Pisah Terindah
#5Tanggapan Windi terhadap tekadku masih menyisakan kesal yang mendalam. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tetap bertahan. Memangnya dia pikir semudah itu. Sedangkan dikhianati pacar saja rasanya sakit sekali apalagi dalam hubungan pernikahan. Dikhianati oleh suami, satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidup. Orang yang kupercaya akan menjaga serta melindungiku. Nyatanya dialah yang paling menyakiti. Kepalanya rasanya mau meledak. Aku sangat berharap kalau ini hanyalah mimpi. Semoga hanya mimpi.Sepanjang perjalanan pulang, kulalui dengan banyak diam. Sesekali air mata dengan lancangnya lolos mengaliri pipi. Dengan sigap aku menghapusnya. Aku tidak mau menangis di depan Shahna. Untungnya Shahna juga sedang tidak banyak tanya seperti biasa-biasanya."Papa udah pulang, Ma?" tanya Shahna begitu kami turun dari taksi online. Aku memang tidak memberitahu Shahna kalau papanya sudah kembali dari luar kota. Luar kota? Entah luar kota yang mana. Bisa saja itu hanya alibi semata. Sedangkan kenyataannya dia berada di rumah wanita itu. Terhanyut dalam pelukan wanita yang telah membuat dia tega menyakiti aku.Lagi-lagi aku membuang napas berat. Dalam hati aku kembali merutuki ketidakpekaan serta keacuhanku selama ini. Aku yang tak pernah ingin mencari tahu apa-apa tentang aktivitas Mas Danar di luar rumah. Aku benar-benar percaya dengan apa yang dikatakan Mas Danar. Terlalu poloskah aku? Naif? Atau memang aku ini bego, seperti yang dikatakan Windi beberapa saat yang lalu."Iya," jawabku pelan.Shahna langsung berlari meninggalkan aku dan masuk ke rumah."Papa ...!"Terdengar lengkingan suara Shahna. Begitu aku sampai di dalam rumah, Shahna sudah berada dipelukan Mas Danar."Dari rumah Tante Windi?" tanya Mas Danar lalu mencium kedua pipi Shahna secara bergantian.Shahna mengangguk dan tertawa geli karena ulah Mas Danar."Seru nggak main di rumah Tante Windi?""Seru, ada Kak Aliya juga.""Nanti cerita, ya, tadi main apa aja sama Kak Aliya," pinta Mas Danar dengan memasang ekspresi antusias.Memang begitulah yang biasa kami lakukan pada Shahna. Tujuan kami adalah membiasakan Shahna terbuka pada kami. Dalam hal apa pun. Kami sepakat untuk juga menempatkan diri sebagai sahabat bagi Shahna.Aku berdiri tidak jauh dari mereka. Aku sengaja menunggu Shahna selesai melepas rindu dengan papanya. Setelah itu langsung mau mengajaknya mandi."Kita ke meja makan, yuk! Papa bikin sesuatu yang spesial. Shahna pasti suka."Terlihat Mas Danar mencubit gemas pipi gembul putri semata wayang kami."Biar Shahna tebak. Pasti Papa bikin spaghetti!" ungkap Shahna dengan wajah semringah."Yah, langsung ketebak. Pintar banget, sih, anak Papa."Shahna mengembangkan senyum lebar mendengar pujian dari papanya."Kita langsung makan sekatang, ya!" lanjut Mas Danar.Shahna mengangguk senang."Ayo, Mama!" ajak Shahna padaku seiring tatapan Mas Danar yang juga tertuju padaku.Aku masih mematung. Pikiranku bercabang antara mau langsung ke kamar atau mengikuti ajakan Shahna. Jujur, aku sangat malas untuk berdekatan dengan Mas Danar. Tiba-tiba saja rindu yang beberapa saat yang lalu masih menggebu-gebu sirna begitu saja. Bunga-bunga cinta yang beberapa waktu yang lalu masih bermekaran di hatiku, sekarang seketika layu. Yang ada hanya rasa muak dan perih yang menggerogoti hati."Ayo, Mama." Shahna mengulangi ajakannya karena aku masih tidak bereaksi apa-apa."Iya. Ayo," jawabku pelanDemi Shahna aku menyingkirkan egoku. Aku melangkah pelan bermaksud untuk berjalan di belakang mereka. Namun, Mas Danar juga menggantung langkah. Sepertinya dia sengaja agar kami berjalan beriringan.Sesampai di dapur aku sedikit dibuat takjub. Di meja makan sudah tertata perlengkapan makan dengan hidangan utamanya adalah spaghetti kesukaan Shahna.Shahna sangat antusias. Tak butuh waktu