Pisah Terindah
#6Sudah hampir seminggu aku bersikap dingin pada Mas Danar. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamar.Semua pekerjaan rumah tangga tetap kulakukan seperti biasa. Semua keperluan Mas Danar tak ada satu pun yang terlewatkan olehku. Hanya saja aku menghindari untuk bertatap muka dengannya. Entahlah, rasanya terlalu menyakitkan kenyataan ini. Setiap melihat wajah Mas Danar, seketika itu juga rasa amarah dan kecewa yang susah payah kuredam kembali bergejolak.Hingga saat ini, hati dan otakku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih berharap bahwa semuanya hanyalah bunga tidur.Ah, Mas Danar, satu-satunya orang yang kupercaya menyandarkan hidupku ternyata dia jugalah yang membuatku karam.Benar sekali untaian kata-kata bijak, bahwa berharap pada manusia hanya akan berujung kecewa. Semakin besar harapan yang ditanam akan semakin besar juga kekecewaan yang akan dituai.Tatapanku kembali tertuju lurus pada cermin besar yang ada di depanku. Terlihat wajahku menyiratkan rasa yang tengah berkecamuk di dalam hati. Kusut!Selang beberapa detik pandangan kualihkan pada foto pernikahan kami yang dipasang di dinding di sebelah kiri. Aku tersenyum hambar ke arah foto yang menampilkan senyum bahagia aku dan Mas Danar.Terlintas lagi dalam bayangan, bagaimana perjuanganku meyakinkan hati untuk percaya pada pernikahan. Hingga akhirnya aku berani melangkah.Sedari awal, aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri bahwa setiap penikahan pasti ada cobaannya dan aku menanamkan tekat akan bertahan pada pernikahanku sepelik apa pun masalah yang mendera. Aku mendambakan keluarga yang utuh, keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Yang tidak pernah kurasakan di kehidupanku sebelumnya. Aku pun tidak mau anak-anakku akan mengalami hidup seperti aku. Namun, tak pernah terpikir sama sekali olehku jika cobaannya akan seperti ini."Dara."Aku tersentak ketika menyadari Mas Danar sudah ada di dekatku. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan sehingga sama sekali tidak mendengar suara pintu kamar dibuka. Tanpa banyak membuang waktu aku langsung berdiri dan hendak meninggalkan kamar.Mas Danar langsung menggeser posisi berdiri persis di hadapanku."Dara, tolong, jangan lagi menghindar! Kita harus bicara. Kita harus mencari penyelesaian untuk masalah kita ini."Aku menatap sekilas pada Mas Danar lalu berkata setengah berbisik, "Kamu yang bermasalah, Mas. Bukan Aku!"Mas Danar menarik napas berat. "Ya, Okey, ini masalah aku. Tapi, ini berkaitan dengan kamu. Kamu tolong ngertiin aku juga, dong! Kamu butuh waktu, okey, aku sudah beri kamu ruang dan waktu beberapa hari ini. Sekarang kita bicarakan solusinya. Tolong ngertiin posisi aku, Dara!"Kali ini aku menatap tajam pada Mas Danar. "Mas? Kamu minta aku ngertiin kamu? Kamu sadar nggak,sih, yang tersakiti di sini adalah aku! Penyebabnya itu kamu dan bisa-bisanya kamu berkata seolah-olah kamu yang korban, kamu yang paling menderita. Playing victim banget kamu!"Mas Danar mengusap wajahnya kasar. Lagi-lagi dia mengembuskan napas kasar."Permasalahan ini tidak bisa dibiarkan ngambang berlama-lama, Dara. Cepat atau lambat harus diselesaikan! Nggak mungkin selamanya kita akan menjalani hari-hari seperti ini."Aku tersenyum sinis pada Mas Danar. Entah di mana hatinya saat ini. Lelaki yang selama ini kukenal selalu berusaha menjaga perasaan orang lain, tidak enakan, serta tidak tegaan. Sekarang dia seakan telah menjelma menjadi orang lain yang tidak kukenal wataknya.Walaupun di hatiku telah bertumpuk kata-kata yang hendak diluapkan tetapi mulutku seakan sangat berat untuk