...
2023-06-12 18:26:31
2
user avatar
Hanina Zhafira
Selamat membaca cerita terbaru Hanina. Semoga suka.
2023-05-23 15:38:37
0
user avatar
Ramdhani Yusuf
Penulisnya Tengelam makanya tdk Tuntas cuma bikin Pembacanya Marah dan Frustrasi, Endingnya NANGGUNG... pdhal Ceritanya lumayan menarik !!!.
2025-01-10 09:11:02
0
59 Bab
Part 1
Pisah Terindah #1 Dengan senyum semringah aku menjawab telepon dari lelaki yang teramat kucintai. Siapa lagi kalau bukan pemilik wajah rupawan yang telah berhasil memenjarakan hatiku. Dialah Mas Danar, suamiku. "Kamu ada di rumah?" Pertanyaan itu diajukan Mas Danar seketika setelah telepon darinya kuangkat. "Bukan! Aku lagi berada di istana rindu," selorohku dengan suara manja. Terdengar sedikit tawa dari Mas Danar. Aku pun menimpali dengan tawa renyah. "Aku udah mau nyampai. Aku kira kamu di rumah Windi, biar sekalian disamperin." Suara Mas Danar terdengar datar. Mungkin karena terlalu lelah, pikirku. "Langsung pulang, kan? Jangan lama-lama, ya, aku udah kangen berat," lanjutku masih dengan nada manja. "Okey, see you." Mas Danar memutus sambungan telepon sebelum aku sempat bersuara lagi. Di depan cermin, aku mematut diri. Mencermati kembali penampilanku untuk menyambut suami tercinta. Lelaki yang sudah hampir tujuh tahun hidup bersamaku. Mengarungi mahligai rumah tangga yan
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-12
Baca selengkapnya
part 2
Pisah Terindah #2 "Dara ...." Setelah lama hening, akhirnya Mas Danar bersuara juga. Namun, aku sudah tidak berminat untuk mendengarkan apa-apa lagi. Rasanya sudah terlalu sakit. Sakit yang sudah tak sanggup untuk kuungkapkan. Toh, sedetail dan sejujur apa pun pengakuan Mas Danar tidak akan merubah apa-apa lagi. Tidak akan memutihkan kembali kertas yang sudah penuh coretan. Ibarat kaca, kalau sudah retak tidak akan bisa utuh dan mulus lagi seperti semula, meskipun sudah direkatkan kembali. Sebagus apa pun bahan perekat yang digunakan. Mustahil!"Dara ... aku minta maaf, tolong ...." Aku bangkit tanpa menghiraukan Mas Danar. Kutinggalkan dia begitu saja. Aku berjalan menuju kamar kami. "Dara!" Mas Danar ikut berdiri dan mencoba meraih tanganku. Aku menepis kasar tangannya yang sempat menyentuh lenganku. Aku mempercepat langkah karena Mas Danar masih mengekori. Begitu memasuki kamar, langsung kututup pintu dengan cukup keras lalu menguncinya. "Dara!" Mas Danar mengetuk pintu da
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-13
Baca selengkapnya
Part 3
Pisah Terindah #3"Mau ke mana?" Aku hanya melirik sekilas lalu kembali melangkah. "Tunggu, biar aku antar!" seru Mas Danar sembari bergegas menyusulku. Sepertinya dia sudah tahu aku mau ke mana. "Aku bisa pergi sendiri." "Nggak, aku antar." "Mas tolong jangan maksa. Okey, saat ini kita memang masih terikat status. Aku masih istri kamu. Aku keluar rumah harus seizin kamu, jadi tolong jangan buat langkahku ini menjadi dosa. Aku mau pergi sendiri. Tolong beri izin." "Kamu masih dan akan tetap jadi istri aku sampai kapan pun. Kita tidak akan berpisah! Kamu tidak memikirkan bagaimana Shahna kalau orang tuanya berpisah!" Aku menyemburkan tawa mendengar kalimat terakhir Mas Danar. "Shahna? Bagaimana dengan Shahna kamu bilang? Mas, setahu aku kamu punya IQ yang di atas rata-rata dan yang aku tahu juga kamu selalu punya pertimbangan yang matang sebelum melakukan apa saja." "Lalu, kenapa sekarang kamu memikirkan Shahna? Kemarin-kemarin waktu kamu terlena di pelukan wanita lain, Shahn
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-14
Baca selengkapnya
Part 4
Pisah Terindah #4 Aku mengangguk lemah. Windi menatapku tanpa kedip. Dia beringsut duduk lebih dekat lagi denganku. "Dara, jangan bercanda! Ini sama sekali nggak lucu." Aku mendesah pelan. "Aku nggak bercanda, Win. Aku serius. Sangat serius!" "Wait ... Apa ...apa yang terjadi? Kok cerai? Seriously, aku sangat shock dengar ini." Keterkejutan sangat jelas tergambar di wajah Windi. Bagaimana tidak, selama ini Windi sangat tahu bagaimana romantisme aku dan Mas Danar menjalani hubungan rumah tangga. Nyaris tanpa cela. Dengan suara bergetar menahan tangis, aku pun menceritakan pada Windi tentang fakta yang baru saja kutahu. Memang tak banyak tetapi itu pun sudah lebih dari cukup untuk membuatku sakit dan remuk. Windi adalah satu-satunya sahabat yang kupunya. Bahkan sudah seperti keluarga bagiku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Danar dan Shahna. Kedua orang tuaku telah berpisah semenjak aku berusia sepuluh tahun. Aku diasuh oleh ibu dan beliau meninggal ketika aku b
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-22
Baca selengkapnya
Part 5