lama, spagetti yang berpindah ke piring di depannya langsung dimakan dengan lahap. Mas Danar juga mengisi piring di depanku dengan menu yang sama."Ayo, Sayang, dimakan," ujar Mas Danar padaku.Aku hanya memasang ekspresi datar. Selama menemani Shahna makan aku hanya berdiam diri. Seperti biasa, Shahna tak hentinya berciloteh. Hanya kalau gadis kecil itu bertanya aku ikut menimpali. Selebihnya aku diam dan tidak terlalu mengikuti pembicaraan ayah dan anak itu.Sesekali kupergoki Mas Danar mencuri-curi pandang padaku. Aku membalas tatapannya dingin."Kok nggak dimakan, Ma?" Pandangan heran Shahna tertuju padaku."Dimakan, kok," balasku sambil menyendok sedikit makanan khas negara Italia itu."Biasanya Mama lahap makannya.""Makannya buruan dihabiskan, Sayang. Habis itu kita mandi. Ntar keburu malam," ujarku mengalihkan pembicaraan dengan Shahna.Shahna mengangguk tanda mengerti."Mama ke kamar dulu, ya." Aku segera berdiri sebelum Shahna bertanya banyak lagi.***"Dara." Aku sedikit terperanjak karena Mas Danar sudah ada di belakangku. Sama sekali tidak kudengar derit suara pintu dibuka. Entah Mas Danar yang sangat pelan membukanya atau memang aku yang terlalu hanyut dalam lamunan."Dara ... Aku mau--""Aku mau memandikan Shahna." Segera aku bangkit dari duduk dan hendak melangkahkan kaki. Seketika itu juga tangan Mas Danar sudah menahan lenganku."Shahna sudah selesai kumandikan. Dia tengah menonton kartun di kamarnya. Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi." Mas Danar berucap pelan dan hati-hati.Tumben-tumbennya Mas Danar mengambil alih mengurus Shahna. Biasanya dia tidak seinisiatif itu.Aku menarik napas panjang. Setelah menatap Mas Danar dari kepala hingga ujung kaki, aku menarik pelan tanganku hingga tangan Mas Danar terlepas.Aku bergeser satu langkah ke samping. Lalu mengayunkan langkah ke pintu. Ternyata jarak yang kubuat kurang jauh. Bahuku dan bahu Mas Danar bersentuhan tipis."Dara! Bisa nggak, sih, kamu tidak menghindari masalah?" Nada bicara Mas Danar menyiratkan kekesalan. Meskipun begitu, aku tak memedulikannya.Selama pernikahan kami, sama sekali aku tidak pernah membantah ataupun mengabaikan Mas Danar. Aku selalu taat padanya, sebagaimana harusnya seorang istri yang wajib mematuhi suaminya. Namun, tidak untuk kali ini dan mungkin juga untuk selanjutnya.Aku berhanti sejenak setelah menoleh pada Mas Danar aku kembali melenggang. Samar kudengar decak keluar dari mulut Mas Danar. Dalam hati aku berkata, bodo amat!***Pisah Terindah #6 Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar. Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak. Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur. Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam. Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai. Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depank
Pisah Terindah #7 Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar. Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut. "Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius. "Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug. "Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam. "Kamu yakin?" Mas Danar mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita." Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?" "Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris." "Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?" Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?" Mas Danar mengembuskan napas berat. "Okey, jika kamu maunya begitu."*** "Kamu yakin ini, Ra?" Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu. "Sesuai saran kamu, k