mengucapkannya. Rasanya hanya akan buang-buang energi saja. Toh, tidak akan merubah apa-apa lagi.Di satu sisi aku pun setuju seperti kata Mas Danar, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus ada penyelesaian dari masalah ini. Akan tetapi penyelesaiannya apa? Tentu saja penyelesaiannya adalah permintaan yang diajukan Mas Danar padaku. Apa lagi selain dari itu?"Lalu, mau Mas apa?" tanyaku lirih."Seperti pertama kubilang," jawab Mas Danar datar.Kali ini kutatap dalam-dalam kedua mata mas Danar. Dengan suara yang masih lirih aku bertanya, "Kalau aku tidak mau, apa kamu akan meninggalkan dia?"Lagi-lagi Mas Danar menghela napas berat sambil satu tangannya mengusap wajah. Selang hitungan detik, Mas Danar pun membalas tatapanku dengan sorot mata yang sendu. Kedua tangannya memegang pundakku."Aku mencintai kamu Dara. Sangat mencintai kamu, sekarang dan sampai kapan pun. Aku minta maaf sebesar-sebesarnya, aku tidak mungkin melakukan itu sekarang. Kondisinya tidak memungkinkan untuk itu. Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf, Dara."Seketika itu juga tetes demi tetes air mataku berjatuhan. Kembali dadaku dikuasai sesak. Tulang benulangku seakan tak mampu lagi menopang raga. Lemas dan remuk hingga ke hati."Jadi?"Mas Danar mengusap air mata yang menetes di pipiku."Semua akan baik-baik saja, Sayang. Aku akan tetap dan selalu mencintai kamu dan Shahna.""Tidak Mas. Kalau kamu mencintai kami, ini tidak akan pernah terjadi.""Dara ... semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku --""Aku akan siapkan gugatan cerai," potongku sembari menepis tangan Mas Danar dariku."Dara, jangan egois. Ini bukan hanya antara kita berdua. Ada Shahna di antara kita."Aku berdecak. Mas Danar benar-benar tidak berkaca sama sekali. Entah siapa yang sebenarnya egois."Kamu bilang aku egois, lalu kamu apa namanya, Mas?""Tidak akan pernah ada perceraian di antara kita, Dara. Aku hanya minta sedikit pengertian dari kamu.""Kalau aku tetap mau?""Apa kamu tega jika Shahna tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh?"Aku menggeleng dengan senyuman pilu. Bisa-bisanya Mas Danar memutar balikkan kenyataan. Malah aku yang diposisikan sebagai sosok yang egois. Benar-benar tidak sadar diri. Namun, aku sudah tidak berminat untuk berdebat. Hanya akan menghasilkan lelah yang sia-sia.Mungkin inilah yang dimaksud oleh Windi. Kalau memang aku dan Shahna berharga bagi Mas Danar, tidak akan pernah ada perempuan itu hadir di antara kami. Dan Mas Danar tidak akan meninggalkan perempuan itu demi aku dan Shahna."Dara, tolong, aku benar-benar minta pengertian kamu. Kamu dan Shahna tetap akan menjadi prioritas aku."Sejujurnya, aku muak mendengar Mas Danar selalu membawa-bawa Shahna dalam masalah ini. Sekarang dia menjadikan Shahna sebagai tameng. Kemarin-kemarin, ketika dia menceburkan diri dalam pengkhianatan ini, Shahna dikemanakannya?"Kamu tidak mau kita bercerai dan juga tidak mau meninggalkan perempuan itu?" Aku menatap nanar pada Mas Danar. "Okey, Mas."Aku bergeser ke samping untuk mengambil kertas yang ada di laci meja rias."Ini." Aku menyodorkan HVS yang sudah berisi tulisan pada Mas Danar."Apa ini?""Kamu bisa baca, kan?"Mata Mas Danar pun tertuju pada kertas itu. Terlihat beberapa kali ia mengernyit.