Pisah Terindah #5 Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi. Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya. "Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-15
Baca selengkapnya
Part 6
Pisah Terindah #6 Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak. Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur. Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam. Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai. Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depank
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-23
Baca selengkapnya
Part 7
Pisah Terindah #7 Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar. Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut. "Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius. "Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug. "Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam. "Kamu yakin?" Mas Danar mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita." Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?" "Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris." "Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?" Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?" Mas Danar mengembuskan napas berat. "Okey, jika kamu maunya begitu."*** "Kamu yakin ini, Ra?" Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu. "Sesuai saran kamu, k
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-26
Baca selengkapnya
Part 8
Pisah Terindah #8Aku mengerjap, mengakhiri detik-detik yang kami lewati hanya dengan saling tatap. "Dara." Windi menyenggol tanganku. Aku berdeham kecil sehingga pandangan Mas Adit dan Mbak Tania tertuju padaku. "Oke, Dara, silakan!" Mas Adit menggeser kertas-kertas akan ditandatangani ke arahku disertai sebuah pulpen diletakkan di atasnya. Tanganku gemetar ketika hendak meraih benda bertinta itu. Sekuat tenaga aku menenangkan gejolak yang semakin menjadi-jadi di dalam dada. "Lakukan apa yang diyakini hati kamu, Dara," bisik Windi di telingaku. Satu tangannya mengelus lembut bahuku. Sejenak aku memejam. Menghirup napas dalam-dalam sembari menyelami sebesar apa kekuatan yang tersisa di hatiku. Aku sangat menyadari, begitu tinta ini menorehkan tanda tanganku di atas kertas, takkan berselang lama setelah itu perubahan yang besar akan terjadi di dalam hidupku. Perubahan ke arah yang suram, bukan meningkat lebih baik. Bukannya terlalu pesimis tetapi hanya mencoba realistis. Analo
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-04-08
Baca selengkapnya
Part 9
Pisah Terindah #9 Setelah Shahna puas bermain, Mas Danar mengajak makan ke restoran yang masih ada di dalam mall. Tergambar seperti keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Tawa tak henti mengembang di wajah putri kecilku. Terlihat dia sangat menikmati momen-momen yang belakangan ini memang jarang terjadi. Meskipun di hatiku terselip rasa pilu, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menampakkan di depan Shahna. Sebisa mungkin aku ikut larut dalam kebahagiaan Shahna, walaupun hanya ada interaksi antara aku dan dia. Aku hanya ingin Shahna merasakan kebahagiaan yang utuh. Sesampainya di mobil Shahna terlihat sangat kecapekan. Beberapa kali dia menguap. "Udah puas mainnya, Sayang? Sekarang kita pulang, ya," ujar Mas Danar pada Shahna yang berada dalam pelukanku. Shahna mengangguk lemah. Matanya sudah mulai meredup. Benar saja, baru saja mobil melaju, gadis kecil itu sudah merapatkan kelopak matanya. Kembali, perjalanan menuju rumah kami lalui dalam hening. *** "Dara, bisa bica
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-04
Baca selengkapnya
Part 10
Pisah Terindah #10 Memang, jika mengikuti siklusnya yang telah berlalu sudah datang waktunya Mas Danar untuk melakukan tugas ke kantor cabang yang ada di kota lain. Namun kali ini aku tidak yakin jika kepergiannya itu merupakan bagian dari pekerjaan. "Mas bisa 'kan minta jemput dari kantor atau pesan angkutan online?" sambungku dengan sedikit melirik pada Mas Danar yang sudah hampir sampai di dekatku. Sesaat setelah berada di sampingku, tangan Mas Danar meraih pegangan laci meja. Dari dalamnya, dia mengeluarkan dompet berbahan kulit berwarna cokelat tua. Dari dompet itu dia mengeluarkan sesuatu. Walau hanya mengamati lewat sudut mata, kuyakin kalau yang dikeluarkan Mas Danar adalah benda yang kumaksud. Perlahan Mas Danar meletakkannya di atas meja rias. Helaan napas berat mengiringi perpindahan posisinya. Sekarang Mas Danar telah duduk di sampingku. Tatapan kami sama-sama tertuju pada dinding yang berdiri kokoh dengan jarak tak lebih dari satu meter di depan kami. "Dara, maaf ..
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-11
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status