Pisah Terindah #8Aku mengerjap, mengakhiri detik-detik yang kami lewati hanya dengan saling tatap. "Dara." Windi menyenggol tanganku. Aku berdeham kecil sehingga pandangan Mas Adit dan Mbak Tania tertuju padaku. "Oke, Dara, silakan!" Mas Adit menggeser kertas-kertas akan ditandatangani ke arahku disertai sebuah pulpen diletakkan di atasnya. Tanganku gemetar ketika hendak meraih benda bertinta itu. Sekuat tenaga aku menenangkan gejolak yang semakin menjadi-jadi di dalam dada. "Lakukan apa yang diyakini hati kamu, Dara," bisik Windi di telingaku. Satu tangannya mengelus lembut bahuku. Sejenak aku memejam. Menghirup napas dalam-dalam sembari menyelami sebesar apa kekuatan yang tersisa di hatiku. Aku sangat menyadari, begitu tinta ini menorehkan tanda tanganku di atas kertas, takkan berselang lama setelah itu perubahan yang besar akan terjadi di dalam hidupku. Perubahan ke arah yang suram, bukan meningkat lebih baik. Bukannya terlalu pesimis tetapi hanya mencoba realistis. Analo
Pisah Terindah #9 Setelah Shahna puas bermain, Mas Danar mengajak makan ke restoran yang masih ada di dalam mall. Tergambar seperti keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Tawa tak henti mengembang di wajah putri kecilku. Terlihat dia sangat menikmati momen-momen yang belakangan ini memang jarang terjadi. Meskipun di hatiku terselip rasa pilu, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menampakkan di depan Shahna. Sebisa mungkin aku ikut larut dalam kebahagiaan Shahna, walaupun hanya ada interaksi antara aku dan dia. Aku hanya ingin Shahna merasakan kebahagiaan yang utuh. Sesampainya di mobil Shahna terlihat sangat kecapekan. Beberapa kali dia menguap. "Udah puas mainnya, Sayang? Sekarang kita pulang, ya," ujar Mas Danar pada Shahna yang berada dalam pelukanku. Shahna mengangguk lemah. Matanya sudah mulai meredup. Benar saja, baru saja mobil melaju, gadis kecil itu sudah merapatkan kelopak matanya. Kembali, perjalanan menuju rumah kami lalui dalam hening. *** "Dara, bisa bica
Pisah Terindah #10 Memang, jika mengikuti siklusnya yang telah berlalu sudah datang waktunya Mas Danar untuk melakukan tugas ke kantor cabang yang ada di kota lain. Namun kali ini aku tidak yakin jika kepergiannya itu merupakan bagian dari pekerjaan. "Mas bisa 'kan minta jemput dari kantor atau pesan angkutan online?" sambungku dengan sedikit melirik pada Mas Danar yang sudah hampir sampai di dekatku. Sesaat setelah berada di sampingku, tangan Mas Danar meraih pegangan laci meja. Dari dalamnya, dia mengeluarkan dompet berbahan kulit berwarna cokelat tua. Dari dompet itu dia mengeluarkan sesuatu. Walau hanya mengamati lewat sudut mata, kuyakin kalau yang dikeluarkan Mas Danar adalah benda yang kumaksud. Perlahan Mas Danar meletakkannya di atas meja rias. Helaan napas berat mengiringi perpindahan posisinya. Sekarang Mas Danar telah duduk di sampingku. Tatapan kami sama-sama tertuju pada dinding yang berdiri kokoh dengan jarak tak lebih dari satu meter di depan kami. "Dara, maaf ..
Pisah Terindah #11"Terima kasih, Abi sayang. Semoga rezekinya melimpah ruah. Love you, suami terbaik, suami idaman yang sangat penuh perhatian. Bahagianya memiliki kamu. Semoga kita bahagia sampai tua dan bersama hingga ke jannah-Nya." Perutku mual membaca deretan kata-kata sok romantis, agamis dan lebay itu. Iri? Tidak! Tidak ada sama sekali rasa itu di hatiku. Dia bukan levelku. Apa yang harus kuirikan dari seorang wanita yang merangkai cerita bahagia di atas kehancuran sesamanya. Sungguh, sangat tak berperasaan. Manusia minus hati dan nir-empati. "Halah, suami terbaik, konon! Suami idaman, udah jelas-jelas suami rampasan." Aku mencibir membaca postingan yang lewat di beranda media sosialku. Beberapa foto perlengkapan bayi juga diunggahnya dengan caption rangkaian kalimat memuakkan itu. "Norak amat, emang udah kewajibannya kali, bukan karena baik. Kalau memang suami yang baik, nggak bakal dia mencari pelukan wanita lain," sungutku lalu meletakkan HP dengan kasar di atas meja.