***Pisah Terindah #7 Mas Danar nampak sangat fokus pada kertas yang dipegangnya. Sedangkan aku menunggu reaksinya dengan dada yang berdebar-debar. Mas Danar melirik sekilas padaku lalu kembali melanjutkan membaca kalimat demi kalimat yang tertulis di selembar kertas tersebut. "Ini persyaratan yang harus aku penuhi?" Mas Danar menatapku serius. "Ya," jawabku pelan, masih dengan jantung yang dag dig dug. "Baik. Aku setuju," jawab Mas Danar setelah sesaat diam. "Kamu yakin?" Mas Danar mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, aku tidak mau perjanjian yang hanya antara kita." Mas Danar mengernyit. "Maksudnya?" "Aku mau kesepakatan ini dikukuhkan lewat notaris." "Kenapa harus pakai notaris? Kamu tidak percaya sama aku?" Aku menyimpul sebuah senyum tipis. "Menurut kamu?" Mas Danar mengembuskan napas berat. "Okey, jika kamu maunya begitu."*** "Kamu yakin ini, Ra?" Untuk kesekian kalinya Windi menanyakan hal yang sama sejak kami berjumpa beberapa saat yang lalu. "Sesuai saran kamu, k
Pisah Terindah #8Aku mengerjap, mengakhiri detik-detik yang kami lewati hanya dengan saling tatap. "Dara." Windi menyenggol tanganku. Aku berdeham kecil sehingga pandangan Mas Adit dan Mbak Tania tertuju padaku. "Oke, Dara, silakan!" Mas Adit menggeser kertas-kertas akan ditandatangani ke arahku disertai sebuah pulpen diletakkan di atasnya. Tanganku gemetar ketika hendak meraih benda bertinta itu. Sekuat tenaga aku menenangkan gejolak yang semakin menjadi-jadi di dalam dada. "Lakukan apa yang diyakini hati kamu, Dara," bisik Windi di telingaku. Satu tangannya mengelus lembut bahuku. Sejenak aku memejam. Menghirup napas dalam-dalam sembari menyelami sebesar apa kekuatan yang tersisa di hatiku. Aku sangat menyadari, begitu tinta ini menorehkan tanda tanganku di atas kertas, takkan berselang lama setelah itu perubahan yang besar akan terjadi di dalam hidupku. Perubahan ke arah yang suram, bukan meningkat lebih baik. Bukannya terlalu pesimis tetapi hanya mencoba realistis. Analo
Pisah Terindah #9 Setelah Shahna puas bermain, Mas Danar mengajak makan ke restoran yang masih ada di dalam mall. Tergambar seperti keluarga yang sangat bahagia dan harmonis. Tawa tak henti mengembang di wajah putri kecilku. Terlihat dia sangat menikmati momen-momen yang belakangan ini memang jarang terjadi. Meskipun di hatiku terselip rasa pilu, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menampakkan di depan Shahna. Sebisa mungkin aku ikut larut dalam kebahagiaan Shahna, walaupun hanya ada interaksi antara aku dan dia. Aku hanya ingin Shahna merasakan kebahagiaan yang utuh. Sesampainya di mobil Shahna terlihat sangat kecapekan. Beberapa kali dia menguap. "Udah puas mainnya, Sayang? Sekarang kita pulang, ya," ujar Mas Danar pada Shahna yang berada dalam pelukanku. Shahna mengangguk lemah. Matanya sudah mulai meredup. Benar saja, baru saja mobil melaju, gadis kecil itu sudah merapatkan kelopak matanya. Kembali, perjalanan menuju rumah kami lalui dalam hening. *** "Dara, bisa bica
Pisah Terindah #10 Memang, jika mengikuti siklusnya yang telah berlalu sudah datang waktunya Mas Danar untuk melakukan tugas ke kantor cabang yang ada di kota lain. Namun kali ini aku tidak yakin jika kepergiannya itu merupakan bagian dari pekerjaan. "Mas bisa 'kan minta jemput dari kantor atau pesan angkutan online?" sambungku dengan sedikit melirik pada Mas Danar yang sudah hampir sampai di dekatku. Sesaat setelah berada di sampingku, tangan Mas Danar meraih pegangan laci meja. Dari dalamnya, dia mengeluarkan dompet berbahan kulit berwarna cokelat tua. Dari dompet itu dia mengeluarkan sesuatu. Walau hanya mengamati lewat sudut mata, kuyakin kalau yang dikeluarkan Mas Danar adalah benda yang kumaksud. Perlahan Mas Danar meletakkannya di atas meja rias. Helaan napas berat mengiringi perpindahan posisinya. Sekarang Mas Danar telah duduk di sampingku. Tatapan kami sama-sama tertuju pada dinding yang berdiri kokoh dengan jarak tak lebih dari satu meter di depan kami. "Dara, maaf ..
Pisah Terindah #11"Terima kasih, Abi sayang. Semoga rezekinya melimpah ruah. Love you, suami terbaik, suami idaman yang sangat penuh perhatian. Bahagianya memiliki kamu. Semoga kita bahagia sampai tua dan bersama hingga ke jannah-Nya." Perutku mual membaca deretan kata-kata sok romantis, agamis dan lebay itu. Iri? Tidak! Tidak ada sama sekali rasa itu di hatiku. Dia bukan levelku. Apa yang harus kuirikan dari seorang wanita yang merangkai cerita bahagia di atas kehancuran sesamanya. Sungguh, sangat tak berperasaan. Manusia minus hati dan nir-empati. "Halah, suami terbaik, konon! Suami idaman, udah jelas-jelas suami rampasan." Aku mencibir membaca postingan yang lewat di beranda media sosialku. Beberapa foto perlengkapan bayi juga diunggahnya dengan caption rangkaian kalimat memuakkan itu. "Norak amat, emang udah kewajibannya kali, bukan karena baik. Kalau memang suami yang baik, nggak bakal dia mencari pelukan wanita lain," sungutku lalu meletakkan HP dengan kasar di atas meja.
Pisah Terindah #12"Tempat pengajiannya di mana? Biar aku antara, ya?" ujar Mas Danar penuh harap. Cepat aku menggeleng. "Nggak usah, Mas. Aku sama Shahna aja." "Aku jalan dulu. Mas bawa kunci rumah 'kan?" Aku mengulurkan tangan untuk berpamitan. Namun, tidak langsung disambut oleh Mas Danar. Malah dia lama tertegun. Jujur, aku agak dibuat salah tingkah dengan cara Mas Danar menatapku. Memang ini adalah penampilan yang tak biasa dariku. Memakai gamis agak longgar dan jilbab panjang. Menyesuaikan dengan acara yang akan kuhadiri. Biasanya, aku berpenampilan menutup aurat lebih sering bersifat situasional. Belum konsisten dan juga belumlah sempurna menurut ketentuan syar'i. Namun, belakangan semenjak sering berkumpul bersama orang-orang tua teman-teman Shahna di sekolah, aku mulai bertransformasi. Awalnya dengan niat sebatas menyesuaikan diri dengan mereka yang sebagian besar berpakaian Syar'i di kesehariannya. Namun, lama-lama mulai merasa nyaman. Ditambah lagi sudah beberapa kali
Pisah Terindah #13 "Ayo masuk," ujar Eyang setelah Mas Danar menyalaminya. Kami pun masuk, sementara Eyang keluar. Sepertinya ingin menyuruh masuk yang masih asyik ngobrol di luar. Kami pun berkeliling menyapa dan menyalami saudara-saudara yang sudah ada di dalam rumah. Sebagian tengah asyik bersenda gurau. Ada juga yang tengah heboh dengan ritual swafoto. "Makin cantik aja, nih, Dara," ujar Mbak Bella sembari pandangannya detail menelisik penampilanku. "Ini baju dari butik Najela, bukan, sih?" Jari Mbak Bella dengan cepat menari di atas layar ponselnya. Dalam hitungan detik, dia memperlihatkan layar ponsel padaku. Foto baju yang persis sama dengan yang kupakai terpampang di sana. "Ini, aku ditawarin tiga hari yang lalu. Aku suka sebenarnya, cuma udah terlalu banyak baju warna ini," lanjutnya lagi. Mbak Bella merupakan cucu pertama Eyang dari anak kandungnya. Dia memang terkenal sangat modis dan pecinta fashion. Mendapat pertanyaan seperti itu dari Mbak Bella, mau tidak mau ak
Pisah Terindah #14 "Aku mau ngantar ibu ke rumah teman lamanya. Kamu sama Shahna tunggu di sini aja, ya?" ujar Mas Danar setelah dia berdiri di sampingku Aku menatap Mas Danar dengan tatapan menyelidik. Cukup lama. "Nggak lama, kok. Kita juga mau balik langsung, kan?" lanjut Mas Danar lagi. Aku mengangguk pelan. "Papa, kita udah mau pulang?" Shahna setengah berlari mendekat. "Belum, Sayang. Kita sore aja pulangnya, ya. Shahna juga masih pengin main, kan?" "Papa temanin Shahna main," ujar Shahna sedikit menarik lengan papanya. "Nanti, ya. Sekarang Papa mau ngantar Oma dulu." "Shahna ikut, ya." "Ini acaranya nenek-nenek, Sayang. Nggak seru buat anak kecil. Nanti Shahna cepat bosan. Mending di sini aja, lebih asyik main di sini." Cukup lama Shahna terdiam. Entah apa yang sedang ada di pikiran bocah itu. Aku tetap setia menjadi pendengar. Tidak ada hasrat untuk ikut campur dalam hal tawar menawar antara ayah dan anak tersebut. "Ya, udah, deh, Shahna main di sini aja." Mas Da
Pisah Terindah #54 Menghubungi Windi, itulah yang terlintas di benakku dan seketika itu juga aku lakukan. [Win, nanti bisa ke rumah? Sore pulang kerja.] [Bisa, sih, kayaknya. Why?] [Jangan kayaknya, yang pasti-pasti aja. Aku butuh banget kehadiran kamu.] [Iya.] [Okey, makasih, ya. Aku tunggu.] [Ok.] Aku menghela napas panjang. Baiklah hadapi saja apa yang akan terjadi. Kutenggelamkan lagi pikiran dan konsentrasi pada pekerjaan-pekerjaan yang masih terasa asing bagiku. Kendati masih kaku, tetapi aku mulai menyukainya.*** Waktu untuk pulang sudah tiba. Aku kembali mengecek tumpukan berkas yang ada di samping laptop di meja yang kutempati. Setelah semua komplit, aku pun mematikan perangkat elektronik yang seharian ini kugunakan. "Sudah beres, Dara?" Aku menengakkan kepala begitu mendengar namaku disebut. Rupanya Pak Beni sudah berdiri di samping mejaku dengan sebuah ransel hitam yang sudah tersandang di pundaknya. "Udah, Pak." "Nggak usah terlalu formal, Dara. Kita di sin
Pisah Terindah #53"Kalau Shahna pengen bobo sama Papa bagaimana?" Aku tertegun, lidahku terasa kelu dan otakku seketika kehilangan memori yang berisi huruf-huruf. Aku dibuat tak mampu merangkai kata-kata. "Nanti bisa menginap di rumah Oma." Aku mengucapkan kalimat yang tiba-tiba saja mampir ke kepalaku. "Nggak mau di rumah Oma. Rumah Oma 'kan jauh. Maunya di sini, di rumah kita." Aku kembali terdiam. Sepertinya aku memang belum bisa untuk memberi pengertian yang sederhana namun bisa dimengerti dan dimaklumi oleh anak seusia Shahna. Sepertinya harus bertahap dan pelan-pelan. Aku pun memilih untuk tidak melanjutkan lagi obrolan kami. Aku tidak mau memberi harapan-harapan kosong pada Shahna. Aku tak ingin mengecewakannya lebih dalam lagi. Setiap anak pasti akan sangat kecewa atas pepisahan kedua orang tuanya, apa pun alasannya. Tak terkecuali dengan Shahna.Terkait bagaimana pertemuan antara Shahna dan Papanya untuk ke depannya, aku rasa lebih baik dibicarakan dulu dengan Mas Da
Pisah Terindah #52 Kurasa dugaan Mas Danar kalau ada kedekatan antara aku dan Mas Daniel pasti akan makin menguat setelah tadi dia melihat aku dan Mas Daniel di parkiran. Apa pun itu, harusnya tidak lagi kupedulikan karena kenyataannya kami bukan siapa-siapa lagi. Sama halnya seperti aku melihat keberadaan mereka berdua. Harusnya tak perlu ada rasa apa-apa lagi di hatiku. Jika Mas Danar dan Lalisa terang-terangan bersama adalah hal yang wajar. Mereka adalah pasangan suami istri yang sah. Masih adakah rasa cinta di hatiku pada Mas Danar? Sejujurnya, bagiku tidak mudah menghilangkan rasa yang dulu tumbuh dan bersemi di hati. Rasa yang tulus, rasa yang kujaga dengan sebaik-baiknya. Walaupun setahun belakangan kami lebih akrab dengan konflik, tetapi tidaklah serta merta menghapus kasih sayang yang selama ini ada. Meskipun begitu, telah habis waktu untukku tetap memelihara rasa itu. Keadaannya sudah berbeda sekarang. Jika dahulu memujanya akan berbuah pahala, tetapi tidak dengan sek
Pisah Terindah #51 Pak Bima mengulas senyum lalu dengan santai berkata, "Bu Dara jangan tegang begitu." Aku menarik napas pelan, mencoba untuk rileks. Namun rasanya tidak begitu berhasil. Gendang di rongga dadaku tetap bertalu-talu dengan riuh. Entah kabar apa yang akan kudengar beberapa saat lagi. Semoga saja bukanlah kabar yang tidak kuinginkan. "Dua hari yang lalu Naja mengabari saya kalau dia mau ikut suaminya ke Singapura dan akan menetap di sana. Dia mengajukan resign. Saya bermaksud menawarkan posisi yang selama ini diisi Naja pada Bu Dara." Syaraf-syaraf yang tadinya sempat tegang berlahan melentur kembali. Tak hanya kelegaan yang bersarang di dadaku tetapi juga bunga-bunga turut bermekaran. "Saya dengar dari Bu Tania, kalau Bu Dara pernah jadi asistennya." "Ini ... ini benaran, Pak? Serius?" Walau aku yakin aku tak salah dengar, tetap saja aku ingin memastikannya sekali lagi. "Ya, tentu saja. Malah sangat serius." Pak Bima kembali melebarkan senyumnya. Aku terdiam
Pisah Terindah #50Seorang wanita cantik datang menghampiri beberapa saat setelah aku memasuki kantor yang mengusung tema monokrom ini. Sambutan ramah langsung kudapat dari wanita tinggi semampai berpenampilan formal tersebut. "Selamat pagi dan selamat datang, Bu Dara. Perkenalkan saya Naja yang semalam menghubungi ibu." Senyum ramah terlukis di wajah dengan riasan minimalis itu di ujung kalimatnya. "Selamat pagi, juga." Aku pun mengulas senyum sebagai timbal balik atas sambutan hangat yang kuterima. "Ibu, mari ikut saya ke ruangan di sebelah sana!" Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Naja itu mengarahkan tangannya ke ruangan yang berada paling ujung. Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya. "Jadi, begini Bu Dara saya butuh beberapa informasi untuk melengkapi bahan di persidangan nanti. Tentu saya sangat berharap informasi yang akurat dan detail dari ibu. Ibu tidak keberatan, kan?" Pertanyaan itu diluncurkan setelah beberapa saat di awal dimulai dengan basa-basi. "Tentu
Pisah Terindah #49 "Ibu? Ibu ada di sini?" Ibu tak langsung menanggapi Mas Danar. Dia mengalihkan pandangan padaku lalu kembali lagi menatap Mas Danar dan Lalisa yang nampak mencoba tersenyum ramah meskipun kesan kikuk masih dapat kubaca. "Kalian mau ngapain ke sini?" Nada bicara ibu terdengar agak ketus. Entah karena masih bawaan kesal padaku atau memang murni kesal pada anak dan mantunya itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja. "Kamu ngapain nyusul ke sini? Tunggu di mobil aja," ujar Mas Danar pada Lalisa. Pelan dia bicara tetapi masih terdengar jelas hingga ke telingaku. "Aku juga mau silaturahmi sama Mbak Dara. Masak nggak boleh. Mbak Dara 'kan dulu juga nengok aku waktu lahiran." Spontan jawaban Lalisa membuat ibu mengalihkan pandangan padaku seolah menuntut jawaban akurat. "Ibu mau bicara sama kamu, Danar. Sekalian antar ibu pulang!" Ibu melakukan pergerakkan bersiap untuk berdiri. "Aku mau ambil beberapa barang, Bu." "Untuk apa? Ini kan rumah kamu, emangnya ad
Pisah Terindah #48 Menjelang sore kami sampai di rumah dan sepertinya kami kedatangan tamu. Benar saja, setelah aku selesai memarkir mobil dengan sempurna sebuah mobil pun berhenti tepat di depan pintu gerbang yang masih terbuka. Tak butuh waktu lama, turun seseorang yang kedatangannya cukup membuatku deg-degan. Ibu Mas Danar, wanita dengan usia lebih dari setengah abad yang sebulan yang lalu masih berstatus ibu mertuaku adalah tamuku sore ini. Entah apa maksud dan tujuannya menjelang sore begini menyambangi kami. Shahna seketika menyambut kedatangan neneknya dengan hangat. Dia memang selalu begitu, sangat senang jika ada orang yang bertamu ke rumah. Mungkin karena kami jarang ada yang mengunjungi. Maklum saja , aku tidak punya banyak kerabat. "Ibu apa kabar?" tanyaku murni sebagai berbasa-basi. Karena sudah terlihat kalau keadaannya sehat wal afiat sehingga bisa sampai ke rumahku. Ibu menyambut uluran tanganku meskipun dengan wajah dingin. Dia tidak menjawab pertanyaan yang k
Pisah Terindah #47Bertepatan dengan aku menggeser arah kamera ponsel padaku, Mas Danar pun menoleh ke belakang kemudian terlihat menjauh. Sepertinya ponselnya ditaruh buru-buru. Posisi ponsel agak bergeser sehingga arahnya tertuju pada dinding. Aku hanya bisa melihat bidang dengan warna dominan kuning gading. Terdengar sedikit suara gaduh lalu diikuti dengan tangisan anak kecil. "Itu siapa yang nangis, Ma? Memangnya di tempat Papa ada adek bayi?" tanya Shahna. Aku segera mematikan sambungan telepon. Takut Shahna akan mendengarkan hal lain yang akan semakin mengundang rasa penasarannya. "Hmm ... mungkin papa lagi di suatu tempat yang ada anak-anaknya," jawabku tanpa pikir panjang. Aku berharap dengan jawaban itu Shahna tidak akan bertanya lebih jauh lagi. "Emang boleh di tempat kerja orang dewasa ada anak kecilnya? Emang nggak ganggu?" "Tapi ... tadi papa kayak ada di kamar, bukan di kantor," lanjut Shahna lagi menyampaikan penalarannya yang membuatku harus berpikir keras untuk
Pisah Terindah #46 Kuajak Shahna ke kamar. Belakangan dia memang lebih sering tidur berdua denganku. Aku mengambil beberapa buku cerita anak- anak untuk dipilih Shahna. Akan tetapi dia tidak menampakkan ketertarikan sama sekali.Tak ingin cepat menyerah, aku pun mengambil ponsel dan membuka aplikasi you tube. Aku mencari beberapa dongeng dalam format animasi lalu mengunduhnya. "Kalau nonton yang ini, gimana?" Aku mengarahkan layar ponsel pada Shahna. Gelengan kepala adalah respons yang diberikannya. Aku pun berpindah ke video berikutnya. Shahna hanya mematung lalu beberapa saat setelah itu menggeleng lagi. Aku mengembuskan napas berat. Tumben-tumbenan Shahna jadi rewel begini. Sebelum-sebelumnya dia bersikap biasa-biasa saja atas ketiadaan papanya dalam waktu yang panjang. Kalau pun dia mendadak ingin dikelonin papanya, jika dibilang papanya sedang kerja di kota lain, dia akan cepat paham. Entah kenapa kali ini tidak begitu.Apa ini bentuk dari sensitivitasnya terhadap keadaan. K