Pisah Terindah #12"Tempat pengajiannya di mana? Biar aku antara, ya?" ujar Mas Danar penuh harap. Cepat aku menggeleng. "Nggak usah, Mas. Aku sama Shahna aja." "Aku jalan dulu. Mas bawa kunci rumah 'kan?" Aku mengulurkan tangan untuk berpamitan. Namun, tidak langsung disambut oleh Mas Danar. Malah dia lama tertegun. Jujur, aku agak dibuat salah tingkah dengan cara Mas Danar menatapku. Memang ini adalah penampilan yang tak biasa dariku. Memakai gamis agak longgar dan jilbab panjang. Menyesuaikan dengan acara yang akan kuhadiri. Biasanya, aku berpenampilan menutup aurat lebih sering bersifat situasional. Belum konsisten dan juga belumlah sempurna menurut ketentuan syar'i. Namun, belakangan semenjak sering berkumpul bersama orang-orang tua teman-teman Shahna di sekolah, aku mulai bertransformasi. Awalnya dengan niat sebatas menyesuaikan diri dengan mereka yang sebagian besar berpakaian Syar'i di kesehariannya. Namun, lama-lama mulai merasa nyaman. Ditambah lagi sudah beberapa kali
Pisah Terindah #13 "Ayo masuk," ujar Eyang setelah Mas Danar menyalaminya. Kami pun masuk, sementara Eyang keluar. Sepertinya ingin menyuruh masuk yang masih asyik ngobrol di luar. Kami pun berkeliling menyapa dan menyalami saudara-saudara yang sudah ada di dalam rumah. Sebagian tengah asyik bersenda gurau. Ada juga yang tengah heboh dengan ritual swafoto. "Makin cantik aja, nih, Dara," ujar Mbak Bella sembari pandangannya detail menelisik penampilanku. "Ini baju dari butik Najela, bukan, sih?" Jari Mbak Bella dengan cepat menari di atas layar ponselnya. Dalam hitungan detik, dia memperlihatkan layar ponsel padaku. Foto baju yang persis sama dengan yang kupakai terpampang di sana. "Ini, aku ditawarin tiga hari yang lalu. Aku suka sebenarnya, cuma udah terlalu banyak baju warna ini," lanjutnya lagi. Mbak Bella merupakan cucu pertama Eyang dari anak kandungnya. Dia memang terkenal sangat modis dan pecinta fashion. Mendapat pertanyaan seperti itu dari Mbak Bella, mau tidak mau ak
Pisah Terindah #59 "Mama hebat, selamat mama!" Shahna berseru riang sembari menyerahkan buket bunga mawar putih padaku. "Terima kasih, Sayang mama. Anak hebat, anak cantik yang paling mama sayang se-jagad raya." Aku mendapatkan pelukan dan beberapa ciuman dari Shahna. Dia pun tampil sangat menawan dalam balutan gaun panjang didominasi warna nude. Senada dengan kebaya yang kupakai hari ini. Kebahagiaan pun jelas terpancar di wajah imutnya. Momen wisuda ini memang sudah sangat ditunggu Shahna. Karena selepas ini aku berjanji akan menebus waktu kebersamaan kami yang belakangan ini semangat jarang. Pengertian Shahna yang mempermudah aku menjalani semua ini. Aku pun sangat berterima kasih kepada putri semata wayangku itu. "Selamat, ya, cintaku, sayangku, bestie terbaikku." Windi memelukku erat. Kebahagiaan dan rasa haru tergambar dari wajahnya. "Terima kasih, sahabatku tersayang. Tanpa kamu aku takkan bisa apa-apa." Tanpa diundang embun bermunculan di mataku. Aku benar-benar terh
Pisah Terindah #58 (POV Danar) "Pak Danar, antarkan ini ke proyek A-14. Pak Anthoni sedang menunggu di sana. Sekalian berkas ini kebagian pemasaran." Pak Hamdi memberikan dua tumpuk berkas padaku. Setelah itu, lelaki yang umurnya lebih tua sepuluh tahun dariku itu berlalu begitu saja. Tak ada basa basi, tidak ada ucapan terima kasih. Begitulah gambaran hari-hariku di salah satu kantor Avalia Utama selama beberapa bulan belakangan ini. Lebih tepatnya semenjak kekalahan di pengadilan waktu itu dan proyek yang sedang digarap menderita kerugian atas ganti rugi terhadap pihak yang menang. Awal-awal memang aku masih berada di kantor pusat dengan tekanan kerja yang luar biasa serta target yang besar. Dalihnya sebagai bentuk pertanggung jawabanku. Lalu, beberapa bulan ini aku dipindahkan ke kantor cabang. Aku memang tidak dipecat tetapi luntang-lantung tanpa jobdesk yang jelas. Tiap bulannya hanya menerima gaji standar. Tidak ada bonus-bonus sama sekali. Sehingga penghasilanku mandek s
Pisah Terindah #57Ikhlas adalah kunci bahagia menjalani kehidupan. Begitu mendiang ibu pernah berkata. Dulu bagiku semua itu adalah bentuk kenaifan belaka. Bentuk ketidak berdayaan melawan kesemena-menaan atau dengan kata lain sekadar memperindah istilah pasrah ke versi yang religius. Ternyata aku keliru. Kenyataan demi kenyataan yang kujalani dengan segala pasang surut emosi mematahkan anggapan yang dulu. Pernah memelihara sakit hati, amarah, bahkan dendam pun sempat bersarang. Namun justru hal itu makin membebani. Harusnya memang dibuat sederhana saja. Salah satu permisalan, ketika seseorang sudah tidak ingin bersama kita lagi. Dia ingin pergi, sebaiknya memang dilepaskan saja. Kenapa masih ingin tetap memiliki? Kenapa harus mati-matian dengan segala daya upaya menahan orang yang memang sudah ingin pergi? Namun kadang ego manusia susah untuk ditaklukkan sehingga ujung-ujungnya memperdalam rasa sakit untuk diri sendiri. Ikhlas adalah titik tertinggi yang tak mudah untuk dirai
Pisah Terindah #56 "Ada Mas Danar di sini? Lagi apa dia?" Pernyataan itu meluncur begitu saja tanpa di awali basa-basi. Wajah diselimuti amarah dan keangkuhan terpampang di depan mataku. "Mas Danar." Aku yang masih diliputi kaget karena kehadiran tamu yang tak disangka-sangka itu mengucap ulang nama mantan suamiku itu. "Harus banget ya Mas Danar ada di sini sampai malam-malam begini?" lanjutnya lagi dengan tatapan sinis. Aku yang hendak menanggapi lontaran kata-kata sinis mantan maduku itu sudah kedahuluan oleh Windi yang sudah berada di belakangku. "Ada siapa, Ra?" "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya Windi dengan tatapan penuh selidik. "Aku istri Mas Danar." Jawaban ketus terlontar begitu saja dari wanita yang telah berhasil membuat karam biduk rumah tanggaku. "Oh, nyari Mas Danar? Ada tuh, lagi sama anaknya? Kenapa emangnya?" tanya Windi dengan gaya menantangnya. Namun Lalisa tidak menghiraukan Windi. Tatapannya kembali tertuju padaku. "Sudah kuduga." Sebuah senyuman sinis
Pisah Terindah #55"Apa kabar, Mas?" Seketika Windi melontarkan sapaan setelah sempat kikuk karena aku dan Mas Danar secara berbarengan menoleh padanya. "Baik, Win. Kamu di sini?" balas Mas Danar. "Iya, tadi kebetulan ada ketemu klien nggak jauh dari sini. Ya, udah, sekalian mampir." Bisaan saja Windi beralasan. "Aku ke belakang dulu, ya. Tak bikinin minum dulu, ya." Windi segera berlalu tanpa menunggu persetujuan apa pun. "Shahna sekolahnya kamu pindahin ke mana? Kenapa dipindah?" Nada Mas Danar bertanya terdengar kurang bersahabat di telingaku. Kentara sekali ada ketidaksukaan darinya. "Aku berencana untuk memindahkan Shahna ke sekolah yang full day." "Rencana? Rencana bagaimana? Aku datang ke sekolahan, gurunya bilang Shahna sudah pindah sekolah. Tidak di sana lagi?" Sesaat aku menghela napas panjang. Aku butuh banyak asupan oksigen agar tetap bisa mengontrol emosi menghadapi Mas Danar. "Memang hari ini Shahna tidak ke sekolah biasa. Tadi masa uji coba dulu. Kalau Shahn
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam